The Pop's

Archive for 2019

Sudahkah?

By : Harry Ramdhani
bukan sekadar, buat nyang butuh, ini lebih dari segala hal.

Sudahkah di tempatmu ada seorang mustahik alias orang yang berhak menerima zakat, tapi dikecualikan hanya karena (1) berbeda pilihan politik dengan pengurus dan/atau pengelola zakat? Atau, yang lebih buruk lagi, (2) mustahik tersebut tidak mendapat haknya karena ia poligami dan miskin? Tentu orang-orang tersebut acapkali dianggap buruk dari berbagai lapisan masyarakat sosial. Hanya karena ia membela atau membicarakan politik dalam kesehariannya, mustahik tersebut tidak mendapat zakat. Hanya karena ia memiliki lebih dari satu istri dan dianggap bukan lelaki setia atau ia seorang wanita yang (mau) dimadu tapi kemudian tidak diperhatikan oleh suaminya, maka keluarga mereka, yang poligami dan dipoligami, jadi tidak mendapat pembagian zakat. Apalagi hanya karena sekadar (dianggap) buruk oleh lingkungan sosial, mereka jadi tidak mendapat zakat. Jujur, aku sampai tidak habis pikir ketika nama-nama mustahik itu dicoret. Jika hal tersebut terjadi di tempat tinggalmu, jelaskan saja ini: (1) fakir, orang yang tidak memiliki harta; (2) miskin, orang yang penghasilannya tidak mencukupi; (3) riqab, hamba sahaya atau budak; (4) gharim, orang yang memiliki banyak hutang; (5) mualaf, orang yang baru masuk Islam; (6) fisabilillah (pejuang di jalan Allah; (7) ibnu sabil, musyafir dan para pelajar perantauan; dan (8) amil zakat, panitia penerima dan pengelola dana zakat. Jadi sila tempatkan orang-orang tersebut pada delapan (8) kriteria tersebut. Buatku itu sudah cukup. Tetapi jika memang orang-orang tersebut pada akhirnya menerima dan ocehan kalian tidak henti-hentinya mencibir, semoga ada yang bulan latihan lain buat kalian, selain ramadan.
Tag : ,

Sebuah catatan tentang seorang laki-laki yang tidak memakai dompet

By : Harry Ramdhani
nasi goreng enak: rindu malam. lokasinya di depan kantor kompas gramedia, palmerah barat.

Beberapa temanku, sampai hari ini bahkan, masih suka terheran ketika aku mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam saku dalam kondisi yang menyedihkan: terlipat tidak kruanan. Dan karena itu pula aku jadi sering mengulang alasanku, bahkan pada orang yang sama, melakukan hal itu. Satu alasan yang utama adalah aku tidak suka menggunakan dompet. Sejak dulu bahkan. Sejak aku mulai mengenal dompet bisa dugunakan untuk menyimpan uang, selain celengan di rumah. Apalagi setelah aku mulai sering mengumpulkan uang jajan sekolah yang kemudian uangnya aku gunakan dengan sia-sia. Mentraktir makan pacar, misalnya. Sejak saat itu aku jadi akrab dengan dompet. Setidaknya aku menjadi laki-laki umum lainnya: di mana di saku celana belakangku akan terlihat sedikit membungbug karena tersimpan dompet. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Nyatanya aku tidak suka. Alias tidak nyaman ada yang mengganjal di kantung celana. Seperti ada kepalan tangan yang sedang menempel di bokong. Ih!!! Karena itu pula akhirnya aku tidak lagi menaruh dompet di celana dan aku ganti dengan menaruhnya di tempat lain: tas. Ternyata itu tidak menyelesaikan permasalahan, justru membuat dua (2) permasalahan baru, yaitu (1) aku jadi suka membawa tas ke mana-mana dan (2) setiap ada urusan bayar-membayar aku jadi suka membuka-tutup tas. Melelahkan dan ribet. Namun, pada satu kesempatan aku terselamatkan saat di mana aku jarang --atau tidak punya-- uang. Aku jadi tidak akrab dengan dompet. Dompet jadi sesuatu yang-tidak-ada-pun-tak-mengapa. Aku masih bisa baik-baik saja asal masih bisa beli rokok dan kopi dan buku dan jajanan murah pinggir jalan lainnya. Setidaknya uang yang kupunya sebatas untuk itu. Kantung celana, tentu saja, masih memungkinkan untuk itu. Kebiasaan ini ternyata mengikutiku sampai aku bisa punya penghasilan sendiri. Setiap ada kiriman uang bulanan, aku jadi suka mengambilnya sedikit untuk yang aku perlukan saja. Kalau ada kebutuhan lain, semisal mengetahui akan ada antrean di banyak mesin ATM, maka pada satu waktu aku akan mengambil uang dalam jumlah yang sedikit lebih banyak dari biasanya. Uang tersebut tetap aku simpan di kantung celana, tentu saja, sampai pada waktunya teman-temanku akan melihat aku mengeluarkan lembaran uang ratus ribuan dari dalam kantung celana, lalu ditanyakan lagi kenapa. Maka, bila laki-laki itu dinilai dari model dompet yang digunakan dan/atau isi dompetnya, tidak dinilaipun aku tidak mengapa. Sebab, dompetku akhirnya menjadi tempat di mana aku menyimpan segala macam tiket nonton bioskop, tiket nonton konser dan lain sebagainya yang pernah aku lalukan untuk sesuatu yang sia-sia, dulu, bersama pacar. Oh, bukan, barangkali mantan, lebih tepatnya.
Tag : ,

Lelucon (tentang) pemilu serentak 2019

By : Harry Ramdhani

Aku punya dua lelucon tentang Pemilu Serentak 2019: (1) ketika kerja petugas KPPS disamakan dengan tim kreatif Trans TV atau Net. oleh seorang yang namanya ada di Wikipedia; (2) bahwa tahun 2024 kembali diadakan pemilihan umum dan diselenggarakan oleh lembaga yang sama yang telah secara tidak langsung membuat 90 orang meninggal dan 300 orang lainnya sakit. Tidak lama, ahirnya finally, sebutan "pejuang demokrasi" muncul. Jika ada nyang lebih lucu dari ini tolong kabari. Aku tak ingin ketinggalan lelucon 5 tahunan ini.
Tag : ,

Seberapa kuat aku menerima kehilangan?

By : Harry Ramdhani
huntinghuji - jalan.

Setidaknya sudah 2 malam, sebelum aku dan peang tidur, kami saling mengelitiki. Bercanda. Sampai kami lelah. Dan tidur. Begitu juga yang terjadi di malam ketiga. Bedanya setelah peang tidur, kali itu aku memikirkan sesuatu: akan sampai kapan kami bisa bercanda seperti ini sebelum tidur? Pertanyaan itu membuatku keluar dari kamar. Menuju teras. Membakar satu batang rokok dan berusaha menjawab pertanyaan tadi. Tidak ada yang aku temukan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lewat. Aku bakar rokok kedua. Sambil memikirkan itu aku coba merealisasikan apa yang aku bayangkan. Begini. Sekarang peang sudah kelas 3 SD. Sebentar lagi dia naik kelas. Dan begitu seterusnya. Bukan sekadar naik kelas, tentu saja, peang akan bertambah usia dan dewasa dengan sendirinya. Lalu aku membayangkan: apakah peang masih mau bercanda seperti itu, sebelum tidur, jika ia sudah kelas 6 SD, misalnya? Aku tidak yakin, mesti itu masih mungkin. Kenapa? Sebab aku ingat bagaimana dulu aku seusia itu. Aku masih "ngekor" gomah ke mana-mana. Kadang tidur dengannya. Nonton tv masih suka dimeminjam pahanya. Dekat. Sangat dekat --bila tidak ingin dikatakan aku ini anak mami, tentu. Dan itu aku bisa bayangkan terjadi hal serupa oleh peang. Itu jika aku bayangkan yang aku inginkan. Bagaimana jika tidak? Bagaimana kalau peang sudah kelas 4 SD, ternyata ia bahkan sudah tidak ingin tidur denganku? Tidak akan ada lagi keisengan-keisenganku sebelum tidur. Atau yang lebih menyedihkan: peang itu kalau tidur sukanya kalau tidak dipeluk, ia yang memeluk. Kadang, ketika aku masih kerja sambil menemani peang tidur di sebelahku, ia akan dengan sendirinya memiringkan badan dan memelukku. Tentu aku akan kehilangan. Tanpa terasa aku sudah menghabiskan 3 batang rokok dengan sekotak susu UHT rasa cokelat. Aku takut semua yang aku bayangkan terhadap peang menjadi kenyataan dalam waktu dekat --jikapun masih lama dan bila waktunya tiba apakah aku akan dan/atau sudah siap? Tidak. Tentu aku tidak siap. Rokok keempat sudah di tangan, tapi aku mesti tidur. Itu sudah hampir pukul 2 dan besoknya aku mesti berangkat pagi. Aku masih memikirkan itu dan pada kondisi yang sama. Tapi tiba-tiba terbersit pikiran untuk datang aksikamisan. Apa aku datang ke aksikamisan saja? Yha. Paling tidak datang dan menyaksikannya dari jauh bila aku tidak mampu mendekat, berkerumun dengan para penyintas dan peserta lain. Aku hanya ingin tahu: bagaimana tetap mampu menyikapi sebuah kehilangan? Paling tidak melihat mereka yang sudah terlebih dulu kehilangan, bukan oleh waktu, tapi kenyataan. Dan tadi, sialnya, aku datang dan aksikamisan telah selesai. Tidak ada sesiapa, kecuali aku, di sana dengan membawa pikiran yang sama. Seberapa kuat aku mampu merelakan kehilangan?
Tag : ,

Belerdikari, antara Dany Beler dan Komedi Hari Ini

By : Harry Ramdhani

Ahirnya finally: satu per-satu komika (asal) Bogor membuat mini show stand-up comedy. Sesuatu yang (mungkin) sudah lama ditunggu --aku adalah satu di antara mereka itu. Sebelumnya, jika masih ada yang ingat, ada Kang Irawan, lalu yang belum lama ini Ridwan Remin. Baru 2 itu saja? Yha. Tapi dalam rentang waktu tersebut ada beberapa pertunjukan kolaborasi lainnya seperti Bergamis (Bercandaan Gang Mini Show), BlueNite, dan teater musikal ala stand-up comedy. Tidak hanya itu, masih ada Komika lain yang singgah ke Bogor untuk melakukan tur: Pandji dan Ernest. Tapi kini, pada Sabtu (23/03/2019) akhirnya Beler mencoba dirinya membuat stand-up special. Belerdikari, namanya. Tentu ini langkah besar, karena paling tidak ada dua hal yang membuatku menyimpulkan itu, (1) bisa merangsang setiap komika bahwa mereka mampu dan bisa dan sanggup untuk membuat stand-up special sendiri. Aku tahu ini tidak mudah. Jikapun ingin asal-asal saja, paling tidak, butuh keseriusan lebih. Beler itu... entahlah, sampai saat ini aku tidak sekalipun melakukan hal serius dengannya. Perkenalan dengannya selalu diisi dari satu kelucuan hingga kelucuan lain. Barangkali itu yang membentuk Beler sampai hari ini menjadi seorang Komika yang penuh guyon(an). Bukan. Tentu ini bukan seputar teman kita yang sering melucu ditongkrongan agar supaya menjadi pusat perhatian. Beler lebih dari itu, ia (jika boleh berlebihan) ada memang untuk melucu di tengah orang-orang melucu tersebut. Orang lain berusaha melucu, ia sudah lucu. Celetukannya, ceritanya, dan caranya menanggapi apa yang tengah diperbincangkan kadang jadi sesuatu yang ditunggu. Beler yya begitu itu --setahuku. Tentu aku masih ingat kali pertama melihatnya mencoba materinya ketika open mic. Kisah tentang penjual somay yang begitu lucu. Konstruksi komedinya memang seperti cerita: ada pembukaan, kejadian, momen, dan hal-hal bodoh yang menyertai. Juga tentang cerita teman-temannya yang suka mabuk-mabukan itu. Jokes tersebut pernah ia bawakan saat bersaing di SUCI 7, tetapi tidak utuh. Aslinya cerita tersebut mencapai 5-7 menit sendiri. Itulah yang membuat Beler, menurutku, (2) sudah ada di barisan terdepan jika kita bicarakan stand-up comedy hari-hari ini. Begini, sadar atau tidak, kini banyak Komika membuat bentuk komedinya menjadi dua: reaksi dan cerita. Untuk yang pertama, tentu saja, seorang komika cukup memberitahu kejadian atau peristiwa yang belakangan ramai diperbincangkan lalu memberi reaksinya atas hal tersebut. Lazimnya memang sebatas umpatan. Sedangkan yang kedua, seperti yang sudah aku jelaskan diawal tentang Beler, kini banyak komika naik ke panggung bermodalkan membawa satu-dua cerita yang ingin ia bagikan kepada penontonnya. Entah cerita itu penting atau tidak, ada kaitannya kepada penonton atau tidak, yang jelas (mesti) menarik. Tidak banyak memang komika yang melakukannya. Hanya saja, dari yang sedikit itu, semuanya telah berhasil membuat antitesis atas dogma-dogma teknik berkomedi yang sulit dipelajari itu --dan tentu Beler adalah satu dari sekian sedikitnya komika tersebut. Bayangkan saja, ketika semua orang sibuk beropini dan meyakini opininya benar --sedangkan yang lain tidak-- masih ada satu kanal di mana kamu bisa mendapat seorang yang rela menceritakan hal-hal lucu kepadamu. Barangkali nanti Beler akan melakukan itu pada penontonnya di Belerdikari.

Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -