The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani July 15, 2013

"Sebenarnya apa yang bisa membuatku bahagia?" Pertanyaan itu muncul kala aku sedang melamun menikmati senja. Eum, … aku pikir bukan harta, tahta, bahkan seorang wanita, tapi bulan ramadhan yang telah tiba.


***

Layaknya musim panas di Amerika. Bulan Ramdhan adalah bulan yang sering ditunggu kita. Apapun agama yang dianut, semua bisa merasakan bahwa ramdhan mengajarkan untuk lebih toleran. Terhadap sesama maupun mereka yang berbeda.

Mana mungkin aku bisa murung ketika Ramadhan tiba? Di sana, aku bisa melihat banyak yang tertawa, bebas dalam bercanda, namun tetap saling menjaga batas mereka. Sebabnya hanya satu: bulan ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Bahkan Tuhan-pun kadang ikut tertawa.

Banyak yang bilang, "Bulan puasa ini berasa sama, gak ada beda." Mungkin Ia lupa, pasti ada indikator datangnya bulan puasa, menurutku yaitu ketika sholat subuh di hari pertama puasa. Di sana benar-benar terasa bulan puasa. Di Masjid banyak anak-anak yang datang, para perempuan berjalan beriringan, dan para laki-laki berdandan untuk menarik perhatian. Gita Cinta Kala Ramadhan.

Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan anak-anak kecil ketika sedang sembayang. Pasti di sana kita sadar, sadar bahwa ada orang jarang sembayang subuh. Ketika do'a qunut, anak-anak malah sujud. Tapi, melihat para bapak-bapak mengangkat tangan, mereka (anak-anak kecil) kembali bangun. Ada saja yang malah lepas tertawa.

Begitulah bulan ramadhan ketika tiba. Segala pernik Ramadhan seperti itu membuatku ingin kembali ke masa kecil. Menjadi mereka bisa lepas tertawa.

Namun, ada saja yang membuatku tidak suka ketika Ramadhan, yaitu petasan. Mendengar ledakannya, jatungku langsung berdebar. Mencium baunya, mual yang dirasa.

Asal kalian tahu, aku lahir saat bulan ramadhan. Saat semua orang sedang menahan lapar, dari rahim ibuku, aku keluar. Saat teriknya siang, ibuku berteriak dan ayahku berubah jadi burung merak. Alah, apa sih. Tapi, ketika ayahku menceritakan prosesi lahirku, sungguh menyedihkan. Jadi gini, Uang yang ada didompet ayahku hanya seratus ribu. Biaya persalinanku --yang bukan di rumah sakit ataupun bidan-- juga seratus ribu. Mana mungkin, nanti buka puasa dengan apa? Nanti untuk mengurus administrasi di desa dengan apa? Nanti untuk mengurus yang lain bagaimana? Uangnya mana? Yang jelas hanya segitu-gitunya.

Dengan sedikit lobi ke … Mak Nyak --begitu ayahku memanggilnya-- akhirnya ayahku mebayarnya secara mencicil. Bayaran pertama 80ribu, sisanya nanti. Dan, ayahku langsung mengurus segala administrasi untuk Akte Kelahiran. Sisa uang tinggal 20ribu, dipakai ongkos dan tinggal 15ribu. Ternyata, biaya membuat Akte Kelahiran adalah 20ribu --Hingga akhirnya aku tahu, ternyata memiliki Akte Kelahiran adalah Hak setiap Anak di Indonesia. Jadi bebas biaya, tapi di sini malah dipungut biaya. Dasar sumbu kompor minyak, nyedot mulu kerjanya--. Lagi, dengan lobi, ayahku mencicil Akte Kelahiranku. Katanya, "Bayar 10ribu dulu, sisanya nanti ketika selesai." Dengan uang lima ribu, Ayahku pulang dan hanya berbuka puasa pakai air putih. Ayahku melakukan itu ketika bulan puasa, semoga yang Ia lakukan atas se-izin Tuhan. Aku lahir dengan penuh tunggakan. Aku lahir dari seorang ayah yang rela berkorban demi kelahiran anaknya ini. Anaknya yang kemudian diberi nama: Harry Ramdhani.


***

Begitulah ramadhan dengan segala perniknya. Aku bahagia bila ramadhan tiba.



Perpustakaan Teras Baca, 15 Juli 2013

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -