The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani July 09, 2013

Saya, sebagai mahasiswa komunikasi (tingkat akhir yang akhir-akhir ini belon mikirin skripsi) geram. Geram akibat ngejawab soal uang empat halaman folio dengan tulis tangan. Entah, saya menulis apa di sana. Yang jelas adalah membicarakan media. Mari kita buka mata, bahwa revolusi media telah menjadi konglomerasi media.

Revolusi media lahir sejalan dengan revolusi yang terjadi di negeri itu sendiri, tepatnya: Indonesia. Berkat runtuhnya rezim Soeharto dan segala antek-anteknya, media sudah tidak lagi dibawah naungan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan bukanlah PLN karena itu beda. PLN itu soal listrik dan bukan soal penerangan. Banyak yang terang tapi, tidak berasal dari PLN, contohnya: Kamu.

Dulu, setiap media mesti melawati jalur Departemen Penerangan untuk bisa mempublikasikan karya jurnalistiknya. Apaun itu bentuknya. Akibatnya adalah media menjadi corong pemerintahan. Bagi media yang ingin coba-coba nakal maka akan di bredel. Bisa dilihat, Majalah Detik di bredel, Majalah Tempo juga demikian. Mereka (media) tidak bisa berbuat banyak selain menjilat pemerintah untuk bisa bertahan. Di perpustakaan Teras Baca, banyak media tahun 80-an, kalian tahu isinya? Saya saja enggan membacanya. Bukan berarti 'bad news is a good news' tapi, ini adalah soal independensi suatu media.

Soeharto turun, Habibie naik. Departemen Penerangan dihapus, banyak media baru bermunculan. Oia, salah satu tugas Departemen Penerang kala itu selain mensortir isi pemberitaan, juga memegang wewenang untuk mengeluarkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kini, sudah ada lagi SIUPP dan siapapun berhak membuat media sendiri. Sebenarnya ada Undang-Undang yang mengatur untuk mendirikan media sendiri tapi, ini Indonesia. Aturan hanya sebatas slogan.

Buanyak sekali media bermunculan. Kontennya-pun beragam, dari politik sampai tumbuh-tumbuhan. Apa saja yang sekiranya menjual dan menguntungkan, tinggal buat. Ini dia kalimat yang menjembataninya, apapun yang menjual dan menguntungkan tinggal dibuat.

Saya sendiri pernah dengar ucapan orang bule, "Bagi siapapun yang ingin berkuasa di Dunia Ketiga, maka mesti bisa menaklukan media." Media dibawah orang-orang yang ingin berkuasa. Orang yang ingin berkuasa mesti memiliki modal. Bagi siapapun yang punya modal, ingin berkuasa, taklukan media. Jadilah seperti sekarang, satu orang, bisa mengendalikan banyak media. Baik cetak, elektronik, sampai media baru (internet dll, dst, dsb).

Ini menjatuhkan itu. Itu menjatuhkan balik ini. Ini menjatuhkan orang dalam untuk meraih simpati. Itu membanggakan diri agar orang lain tahu. Persetan.

Mungkin banyak yang tidak tahu, media memiliki dua kekuatan: Agenda Setting dan Jarum Hipodermik. Agenda Setting adalah di mana media mengikuti permintaan pasar, kemudian dikemas serapih mungkin. Nanti, ketika pasar sudah nurut, media bisa mempermainkannnya. Dan, Jarum Hipodermik adalah di mana media menyerang langsung pasar dan membuatnya tidak berdaya. Ingat, di Indonesia masih banyak orang mudah percaya dari apa yang dilihat dari media. Ketika pasar sudah dibuat tidak berdaya, ada konspirasi di sana.

Itulah Revolusi yang terjadi di sini. Konglomerasi media adalah alatnya. Persetan.

Persetan. Asal kalian tahu, saya menulis ini tidak sampai 30menit. Sedangkan kemarin, saya mesti menulis empat halaman dengan menulis tangan dan mengabiskan waktu lebih dari dua jam. Persetan, kenapa saya baru secerdas ini bukan kemarin?

Begitulah kalian jika ingin menulis. Tulis apa saja yang kalian tahu dan menjadi keresahan. Tidak sulit. Makanya belajar.



Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -