The Pop's

Archive for 2013

Kapalku (hampir) Karam Oleh Rindu

By : Harry Ramdhani

 tak mungkin aku bisa arungi samudra
jika bukan cinta yang jadi bahan bakarnya,
rindu jadi penunjuk arahnya,
dan setiap lekuk tubuhmu yang terpantri di dalam kepala
; jadi angin yang membawa supaya kelak kita bisa jumpa.

ombak adalah gejolak
semakin kuat dihantam
maka aku tak akan mengelak
bahwa kau adalah alasanku agar tak karam

jauh…,
jauh, tak kasat mata
pelabuhanmu tertutup kabut yang keruh
entah, sampai kapan rinduku sampai di dermaga

…rinduku dahaga
kapalku (hampir) karam karena rindu

awak-awak kapal itu hormonku
mereka sibuk menurunkan layar,
melempar jangkar,
melakukan semua, karena rindu telah mengakar

bila rindu mulai mengeluarkan akar
habislah sudah hidupku untuk memikirkanmu
selalu,
setiap waktu,
dari senja ada hingga nanti fajar.
Begitu seterusnya sampai kita jumpa.

kekasih,
apabila mana kapalku karam
tak perlu kau sibuk mencariku di jauhnya kedalaman
karena rindu telah buatku makin jatuh ke dalam kesedihan.



Perpustakaan Teras Baca, 30 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Senyum Kepulangan Pengemis

By : Harry Ramdhani





kekasih, aku adalah pengemis
yang nanti akan menjumpaimu dengan tangis
dengan muka yang memelas dan beragam kisah nan-miris

hujan adalah caraku menceritakan semua
karena hujan-pun sering berbisik pada
tanah yang kering, yang hanya bisa
didengar dan diucap dengan merana

kekasih, aku ingin pulang
mendekap erat harap
pada tirai-tirai kenangan

kekasih, yang aku takutkan
ketika jarang pulang adalah
tak lagi bisa melihat senyum-senyum
yang mampu buat hatiku tentram

izinkan aku kembali pulang pada kenangan
dan rintik hujan
akan mengiringi setiap langkah kepulangan
walau airmata yang jatuh pasti berceceran.





Perpustakaan Teras Baca, 30 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Saya, Orang Norak Belaga Ngopi

By : Harry Ramdhani


Waktu itu saya pernah cari-cari gambar tentang kopi di google-image untuk posting tulisan. Keyword apa pun saya kombinasikan dengan kopi. Hasilnya, tidak ada yang bagus. Entah apa, mungkin saya yang terlalu berharap tinggi akan menemukan gambar-gambar tentang kopi atau di-upload dari para penikmatanya yang sama fanatiknya dengan pembela agama dan sepak bola.

Awalnya saya pikir, kalau begitu banyak komunitas penikmat kopi dari ujung ke ujung Indonesia pastinya akan beragam gambar-gambar kopi yang tidak lagi standard; secangkir gelas dan orang yang meminumnya. Logikanya, semakin banyak penikmat kopi, maka akan semakin banyak gambar yang dibuat dengan kopi yang dijadikan objeknya. Tapi, semua gambarnya bagus, namun tidak ada yang cocok untuk tulisan saya. Hampir semua gambar hanya menyajikan beragam jenis kopi sampai penyajiannya yang terlalu istimewa. Terlalu berlebihan? Memang. Saat itu saya curiga, apa para penikmat kopi terlalu asyik menikmati kopi sampai tidak bisa melukiskannya dalam bentuk gambar-gambar yang jauh dari biasanya?

Kopi dan Saya

Semua orang suka minum kopi. Dari yang merokok sampai yang tidak. Bahkan, saya pernah mendengar guyon lawas, "Ngerokok gak ngopi, sama aja kayak mandi gak sabunan," Begitulah kopi yang diagungkan berlebihan. Saya pun demikian, jika ingin ngobrol panjang dengan saya, cukup sajikan secangkir kopi, maka kita akan berbincang lama; dari cantiknya Hani sampai buruknya Indonesia ini. Tapi, jika ingin ngobrol sebentar, cukup sebotol bir yang melengkapi obrolan kita.

Sejak kecil saya sudah minum kopi, bahkan lebih memilih kopi daripada susu saat SD kelas tiga. Untuk mencoba ngopi di warung kopi, saya sudah lakukan sejak kelas satu SMP. Bukan untuk ngumpet-ngumpet biar bisa merokok, tapi karena saya suka masakan mie instant-nya. Rasanya berbeda dari buatan rumah pada umumnya. Entah, padahal kata Kang Warkop, biasa saja, tidak ada yang dibeda-bedakan. Dan, baru akhir-akhir ini saja saya coba minum kopi di kedai kopi yang harganya berpuluh kali lipat dari harga kopi di warkop. Cukup menjengkelkan, karena saya tidak menemukan perbedaannya selain harga.

Suasana Ngopi

Jujur, saya lebih suka minum kopi di warkop. Kesederhanaan dari suasana yang dihadirkan tidak berlebihan. Berbeda dengan di kedai-kedai kopi yang mengedepankan aksesoris-aksesoris yang menurut saya tidak ada hubungannya. Lihat saja, hampir setiap kedai atau cafe kopi pasti selalu ada gambar-gambar The Beatles. Apa hubungannya The Beatles dengan kopi? Adanya wi-fi, colokan yang berserakan di setiap sudut ruang, dan obrolan yang berlebihan. Nguping obrolan mereka (di kedai kopi) rasanya ingin muntah.

Tidak hanya itu, ada juga beberapa penikmat kopi yang tadi sempat saya jelaskan di atas (yang sama fanatiknya dengan pembela agama dan sepak bola). Ada saja aturan sampai etika minum kopi, dari cara mengaduknya, cara meminumnya, mencampur gula di dalamnya. Alah, di warkop, Kang Warkop sudah lihai mencampur kopi dan gula; tahu takarannya.

Saat itu juga saya melihat ada pengemis yang masuk kedai kopi. Ia seorang anak kecil. Datang dengan menggopong karung dan menangis. Di sana ia malah diusir, dihina, dan dibiarkan begitu saja menangis (di depan saya) oleh pemilik kedai kopi. Walau pun mungkin kebanyakan orang tahu kalau anak kecil itu sudah ada pengasuhnya, tapi bagi saya tidak etis saja bila yang diserang adalah anak kecil itu. Wajarlah ketika anak itu diberikan makanan malah menolak. Dan, orang-orang di sana malah berpikir kalau anak itu lebih suka dikasih uang daripada makanan. Saya pun akan bertindak demikian, ketika saya sudah diusir, dihina, dan dibiarkan menangis maka tidak akan saya mau menerima apa pun yang diberikan. Saya lebih baik pergi. Ini soal harga diri.

Saya putuskan untuk membayar kopi yang saya pesan dan pulang. Di jalan, saya menyimpulkan, pemilik kedai-kedai kopi hanya baik kepada para pembeli di tempatnya, jika tidak, maka ia akan bisa lebih sadis dari Bawang Merah dan Ibunya seperti dalam dongeng Bawang Merah dan Bawah Putih. Lain cerita di Warkop kaki lima, kesederhanan ngopi sesama orang yang tidak punya apa-apa, bisa membaur dengan mudah. Tidak ada kesenjangan sosial, bila ada orang ada, maka ia yang turun ke bawah, dan orang yang tidak punya, tetaplah menjadi orang tidak punya tanpa pura-pura ada. Mereka datang untuk meminum kopi dan membicarakan hal-hal yang tidak berlebihan. Apa bila ingin mengkritisi negara pun dibuat menurut porsinya. Saya memang orang norak yang mencoba meminum kopi di tempat-tempat yang tidak semestinya.




Perpustakaan Teras Baca, 26 Desember 2013
gambar: dari sini

Kau, Bunga yang Tumbuh Malam

By : Harry Ramdhani


kau mengundang nafsu
dan nafsu diam-diam dibuntuti birahi
keduanya sulit dipisahkan
seperti manusia dengan bayangan

kekasih, hujan itu kau buatku penasaran
ada apa di balik pakaian
yang menutupi? Selain ingatan-ingatan kelam
di lokalisasi tempatmu dulu menjajakan diri

kau adalah bunga yang hanya hidup ketika malam
antara jam delapan sampai pagi nanti menjelang
matahari bersiap-siap kenakan seragam

maaf kalau aku menyebutmu pelacur,
kau datang mengahampiri di hati yang tengah hancur
oleh janji cinta di cincin yang melebur
dan kini menjadi lebih mirip bubur




Perpustakaan Teras Baca, 23 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Mata dan Tiga Detik Pertama

By : Harry Ramdhani

mata kita mata yang berkedip bicara
dari meja yang berjauhan
di antara gelas-gelas kopi yang pula berserakan
kedua mata saling curi-curi pandang

tatapanmu tak setajam tatapan elang
tapi, cukup menarik perhatian
kapan dan apa pun yang sedang diperbincangkan
mataku ingin sekali sekedar menoleh ke sudut ruang

kau duduk di seberang,
di sudut ruang,
yang diterangi cahaya remang-remang
matamu serasa mengajak untuk naik ke atas ranjang
andai aku tidak kuat iman,
mungkin sudah segera kulaksanakan

kau duduk di seberang,
mata kita saling pandang
tapi kau seperti duduk di sebelahku
menemani, atau bisa saja menaiki birahi
itu terjadi setiap tiga detik sekali
saat kedua pasang mata bertemu

katanya, selama tiga detik mata bisa saling bertatatapan
di situ awal rasa suka yang dapat berlanjut untuk menjalin hubungan.
Aku tidak percaya, dan kau pun biasa saja
hanya asap kopi mengepul yang sama

aku nikmati setiap tiga detik itu
kala bertemu dan mata kita bersatu
menjadikannya pengalihan perhatian
atas kebohongan-kebohongan yang daritadi diperbincangkan.




Rumah Kopi Ranin, 22 Desember 2013
gambar: dari sini

Tag : ,

Rindu, Lumut, dan Secangkir Kopi

By : Harry Ramdhani


Kekasih,
aku campurkan rindu di secangkir kopi.
aku aduk dan diamkan
hingga dingin kemudian dikerumuti semut.

Kekasih,
rinduku telah berlumut

sampai pelayan datang dua kali
aku masih duduk sendiri,
menunggumu kembali
bagai petani kopi menyiapkan karung besar untuk panen nanti.

Kepulanganmu sudah pasti
tapi, kapan? Aku tak tahu.
Aku hanya menunggu
dan secangkir kopi yang temani.

Aku adalah gula yang larut,
bayangmu adalah kopi hitam yang membuatnya semakin lebam,
rindu ini adalah bintik-bintik kopi yang menempel di bibir cangkir kopi.

Kopi yang dingin dan dikerumuti semut
itulah rinduku yang berlumut, kekasih.






Perpustakaan Teras Baca, 20 Desember 2013
Tag : ,

Aku Adalah Perindu Hujan dan Kau Menikmati

By : Harry Ramdhani


kekasih,
aku adalah perindu hujan,
karena menunggu itu menyenangkan

kekasih,
kau adalah penikmat hujan,
karena itu, ingatanku terjerat pada kenangan.
Kenangan memang tak bisa dilupakan
tapi, kerap datang ketika hujan

bagai pasangan muda hamil anak pertama
; bahagianya meluap-luap,
seperti itulah aku ketika hujan berjalan pelan
lalu menunggunya hingga reda

kekasih,
aku adalah pria yang memandang kosong
keluar jendela, hujan turun bersahaja
namun anginnya memeluk hingga tulang rusuk.
Dingin. Padamu, semuanya aku ingin.

kekasih,
kau adalah perempuan yang senang berlarian
ketika hujan, harapan kau basuh dengan rintik hujan
dan membiarkannya tumbuh di atas kepala

di dekat jendela, aku melihatmu kegirangan
dengan baju yang menjiplak pakaian dalam
aku ingat semua lekukan tubuhmu
tanpa pakaian; bercumbu malu.

oh, kekasih,
debu-debu di dalam kepala membatu.
Kaku. Yang aku genggam
adalah kenangan kita.

oh, kekasih,
semoga hujan biaskan tangismu
dan tumbuhkan tawamu,
di esok hari ketika hujan reda.




Perpustakaan Teras Baca, 19 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Investasi Jangka Panjang Bakriyadi

By : Harry Ramdhani
"Investasi jangka panjang Bakriyadi adalah tidak perlu mengeluh walau jarak, waktu, dan uang yang Ia punya mesti dihabiskan untuk belajar di panggung open mic."






Pagi itu saya datang untuk melihat Bakriyadi. Untuk Komunitas Stand-up BSI. Tadinya, saya beranggapan, ini adalah tipping point bagi keduanya.

Setibanya di BSI, ternyata suasanya jauh dari yang saya duga sebelumnya. BSI Bogor lebih terlihat ramah, walau mahasiswa BSI di mana-mana sama; nongkrongnya di pinggir jalan semua. Pohon yang rindang. Lalu lintas yang lancar dari kedua arahnya. Dan, mahasiswi-mahasiswi yang tidak asing lagi dilihatnya.

Bakriyadi pagi itu juga tidak seperti biasa. Ia lebih rapih, wangi, dan rambutnya disisir. Sebelumnya tidak pernah. Mungkin Bakriyadi seperti itu karena ini adalah penampilan perdananya di publik selain open mic. Kata HadaHitut, "Dia itu satu-satunya Komika yang ada di keempat video gua. Open mic-nya rajin banget."

GALAKSI, Gelaran Kreasi dan Seni adalah acara tahunan BSI. Semua cabang BSI di Indonesia melakukannya. Ini kali keempat di BSI Bogor. Acara yang sama seperti tempat akademisi pada umumnya. Semua yang ada hubungannya dengan pertunjukan seni digabung dalam satu event. Itulah penyebabnya acara-acara hiburan di tempat akademisi tidak menarik. Tidak ada benang merah yang bisa untuk disimpulkan. Namun, yang membuat ini berbeda adalah ada sepasang laki-laki yang memainkan lagu Efek Rumah Kaca. Ini cukup menarik, karena sebagus apa pun musik dan lirik Efek Rumah Kaca, jarang sekali (atau, mungkin tidak pernah) dibawakan.

Pas giliran Bakriyadi stand-up, semua bersorak. Tepuk tangan yang meriah mengiringi jalannya ke panggung. Bakriyadi punya improve yang cepat ketika di panggung. Kata-kata yang keluar dari mulutnya cepat sekali diproses lewat otaknya. Itu kelebihannya. Kekurangannya? Sebenarnya itu tidak terlalu penting, karena malah terlihat garing.

Tapi, ketika Bakriyadi stand-up, semua penonton tertawa. Tidak ada yang jaim menahan tawa. Jokes-nya mudah diterima khalayak dan diterima karena apa adanya.

Walau penguasaan panggung yang tidak bagus, tapi micing-nya seperti Komika-komika yang sering nampak dilayak kaca. Sempurna. Pagi itu Bakriyadi tampil mempesona.

Bukti bahwa sering latihan di open mic ada hasilnya. Meski Bakriyadi belum pantas menerima gigs stand-up comedy, tapi Bakriyadi pantas dijadikan contoh untuk Komika yang ingin terus belajar. Investasi jangka panjang Bakriyadi adalah tidak perlu mengeluh walau jarak, waktu, dan uang yang Ia punya mesti dihabiskan untuk belajar di panggung open mic. Satu minggu tiga tempat open mic, adakah yang bisa mengalahkan rajinnya?





Cafe Merah Putih, 18 Desember 2013

Kembali Hujan Di Awal Desember

By : Harry Ramdhani


kita telah bersama, kekasih,
kembali pada rindu-rindu terdahulu
ketika ingatan masa silam dipertemukan
oleh hujan
di bulan Desember itu.

kau adalah airmataku
; rintik-rintik hujan di pipi kiri-kananku,
yang sulit aku keringkan
karena telah menjadi kenangan.

anehnya, tidak ada pelangi setelah itu
aku harap ada sekitar tujuh bidadari
yang kemudian mandi
di mulut bibirku.

aku ingat semua ciuman-ciuman
yang sedikit hadirkan panas ketika hujan

kekasih, kebersamaan kita kini dilapisi dinding tebal,
dinding tebal itu adalah ego
pernah aku coba rubuhkan tembok tebal sampai kehilangan akal
saat itu pula aku telihat seperti orang bego.

sekarang aku menikmati hubungan ini
layaknya induk burung memberi makan anaknya
yang kembali hanya untuk menyuapi lalu pergi.



Coffee Toffee Bogor, 15 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Malam Puisi: Jazz & Poem Bogor

By : Harry Ramdhani
"Kesederhanaan adalah kemewahan yang tak ternilai; bila dibandingkan dengan uang sekalipun." 







 
Saya pernah datang ke #BincangBuku di Rumah Kata Indonesia. Di sana, yang saya dapatkan salah satunya yaitu banyak orang membaca (belajar formal) -yang kemudian hanya kepala yang diisi- sehingga kepala mereka terus terisi dan membesar. Besar kepala. Lain hal ketika mereka menulis, dengan sering menulis, hati akan terasa lapang -yang kemudian mampu menerima atau pun memberi dengan apa adanya- sehingga pintu dadanya terbuka secara lebar. Lapang dada. Salah satunya menulis puisi.

Lain cerita dengan Jazz, kata Ipung Bahri, "jazz selalu melahirkan sesuatu yang tidak terduga. Banyak kejutan didalamnya." Di sinilah semua bermula. Semua yang tidak pernah saya duga -dan mungkin semua orang yang datang- sebelumnya di Malam Puisi: Jazz & Poem Bogor.

Itu adalah hajat Idang Rasjidi Syndicate dan Rumah Kata Indonesia. Gelaran rutin setiap tahun untuk merayakan puisi dan jazz secara bersama. Saya tidak ingin mengartikan maksud dari nama tersebut, untuk membuka kamus-pun saya tidak ada niatan. Biarlah nama itu terlihat keren ketika disebut dan terlihat sok bisa bahasa asing. Toh, kata Kang Idang pun demikian.

Awalnya saya tidak pernah sekalipun melihat pagelaran Puisi yang dipadupadankan dengan Jazz, kalau musikalisasi puisi, pernah. Bayangan saya tentang puisi dan jazz bagai air dan minyak yang disatukan di satu gelas. Tidak menyatu.

Tapi, mungkin semua yang dibayangkan tidak semua bisa jadi kenyataan. Puisi dan Jazz saling mengisi walau berbeda waktu. Satu waktu menyanyikan lagu jazz, satu waktu membaca puisi dan satu waktu jazz dan puisi dilakukan bersamaan. Namun, keduanya saling memiliki kesamaan bila tadi diibaratkan dengan air dan minyak; sama-sama benda cair.

Acara yang menarik. Acara yang penuh pesan-pesan dan dapat membangun diri, lingkungan, juga bangsa yang penuh intrik. Di sana Kang Idang menjadi host. Ya, begitu kata Ipung Bahri, Kang Idang benar-benar menjadi tuan rumah yang melayani semua tamunya dengan menyuguhkan dan mengatur acaranya sendiri.

Di awal, Kang Idang bilang, "Ini adalah acara yang sederhana. Acara yang membuat kita selalu berada di dasar. Karena dengan kita berada terus di dasar, kita tidak akan bisa jatuh." Benar, bangsa dan rakyat Indonesia terlalu sibuk mencapai puncak. Padahal ketika di puncak kita bisa jatuh dan tidak bisa bangun. Dan, pada saat itu pula, saya sendiri sadar bahwa kesederhanaan adalah kemewahan yang tak ternilai; sekalipun bila dibandingkan dengan uang.

Banyak yang datang ke Jazz & Poem Bogor. Ada pula pelawak senior Dedi 'Miing' Gumilar beserta keluarga, juga Walikota terpilih Kota Bogor, Bima Arya. Keduanya membaca puisi. Hebat. Pemimpin kalian ada yang bisa baca puisi, gak?





Satu persatu penyair dari Rumah Kata Indonesia membacakan puisi. Dari Pak Polisi sampai alumnus pengikut NII. Pula, Daeng Krisna idola saya. Sungguh saya kagum pada mereka, bisa terus merayakan puisi dengan cara yang berbeda setiap bulannya. Pula penampilan apik dari para musisi Jazz Idang Rasidji Syndicate yang tidak kalah hebatnya.

Ada seorang laki-laki, namanya saya lupa, katanya ia berasal dari kampung Bangka sana. Ketika ia menyanyi, saya serasa dibawanya ke festival sekolah di cerita Laskar Pelangi. Suaranya sangat melayu. Mendayu. Juga, seorang penyanyi wanita yang lagi-lagi saya lupa namanya, bernyanyi sungguh merdu. Ia cantik, pandai bernyanyi, entah apalagi kurangnya? Saya rasa tidak ada.






O ya, hampir saya lupa lagi, Miing-pun tetap melucu. Setelah Ia selesai membacakan puisi buatan Daeng Krisna Pabhicara, cerita lucu atau lebih dikenal story telling-nya benar-benar membuat rahang pegal. Lemas tertawa.

Saya rasa semua yang datang terhibur. Bahkan niatan Ipung Bahri diurungkan setelah lewat pukul 21:00 untuk kabur.

Di sana saya belajar tentang kesederhanaan. Kesederhanaan yang membuat acara mewah namun tetap bersahaja. Aku berani bertaruh, acara sehebat itu tidak disokong dengan dana yang menggelontor sampai jutaan, tapi lewat pertemanan yang dijaga kehangatannya.

Padahal, pertemanan semustinya seperti ini, bukannya saling menduiti.

Sudahlah, saya sedang mencari bagian tubuh yang ikut tercecer di lapangan tempat Jazz & Poem Bogor berlangsung. Seingat saya ikut membaur, karena saat itu saya #meleleh.




Perpustakaan Teras Baca, 16 Desember 2013
Tag : ,

Hujan yang Sama

By : Harry Ramdhani


aku menyukai hujan seperti petani
menunggu ladang padi
disiram olehnya lagi, lagi dan lagi.

merindu saat hujan adalah sajak-sajak
larik puisiku yang tak kenal jarak,
yang mungkin tidak tinggalkan jejak
disetiap airmataku yang tak lagi terelak
menetes di hati yang telah retak

kekasih, hujan malam ini berbeda
dari malam-malam sebelumnya,
ingatanku terdahulu adalah pilu

aku adalah orang yang sama
; yang menunggu pelangi selepas hujan reda.
pada hujan, terima kasih,
aku bisa merindumu lebih



Cafe Merah Putih, 11 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Tersangkut Mimpi Semalam

By : Harry Ramdhani


aku terkejut ketika pagi menjemput,
setengah jiwaku hilang
: tersangkut
kisah-kisah mimpi semalam

di atas ranjang, jiwaku
hanya tersisa badan hingga kepala,
dari bawah perut sampai lutut
hilang. Kakiku mati rasa.

mimpi-mimpiku semalam
adalah kisah kita berdua di atas ranjang
berbagi cerita sampai beradu selangkangan
; di antara terang lampu kamar yang remang.

aku menikmati mimpi
seperti mencicipi kopi,
aromanya,
asapnya,
dan semua yang mengepul di kepala.

kekasih, di dalam mimpi,
kau menjadi penurut; dan tetap cantik tentunya,
apa yang aku minta, kau ‘iya’-kan saja
apa yang aku mau, kau ‘manggut’ juga,
aslinya? dalam dunia nyata?


Perpustakaan Teras Baca, 9 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Pada Malam-Malam yang Sulit Dilupakan

By : Harry Ramdhani


aku tahu, kekasih, kesedihan dan hujan
kerap datang bersamaan, saat malam
tawarkan kita ingatan-ingatan
yang sulit dilupakan

ketika bintang-bintang malu tampakan diri,
ketika itu kita berani birahi menguasai

pada hujan,
pada tubuh tanpa sehelai benang,
pada malam-malam
yang kini jadi kenangan.



Cafe Merah Putih, 5 Desember 2013
Tag : ,

Nurul

By : Harry Ramdhani

Nurul itu cantik. Banyak laki-laki beranggapan kalau wanita cantik itu tidak baik. Mungkin. Tapi, aku berani bertaruh, asumsi mereka lahir akibat selalu gagal menaklukan wanita cantik. Nurul tidak seperti itu; Ia baik. 

Aku tidak ingin bercerita bagaimana proses sampai bisa menaklukan Nurul, karena pada kenyataannya, aku sama dengan laki-laki pada umumnya: gagal menaklukkan wanita cantik tapi, perlu diingat, aku hanya mengaguminya. Tidak lebih. Bagiku, mengagumi lebih baik daripada mencintai. Apalagi mencintai wanita cantik, itu sama saja berkhayal hidup di surga padahal selama hidup selalu berbuat dosa.







SIANG yang terik di bulan November adalah hujan di gurun sahara. Seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku senang matahari bisa menaklukan arogan awan-awan hitam dimusim penghujan, setidaknya disitu ada harapan yang lahir dari angan-angan. Namun, ada yang berjalan seperti biasa di tengah terik matahari di bulan November: Cafe Dua Warna yang sepi selepas jam makan siang. Di kampus yang semua penghuninya sibuk, waktu selepas makan siang adalah mimpi buruk semalam yang kejadian.

Aku, segelas kopi hitam, dan Enyak, penjual warung kopi adalah penghuni tetap Cafe Dua Warna selepas jam makan siang. Terkadang ada yang sekedar datang, tapi hanya untuk membungkus beberapa gorengan, lalu mereka pergi untuk melanjutkan aktifitasnya lagi. Nurul adalah salah satunya.

Sebagai pegawai TU, Nurul, memang punya pekerjaan setumpuk. Tapi ketika sistem dibuat sesantai mungkin, pekerjaan yang menumpuk bak kapas di kantong belanjaan; tidak terasa apa-apa. Makanya Nurul sering ke Cafe Dua Warna untuk sekedar memesan minum atau membeli gorengan buat dibawa ke atas meja kerjanya.

Tidak ada yang istimewa dari Nurul, biasa saja. Toh, bagi wanita cantik sepertinya, segalanya sudah sempurna. Wanita cantik menggunakan pakaian apa pun, tetap saja terlihat cantik. Sial! Apa lagi tanpa pakaian? Mungkin itu terlihat lebih baik.

Aku yang sedari tadi membuka lembar demi lembar novel karangan Ratih Kumala, Gadis Kretek, mendadak berhenti karena Nurul datang. Melihatnya siang itu adalah kesejukan. Seperti sedang duduk di bawah pohon rindang. Aku ingin terlihat biasa saja, namun apalah daya, aku salah tingkah dibuatnya. Novel yang aku baca jatuh, rokok yang aku hisap hampir saja terbalik; baranya yang menempel di bibirku, dan hanya gelas kopi yang tidak apa-apa, ia tenang di atas meja.

Sedikit kuintip, Nurul tersenyum melihat ulahku -salah tingkahku- barusan. Sejak saat itu, kesan pertama telah menumbuhkan rasa yang tidak tentu arahnya. Aku hanya berharap akan ada kejadian serupa yang kedua, ketiga, sampai seterusnya --paling tidak bisa melihanya senyum padaku.

Nurul pergi begitu saja, dan aku masih salah tingkah dibuatnya.

***

Kesan pertama memang membuat penasaran. Penasaran yang berlebihan biasanya juga akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan.

Pertama-tama pertanyaan itu muncul untukku sendiri, 'apakah ada kejadian seperti tadi keesokan hari?' 'Kenapa tadi aku hanya senyum? padahal di sana ada peluang untuk kita sekedar berbincang.' 'Kenapa aku malu? Apa karena aku suka?'

Penasaranku semakin menjadi dan tanpa sadar aku tanya pada Enyak, "Nurul udah punya pacar, yah, Nyak?" tanyaku sambil melempar senyum pada Enyak. Semoga saja Ia sadar maksud senyumku itu.

"Udah," jawab Enyak singkat. Dan sesingkat itu pula senyumku hilang. Hilang bersama gorengan yang diborong Nurul tadi.

***

Keesokan harinya, tepat selepas jam makan siang, aku kembali duduk di Cafe Dua Warna. Menunggu kejadian seperti kemarin terulang lagi. Menunggu Nurul datang dan melempar senyumnya. Tapi itu semua tidak terjadi. Tidak ada apa-apa, hanya aku, segelas kopi hitam, dan Enyak, yang kini sedang membereskan piring-piring setelah Ia cuci.

Lagi, keesokan harinya pun sama. Begitu seterusnya. Ternyata mengagumi bisa lebih gila dari mencintai.

Dua minggu berlalu, dan aku tidak lagi bertingkah seperti hari-hari terdahulu. Enyak menghampiriku, "Dicariin Nurul, noh." Hah! Sontak aku kaget. Dicariin? Berarti ia mencariku tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, atau itu terlalu berlebihan, mungkin dua kali. Ah, bodo amat, setidaknya lebih dari sekali.

"Nyariin kenapa, Nyak?" tanyaku penasaran.

"Tauk," jawabnya lagi singkat. Mungkin kalau Enyak seumuran denganku sudah aku pites kepalanya.

"Mbokya sekalian tanyain gitu ada perlu sama aku."

"Cari tahu aja sendiri,"

"Iyehh, utang aku udah berapa di sini? Tak lunasi."

"Nah, gitu, dong. Cuma 11ribu."

"Nih," aku serahkan dua lembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. "Ambil aja kembaliannya, itung-itung ongkos nginget utangku sama Enyak."

"Serius?"

"Iyeh, Nyak. Jadi ada apa Nurul nyari aku, Nyak?"

"Dibilang gak tahu. Tanya sendiri aja, sih."

***

"Tadinya aku gak tahu siapa yang suka nulis-nulis di mading ini. Tapi, aku hanya menebaknya itu semua adalah tulisan-tulisanmu. Ternyata benar. Aku suka." Nurul tersenyum. Senyum yang sama seperti kesan pertama semua rasa timbul padanya. Aku pun salah tingkah lagi dibuatnya. Sial! Nurul memang cantik. Dan baik. Baik karena bisa mengembalikan rasa yang sama pada kesan pertama. Kini aku tahu, siapa yang mengambil puisiku di mading.

"Maaf, aku mengambilnya tanpa izin. Aku suka puisimu. Bisa aku minta tanda tangan di puisimu ini?"

Aku tanda tangani puisiku dan Nurul simpan. Dan aku, menyimpan senyum Nurul yang dulu untuk kembali bisa aku rasakan dan kagumi layaknya terik siang di musim penghujan.




Rumah Bang Rifky, 1 Desember 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Cahaya Di Ruang Tunggu

By : Harry Ramdhani


kekasih, kau adalah cahaya
yang tak sanggup kuhitung dengan rumus matematika,
Einsten pun musti dianggap orang gila
sebelum bisa menghitungnya.
Aku bukanlah dia.

cinta bagai cahaya, cahaya cinta
yang gelap adalah aku
dan kau yang lewat di ruang tunggu
bak cahaya yang luput ditangkap mata

: ku tak tahu kenapa merindu
tergagap gugup di ruang tunggu*



Perpustakaan Teras Baca, 2 Desember 2013
(*) Sajak Sapardi Djoko Damono, Sonet: Y
gambar: dari sini
Tag : ,

Kunang-Kunang Hijrah

By : Harry Ramdhani


malam-malam dengan kunang-kunang,
itulah kesedihan dengan keindahan yang rupawan.

kunang-kunang pergi tinggalkan kota
menuju desa yang gelap gulita,
di sana ia pantas dianggap pahlawan
yang datang membawa cahaya kehidupan

kini malam-malam di desa terang,
tidak ada lagi pencuri ayam,
juga pemuda desa yang mabuk-mabukan.
Mereka sibuk melakukan apa yang orang kota lakukan.

kunang-kunang senang tinggal di desa,
setiap hari ia di sanjung
dan dipuja
bak Tuhan kesiangan.

hari demi hari berlalu,
bulan berganti tahun, lalu
usia kunang-kunang menua.

penduduk desa terlalu asyik dimanja cahaya
tanpa pernah berpikir kunang-kunang akan mati juga
tanpa melakukan apa-apa selain menjadi orang kota

kunang-kunang pun tiada,
penduduk desa sudah hidup seperti orang kota
malas-malasan; tanpa hasilkan apa-apa


Perpustakaan Teras Baca, 29 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Opa Poe, Bercerita dari Kisah Nyata sampai Derita

By : Harry Ramdhani


Nama bukunya: Kisah-Kisah Tengah Malam. Dari judulnya, saya sendiri bisa menerka akan seperti apa isinya. Jujur, saya bukan pembaca cerita-cerita horor atau kawan sepermainannya itu, yang jelas selepas salah satu buku karya RL. Stine, saya tidak bisa tidur. Saya pun jadi ingat semasa kecil membaca buku-buku Petruk - mem-visual-kan sesuatu yang seram - adalah pilihan terburuk saya membaca kisah-kisah menakutkan diumur 7-8 tahun.

Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe, merupakan buku pertamanya yang saya baca. Tidak menarik. Karena saya terpaksa membaca yang bukan jadi pilihan saya sendiri. Tapi, apa boleh buat, semua buku dibuat untuk dibaca.

Ada dua kesialan ketika saya membaca bukunya ini. Pertama, cover bukunya yang menakutkan dengan gambar empat jenis makhluk menyerupai hantu. Menyeramkan. Kedua, ketika buku ini direkomendasikan, saya pun menyimpulkan bahwa buku ini pasti buku yang bagus. Dan membuat nyali kisut.

Opa Poe (baca: Edgar Allan Poe), adalah pendongeng yang baik. Ia mampu menceritakan sedetil mungkin tentang hal-hal apa saja yang terjadi dalam setiap cer-pennya. Tidak ada yang terlewat dan semua berfungsi sebagai mana mestinya, seperti:
"Setelah lama menunggu, kuperhatikan dia tetap di beranda dalam posisi duduk di atas ranjang, maka kuputuskan untuk menyalakan lentera pelan-pelan, menghadirkan cahaya yang sangat minim." - dalam cerpennya yang berjudul: Gema Jantung yang Tersisa

Padanya, saya belajar bahwa menceritakan situasi seperti apapun, dalam kondisi apapun, jika memang perlu untuk ditulis, tulislah.

O ya, saya sampai lupa, gaya bertuturnya dalam setiap dialog mengingatkan saya pada dialog-dialog khas Agatha Christie (menurut saya secara pribadi, sih). Opa Poe membuat dialog-dialog yang singkat tanpa keterangan siapa yang sedang bicara dan siapa yang mendengarkan. Namun, itulah kehebatan penulis nomor wahid: semua dialog hidup, semua bisa dibedakan antara komunikator dan komunikan. Saya pikir tidak ada penulis yang mampu menandingi dialog-dialog singkat - setidaknya yang saya tahu - seperti Agatha Christie, ternyata itu memang wawasan saya yang sekenanya. Masih ada penulis lain, yaitu Opa Poe.

Sungguh, setelah saya membaca buku Ope Poe, saya pun belajar menyiksa orang secara perlahan. Tidak terburu-buru.

Walau saya sendiri terkadang suka bingung ketika membaca adalah adanya judul-judul buku (atau esai yang saya tidak temukan) orang lain yang dijadikan penguat logika berpikir manusia.

Saya tidak tahu lagi ingin menulis apa di sini, Opa Poe memang pendongeng yang mampu menuangkan semua dongeng-dongengnya menjadi sebuah cerita lengkap pembalasan dendam, kegelisahan sang pembunuh, hingga terombang-ambing dalam badai lautan.

Saya rekomendasikan untuk membaca: Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe. Karena jika memang semua yang ada di dalam buku ini nyata, maka berhati-hatilah pada orang-orang disekitar kalian; membawa luka yang telah disimpan lama.



Perpustakaan Teras Baca, 28 November 2013
Tag : ,

Bibirku Terlepas (selepas) Ciuman

By : Harry Ramdhani


di antara buku-buku yang berserakan
kita larut dalam ciuman-ciuman yang memabukkan.

ciuman yang awalnya sebatas perbincangan
sebelum kantuk diselimuti malam
dan dingin menusuk hingga tulang rusuk terdalam

ciuman yang bermula hanya bisa kita bayangkan
bahwa di sanalah rasa tumbuh dengan beragam
pun, kesedihan dan kebahagian bak bayi kembar siam

di hadapan buku puisi Agus Noor
: Ciuman yang Menyelamatkanku Dari Kesedihan
ciuman ini dimulai dengan ketakutan-ketakutan mencekam.
Bibirmu dingin.
Dan kaku; membeku.

kau memejamkan mata
menikmati ciuman merabah jiwa,

bibirku terlepas,
tersangkut bibirmu setelah kita ciuman,
aku telah bohong, karena selain ciuman
aku pun ingin tubuhmu untuk mendobrak batas-batas
kesucian orang-orang kelas atas.


Perpustakaan Teras Baca, 25 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Penjajah Bertanding, Indonesia Asyik Menonton

By : Harry Ramdhani
 

Sedih memimpikan Indonesia bisa tampil (lagi) digelaran Piala Dunia. Entah kapan, tapi saya percaya suatu saat nanti semua itu akan terjadi.

SAAT semua negara yang sudah memastikan diri masuk final Piala Dunia, mereka akan disibukkan beberapa pertandingan persahabatan. Pertandingan yang mungkin lebih tepat sebagai pertandingan amal. Tidak ada penampilan terbaik yang bisa disaksikan, tidak ada saling serang antar kedua kesebelasan. Semua hanya hiburan.

Terlebih dulu sudah beberapa negara yang melakukan pemanasan seperti Inggris melawan Chile, Italia melawan Jerman, dan kini giliran negara penjajah Indonesia yang melakukan pemanasan: Jepang melawan Belanda.

Seperti yang sudah saya tulis di atas, lebih mirip pertandingan amal. Hanya ada aksi individulistis yang disajikan dalam pertandingan Jepang melawan Belanda semalam.

Jepang Menyerang, Belanda Bertahan 

Setelah unggul dua gol atas Jepang lewat aksi Van Der Vart dan Arjen Robben di babak pertama. Namun, dipenghujung babak pertama, Jepang berhasil memperkecil keadaan lewat Osaka.

Babak kedua milik Jepang. Keluarnya De Jong adalah awal keran pertahanan Belanda bolong. Dimenit-menit pertama babak kedua, Trisula Jepang: Honda, Kagawa, dan Endo bermain apik. Lewat sisi kiri pertahanan Belanda, bola-bola pendek dialirkan dan akhirnya Keisuke Honda dapat membuahkan gol. Skor imbang 2-2.

Sepanjang pertandingan Jepang dengan lapang memainkan bola pendek dari kaki ke kaki. Tidak ada tekanan yang dilakukan oleh pertahanan Belanda di babak kedua. Kagawa tercatat beberapa kali bisa mengalirkan bola dengan mudah ke dalam pertahanan yang dipimpin Vlaar, namun sayang banyak tendangan ke gawang yang melebar.

Masuknya Jonathan De Guzman sama sekali tidak merubah gaya permainan Belanda.

Berbeda dengan tugasnya di Swansea City: menerima bola dari lapangan tengah dan mengalirinya langsung ke depan.

Kehilangan Bayangan 

Ternyata benar, kedua bintang dari masing-masing tim menunjukkan sinarnya. Robben, mampu menceploskan satu gol ke gawang Jepang dan Kagawa dengan baik mengatur serangan sesuka hatinya.

Tapi dari kedua bintang tersebut terlihat seperti kehilangan bayangan. Ada yang kurang dari permainannya malam tadi. Seakan butuh tandem yang terlanjur cocok karena telah dibangun dari masing-masing tim, Bayern Munchen dan Manchester United. Robben mencari Ribery dan Kagawa mencari Rooney.

Kedua bintang tidak bermain maksimal. Robben yang berkali-kali mesti turun ke jantung pertahanan membendung serangan-serangan yang di komando-i oleh Kagawa dari Jepang. Kagawa pun demikian, gerakannya terkadang melebar dari kiri atau kanan untuk mebuat ruang-ruang yang bisa dimasuki para pemain Jepang.

Skor imbang mungkin pantas untuk pertandingan yang lebih mirip pertandingan amal. Saya sendiri tidak tahu, karena dimenit 86, remote tive dikendalikan adik saya dan diganti untuk menonton Bima Satria Garuda.

Saya hanya bisa menyaksikan bekas penjajah kita saling serang, tapi pemenangnya tetap Indonesia, karena adik saya bisa menyelesaikan Film Bima Satria Garuda. Menyaksikan kekuatan-keuatan Bima yang tidak terkalahkan. Mungkin timnas Indonesia mesti banyak menonton sama seperti yang adik saya tonton.

Malam Pengantin

By : Harry Ramdhani


"Kesepian itu bukan pilihan, tapi sebuah tempat tinggal untuk jiwa yang mencari aman. Jiwa yang enggan bergerak dalam diam." - Lingga Wastu


Dulu, bulan madu merupakan yang ditunggu setelah pernikahan telah sah. Kini, melihat orang-orang yang banyak menikah karena 'kecelakaan', nampaknya lebih dulu bulan madu daripada dilaksanakannya pernikahan yang sah.

Di dalam kamar, di malam pertama, setelah aku secara sah menjadi istri terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari tidur sampai pagi nanti membuka mata. Aku sudah rasakan semua dulu. Bahkan, lebih seru sebelum menikah, banyak fantasi-fantasi yang seketika muncul di atas ranjang.

Suamiku telah tertidur lelap. Aku menunggu kantuk tanpa sekali pun mulutku menguap.

***

Andai semua orang yang menikah tahu, kalau rasanya malam pertama dan bulan madu sudah terlebih dulu dilakukan sebelum menikah itu tidak enak, pasti mereka tidak akan berikan semua sebelum sah.

"Ayo, dong. Toh, nanti juga kita akan lakuin ini semua juga 'kan," aku ingat bujukanmu dulu, November empat tahun lalu, sebelum kita sah menikah.

Aku merasa menyesal dan malam ini aku ingin diam. Malam ini aku kesepian bersama cahaya lampu remang yang telah orangtua kita siapkan.



Perpustakaan Teras Baca, 8 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kue Kering

By : Harry Ramdhani


Katamu, "cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga,"


TIGA hari yang lalu, di rumahku sibuk dengan persiapan pengajian. Pengajian di sini tidak hanya soal membaca Quran, tapi mesti banyak juga makanan yang dihidangkan. Aku sendiri tidak tahu kenapa mesti ada makanan, yang jelas kalau itu dilupakan bisa jadi bahan omongan. Maklum…, ibu-ibu pengajian.

Biasanya hal terpenting yang disiapkan untuk pengajian adalah makanan. Makanan apa yang sekiranya cocok dihidangkan dan tidak jadi bahan omongan. Dari cemilan sampai makanan yang dibawa pulang (orang-orang pada umumnya menyebut: besek). Sebagai anak yang mesti berbakti pada orangtua, jadi nurut saja bila disuruh ini-itu mencari makanan yang sudah ditentukan.

Pagi itu aku berangkat mencari makanan kering. Makanan yang tetap bagus jika dibeli H-seminggu sekali pun. Tempatnya cukup jauh, tapi katanya makanan di sana tidak ada didekat rumah dan harganya murah. Tanpa basa-basi, kakiku melangkah.

Toko kue kering yang cukup besar. Banyak makanan kering yang di pajang sampai masih terikat rapih di kantong plastik. Sialnya, aku baru tahu kalau makanan kering mengandung (cukup) banyak MsG. Baru satu menit di dalam, aku sudah pusing dan mencari sandaran.

"Mau cari kue apa, mas?" Kata salah seorang penjaga.

"Aaaa…, mau cari kue kering. Ada?" Aku bingung ingin bicara apa. Penjaganya cantik.

Ia mengenakan hijab yang enak untuk dipandang dan nampaknya cocok jika dijadikan pasangan. Tapi aku pikir wajar, laki-laki ketika disapa perempuan cantik pasti bingung ingin jawab apa. Sama sepertiku waktu itu.

"Di sini memang ingin tempat jual kue kering, mas." jawabnya ramah dan penuh senyum yang sama sekali tidak sanggup aku jamah, "maksudnya saya, jenis kue kering yang seperti apa yang dicari."

Kalau boleh jujur, aku mencari yang sepertimu, yang cantik dan pastinya baik. Jawabku dalam hati

"Ouw, iyah. Aku tahu, kok, mau liat-liat dulu boleh 'kan?"

"Silakan, mas."

Senyumnya itu, seakan aku kering dan bisa dengan mudah menjadi abu. Kamu cantik.

Sepanjang jalan pulang, aku terus memikirkannya. Andai aku punya kesempatan untuk ke sana lagi pasti tidak akan aku sia-siakan. Sayangnya aku tidak bisa basa-basi.  Ketika di rumah pun aku baru sadar, entah kue kering apa yang tadi dibeli. Aku hanya sibuk curi-curi pandang dengannya dan sesekali menatapnya penuh harapan. Harapan kalau Ia pun sadar kalau aku terkesan pada pendangan pertama.

***

Tuhan selalu punya cara yang misterius untuk makhluknya dan tidak bisa duga sebelumnya. Aku bertemu dengannya, penjaga toko kue kering yang cantik itu, di tempat makan. Saat itu penuh dan hanya ada satu bangku yang tersisa. Bangku itu ada dimejaku. Ia duduk dengan senyum yang sama ketika di toko kue. Ternyata senyum itu perihal kejujuran. Di mana pun bisa dilakukan kepada siapa pun, bukan? Hari itu Tuhan sedang iseng. Teh manis yang Ia pesan habis dan teh manisku yang telah kupesan sama sekali belum diminum.

"Ini minum saja teh manisnya. Belum diminum, kok," kataku yang sama sekali tidak sadar kalau tadi sudah menuangkan empat sendok sambal. Dan, itu pedas. Laki-laki setiap bertemu perempuan cantik memang bisa hilang kesadaran seketika. Seketika perhatianku hanya padanya.

"Terimakasih," Ia menerima tawaranku.

Kita mulai bicara banyak setelah itu. Sama-sama membuka diri untuk memperislakan masuk hati tanpa perlu diketuk.

"Cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga," katamu

"Semoga cinta tidak perlu MsG untuk menyedapkan rasa," timpalku, "cinta terlalu sedap untuk ditambah ini-itu."

***

Semoga malam ini tidak sedingin bulan November pada biasanya. Aku ingin bertemu untuk ungkapkan rasa yang suatu saat nanti mungkin bisa basi. Tapi tidak masalah, setidaknya hari ini aku bisa nikmati sebelum semuanya basi.

Di awal bulan November hujan bak bayangan. Mengikuti setiap langkah ke mana pun kaki ingin pergi. Seperti malam ini, hujan turun terlalu riang dari siang hingga malam. Dan, tidak memberikanku sedikit ruang untuk pergi dari rumah menemuimu, Aisyah. Di rumah, aku duduk di teras menunggu hujan reda. Perasaanku ini sudah tak kenal arah.

Entah mengapa malam itu juga kamu tidak bisa dihubungi. Mungkin sibuk. Atau, mungkin juga merasakan hal yang sama denganku: merasakan hati yang berkecamuk. Aku tidak tahu.

Kue-kue kering yang dulu pernah kubeli di tokomu itu masih tergeletak di meja. Tidak habis setelah pengajian. Aku hidangkan dengan kopi hitam, seperti sepasang kekasing yang tidak ingin diganggu oleh cahaya terang. Hanya gelap dan birahi yang bertindak.

Malam hampir usai, tapi tidak dengan hujan. Dan, aku, sibuk berselancar di sosial media karena diusir kopi dan kue-kue kering tadi. Beberapa kali aku perhatian timeline yang bergerak cepat. Orang-orang sedang mengalami seperti yang aku alami. Tidak bisa pergi ketika hujan tidak berhenti.

Sepintas aku temukan salah seorang pria yang gunakan avatar dengan seorang perempuan cantik. Itu kamu, Aisyah. Terlihat mesra bak pasangan muda-mudi. Aku baca-baca semua statusnya. Ternyaka benar itu kamu, Aisyah, istrinya. Kenapa dari dulu tidak pernah beritahu itu?

Cinta memang itu seperti kue kering. Yang remah-remahnya dibiarkan berserakan di lantai ketika sedang dimakan.



Perpustakaan Teras Baca, 7 November 2013
gambar: dikasih @fajarnugraa
Tag : ,

Panasnya Terik, Aline

By : Harry Ramdhani


November tanpa hujan, sama saja mencoba baik; tidak ada apa-apa, padahal hatinya terluka. Menutupi kesedihan dengan memasang wajah riang adalah dosa. Kau menipu Tuhan, malaikat, dan orang-orang yang ingin dekat untuk berikan kebahagiaan.


Aline, adalah perempuan yang biasa saja, tapi entah mengapa banyak pria yang merebutkannya.

Di kampus, Ia ibarat gula yang dikerumuti semut. Lama-kelamaan Aline jenuh dengan keadaannya sekarang. Mungkin mulutnya sudah lelah untuk menjawab semua sapaan dari setiap orang -khususnya laki-laki yang menyapa sekalian menggoda.

Perempuan memang cepat jenuh, makanya talak tiga dipegang oleh laki-laki supaya tidak mudah terjadi perceraian.

"Siang, Aline,"

"Hai, Aline,"

"Aline, sudah makan,"

"Aline, pulang dengan siapa hari ini?"

Masih banyak lagi sapaan-sapaan seperti itu setiap bertemu orang-orang di kampus. Setiap hari. Setiap waktu.

***  

"Raisa, kok tiba-tiba aku kepikiran pindah kuliah, yah," kata Aline di kantin yang saat itu tidak terlalu ramai

"Hah? Kenapa emangnya?" Raisa pun bingung mendengar itu.

"Enggak tahu, nih, rasanya bosen begini terus di kampus,"

"iyah, begini gimana?"

"Ya, kamu tahu sendirilah."

"Ouw, ada juga yang bikin 'begini mulu',ya, kamu sendiri ini. Makanya punya pasangan, dong"

"Ngaco kamu."

Aline sampai sekarang masih trauma untuk punya pasangan lagi. Trauma karena kehilangan orang yang disayang lebih dulu pergi diujung keseriusan dalam berhubungan. Pernikahan. Seorang lelaki yang sejak kecil telah menjaganya, menjadi kakaknya, menjadi segalanya untuknya, mesti pergi dipanggil olehNYA.

"Aku takut jatuh terlalu dalam pada rasa yang sama," kata Aline yang kemudian diam cukup lama di kantin sebelum kakinya melangkah pergi karena sudah semakin ramai.

Aku, Tony, adalah teman satu kelas Aline, kelas Filsafat Komunikasi. Di dalam kelas, Ia lanjutkan diamnya. Diam yang penuh makna seperti seorang filsuf merenungi pemikiran-pemikiran yang sulit dicerna oleh otak kanan. Tapi Aline tetaplah Aline yang sama seperti biasanya, selalu menjawab bila disapa.

Aku sama sekali tidak pernah menyapa Aline seperti laki-laki di kampus pada umumnya. Kecuali ada tugas kuliah, itu pun kalau satu kelompok, kalau tidak? Ya, biasa saja. 

***

Hari ini cukup panas, aku putuskan untuk berteduh di toko buku. Bukan toko buku besar, tapi di toko buku bekas. Aku suka ke sana, selain harganya yang murah, selalu ada buku-buku lama yang tidak bisa didapat di toko buku besar lainnya. Rasanya teduh bila dekat banyak buku.

Ketika aku sedang memilih buku, ada Aline juga di sana. Ia sedang mencari buku novel 'Menyemai Harapan' karya Maria A. Sardjono. Begitu terakhir kudengar di kelas tadi. Tapi aku tidak menyangka akan bertemu dengannya sekarang. Di sini, di toko buku bekas.

"Sebenarnya aku punya novel 'Menyemai Harapan' di rumah, kamu ingin pinjam?" kataku

"Sungguh? Boleh. Kapan bisa aku baca bukunya?"

"Sepulang dari sini pun bisa. Biar nanti aku antar ke rumahmu."

"Wuah. Gak enak, ah. Masa minjem aja segala dianterin ke rumah gitu," jawab Aline, "atau, nanti malam saja di Cafe Rainy."

"Ngajakin dinner?" tanyaku bingung sambil tersenyum. "Boleh. Jam 8, yah."

"Aaa Oke, deh."

Aku pun mengantarnya pulang. Ternyata Aline adalah wanita yang ramah. Pantas saja laki-laki di kampus bisa menyapanya sampai tiga kali dalam satu hari. 

***

Waktu begitu cepat belalu. Makan malamku pun tak terasa tinggal menunggu kepulangan. Aline menceritakan banyak tentang dirinya. Tentang semua yang membuatnya bosan kuliah lagi. Aku hanya jadi pendengar saja. Wanita memang butuh didengarkan, terlalu banyak yang dipendam memang tidak baik.

Disitulah aku bisa lebih dekat dengan Aline. Bisa menjalin hubungan seperti menyemai bibit harapan bahwa aku pun bisa menjaga, menjadi kakaknya, dan menjadi segalanya untuknya. 

***

Pada panas yang sedang terik di bulan November, aku beranikan untuk melamarnya. Aku harap, ketika hujan turun nanti aku bisa tempat baginya berteduh.

Apa Aline menerima? Belum ada jawaban darinya sebelum Tuhan memanggilnya di bulan November yang terik.



Cafe Merah Putih, 6 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Takut Dikutuk

By : Harry Ramdhani


Malaikat enggan menegur orang yang sulit bersyukur, padanya Ia berikan kotak pandora
yang di dalamnya hanya ada kesedihan dan penderitaan.


INI bukan kutukan. Bukan pula sandiwara disebuah pementasan. Bahwa November memang hanya soal kesedihan. Kesedihan yang mungkin selalu diingat dan tak terlupakan. Terkadang menyesal pun rasanya percuma untuk airmata - airmata yang terlanjur menggenang. Itulah kenangan.

Malam-malam kuhabiskan di club bersama wanita-wanita yang berbeda. Entah ada apa? Mungkin aku masih mencari wanita yang sama, yang bisa buatku terlena pada ciuman-ciuman yang memabukan. Aku merindunya.

Musiknya terlalu keras, aku tidak bisa dengar namanya dengan jelas. Novia atau Regina? Aku lupa. Yang aku ingat hanya pakaian dalamnya yang berwarna merah muda. Ia tampak cocok dan cantik kenakan pakaian dalam itu. Kulitnya yang putih, halus, dan mulus dengan lampu-lampu yang menyala warna-warni buatnya seperti bunglon. Nampaknya malam ini aku ingin dikelon.

"Bermalam di apartemenku saja," katamu.

Aku yang setengah sadar karena alkohol tadi, rasanya ingin tertawa mendengar itu. Karena ini hampir pagi.

 ***

Pukul 11:11 siang di apartemen

Aku terbangun tanpa pakaian sehelai pun. Di balik selimut, aku lihat Novia juga. Tanpa pakaian. Apa yang telah kulakukan? Aku lupa. Yang kuingat hanya pakaian dalamnya yang merah muda.

Novia masih tertidur pulas. Nampaknya alkohol telah buat kita berdua saling melepas pakaian selepas malam. Tubuhku pun tak sanggup untuk bangkit dari tempat tidur. Rasanya ingin mengulang dan mengingat apa yang kulakukan tadi.

Tidak adalagi ingatan-ingatan yang tersisa dari cerita semalam. Aku pun enggan untuk pulang.

"Kamu udah bangun, Ren?" matamu sayu memandangku.

"Ya, tapi kayaknya aku mau tidur lagi, deh."

"Mau tidur atau mau ditidurin?"

Ah…, tawarannya itu buatku malu sendiri.

Padahal ini sudah siang dan matahari pun sedang sibuk menghangatkan. Tapi untuk kali ini aku memilih dihangatkan oleh tubuh yang terlanjur tanpa pakaian di atas ranjang.

***

Apartemen semakin berantakan. Pakaian dalam berserakan di setiap sudut ruang. Lampu yang tetap menyala dan AC yang sengaja diatur lebih dingin dari malam ketika musim penghujan.

Novia sedang mandi. Wanita memang lama ketika mandi, ada saja yang dilakukan dari membersihkan setiap sudut badan sampai nyanyi-nyanyi layaknya di tempat karaoke-an. Aku pun siap-siap untuk pulang. Tanpa mandi terlebih dulu, karena aku tak ingin Novia tahu.

Lebih baik aku pulang dan kembali ke kehidupan semula walau mesti bertemu pada ingatan-ingatan yang menyakitkan. Semua lelaki memang bangsat, tapi mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan kita, para wanita, di muka bumi sekali pun terus dijahati.

Novia memang cantik. Tapi, aku harap kita bisa lupakan semua seperti masakan yang gosong karena lupa di angkat. Aku ingin tetap bersyukur masih dikaruniai rasa untuk saling mencinta. Meski keduanya aku suka. Biarlah aku lupakan semua. Lupa kalau pakaian dalam yang kukenakan ini adalah milikmu yang berwarna merah muda.

***

"Ren, Rena…, sini mandi bareng, Ren. Rena. Rena."




Perpustakaan Teras Baca, 5 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Mamah

By : Harry Ramdhani


Kekasih, malam ini aku ingin tidur di sekitaran taman bermain mimpimu. Bersama kelinci-kelinci yang kerap berlarian ke sana - ke mari, sampai pagi menegurmu untuk segera bangun membangun asa di hari yang baru.


KETIKA malam pertama setelah aku resmi menjadi istrimu, semua tampak biasa. Tak ada ajakan untuk segera tunaikan percobaan pertama layaknya hubungan suami-istri pada umumnya. Aku menunggu itu sampai pagi buta menjelang matahari terbit di luar sana.

Sudah kubilang dulu, "tidak perlu kita gelar pesta pernikahan. Di sana kita hanya seperti boneka Dufan yang diajak foto tiada henti." Kelelahan itu yang membuat kita tak sanggup berbuat apa-apa di atas ranjang setelah pesta pernikahan. Aku maklumi saja, tapi malam ini adalah malam-malam yang kutunggu sedari dulu setelah kamu coba mengajakku untuk lakukan sebelum kita resmi menikah.

***

Kamu bangun dengan mata yang sayup dan kaos singlet yang basah kuyup oleh keringat semalam. Semalam begitu panas, padahal kipas angin sudah dinyalakan tepat di sampingmu. Atau, semalam kamu bermimpi yang lain? Mimpi yang tak bisa kutanyakan di pagi setelah kita resmi menjadi suami-istri. Semoga di mimpimu, orang yang bermain denganmu adalah aku, istrimu, yang semalam menunggu untuk lakukan itu.

"Ingin sarapan apa, pah?" tanyaku.

Kamu tersenyum. Dan, aku suka senyummu pagi itu. Senyum yang tak biasanya bisa kulihat ketika kamu baru bangun dari tidur. Kejujuran biasanya hadir diawal, pasti ini senyum kejujuran yang kamu berikan untukku. Karena ini masih pagi, masih dengan keindahan semalam. Atau, keindahanmu mimpi basah semalam?

"Pah?" jawabmu heran.

"Iyah. Papah. Kenapa? Ada yang salah?"

"Engga, kok. Kapan, ya, ada anak kecil yang memang kita dengan sebutan papah-mamah?" Kemudian kamu berjalan keluar dan duduk di teras rumah.

Aku tidak paham maksud ucapannya pagi itu. Langsung saja kubuatkan sarapan dan menaruhnya di meja makan.

"Indri, hari ini kamu ingin ke mana?" tanya Andre, suamiku, dari luar.

"Di rumah aja, deh. Aku masih lelah," jawabku seadanya, "o ya, sarapanmu sudah aku ada di meja makan. Cepat dimakan sebelum dingin."

Aku putuskan untuk melanjutkan beberapa bab tulisanku yang sempat tertunda karena sibuk mengurus pernikahan. Entah ada apa pagi ini? Yang jelas, aku hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.

***

Andre masuk ke kamar. Menghampiriku yang sedang asyik menulis di laptop yang kubeli dari keringatku sendiri. Ternyata benar, semua yang berkeringat mampu menghasilkan uang.

"Aku ingin bicara denganmu," kata Andri yang duduk di sebelahku

"Silakan," aku pun hentikan jemariku yang asyik menari di atas laptop.

"Aku sudah punya anak."

DEG. Jemariku di atas laptop tidak hanya berhenti, tapi seakan semua remuk di atasnya mendengar itu.

"Ini masih pagi, sayang, tidak usah bercanda berlebih begitu," kataku mencoba untuk tidak menanggapi serius, "lagi pula itu tidak lucu."

"Aku serius, Indri."

"maksudmu?"

"Dulu, ketika kamu menolak ajakanku untuk 'berhubungan' aku langsung pergi menemui Sela, kamu pun kenal pasti. Kita berbincang lama dan pada akhirnya,…"

"Serendah itu kah kamu?" Aku mulai naik pitam mendengar ceritamu.

"Maafkan aku, sayang,"

Lama kita bertengar di dalam kamar. Berkeringat.

Sela sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakan. Kini anaknya dari suamiku dititipkan di Panti Asuhan. Aku pun luluh. Tak lagi mampu berbuat apa-apa selain menangis, menangis, dan menangis.

Andre memelukku erat sampai sesak di dada. Namun, dadaku sudah terlebih dahulu sesak menerima kenyataan.

***

27 November, di Restoran cepat saji.

Kita merayakan ulang tahun kelima, Yusron, yang kita ambil tepat siang itu setelah pertengkaran dihari pertama pernikahan kita di Panti Asuhan.

Tawa riang teman-teman Yusron di Paud sungguh membuat hatiku pun senang. Menerima semua kenyataan walau itu bukan darah dagingku sendiri. Toh, di dalam tubuh Yusron juga mengalir darah Andre, suamiku.

Aku mencintai keduanya seperti aku mencintai malam pertama yang telah kudambakan sedari dulu. Malam pertama yang tidak terjadi apa-apa. Andai ini adalah mimpi, aku ingin sekali bermimpi untuk bisa lakukan malam pertama yang kuidamkan dengan lelaki yang kucintai.



Perpustakaan Teras Baca, 4 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kebaya Abu

By : Harry Ramdhani


Setiap orang memiliki arsip sendiri-sendiri. Kadang, saking terlalu terbukanya manusia, arsip itu mudah keluar begitu saja. Tapi aku lebih suka cara manusia mengeluarkan arsipnya lewat tulisan, bukan ucapan-ucapan yang terkadang dilebih-lebihkan.


TERLIHAT murung di antara para pengunjung yang sibuk mencari makanan yang jelas-jelas sudah cukup dihidangkan. Itulah manusia di setiap pesta pernikahan. Dan, yang murung itu kamu. Kamu dengan kebaya abu-abu yang terlihat seperti awan mendung di tengah kebringasan orang-orang melahap makanan.

Aku yang sedari tadi memperhatikanmu jadi lupa kalau es krim di tangan sudah mencair dan bercecer di lantai. Tadinya aku malu sendiri, tapi untuk apa malu? Toh, aku sudah selipkan amplopku di depan tadi. Sama seperti lainnya, aku bayar di sini.

Perlahan aku bulatkan tekadku untuk menghampirimu. Tepat di sampingmu, aku diam sejenak untuk mencari momen yang tepat melemparkan kalimat pertama yang keluar dari mulutku.

"Biasanya, di dalam sebuah pesta, semua yang hadir senang dan ikut berbaur dengan yang lainnya," kataku kaku.

"Kenapa masih ada satu orang yang mengasingkan diri di pojokan?"

"Aku pikir ada dua hal yang tidak benar dari pernyataanmu," jawabmu dengan terus memandang orang-orang di sekitar,"

"Hah?"

"Pertama, di sini aku tidak mengasingkan diri. Di sini aku senang melihat orang-orang di pesta ini senang," tanpa sedikit pun kamu menoleh ke arahku, "kedua, bukan satu orang yang mungkin katamu 'mengasingkan diri', tapi dua orang; aku dan kamu."

Dingin. Jawaban yang dingin. Atau, mungkin lebih dingin dari sirup yang ada di genggamanmu itu.

Setelah itu tidak ada lagi perbincangan. Kita berdua diam di antara orang-orang yang sibuk mencari-cari makanan di pesta pernikahan. Memang, diam adalah emas. Tapi, aku harap diam ini tidak seperti emas yang lupa digarap sampai orang asing yang dapat. Aku hanya berdiri dan mengelap tangan yang tadi terkena es krim. Dan, kamu juga hanya berdiri dan membiarkan es yang ada di gelas mencair menjadi air.

***

Kalau ada yang berani memulai (lagi) perbincangan, pasti ia yang menaruh harapan lebih. Sayangnya aku tidak berani dan kamu pun tidak memperdulikan itu. Sesaat ketika aku ingin melangkah pergi. Satu langkahku tertahan oleh tangan yang tiba-tiba merangkul satu tanganku.

"Bawa aku juga pergi dari sini," katamu

Tangannya halus. Aku tidak lagi melangkah karena jaringan sel di dalam otakku seketika bekerja cepat. Dan selewat ada akal bulus yang mungkin bisa buatku peluang untuk dapatkan yang lain dari dirimu yang halus. Jangtung berdebar tak karuan. Rasanya seperti buah mangga yang sedang disodok dari bawah dengan galah.

***

Di cafe tidak jauh dari gedung pesta pernikahan, kamu mulai mendominasi perbincaraan. Menceritakan ini-itu sampai lupa kalau itu sudah melebihi batas. Batas yang mungkin tidak boleh oranglain tahu selain dirimu dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk luapkan semua, tapi perlahan semua itu keluar dari mulutmu, dari bibir merah muda itu.

Kamu mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tas dan memberikannya padaku. Bukunya seperti buku tagihan.


Aku baca secara perlahan supaya tidak ada yang terlewatkan. Isinya adalah sebuah konsep pernikahan yang sama seperti pesta pernikahan tadi. Rupaya, temanku, Ryan, yang menikah adalah mantanmu. Dulu, mereka sempat berjanji untuk lanjutkan hubungan ke tingkat yang serius. Pernikahan.

Di buku itu tertulis jelas dari daftar makanan yang akan dihidangkan nanti hingga gaun pengantin yang akan dikenakan. Sebuah konsep pernikahan yang sempurna. Tapi, lagi-lagi Tuhan bekerja secara misterius. Tanpa ada keributan, lalu hubunganmu putus. Di hadapanku, kamu menangis. Menangisi yang sudah pergi. Dan air mata itu mewakili semua kesedihamu yang terlanjur ditinggal pergi. Sekali lagi, kepergian kerap datangkan kesedihan.

***

"Tidak perlu kamu iba ketika melihat air mata. Ini wajar ketika kesedihan datang," katamu.

Kali ini aku yang ingin keluarkan air mata setelah kamu keluarkan satu buku lagi dari dalam tasmu. Sebuah cerita cintamu dulu dengan Ryan. Sedih memang ketika menulis sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan. Kata demi kata disusun dengan air mata yang menetes ke pipi dan tidak sekali pun dibiarkan jatuh di atas kertas. Di bulan November ini, aku bertemu denganmu, yang merenung seperti awan mendung di pesta pernikahan.



Perpustakaan Teras Baca, 3 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -