The Pop's

Archive for September 2013

eBook

By : Harry Ramdhani
eBook: Dalam Suatu Antologi - #NodaTintaPadaKemeja adalah suatu antologi dari beberapa tulisan buah karya: saya, Harry; Anton, dan Zula di blog yang telah sudah ditulis ulang.

Di dalamnya ada beragam cerpen, puisi, prosa, cermin (cerita mini), sampai pengalaman yang banyak terjadi oleh kebanyakan orang dan lain-lain.

Semula berawal dari obrolan serius tentang penulisan antara saya dan beberapa kerabat sepermainan. Di sana, banyak yang kita bahas, dan salah satunya adalah keberadaan eBook di era canggih seperti sekarang. "Peran eBook dalam bentuk PDF memang terbilang statis, tapi keberadaannya dapat melawan arus major penerbit yang lebih mementingkan input yang didapat daripada output. Bukan berarti buku-buku yang ada di rak toko buku itu tidak berkualitas, namun benar-benar sulit untuk bisa membedakan ketika sudah berada di sana. Perlu banyak pertimbangan," sedikit kutipan saat mendiskusikan keberadaan eBook.

Dan, pada akhirnya kami serius untuk membuat eBook ini. Kontennya tetap yang paling ditonjolkan, tanpa ada perbedaan dengan buku-buku yang dicetak.

Semoga eBook ini bisa menambah koleksi bacaan atau teman yang menemani ketika menunggu pasangan datang menjemput untuk pergi berduaan.



Silahkan di download: Dalam Suatu Antologi - Noda Tinta Pada Kemeja
Tag : ,

Lima Jam

By : Harry Ramdhani



Dalam cinta
Pasti ada luka
Yang dalam menusuk
Hati salah satunya.

Kekasih,
Bila ini nikmat surga
Tetaplah bergolak dalam rasa
Selain nafsu penghuni neraka.

Karna dunia
Tak pernah lupa
Menurunkan kisah duka
Adam dan Hawa.

Berpisah dan tersesat oleh dosa
Di bumi yang carut-marut
Ketamakan penghuninya.

Saatnya kupulang
Menjijnjing rindu yang tak terbalaskan
Tinggalkan tanah peraduan
Ke gang kecil tempat ku-dilahirkan.

Perjalanan melelahkan
Memungut jejak-jejak yang kutinggalkan
Meski sebagian telah hilang.

Lama aku ingin ke rumah
Bertemu adik, ibu, dan ayah
Dengan hati yang telah patah.

Aku tinggalkan kau; lelaki
Yang mengajarkanku hidup mandiri
Di tanah peraduan
Demi cita-cita, mimpi, dan harapan.

Maafkan aku, di sini
Hampir terbit matahari.
Artinya lima jam lagi
Tiba di tujuan.

Kuhitung mundur dari sekarang
Lima jam kedepan.

Lelah. Aku terlelap
Dalam mobil yang gelap.

Hingga sebuah kecelakaan
Pertemukanku dengan Tuhan.
Lima jam yang tersisa
Di depan pintu surga dan neraka.



Kamar sepi yang berpenghuni.

Sejawat Melaknat

By : Harry Ramdhani



Gemerlap lampu malam
Kerlap-kerlip di sudut ruang
Menerangi jiwa kesepian.

Asap Rokok mengambang
Tepat di depan
Mata pencuri harapan.

Masih ter-ngiang
Sebuah kenangan
Masa silam
Dan sulit 'tuk dilupakan.

Penari telanjang bergoyang
Jadilah Ia pusat perhatian
Banyak mata bergantian
Curi-curi pandang.

Tanpa mempedulikanku
Yang duduk di depanmu
Menahan perih hentakan
Musik menyayat kenangan,
Mendendang lagu kesedihan.

Metropolita memang kejam
Tidak memberi dimensi ruang
Untuk bawamu kembali; pulang.

Kembali jadi Idola
Para pemuda desa,
Bukan barang rebutan
Laki-laki hidung belang.

Uang mulai bicara
Nafsu birahi membabi-buta
Lalu mereka melihatmu
Seperti kelinci betina.

Semoga ada yang datang
Penggerak Amar ma'ruf
Penegak nahi munkar.

Dibakarnya semua dosa
Lenyapkan kenikmatan neraka
Yang diselimuti embel surga.



Perpustakaan Teras Baca.

Ragam Lidah Pejabat

By : Harry Ramdhani


Kalau saja ada lidah pejabat yang bisa dipotong ketika tidak tepati janji, pasti negeri ini malah banyak pengangguran

Lho, bener. Wartawan gak ada kerjaan, aktivis gak demo; gak bisa makan, Comedian gak ada bahan candaan, dan makin banyak rakyat yang terlantarkan.

Belum lagi penjualan ring back tone, "Lidah Tidak Bertulang" gak laku di pasaran. Sedih kalo terus-terusan dibayangin.

Wong pejabat itu sumber inspirasi. Masih ingin meng-inspiring orang lain? Yowis, sana jadi pejabat. Tapi ke mana-mana kenakan sabuk supaya celananya gak kedodoran sama kantong yang tebel banget itu.

Iki lho, lidah pejabat itu bisa lebih tajem daripada lidah dalam peribahasa: Lidah bisa lebih tajam daripada pisau belati. Sekali kecantol lidahnya bisa panjang urusannya. Dibilang bakal kasih ini, kasih itu, kasih semua, taunya mana? Tanggung jawab malah dibilang punya bersama.

Ada lagi, kalo keseringan denger lidah pejabat bercakap; beuh, bisa lebih nikmat dari French Kiss (ciuman yang sambil mainin lidah). Pejabat bisa kasih ciuman yang bikin mata merem lama. Nikmatin. Bahaya kalo rakyat merem dan pejabat bisa seenak udel lakuin ini-itu.

Atau, bisa aja lidah pejabat lebih berdosa daripada lidah Nabi Adam yang telah icip-icip buah Khuldi. Dibuatnya kita (baca: rakyat) terhasut oleh rayuan pejabat. Banyak wanita di club malam kena sengatan rayu pejabat. Wanita Tuna Susila juga rakyat biasa. Warga Sipil.

Bahkan, lidah pejabat bisa lebih tega dari orang yang ingkar setelah mengucapkan ijab-kabul. Katanya akan sehidup-semati; taunya cuma ngehidupin diri sendiri dan satu-persatu orang malah mati gak bisa ngehidupin diri, katanya ketika sah akan mejaga dan merawatnya: taunya kalau cuma dirusak dan dipukuli mending ikut gulat saja.

Itu baru lidah pejabat, apa jadinya kalo (kue) lidah kucing yang enak itu serupa? Bisa lebih bahaya.

--- bersambung ke lidah kucing (wanita) ---


Perpustakaan Teras Baca, dari beberapa majalah lama yang masih ditumpuk semua.

Tarzan Berbahasa

By : Harry Ramdhani


Pagiku malu
ditelan cahaya
mimpi semalam
yang menakutkan.

Semesta suguhkan segala,
tuan rumah manfaatkan semua
dan habis pada waktunya.

Tanpa rasa dan karsa;
sebatas karya
yang berguna.

"Tenang," katamu,
lalu, "semua terkendali."
Padahal tidak sama sekali.

Dalam kitab,
kesucian adalah kedekatan
pada Ilahi.

Bakar saja semua,
monyet dan fauna lainnya
tidak bisa mengadu,
tapi Tuhan tahu.

Regut nyawaku di sini
dengan ketamakan
yang butakan
mata, hati, dan mata hati.

Keluargaku pasti pergi
selamatkan diri
supaya tidak mati (konyol).




Tempat tidur yang keras dan tidak pantas dinamakan: kasur. 16 September 2013

Uno Stacko

By : Harry Ramdhani


Malam minggu hanya soal rindu yang terganggu, melihatnya seperti pecandu shabu di Panti Rehabilitasi-- tersiksa tanpa narkoba --dengan mata yang layu. Berkeliling di pusat kota mencari hiburan; kesenangan di tengah keramaian. Kemudian lirih mendengar mesra pasangan muda-mudi di trotoar jalan. Sedikit tidak tahu malu, ada yang pelukan, ciuman, bahkan bertukar pakaian dalam.

Hingga semua berubah ketika ada penculikan.

***

Tidak ada yang terdengar selain suara radio dan serak-serak suara lelaki tua. Gelap, tak ada satu pun terlihat. Bau asap rokok juga menyengat, dan dada semakin sesak. Seluruh badan tidak ada yang bisa digerakan, mungkin akibat tadi melawan. Rasanya ada yang menindih badan. Berat.

Kurang dari sepuluh menit, aku dengar klakson kendaraan yang sahut menyaut bergantian. Nampaknya aku tahu, ini ada di lampu merah perempatan. Semakin sering aku dengar suara klakson, semakin jelas pula bahwa pengguna jalan banyak yang tidak sabaran. Padahal sudah ditentukan secara bergiliran. Percuma antri kalau ingin saling mendahului.

Tidak ada suara lagi, hanya angin kencang yang masuk ke dalam. Jalanan sepertinya sepi.

"Berapa menit lagi kita sampai?" kata salah seorang dari empat-lima orang yang tadi menculikku.

Suaranya tidak asing, tapi aku belum berani memastikan.

"Setelah lampu merah ini, kita tinggal belok kanan dan sampai tujuan," kecil suaranya namun, jelas, "Orang itu belum siuman?" lanjutnya.

"Sama sekali tidak bergerak, sepertinya belum," kata yang lain.

Tapi memang aku hanya diam; tidak ingin melakukan gerak yang mengundang kecurigaan. Kalau sampai ketahuan, bisa dibuang di pinggir jalan. Aku tidak ingin mati konyol karena penculikan.

Sebenarnya apa yang mereka inginkan?

***

Mobil berhenti cukup lama. Tidak ada suara orang dan radionya dimatikan. Aku masih pura-pura belum siuman. Hingga akhirnya aku tahu, kepalaku ternyata ditutup kain hitam dan kedua tangan juga kaki diikat kencang.

Pintu mobil dibuka. Aku digopong keluar oleh tiga orang. Masing-masing dari mereka memegang kencang; satu di kepala bagian bawah, satunya di pinggul, dan satunya di kaki.

Dibawanya aku duduk di bangku yang terbuat dari kayu. Penutup kepalaku dibuka paksa. Aku (masih pura-pura) pejamkan kedua mata.

"Dani, bangun. Ayoo cepat bangun. Buka matamu sekarang," suara itu, suara temanku, Henry.

"Gak usah pura-pura merem," itu suara, Anto, "kami tahu kau sudah siuman dari tadi. Dari lampu merah perempatan."

"Maaf, kalau kami memperlakukanmu seperti ini, seperti ingin menculikmu. Kami sudah tidak tahu mesti lakukan apa supaya kau percaya," Henry meneruskan.

Aku buka kedua mataku. Gelap. Semua terlihat berbayang. Sangat tidak jelas.

"Tunggu beberapa menit lagi dan kau akan tahu semua," kata Anto sambil merangkul pundakku.

"Ada apa?" tanyaku, "Apa yang terjadi?"

"Kau lihat sendiri saja nanti," kata Anto yang kini berdiri dan membakar sebatang rokok kretek. Dibuatnya bentuk 'O' dari asapnya.

Kami tepat berada di pinggir jalan. Di seberang hotel yang cukup lumayan. Pikiranku tertuju pada Leni, tunanganku, yang akhir-akhir ini memang sibuk dengan pekerjaan.

Apa dia memiliki selingkuhan?

Apa yang Ia lakukan di hotel berbintang?

"Kita akan menghampiri mobil sedan berwarna abu-abu itu," Anto menunjuknya dengan penuh kepastian, seakan Ia tahu jalannya kejadian yang membuatku semakin penasaran.

Kedua kaki dan tanganku masih diikat.

"Yasudah, lepaskan ikatan ini," kataku yang mulai kesakitan karena ikatannya terlalu kencang.

Keluar dua orang dari dalam hotel. Saling merangkul badan antara satu dengan lainnya.

Anto melepas ikatanku.

"Ayo kita ke sana," ajakku.

"Tidak. Lebih baik kita ikuti mereka dari belakang," kata Henry yang melempar-lempar kunci mobil ke udara dan ditangkapnya lagi.

"Sebenarnya ada apa?" Aku semakin penasaran.

"Kita ke rumah Leni sekarang," lalu Henry masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.

***

Sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang bicara. Semua diam. Muka mereka tampak serius. Hingga pada akhirnya kita sampai di ujung jalan rumah Leni.

"Kita ingin kau melihat langsung dengan mata-kepalamu sendiri, Dan," seru Roni yang dari tadi tak bersuara. Dingin.

"Kita ke dekat rumahnya saja sekarang," ajak Anto.

Kami semua keluar dari mobil dan bersembunyi di bawah pohon mangga yang cukup besar.

Mobil abi-abu tadi datang. Tepat berhenti di depan rumah Leni. Salah satu ada yang keluar membukakan pintu sebelahnya. Sungguh perhatian-- mungkin lebih tepatnya berlebihan --dan Leni keluar dari pintu satunya. Kemudian mereka berciuman.

Aku keluar dan berlari sambil berteriak, "Leni…,"

Leni tampak kaget. Kebetulan tidak ada lampu penerang jalan di depan rumah Leni hingga satu orang lagi tidak terlihat.

Aku mulai mendekat. Ternyata satu orang lagi itu, orang yang tadi keluar dari hotel bersama Leni dan ciuman di depan rumahnya adalah perempuan. Aku sendiri tidak percaya. Kata-kata yang tadinya ingin keluar mendadak tersumbat di tenggorokan.

"Sa… yang,…" kata Leni, "Aku. Aku. Aku bisa jelaskan semua."

***

Sudah lama ternyata Leni mengalami 'sedikit' kelainan pada dirinya. Semenjak kedua orangtuanya mendesaknya untuk cepat menikah, Leni mulai kenal dengan orang-orang yang; notabene penyuka sesama jenis. Lesbie.

Leni banyak mendapatkan uang dari sana. Dari hasilnya kenal dengan orang-orang itu. Alasan awalnya: untuk biaya pernikahan. Namun, lama kelamaan, Ia ketagihan. Kecanduan. Dan, benar-benar penyuka sesama jenis sungguhan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Pernikahan yang sederhana (hanya keluarga kita dan orang-orang terdekat kita) dan sedari dulu kita berdua idamkan hancur berantakan bak mainan Uno Stacko yang beserakan di lantai setelah diambil bagian bawahnya dengan sembarangan.

Bisa saja aku ambil, menyusunya, dan mainkan lagi. Tapi, lawan mainku bukan Leni.



Dalam kereta yang gerbongnya sepi tanpa penumpang lainnya.

Hujan dari Kedai Alania

By : Harry Ramdhani


Hujan adalah cara waktu menenggelamkan rindu.

Tak ada lagi yang tersaji kala itu,
tersesat di hilir waktu
menunggu hujan reda
di pelantaran Kedai Alania

Jika kita paksakan
hanya basah yang mengguyur badan,
membasahi rindu
yang terkekang nafsu.

Sore ini hujan terlalu lebat
sampai jalanan saja tak terlihat,
lampu penerang jalan mencuat
remang; menerobos kenangan

Ini diluar rencana,
jauh dari ekspetasi kita
kalau hujan tiba
begitu derasnya
mengguyur semua kesenangan;
membanjiri jalan yang tak terbentang
di ujung seberang.

Kita hujan-hujanan.

Kau peluk erat dari belakang
mungkin takut kehilangan
karena pelukan
sajikan kesetiaan.

Kita basah-kuyup diguyur hujan
ada yang terlihat di balik bajumu
baju tipismu;
dibagian dadamu
tertulis namaku
bukan nama tunanganmu.

Tidak ada lagi rindu
yang terbungkus nafsu
karena cinta telah menghampiri kita
dengan bersahaja
di tengah derasnya hujan.



Plek-plekan di Perpustakaan Teras Baca.

Selepas Kopi Memeluk Erat

By : Harry Ramdhani



1/

Aroma kopi ini terlalu menyengat, hitamnya pun begitu pekat, seperti kangenku ingin memelukmu erat. Sampai aku terangsang, meradang dalam pikiran.

Selepas pagi, aku akan kembali pada kesibukanku: kangen akan suguhan kopi buatanmu.

Duduk di teras dengan setumpuk koran dan makanan yang tak habis saat sarapan. Aku ingin berikan kucing, pasti ditolak mentah-mentah; tidak ada ikan asin dan nasi aking, karena sarapanku adalah ciuman denganmu sampai kau muntahkan sisa makanan semalam. Biasanya, kucing suka itu.

Perpisahan ini tak sewajarnya berjalan cepat. Lebih cepat dari tagihan motor diawal bulan. Baru saja kutanyakan ukuran lingkar dadamu, belum sampai berat badanmu, namun kau sudah pergi.

2/

"Aku siapkan di atas meja, ya?" kemudian kau pergi dengan kenakan handuk yang menutupi tubuhmu ke kamar mandi.

Kopi buatanmu masih berasap. Aku yang masih terlelap di tempat tidur, seakan ingin menguap; menjadi asap dan ikut denganmu masuk ke sana, menuntaskannya walau sekejap.

Kau memang cantik kenakan handuk berwarna biru, tapi kau bisa jauh lebih cantik jika sama sekali tidak kenakan apa
pun yang menutupi tubuhmu.

Aku bisa merasakan hangatnya tubuhmu, mendengar detak jantungmu; kala memelukmu, sembari menunggu kopi untuk bisa dinikmati.

3/

Tubuh kita saling medekap. Erat, seperti satu badan, meski ini sedang berpelukan.

Menyerupai kopi buatanmu, bercampur jadi satu dalam secangkir kecil. Tak dapat dipisahkan. Pelukannya terlalu hangat, hingga terlihat asap.

Sambil memejamkan mata, kau bisikan beberapa kalimat terakhir, "Dekap aku lebih erat sampai aku sesak, sampai aku nanti akan terus mengingatmu, menangis sampai terisak," air mata membasahi pundakku. Air matamu.

"Peluk aku sampai membaur dengan tubuhmu, yang kelak akan jadi bayanganmu, dan tetap bersamamu sampai akhir hanyatmu," air matamu telah mengalir hingga dada, hingga pelukan itu dengan sendirinya lepas memisahkan kita selamanya.



Perpustakaan Teras Baca, ketika malam jum'at kliwon.

Jemaat GKI Yasmin Terabaikan

By : Harry Ramdhani


#PrayForGKIYasmin

Hidup berdampingan dengan kaum mayoritas, membuat ibadah saja tak kunjung tuntas. Katanya sebatas menghargai kaum mayoritas, tapi dengan melarang kaum minoritas untuk beribadah, nampaknya kurang pantas.

Bayangkan saja, keberagaman sering dijadikan 'alat jual' di negeri ini. Bahkan, tergenggam kuat di kaki Sang Garuda. Mestinya berbeda antara satu dengan yang lain itu wajar saja; mungkin lebih istimewa tepatnya.

Unity in diversity itu istilah yang sering diucap oleh pemimpin di sini, artinya: "Sebagai bangsa yang majemuk, kita memiliki keragaman suku, bahasa, budaya, dan kearifan." Tapi lagi-lagi hanya sepintas didengar di pidato-pidato kenegaraan. Itu pun kurang jelas.

Surat permohonan tengah dilayangkan, diskusi-diskusi ringan telah dilaksanakan, namun masih saja tidak ada kesepakatan.

Lihat saja, warga dunia sudah melirik akan intrik yang menjelumit. Satu orang pernah diutus untuk datang, melihat dan mencoba memberikan solusi akan kerumitan tentang permasalahan tempat peribadatan. Hasilnya tetap saja mengambang. Kurang sogokan, bukan?

Walau pun Presiden sudah bicara panjang-lebar, tetap saja, Ia hanya warga biasa di tempat tinggalnya dan tunduk oleh Ketua RT setempat. Dan soal perizinan, Ketua RT yang berkehendak.



Selintas di depan Kantor Balai Kota Bogor; tenang, seakan tidak terjadi permasalahan yang belum diselesaikan.

Cakrawala

By : Harry Ramdhani
Sebatas kata yang mampu menerjang cakrawala. Dari selatan bisa menuju utara. Dari timur laut bisa mengalir ke tenggara. Semua terjajah kata yang melintasi sudut dunia. Buku adalah segerombolan kata yang dihimpun, dijadikan tertata dari kata ke kata lainnya.


 
 

Kujadikan sebuah kata sebagai simbol cinta. Simbol peradaban yang tak temakan jaman. Tapi bisa lenyap oleh rayap, menguap jadi asap, sampai tersangkut di atas atap.

Menjaganya semudah mengupas mangga, merangkainya secepat gerak cahaya. Kubuat kata karena negeri ini sungguh kaya. Kaya akan bahasa, budaya, dan wanita yang senang mengumbar dada.

Tak mungkin ada kata yang hilang tapi, mungkin, tak lagi diucap ulang. Hanya seberapa, tidak semua. Yup, karena aku sendiri tidak suka. Aku pikir, aku tidak pantas mengucapkannya.

Dengan segala kerendahan hati, aku biarkan semua kata tetap hidup dalam masing-masing konstitusi. Hingga tetap hakiki walau berbeda sisi.

Mestinya ada lembaga yang kerjanya menjaga kata. Bukan kamus bahasa semata. Tapi coba banyangkan jika sudah hilang, maka akan sulit untuk (dibawa) kembali pulang.

Karena kata memiliki rasa. Rasa yang tidak dapat diduga.



Warung Babeh kala membelakangi senja.

Melumat Hujan

By : Harry Ramdhani
Ketika matahari diperintahkan pergi oleh Tuhan, Ia langsung mengumpat di balik awan. Awan gelap dan resolusi cahaya mulai bermunculan dari atas sana.

 

Hujan turun…,

Ada yang bersembunyi ketka hujan, tubuhmu tanpa sehelai benang. Di dalam selimut kau mengemut permen yang rasanya kupikir kecut. Pasti kecut, karena ketika kau tertidur pulas, aku sedikit iseng untuk menaruh lolipop di ketiak.

Aku tahu, kau adalah penikmat permen, makanya itu kulakukan. Sekedar iseng. Itu juga supaya kau sadar, apapun yang kau tidak selalu mempunyai rasa sama. Hari ini manis, tapi mungkin besok asin atau pahit. Kau terkena virus manis cinta. Yup, hanya itu yang dirasa.

Tapi kau tidak memperdulikan. Permen itu masih kau emut. Sambil ketakutan oleh suara petir yang membuat jantung ciut.

Aku hanya bisa memelukmu agar kau tak terlalu takut, tapi tetap saja permen yang di-emut. Padahal, seluruh kulitku tidak kalah kecut dengan yang kau emut.

***

"Ada aku yang akan melindungimu dari suara petir yang menakutkan," bisikku pada telinga kirimu, "Dari derasnya hujan yang mungkin telah menggenang dibawah ranjang."

Permen di mulutmu telah habis. Kau mulai mengemut sebagian tubuhku, melumat semua yang terasa kecut. Aku keenakan dan kau makin tak karuan. Kau angggap punyaku adalah lolipop.


Sore yang terguyur hujan cukup deras.

Proses dan Pesta Demokrasi di Negeri Ini

By : Harry Ramdhani
Bagi kalian - kalian yang lebih mementingkan proses daripada hasil, mesti liat salah satu proses demokrasi di Indonesia, deh: Pemilu.

Sejak awal pemilu digelar, saya masih terlalu kecil memahami semua tentang politik; tentang pesta demokrasi yang sesungguhnya; tentang orang-orang yang akan dipilih kala itu.

Impian saya kala itu adalah bisa berdiri di balik bilik suara dan menunaikan hak (pilih) saya. Yup, saya benci dengan orang - orang yang senang memilih dalam Golongan Putih.

Dasar bodoh, gol-put pun pilihan, bukan? Pilihan untuk tidak memilih siapa pun.

Sekarang umur saya sudah 22 tahun. Saya sudah merasakan ikut di dalam proses demokrasi itu. Saya pernah ikut dalam Pemilihan Legislatif, Presiden, Bupati, dan… pemilihan Kepala Desa saya tidak ikut, karena jarak rumah saya dengan TPS jauh.

O ya, sejak saat itu saya sangat apatis terhadap gambar yang tertera di sana (baca: surat suara). Kertasnya saja lebih lebar dari meja belajar yang saya punya. Saya tidak tahu apa yang akan mereka lakukan jika terpilih nanti, tapi saya mesti memilih mereka. Ibarat kisah cinta Siti Nurbaya. Terpaksa. Tapi tak apa, saya sadar kalau saya adalah pemula. Pemula di dunia politik Indonesia.

Itu semua berlanjut sampai sekarang, sampai di mana saya ingin duduk manis di TPS sambil melihat proses pesta demokrasi sendiri. Seperti apa proses dan pesta demokrasi itu?


 

PROSES DEMOKRASI

Proses demokrasi di negeri ini, ya soal duduk - duduk menunggu jam kerja selesai. Itu yang sering dilakukan oleh para anggota KPPS di setiap TPS. Pantas saja kalau yang dihasilkan dari proses demokrasi itu, ya orang - orang yang doyan duduk sambil menunggu jam kerja selesai.

Tidak ada yang mesti dikerjakan. Bahkan, ketika saya sedang duduk dan sekedar nongkrong, ada dua orang bapak-bapak yang asyik bertukar pendapat. Saya suka itu, karena selalu diakhiri dengan kata sepakat. Tanpa perlu perang saraf dan urat.

Katanya, mereka lebih suka jaman Orde Baru. Jaman di mana kita nurut-nurut saja. Kala itu, untuk memilih pemimpin daerah langsung ditunjuk olehnya (baca: Pak Harto). Siapa yang ditunjuk? para Purnawirawan yang sudah bebas tugas. Kalau jaman sekarang, ya pengangguran. Purn. Letkol ini ditunjuk untuk memimpin daerah sini, Purn. Letkol ini memimpin provinsi ini. Artinya, masuk ABRI ketika jaman Orde Baru adalah program jangka panjang untuk menyambung hidup dan tanpa perlu takut kelaparan ditengah bulan. Tidak ada korupsi yang meraja lela, karena yang korupsi cuma satu: Presiden Orde Baru.

Lihat sekarang, gara-gara demokrasi korupsi semakin tidak terkendali. Lembaga ini korupsi ini, Departemen itu korupsi itu, dan semua Legislator memantau dan mengawasi korupsi supaya pembagian sama rata antar konstitusi.

Saya tidak pedulikan mereka. Toh, nasi sudah matang, saya ingin makan dan coba cari lauk-pauk yang bisa dijadikan pasangan makan hari ini.

PESTA DEMOKRASI

Kenapa coba pesta demokrasi? apa sekedar memilih para politisi untuk memimpin negeri ini? Saya akan coba cari tahu sendiri.

Pesta adalah soal makan - makan di negeri ini. Ada pesta artinya ada makanan banyak yang tersedia. Tidak perlu takut perut akan mengerucut, karena makanan di TPS seperti air di laut. Tidak akan sampai mata memandang jauh ke ujung. Setidaknya ini benar-benar terjadi di TPS tempat saya duduk saat ini.

'Uang capek' yang diterima oleh para anggota KKPS tidak masuk kantong sendiri. Uangnya dikumpulkan untuk makan-makan. Bahkan, ada beberapa warga yang bukan anggota KPPS ikut nyuman beli makanan.

Yup, ini baru Pesta Demokrasi. Pesta para rakyat. Pesta untuk semua, tanpa perlu saling sikut dan tebar fitnah sana sini. Bukan pesta para pejabat yang rela membuang-buang uang untuk mendapat dudukan. Buka pesta para politisi yang berharap dipilih dan memimpin negeri ini. Setidaknya orang miskin sekalipun bisa merasakan perutnya kenyang, walau itu terjadi tiga tahun sekali… saat pemilu.


Ditulis di Perpustakaan @TerasBaca, yang hari ini berubah jadi TPS 48; antara RT 12 dan RT 09.

Diterangi Kekasih Gelap

By : Harry Ramdhani
Bahkan, kekasih gelapmu sedang duduk di taman, diterangi sinar bulan. Lebih baik kau pulang dan temani aku yang sendirian.

Karena dingin selama penantian panjang untuk sekedar berharap kau pulang berbeda dengan dingin selepas hujan. Lebih menusuk kerangka tulang, juga hati yang membeku oleh kasih sayang. Ini tidak bisa dibiarkan kalau memang ingin dipertahankan.

Bagiku, kau memiliki kekasih gelap bukan jadi persoalan. Perlu diingat, tidak selamanya perselingkuhan berawal/berakhir di ranjang. Paling hanya sebatas makan malam atau sekedar teman bicara ditengah malam, saling bertukar cerita sampai pengalaman dalam bercinta. Itu saja.

***

 

"Lagi di mana? Aku sudah siapkan makan malam." Kulayangkan pesan singkat. Semoga maksudnya kau dapat yaitu segeralah pulang.

Tapi dengan cepat kau balas pesan singkatku lebih singkat: "Satu jam lagi aku telepon."

Kesibukan. Yup, itulah penyebab terjadinya hubungan gelap.

Aku menunggumu bersama sajian makan malam kesukaanmu: Kepiting saus tiram. Sesekali aku mainkan cangkangnya. Kujepitkan jemariku. Berharap terasa sakit dan sadar ini bukanlah alam mimpi.

Lilin merah yang menyala sudah hampir padam. Tidak ada nyamuk, yang ada hanyalah keresahan. Resah menunggumu pulang dan kita bisa kembali bersama-sama makan malam. Wine yang tadi aku beli di super market-pun mungkin sudah berubah rasa jadi sirup, manis saja yang terasa tapi, sedikit menggelitik di tenggorokan. Ayolah berdering telepon genggam. Aku ingin dengar kabarnya yang segera pulang.

***

Suaramu sungguh jauh, mungkin kau loudspeaker ketika menenpon. Lebih terdengar sehabis menangis. Atau memang benar kau habis menangis? Aku tidak tau.

Seperti biasa, kau bicara panjang lebar tentang klienmu itu. Klien yang merangkap kekasih gelap. Sulit memang berhubungan dengan seorang yang melihatmu sebatas objek, objek kesenangan, bukan subjek atas kebahagiaan.

"Proyek…, proyek yang selama ini kita kerjakan bersama mesti diakhiri. Alasannya ini-itu tapi, tidak bisa Ia jelaskan satu per-satu," kau bicara terlalu cepat hingga aku sulit untuk menangkap, "Aku tidak percaya ini. Aku…, aku sungguh mencintaimu. Tolong jaga semua rasa yang tersisa. Maafkan aku yang sering mengesampingkanmu. Membuatmu di belakangku selalu. Padahal, kau 'lah pijakan hatiku."

Aku sandarkan kepalaku di atas meja dan menaruh teleponku di samping kepiting saus tiram kesukaanmu. Biarlah makanan kesukaanmu yang mendengar segala keluh-kesahmu.

Ketika Oposisi Bertindak

By : Harry Ramdhani
Untuk kesekian kalinya manusia dipertemukan dengan cinta. Dan, dengan jumlah yang sama juga manusia dibuat sakit olehnya. Sakitnya jatuh karena cinta.

Terlalu manis kau buat pendekatan dan terlalu pahit kau akhiri perpisahan. Seperti menendang keras bola, tapi malah memantul balik ke muka. Hentikan. Hentikan dan tidak perlu diteruskan.

***

 

Ah, Pemilu, sudah banyak rakyat yang tertipu. Kalau bukan, pasti sudah tidak ada lagi orang yang mengemis gunakan sapu. Tapi aku tidak ingin diam dengan tidak ikut memilih. Aku ingin gunakan hak suaraku. Walau (nanti) masih ada orang yang mengatur kemenanganmu.

Kecintaanku terhadap negeriku tidak bisa dihalang-halangi olehmu. Apapun jabatanmu; seberapa pun jumlah korupsimu; sama sekali bukan urusanku. Urusanku adalah merawat negeri ini dari hari ke hari.

Perubahan bukan di tanganmu, tapi ditanganku dengan segala upayaku. Kesejahteraan bukan dipundakmu, tapi di pundakku ketika aku sadar bahwa banyak yang menderita olehmu. Keadilan bukan di meja kuasamu, tapi di atas tanah tempatku berpijak; di atas tanah semua orang yang berdiri tegak.

Mungkin kau punya segalanya nanti ketika menjabat. Tapi tidak bisa kau dapatkan empati dari pergolakan rakyat. Rakyat yang terus berdikari tanpa kenal henti, tanpa kenal waktu untuk berdiskusi memajukan negeri ini.

Kau bisa lucuti semua harga diri negeri tanpa perlu tahu akan seperi apa masa depan nanti. Aku takut jika terus berdiam diri. Aku takut rakyat lupa ini sudah pagi karena lapar tapi tak kunjung bertemu nasi. Aku takut jika benar semua terjadi.


Perpustakaan Teras Baca, dengan hadiah-hadiah kecil yang menumpuk.

Tanpa Dasar Kuberpijak

By : Harry Ramdhani
Dasar, tidak berlaku padaku. Aku diajarkan untuk tidak mengenal itu. Biarkan aku berdiri atau tenggelam lebih dalam.

Pula, Pancasila bukanlah dasar untuk hidupku. Pacasila adalah atap yang melindungiku. Dan, bila Indonesia masih mengganggap bahwa Pancasila adalah dasar dari segala dasar hukum, maka teruslah kalian 'stak' di tempat. Sampai kapan ingin jadi negara berkembang? Jujur, aku bosan.

Aku tidak ingin mengajak kalian untuk ikut denganku. Karena mengajak rentan akan dibilang sesat jika tidak sependapat. Ini sikap.

***

 

Malam ini hujan turun lebih deras dari biasanya, di musim kemarau. Di mana sudah saatnya hujan tak sering menampakan diri. Tidak perlu bingung, turunnya hujan karena itulah urusan Tuhan.

Tiga hari yang lalu aku bertemu kakakmu, Adrianus, di sebuah kedai kopi tempat kita bertemu dulu. Ia banyak bercerita tentangmu, tentang hubungan kita, tentang akan seperti apa kedepannya nanti. Jujur, aku tidak terlalu bisa menjawab semua pertanyaannya. Karena aku sendiri tidak tahu.

O ya, asal kamu tahu, kita tidak janjian sama sekali. Ketika aku selesai meeting dengan beberapa tim kerjaku, aku lihat kakakmu sedang duduk sendirian sambil memainkan laptop berwarna hitam. Tampak serius dan lebih serius daripada singa memperhatikan mangsanya. Entah apa yang Ia kerjakan, tentunya aku mendatangi dengan menawarinya rokok yang kita sama-sama isap. Seperti itulah rokok, bisa mempersatukan tanpa perlu awalan yang penuh basa-basi.

"Kurang tidur, yah?" tanyaku.

"Bukan kurang, tapi memang belum," kakakmu mulai mengesampingkan laptopnya "Dengan Putri kau kemari?"

"Tidak. Tadi aku baru selesai meeting di sini dan melihatmu sedang sibuk sendiri."

Lewat pertanyaan itulah kakakmu mulai membicarakan segalanya tentang kita.

***

Aku masih tidak bisa percaya, kakakmu mungkin terlalu berharap lebih padaku. Aku tidak suka apapun yang berlebihan, begitu agamaku mengajarkan.

Hubungan ini mesti diakhir dengan kesepakatan kita berdua. Lanjut atau berhenti. Mengalah atau bertahan. Seperti itulah cinta bicara. Seperti itulah keyakinan kita yang berbeda. Aku seperti sedang dihimpit bebatuan. Bebatuan besar yang bernama: kenyataan.

Aku sungguh mencintaimu. Dan, terakhir aku dengar, kamu juga mencintaiku. Semoga ini bisa tetap kita pertahankan sampai orang-orang ikut campur tangan. Agama biarlah tetap berdiri di setiap keteguhan hati. Karena aku mencintaimu tanpa sebab, tanpa akibat, tanpa dasar yang kuat.

Akan aku jalani terus seperti ini, mencintaimu.



Perpustakaan Teras Baca, dengan buku yang berserak.

Introspeksi Diri

By : Harry Ramdhani
Kalian pernah masuk kamar mandi umum kemudian masih ada kotoran yang mengambang? Aku tahu rasanya melihat 'sesuatu' yang tidak semestinya ada, tapi terlihat oleh mata. Dan, itu sama saja seperti polisi yang sudah mendapatkan jejak terduka, tapi ketika sampai ia malah sudah tidak ada.

Kurang ajar memang orang yang menggunakan fasilitas umum tapi, tidak bertanggung jawab. Itu bukan miliknya, namun apakah karena itu ia ogah memperlakukan hal yang sama pada apa yang ia punya?

***

 

Kejadian tiga hari yang lalu mungkin tidak akan kulapakan. Kejadian yang membuatku sadar bahwa semua milik-Nya, bukan seutuhnya milik kita.

Kau bilang sedang di rumah. Sakit. Tidak enak badan. Tapi aku malah melihatmu duduk dengan bahagianya sambil tertawa memegang gelas besar berisi ice coffee.

Saat itu aku murka. Untuk apa kau berbohong kalau jujur itu lebih membuat tenang?

Aku tidak suka dibohongi, apalagi oleh orang yang sudah kuanggap sebagai teman sehidup - semati. Cukup aku dibohongi oleh para politisi, bukan olehmu, Dini.


MEMBIARKAN kalian terus bersama jadi pilihanku. Tentunya tanpa sepengetahuanmu.

Melihatmu asyik tertawa malah membuatku pedih sendiri dibuatnya. Aku cemburu buta. Aku tidak akan membalas perbuatanmu dengan pergi bersama wanita lain dan membuatmu cemburu. AKu juga tidak suka dendam, karena mendendam tidak akan menyelesaikan permasalahan. Malah urusan bisa semakin panjang.

Kau melihatku yang sedang duduk memperhatikanmu. Aku tahu, pasti itu malu. Kau malu karena telah membohongiku. Kau malu karena pergi dengan orang yang aku sendiri tahu. Kau malu akan berikan alasan apa nanti denganku.

Sayang, aku terlanjur mencintaimu. Memaafkanmu adalah pilihanku. introspeksi diri untuk kedepannya nanti.


Di kamar #peang ketika hujan.

Disosor tanpa Sensor

By : Harry Ramdhani



Semoga para peternak tidak lupa memberi pakan pada soang-soang miliknya supaya tidak lagi 'nyosor' menakuti orang-orang. Walau aku sendiri belum pernah disosor soang, tapi aku tahu betapa menakutkan soang ketika sedang menyerang.

Ia rendahkan kepalanya, seakan mangsanya lebih tinggi darinya, dan ketika sudah dekat tidak (lagi) perlu berharap akan selamat. Pasrahkan pada Tuhan.

Sama halnya dengan (calon) pejabat. Semoga ia sudah lebih dulu kenyang sebelum menjabat. Supaya tidak lagi 'nyosor'. Sungguh itu sama menakutkannya dengan disosor soang.

Memang saya sendiri belum pernah merasa jatah yang kupunya disosor pejabat. Tapi ketika saya lihat sekitar, saya tahu, ini pasti ulah pejabat.

Harga pupuk melambung tinggi dan petani mengembungkan perut, kurang gizi. Biaya sekolah untuk sebulan bisa melebihi biaya bulanan para ibu untuk memasak makanan anggota keluarganya yang kelaparan. Dan, para pengusaha kecil menengah kebawah, terakhir kudengar banyak sektor sahamnya dipegang oleh pihak asing.

***

Harap tenang. saya sedang jalan perlahan supaya tidak dilihat soang. Saya takut disosor olehnya. Biarkan Ia (baca: soang) sibuk mencari makannya sendiri dan tak perlu lagi (berpikir) takut kalau jatahnya ada yang hilang.



Di kantor Sekretarian Fisikom, saat Senja turun dengan indahnya.

Tanpa Alasan, Demokrasi Sebatas Angan

By : Harry Ramdhani



Hidup mesti punya mimpi dan harapan itu sudah tidak jaman. Namun, hidup tanpa alasan sama saja pergi ke rumah makan tapi tidak bawa uang.

***

Baru saja berjalan sepuluh meter dari rumah, tapi lingkungan sekitar sudah menatapku dengan sinis. Bagi disebagian daerah yang masih tertinggal, dipenjara merupakan hukuman paling murka. Melebihi pengangguran yang jadi sampah masyarakat.

Setiap tindakan pasti ada alasan. Sepertiku, dipenjara karena adanya kesalah-pahaman. Hanya sekedar menguak masa lalu, kemudian aku dilaporkan ke pihak yang berwenang. Begitu cepat proses di kejaksaan dan aku langsung dijadikan tersangka kejaksaan. Tinggal menunggu proses sidang di pengadilan. Mungkin karena yang melaporkan adalah politisi kondang. Coba yang melapor tukang asongan, dengan perkara yang sama tapi perlakuannya pasti berbeda.

Dasar masyarakat terbelakang. Demokrasi bagi kalian hanya soal perut yang kenyang. Persoalan yang lain kalian anggap urusan Tuhan.

***

Aku tahu, banyak orang diluar sana mendukungku. Ada di belakangku untuk tetap tidak tinggal diam melihat tindak politisi yang makin tidak karuan. Lebih baik diam sejenak di penjara daripada mesti terus melihat kemunafikan masyarakat terbelakang seperti kalian.


#FREEbenhan

Tak Terjadi Apapun

By : Harry Ramdhani

Sudah saatnya menyatakan cinta. Tanpa ada lagi tekanan dalam pikiran dan perasaan. Membiarkannya mengalir sampai akhir tujuan: Pernikahan.

***

"Maaf terlambat." kataku yang mencoba datang lebih cepat walau pekerjaan masih menumpuk di sana-sini.

Aku tidak punya banyak waktu lagi untuk terus memendam perasaan ini. Minggu depan kau sudah fix untuk meninggalkan tanah pertiwi. Semua alasan perempuan sama ketika ingin pergi: meniti karier demi masa depan. Padahal sama saja dengan di sini. Bilang saja ingin jalan-jalan, untuk apa mesti disembunyikan? Malu akan gelar pendidikan?

"Tidak masalah. Kemacetan kota tidak selalu bersahabat," katamu yang memang sedikit bisa menenagkanku. "Sebenarnya ada yang ingin aku bicarak juga denganmu, tapi… lebih baik kamu memesan minum dulu."


PEMBICARAAN kita semakin serius. Semakin menjurus. Bahwa cinta tidak bisa berjalan mulus, bahkan di jalan yang sudah lurus. Kita mengakhiri dengan sebuah kecupan. Kecupan perpisahan, pintamu itu.

Kau pergi dengan membawa mimpi. Dan, aku kembali dengan pekerjaan yang sudah ditunggu untuk esok hari.

September Ngawur

By : Harry Ramdhani

Saya akan mengawali ini dengan mengutip dari sebuah kutipan mbak Rosiana Silalahi untuk buku 'Ngawur Karena Benar' - Mbah Tejo, "Normalnya, melihat kengawuran itu meyebalkan. Namun, saat yang disebut normal itu justru merusak akal sehat, lalu kita mau apa? Di sinilah mengapa seorang Sujiwo Tejo ada. Ia berani ngawur, menabrak batas normal yang sering penuh kengawuran."

Yup. Dengan ngawur, seakan semua tampak benar. Karena ngawur adalah titik di mana kita bisa jujur pada diri sendiri. Meniadakan pemikiran yang kita (kurang) sepakati.

Bulan September ini adalah bulannya Ngawur. Ketika deadline datang dari segala penjuru, maka dengan ngawur bisa diselesaikan dengan segera. Ngawur itu jujur.

Nah, kalo ada yang pingin ikut ngawur terus di tulis di blog, ini tema-tema untuk #SeptemberNgawur:

1. Ngawur
2. Ngawur
3. Ngawur
4. Ngawur
5. Ngawur
6. Ngawur
7. Ngawur
8. Ngawur
9. Ngawur
10. Ngawur
11. Ngawur
12. Ngawur
13. Ngawur
14. Ngawur
16. Ngawur
17. Ngawur
18. Ngawur
19. Ngawur
20. Ngawur
21. Ngawur
22 - 30: Ngawur

Kabeeeeeh ngawur, cuuuuuk!! Tidak perlu waktu lama untuk mikir ngawur. Tenang.

ketik: #SeptemberNgawur | Judul | Link | cc: @TerasBaca

Pelacur Jalan

By : Harry Ramdhani
 

Mulai hujan.
awan mendung
teteskan kesedihan.
petir berteriak
karena tak tahan,
ada yang datang
membawa penyesalan.

perpisahan ditandai
dengan turun hujan.
airnya tersendat
di hati terdalam,
tersangkut picisan
juga bualan.
namun inilah kehidupan
dan betapa getirnya kenyataan.

semua adalah pilihan.
tidak ada wanita
rela pergi tanpa
pakaian. tanpa celana dalam.
kecuali kupu-kupu malam.

kisah perpisahan dengan pelacur jalan.

Mengekang wanita dengan memintanya tidak selingkuh itu keterlaluan. Wanita, selain menjaga perasaan, juga menjaga selangkangan.

Jadilah pelacur profesional. Ketika sudah dibayar, layani sebagai Tuan, bukan orang yang disayang.

Terlelaplah semua wanita karena kelelahan. Karena terlalu sibuk melayani bangunan tiang vatikan. Bangunlah nanti setelah badan sudah tampak bugar, setelah Tuan datang mengetuk pintu kamar.



Perpustakaan Teras Baca, 4 September 2013

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -