The Pop's

Archive for January 2015

Almari

By : Harry Ramdhani

Saya sudah seperti almari bagi Monic. Segala hal tentangnya saya tahu, sebab ia sendiri yang menceritakannya. Dengan atau tanpa saya minta. Dari ceritanya saya tahu siapa-siapa saja laki-laki yang mendekatinya. Modus dan gombalan seperti apa yang dilakukan mereka. Saya tahu kapan Monic memberikan ciuman pertamanya, dengan siapa dan di mana. Sungguh menggelikan jika membayangkannya. Saya juga tahu semua kesedihan Monic hari ini, kemarin, minggu lalu, dan beberapa bulan lalu. Bagi Monic, saya adalah almari; tempat ia menyimpan dengan rapih semua semua cerita-ceritanya.

Monic cantik. Sangat. Kalau kalian pernah lihat Nadia Hutagalung, maka Monic dua senti di bawahnya. Dulu saya pernah membaca buku yang menceritakan tentang hidup perempuan yang terlanjur dilahirkan cantik, katanya Tuhan sengaja memberi kecantikan itu pada perempuan supaya mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mind your own bussines, mungkin begitu maksud Tuhan. Namun, berkat Monic akhirnya saya tahu, menjalani hidup sebagai perempuan cantik tidaklah seindah dan semudah yang semula saya pikirkan sebelumnya.

“Malam ini bisa ketemu?” kata Monic.

Selalu seperti itu yang ia tanyakan pada saya. Dan, pasti ada yang ingin Monic ceritakan. Tapi waktu itu hampir tengah malam, jadi pesan itu saya biarkan. Tak sampai lima menit dari pesan itu, Monic menelepon. Dari suaranya ia seperti habis menangis. Entah masalah seperti apa yang bisa buatnya mengeluarkan airmata?

“Di tempat biasa?”

“Di mana saja,” jawabnya,”asal kita bisa ketemu. Aku mau cerita,”

“Hmm..., sekitar tigapuluh menit sampai sana, ya,”

“lebih cepat,” mohonnya.

Selama perjalanan saya berpikir, akhir-akhir ini yang membuat Monic begitu gundah itu dua: pekerjaan dan percintaan. Semestinya masalah semacam itu, pekerjaan khususnya, tidak terjadi pada perempuan sepertinya. Saya pernah mengingatkan untuk keluar saja dari pekerjaannya yang sekarang sebagai teller bank swasta terbesar itu. Tapi ia tidak mau. Padahal di luar sana, menurut saya, masih banyak sekali perusahaan antri mengantiri jasanya. Bahkan untuk sekedar duduk dan diam di kantor saja –tanpa melakukan apa-apa. Namun saya malah dapat cacian darinya. Saya dimaki selama-lamanya.

“Bagaimana kalau mengabdi di rumah Tuhan?”

“Tuhan gue nggak pacaran bego! Kalau dia suka gimana?”

“Lho, bukannya bos yang sekarang malah pernah menawarkan buat jadi istri keduanya?”

“Iya, sih, tapi…,”

Almari tetaplah almari. Fungsinya hanya untuk menyimpan, bukan memberi saran. Monic sudah tiba terlebih dulu dari saya di kedai kopi itu. Ini satu-satunya kedai kopi yang buka 24jam dan suasananya selalu tenang. Kami suka ke sini untuk sekedar membunuh waktu, meminum-minum kopi, dan mendengar cerita-cerita Monic yang kadang sampai pagi. Kopinya telah dingin tapi, tetap utuh. Monic sedang membaca buku yang baru dua bulan lalu saya pinjamkan. Perempuan akan terlihat lebih cantik ketika sedang membaca buku.

Malam itu kami baru bertemu kembali setelah saya diterima kerja. Saya suka syal merah yang melingkar di lehernya. Atau memang karena kami lama tak bertemu. Lucunya rindu itu, ia bisa melebih-lebihkan segala yang sebenarnya biasa.

“Jadi kapan putus? Udah ada yang nunggu, nih,” tanya saya dengan maksud menggodanya. Saya suka kalau ia tersenyum. Lalu Monic melempar saya dengan sendok kecil.

“Barusan!”

Saya kaget! Awalnya cuma ingin bercanda tapi, malah terjadi kejadian yang serupa. Monic mendekat ke kursi saya dan menangis di pundak saya. Kemudian yang terlebih dulu diselamatkan adalah buku yang digenggamnya. Itu buku langka, saya tidak mau buku itu rusak karena kejatuhan air mata.

Dan kaget saya yang lain adalah karena dua bulan lagi Monic menikah. Semuanya sudah ia siapkan, bahkan undangan pun tinggal dicetak. Tapi saya pikir untuk apa Monic menangis, kalau saya teriak siapa yang berkenan menikahi perempuan yang satu meja dengan saya ini, barangkali aka nada banyak laki-laki yang rela bunuh-bunuhan untuk berebut. Ah, pernikahan memang seperti politik, tidak ada yang terlebih dulu bisa menduganya.

Monic sudah menjalani hubungan hampir tiga tahun, sampai di antara mereka berdua sepakat melanjutkan pernikahan. Asal kalian tahu, waktu itu saya yang mengkonsep prosesi lamaran mereka. Dian, pasangan Monic --yang kini telah jadi mantannya, yang meminta. Saya pun ingin melihat Monic bahagia. Setidaknya, sebagai almari saya terlihat sedikit berguna.

Hampir setiap bulan saya dan Monic suka ke toko buku bekas di pojokan Taman Ismail Marzuki. Saya buatkan lamaran mereka di sana. Om Gito sudah mengenal kami. Hari itu ia rela toko bukunya dijadikan tempat lamaran. Setibanya di sana mata Monic ditutup dengan kain hitam. Saat dibuka, satu per-satu anak-anak kecil dari taman baca saya –yang Monic juga kenal, karena mereka adalah pembaca setia Monic ketika berdongeng– keluar sambil membawa satu buku yang masing-masing sampulnya itu bertuliskan satu kata, dan bila disatukan menjadi “W-O-U-L-D Y-O-U M-E-R-R-Y M-E?”

Saya keluar membawa bunga mawar yang juga disuka Monic dan memberikannya pada Dian. Ia berlutut di hadapan Monic dengan tangan kanan kotak cincin dan tangan kirinya sebatang bunga mawar. Saya lihat tangan Monic bergetar ketika ingin mengambil salah satu dari tangan Dian. Monic menangis saat mengambil kotak cincin itu. lalu dimintanya Dian berdiri dan dengan tubuh bergetar Monic memeluk. Om Gito keluar dengan gitar usangnya dan memanikan lagu Leaving On The Jet Plane dari Chantal Kreviazuk. Itu hari paling bahagia buat saya. Kemudian Monic memberi bunga mawar itu pada saya, “aku juga sayang kamu.”

Barangkali hanya malam itu saya tidak ingin mendengar cerita Monic tentang putusnya hubungan mereka dan menjadi almari yang tidak berguna. Saya tidak suka melihat perempuan menangis. Dan saya benci orang yang tega membuat perempuan menangis.

“Undangannya belum dicetak, kan?” tanya saya, “besok kita ke tempat percetakan.”

Saya buatkan origami mawar dari tisu yang tergeletak tak berguna di meja, “anggaplah ini mawar yang dulu pernah kau berikan. Would you marry me, Monic?”


Kedai Alania, 24 Januari 2015
Tag : ,

Yang Tiba-tiba Datang, Yang Tiba-tiba Hilang

By : Harry Ramdhani



Malam itu semestinya seperti malam-malam yang biasa: bekerja di ruangan yang ukurannya cukup besar, menjaga –atau, mengobati kalau boleh meminjam istilah atasan saya– puluhan artikel yang masuk, dan sendirian tentunya. Tapi entah mengapa, ada yang berbeda setelah seorang satpam datang memeriksa ruangan saya. 

Padahal pertanyaannya ditiap malam selalu sama, “ada berapa orang, Mas?” Namun karena basa-basi itu perlu, sebelum menjawab pertanyaannya saya tawari dulu satpam itu teh manis yang baru dibuat. Dua orang, saya jawab kemudian. Sebab beberapa menit yang lalu saya masih lihat ada satu orang yang baru mengisi minum dari galon di pojok ruangan. Entah siapa. Saya tidak pernah bisa mengingat orang dari wajahnya –saya baru bisa ingat seseorang dari sepatu yang dikenakannya. Lampu ruangan itu pun belum dimatikan. Satpam itu menghapiri ruangan tersebut dan saya kembali melanjutkan pekerjaan.

Seingat saya kejadian itu sekitar pukul 01.00 WIB. Satpam tadi datang lagi ke meja saya dengan wajah bingung. 

“Ah, gak ada orang, Mas,”

“Masa?” tanya saya, “barusan ada yang ngambil minum, kok, Pak. Barusan banget sebelum bapak datang,”
“dia lagi iseng kali.”

Dan satpam tadi meninggalkan saya. Bukan hanya saya, tapi ia juga meninggalkan kata ‘dia’ sebelum pergi. Dia. Siapa? 

Malam perlahan pergi, lalu datang dini hari. Ruangan saya makin sepi. Sunyi. Musik pun saya nyalakan dengan volume yang lumayan keras. Pada tengah ruangan saya, televisi saya biarkan tetap menyala. Sebenarnya ingin saya matikan, tapi berhubung bentuk televisi itu aneh: tidak ada tombolnya dan layar semua. Jadilah saya tidak tahu bagaimana cara mematikannya.

Menjelang pukul 03.00 WIB, barulah keanehan yang lain datang. Secara tiba-tiba ada yang mengganti tampilan artikel. Entah siapa, ketika saya tanya di chat group malah dijadikan bahan ledekan. Saya mencoba baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Saya penakut, tapi untuk hal-hal seperti itu saya tidak takut. Bagi saya, dia adalah teman. Analoginya sesederhana begini: teman tidak akan menggangu temannya sendiri. Saya menggangap dia teman, dan begitu sebaliknya. Makanya saya selalu biasa-biasa saja kalau lewati jalan atau tempat sepi.

Tapi baru kali itulah saya jadi sering bolak-balik keluar ruangan. Duduk di luar. Melakukan apa saja: baca koran, baca buku, membuat kopi, turun-naik (tanpa keluar) lift.

Sepasang, Tapi Tak Saling Kenal

By : Harry Ramdhani


Ada seorang laki-laki menghampiri saya, di stasiun Tanah Abang. Badannya tinggi tegap. Memakai kaos polos hitam dan celana jeans panjang. Ia memberikan saya sebuah amplop, seperi sebuah surat, “ini buat kau, Boy,” katanya. “Dari perempuan yang biasa bareng denganmu satu kereta.” Ia pun pergi begitu saja. Saya hanya menerima itu dengan heran. Ini pagi yang membingungkan, setelah kereta yang saya tunggu, untuk kedua kalinya, terlambat datang.
Surat itu tak langsung say abaca, karena tak lama dari itu kereta saya tiba. Dengan sedikit bergegas, saya ikut berdesakan dengan penumpang lainnya. Saya tidak ingin terlambat sampai rumah. Adik saya sudah menunggu untuk diantar ke sekolah.
Tentang perempuan itu, nanti akan saya ceritakan. Saat ini saya ingin membaca surat itu terlebih dulu karena terlampau penasaran. Saya buka amplop itu dan sedikit terkejut. Surat itu ditulis tangan. Sudah lama saya tidak menerima surat seperti ini. Selain kuku jari tangan, perempuan itu terlihat cantik dari tulisan tangannya.
Dan, begini isi suratnya:
Untuk,

Laki-laki tak bernama. 


Maaf, sudah dua hari kita tak lagi satu kereta. Jujur saja aku merindukan itu. Kau ingat kali terakhir kita bertemu dan bersama satu kereta? Itu perjalanan paling lucu menurutku. Kau berdiri dekat pintu, dan aku duduk di sisi luar tempat duduk prioritas. Saat itu ada bapak-bapak yang menghalangi kita, tapi kamu, aku tahu, matamu selalu mencari-cari celah untuk sekedar melihatku. Mata laki-laki memang lebih liar dari tangannya. Aku sadar. Dan aku biarkan. Sebab seperti itulah cara kita saling bertegur-sapa. Setibanya di stasiun Karet, entah di luar sana ada apa, tiba-tiba kepalamu keluar –melewati pintu– seperti mencari sesuatu, atau melihat perempuan lain yang lebih cantik dari aku. Dan tak lama pintu kereta menutup, kepalamu hampir terjepit waktu itu. Kau tahu, di balik masker aku tertawa terbahak-bahak. Pertama. Karena kepalamu hampir terjepit tadi. Kedua. Kerena teriakkan sakitmu itu. Ketiga. Tingkahmu yang seakan baru saja tidak terjadi apa-apa. aku tahu sakitnya tak seberapa, tapi malunya melebihi itu, kan? Di stasiun Sudirman banyak penumpang yang turun. Banyak juga yang naik. Di stasiun ini, kita memang sering dapati banyak anak muda yang pintar, yang punya wawasan luas, seperti anak muda yang diidamkan para pahlawan untuk menlanjutkan kemerdekaan ini. Namun anak-anak muda itu rela delapan jam lebih dari hidupnya diambil hanya untuk bekerja. Tapi aku percaya, di antara mereka pasti ada yang berkarya; melakukan sesuatu karena passion-nya. Seperti aku. Seperti juga kamu, mungkin.

Ketika menulis surat ini aku masih saja tertawa mengingat kejadian itu. Maaf, ya. Maaf…. 

Kemudian seorang petugas Walka menghampirimu, mempersilakanmu duduk tepat di seberangku, tapi kamu menolak. “Terimakasih, untuk yang lain saja,” katamu. Aneh. “Nanti saya duduk bekas perempuan itu,” kamu menunjuk aku, “dia turun di stasiun Manggarai, kok.” Lalu orang-orang di sekitar pun sontak mengarahkan pandangannya padaku.


KAMU, LAKI-LAKI TAK BERNAMA, SAAT ITU AKU MALU BANGET TAHU. TAPI BERCAMPUR GE-ER, SIH.


Aku tidak akan melupakan kejadian itu. Meski aku hilang ingatan sekalipun.


Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan, tumben akhir-akhir ini kamu suka bawa buku. Setiap hari satu buku. Untuk apa? Kalau buku itu punya kamu, sebenarnya ada satu buku yang mau aku pinjam. Buku kumpulan cerita “Chicken Soup for the Bride’s Soul” dari serial buku “Chicken Soup”. Hanya buku itu yang belum aku baca. Sempat aku baca sinopsisnya, bagus. Kumpulan cerita tentang lamaran, pernikahan dan lain-lain, kan? Rasa-rasanya aku mau dilamar seromantis itu. Entah dengan siapa? Sama kamu pun tak apa. sungguh. Dan aku ingat, di buku itu juga ada kutipan seperti ini: Prestasiku yang paling cemerlang adalah berhasil membujuk calon istriku untuk menikah denganku.


Aku menunggu itu….


Kau mungkin masih ingat, ketika kereta menuju stasiun Depok yang hampir berangkat dan kamu masih di tangga. Kereta yang kau naiki telat. Di depanmu ada nenek-nenek yang pelan sekali jalannya. Turun satu anak tangga, seperti melompati bara api. Sangat berhati-hati. Tapi aku melihatmu malah melompat-lompat di belakangnya. Seperti orang geregetan. Tapi kamu tidak mendahului nenek-nenek itu sampai anak tangga paling bawah, sampai kereta itu akhirnya berangkat. Nafasmu terengah. Matamu mengikuti laju kereta dengan tatapan lelah.


Tadinya aku tidak mau menunjukkan diri, tapi melihatmu seperti itu aku jadi tidak tega. Lalu aku berdiri  dari tempat duduk dekat jam yang digantungkan dan mengarahkan badan ke arahmu. Senyummu, senyum saat melihatku, senyum paling bahagia yang pernah aku lihat. Sengaja aku tidak naik kereta itu hanya untuk menunggumu.


Dan besoknya, aku benci segala hal yang berhubungan dengan keterlambatan. Tukang ojek yang biasa mengantarku datang terlambat. Jadwal kereta terlambat. Lalu kamu, ikut-ikutan terlambat. Hari itu aku membenci semua, termasuk kamu, tahu!!


Barangkali Tuhan mendengar keluhku, dan hari itu kita tak bertemu. Pagi itu aku merasa seperti ada yang kurang. Mulai hari itu pun aku berjanji tidak ingin membencimu. Kapan pun kita naik kereta bersama, dan kebetulan kereta kosong, aku ingin duduk di sebelahmu.


Ada yang membuatku selalu suka dari caramu berpura-pura. Saat kita duduk berdua di tempat duduk prioritas. Matamu tak seperti biasanya bisa dengan bebas melirikku –begitu juga aku. Tapi aku menikmati saat lengan kita bersentuhan. Menikmati saat kamu pura-pura menyenderkan badan saat kereta berhenti mendadak karena gangguan. Aku pun menikmati saat kaki kita diam-diam tengah berpelukan. Bahagia itu sederhana, bukan?


Laki-laki tak bernama, aku ingin merasakan semua itu lagi. Semua. Walau setiap hari, setiap pagi, kita hanya satu kereta dari stasiun Tanah Abang sampai stasiun Manggarai.


Terakhir, Laki-laki tak bernama. Ah, aku tidak mau yang terakhir. Aku tidak mau semua ini berakhir. Aku ingin terus bersama, aku ingin kita terus satu kereta. Aku ingin kebahagiaanku ini abadi, meski satu-satunya yang abadi di dunia ini, adalah ketidakabadian itu sendiri.


Mungkin saat kamu memegang dan membaca surat ini, aku sedang tertidur pulang di kamar mayat. Atau, terkubur di pekuburan.


Hati-hati di jalan, ya, Laki-laki tak bernama. Awas kepalamu terjepit lagi. Aku akan setia mencintai perjalanan ini, seperti halnya aku setia mencintai kebersamaan kita dulu.



Saya lipat surat dari perempuan tak bernama itu. Saya selipkan di halaman 29 buku “Cerita buat Para Kekasih”. Saya ingin menyimpan surat itu di sana, sebab tak ada tempat yang layak untuk surat itu selain buku. Dan, saya pikir, tak perlu lagi saya ceritakan tentang perempuan tak bernama itu. Kalian biasa tahu ketika membaca buku itu. Yang jelas dia cantik. Ada dua hal yang tidak dibutuhkan oleh perempuan cantik: pakaian dan namanya.


Perpustakaan Teras Baca, 21 Januari 2015
Tag : ,

Malam-malam Dijenguk Rindu

By : Harry Ramdhani


Di luar ruang kantor seperti ada yang mengetuk pintu. Ketika saya buka, itu rindu. Nafasnya terengah. Ia terlihat lelah. Saya persilakan rindu masuk dan duduk. “Maaf meja kerja saya berantakan,” kata saya, “mau minum apa? tapi di sini cuma ada kopi, teh, dan air mineral saja. Tak apa?.”

Rindu masih mengatur nafasnya. Lalu saya suguhkan ia air mineral, satu gelas penuh dalam ukuran besar. Dan, hanya satu kali tegukan, pada gelas itu sama sekali tak ada air yang tersisakan. Rindu menceritakan banyak tentang ibu. Tentang apa-apa saja yang selama ini saya tidak tahu.

Kata rindu, kini ibu sedang belajar menyulam, ia ingin memberimu baju hangat karena akhir-akhir ini kamu suka kerja malam. Saya jadi terharu mendengar cerita itu. Untuk saat ini pekerjaan saya sisihkan terlebih dulu, nampaknya rindu masih bawa banyak cerita-cerita tentang ibu.

Rindu melepaskan kacamatanya. Ah, mata rindu mirip mata ibu. Teduh sekali. Seperti tak pernah ada air mata yang singgah di sana.

“Ibu baik-baik saja?” tanya saya.

“Ya, ia akan selalu baik-baik saja.”

Bukan. Bukan itu maksud saya. Saya tahu bagaimana ibu, di depan semua orang ia selalu perlihatkan kalau dirinya tampak baik-baik saja. Ibu penyimpan sedih yang luar biasa.

Dan saya jadi ingat ucapan ibu dulu, “air mata itu mahal harganya. Tak ada alat tukar yang mampu membelinya. Jadi tak perlu kamu buang dengan percuma.” Tapi malamnya, ketika satu rumah sedang tidur, saat masuk waktu seper-tiga malam, saya dapati ibu menangis di kamarnya yang gelap.

“Sudah lama bukan kamu tidak makan sayur asem, tempe goreng, dan sambel terasi?” ujar rindu, “sebelum ke sini, ibu sedang masak itu,”

“buat saya?”

“Ya, bukanlah, buat ibu makan sendiri. Lagi pula sejak kamu kerja, kamu lebih suka jajan, makan di luar. Entah dengan teman, entah dengan pacar. Ibu sedih saat itu. Tapi tidak tahu juga, sebab kata ibu tadi, ini sambel terasi kesukaanmu. Tidak terlalu pedas.”

Supaya rindu tidak terlalu menyudutkan, saya buatkan dia teh manis hangat. 

Andai ibu tahu, dulu itu sepulang kerja saya suka diam-diam makan masakannya yang tertata rapih di meja. Dan paginya, tikus saya jadikan kambing hitam. Ibu suka gerutu pagi-pagi saat melihat meja makan makan sedikit berantakan. Saya malu. Saya sengaja melakukan itu untuk mengelabui ibu, karena malamnya saya makan kelewat banyak. Mana mungkin saya bisa tak suka makan masakan ibu, sedangkan oranglain mesti mengeluarkan biaya yang sedikit lumayan hanya untuk mendapat jasa ibu tiap ada acara nikahan dan lain-lain?

Rindu memasukkan jamu penolak angin ke dalam tehnya. “Kadang ibu ingin membuatkan minuman seperti ini untukmu.”

“Kalau nanti kau pulang, rindu, boleh titip salam kangen saya buat ibu?”

“Tentu… dengan senang hati,”

Kemudian saya lanjutkan beberapa pekerjaan yang tadi sempat saya terlantarkan. Rindu tertidur di sebelah meja kerja saya.

“Tolong nanti pukul dua bangunkan dan antarkan pulang, ya?” pesan rindu sebelum tidur.

Ruang kantor saya makin sunyi. Segala tentang ibu tadi, seperti membuat sesak dalam hati. Kangen ibu, kangen yang tak bertepi. Sebab ibu, adalah muasal kangen itu.

Jam dinding menunjukan pukul dua. Saya bangunkan rindu dan mengantarnya pulang. Tepat di depan makam itu, makan ibu, rindu berhenti dan membalikan badan. Rindu menjelma ibu. Rindu itu ibu. Ibu itu rindu. 

Keduanya seperti sepasang merpati di ujung pohon natal; yang tak bisa terpisahkan.



Perpustakaan Teras Baca, 17 Januari 2015
Tag : ,

Bagaimana Kalau Jatinangor, Bukan Jakarta?

By : Harry Ramdhani


Barangkali yang membuat tim sekelas Persija itu besar, adalah nama Jakarta. Kalau pun kata “ja” dari nama “Persija” itu Jatinangor, mungkin tim itu menjadi tim medioker yang biasa-biasa saja. Tak perlu repot-repot dilatih seorang mantan tentara sekelas Rahmad Darmawan. Tak perlu menghambur-hamburkan uang untuk membawa pulang sang ikon Bambang Pamungkas. Dan, tak perlu repot-repot mentargetkan juara ditiap kompetisi – apapun itu jenisnya. 

Sebelum super liga bergulir, Persija sudah melakoni beberapa kompetisi, salah satunya Persija Trofeo; yang dijuarai bersama-sama. Anehnya, BP (panggilan Bambang Pamungkas, selanjutnya akan ditulis demikian) mengatakan, itu hasil yang adil. Jawaban yang membingunkan, sepertinya keadilan yang paling adil di negeri ini hanya ada di kompetisi itu.

Bukan. Bukan hanya itu saja, di kompetisi yang kini sedang bergulir, SCM Cup, dan diikuti oleh delapan tim: Arema Cronus, Sriwijaya FC, Persipura Jayapura, Persebaya Surabaya, Persela Lamongan,  Semen Padang, Mitra Kukar, dan Persija itu sendiri. Pada kompetisi itu, delapan tim terbagi menjadi dua grup: Sriwijaya FC Semen Padang, Persija, dan Persebaya, tergabung dalam grup A. sedangkan Persipura, Mitra Kukar, Persela, dan Arema Cronus di grup B. Sialnya, dilaga pembuka, Persija mesti takluk 0-1 dari Sriwijaya FC. 

Satu-satunya gol pada laga itu dibuat oleh Ferdinand Sinaga, setelah Tibo diganjar oleh Indra yang membuahkan dua kartu kuning dan tendangan bebas. Gol itu dibuat dari eksekusi tendangan bebasnya yang melewati ketiga kepala pagar betis pemain Persija. Satu gol, satu pemain dikeluarkan. Gol itu semahal kesombongan Ferdinand yang pergi meninggalkan Persib selepas mereka juara dan menjadi pemain terbaik di laga final itu. 

Sebenarnya laga Sriwijaya FC melawan Persija dilakukan hari sabtu (17/01), tapi karena hujan turun terlampau deras dan struktur rumput di stadion itu membuat lapangan tergenang. Dan akhirnya mesti ditunda ke minggu pagi. Coba setiap stadion di Indonesia kerja sama dengan perusahaan pembalut. Jadi rumput di stadion dibuat punya daya serap –bukan malah daya tampung.

Pada pertandingan itu Persija tidaklah bermain buruk. Tidak juga bermain baik. Tapi, tidak juga Persija bermain biasa-biasa saja, karena Persija dihuni pemain-pemain yang mahalnya luar biasa. Pada lagi itu, Persija hanya bermain mengikuti arah datangnya bola. Bola ditentang keras dari belakang ke depan, maka para pemain berlarian mengejarnya. Mereka diserang, tidak ada yang membantu pertahanan. Begitu sampai pertandingan usai. Paling hanya satu kali Persija benar-benar mengancam Sriwijaya FC, ketika Stefano Lilipaly mendapat umpan atraktif dari BP dengan pundaknya tapi ketika berhadapan langsung dengan Dian Agus, kiper Sriwijaya FC, tendangannya terlampau pelan. Entah, itu tendangan langsung atau sebuah operan.

Itu juga bisa dilihat dari statistik pertandingan. Penguasaan bola berimbang 50-50. Tendangan ke gawang pun mereka kalah unggul. Hanya sedikit mendekati satu angka untuk tendangan melenceng; namun yang pasti, akan selalu ada nama Ismed Soyfan di sana.
Namun, apabila melihat beberapa berita tentang Persija sebelum laga itu, sepertinya wajar-wajar saja. Sebab pelatih Pesija tidak menargetkan juara, ia hanya ingin melihat kekompakan anak asuhnya dan melatih mental menjadi seorang pemenang. Bagi seorang Rahmad Darmawan, itu jauh lebih penting. Juga, pada kompetisi SCM Cup, Persija tidak membawa beberapa intinya. Greg Nwokolo dan Abdul Lestaluhu mesti mendapat rehabilitasi pasca kompetisi Trofeo Persija. Sedangkan Ramdani Lestaluhu, izin menikah.

Ketika konfrensi press, Rahmad Darmawan bilang, "seceara keseluruhan permainan berjalan seimbang." Sementara itu, saat satu tim sedang melatih mental di sebuah kompetisi untuk menang, Ramdani mesti melatih mentalnya setiap malam di ranjang. 


Perpustakaan Teras Baca, 18 Januari 2015

11 Dialog

By : Harry Ramdhani

"Kau Penyair?"

"Ya,"

"Aku suka puisi, tapi tidak suka penyair,"

"kenapa?" tanya saya.

"Penyair itu sekedar manis dan romantis dalam tulisan, namun tidak pada perbuatan,"

"tidak semua penyair seperti itu,"

"ya, memang, misalnya penyair yang jelek puisinya,"

"kau sudah dua kali menghina penyair,"

"sungguh? Penyair bahkan berkali-kali menghina, dalam bentuk puisi,"

"kan, itu beda!"

"Semua yang beda bukan berarti tak sama, dan puisi, seperti yang kau pahami, mampu menyamakan yang berbeda."

Lalu kedua malaikat itu lupa menanyakan Tuhan penyair tersebut, setelah puas debat di kuburan.


Tag : ,

Tunas Kelapa dan Cerita Pantai

By : Harry Ramdhani

Matahari muncul dengan bersahaja, sinarnya bak pijar lampu petromak. Saya dapati beberapa tunas pada fajar yang anggun di bibir pantai. Seperti bayi rembulan semalam, yang dibawa hanyut ombak hingga sisi. Tunas-tunas itu, tunas rindu. Kau tahu, selalu ada kisah rindu yang tersimpan hangat di bawah pasir-pasir pantai. Dan tunas-tunas itu perlahan akan tumbuh.

Pada sinar remang rembulan, kau akan lihat, tunas-tunas itu berterbangan. Seperti kunang-kunang yang kesepian, dan mencari teman.

Itu kisah yang saya dapat dari penjual kopi keliling, yang biasa berjualan di sekitar pantai.

Lain orang, maka lain juga ceritanya….

Suatu malam diakhir tahun 1998 pernah ada seorang bapak tua menemukan banyak mayat di pinggir pantai. Tanpa kepala. Banyak dugaan kalau itu mayat aktivis-aktivis yang hilang lalu mayatnya dibuang. Setiap malam purnama, kau akan melihat beberapa bayangan orang tanpa kepala dan memakaikan tunas-tunas itu sebagai pengganti kepalanya.

Begitu cerita penjual es kelapa hijau.

“Dari mana kau dapat cerita itu?”

“Dari para pedagang keliling di pantai ini,” jawab saya, sembari menikmati segelas kopi di warung yang tak jauh dari batu karang raksasa.

“Mau dengar cerita yang lain?”

“Ada lagi?”

Handi dan Dini, namanya. Mereka sepasang kekasih yang sedang bulan madu. Dulu pantai masih penuh semak belukar. Pohon-pohon kelapa hidup tak berjarak. Tunas-tunas kelapa sudah mulai tumbuh. Setiap senja, pantai ini akan menguning dan airnya menyerupai bir. Namun sial, ketika mereka berdua sedang main “mengubur diri” di pasir pantai, tiba-tiba ombak besar datang. Hanyut sudah. Dua hari mayat mereka tidak ditemukan. Hingga penjaga pantai membuat laporan bahwa mereka hilang.

Setelah kejadian itu, lambat laun pantai ini sepi pengunjung. Penjaga pantai pun alih profesi menjadi tukang ojek. Pantai tidak terurus. Lalu datang seorang pengembang ingin membangun kawasan penginapan. Pohon-pohon kelapa ditebang. Semak belukar dibakar habis. Pada peletakan batu pertama itulah, tiba-tiba ada sepasang tunas kelapa di bibir pantai.

Di tengah pembangunan, banyak pekerja yang kesurupan. Juga melihat tunas-tunas kelapa berterbangan setiap malam. Bahkan, di dalam mimpi pun mereka masih dihantui: tunas-tunas kelapa yang membenturkan ke kepala teman-teman pekerja.  Dan pembangunan tidak jadi dilanjutkan.

Kopi saya telah tandas. Di dalam warung, penjual kopi itu seperti memasukan sesuatu ke kantung keresek hitam dan meletakannya di atas meja. “Itu tunas kelapa, Pak? Mau ditanam di mana?” Ia diam. Hingga saya sadar, dari celah bilik warungnya, di atas meja terlihat rambut yang menjuntai keluar dari kantung itu. Pemilik warung itu keluar tak berkepala.



Perpustakaan Teras Baca,  Januari 2015

Tag : ,

Tiga Kematian di Stasiun Kereta

By : Harry Ramdhani

1/
IA menanyakan hal yang sama, pada semua orang di peron dua: kereta terakhir ke neraka pukul berapa? Mendengar pertanyaan (yang aneh) itu, tentu ia tak mendapatkan jawaban apapun –selain dianggap gila.

Tapi perempuan itu tak urung putus asa. Ia kembali lagi ke ujung bagian selatan peron dua, dan menanyakan kembali hal yang sama. Alis mata orang-orang mulai diruncingkan. Ada yang menggelengkan kepala. Malah, ada yang menganggap perempuan yang bertanya itu seperti tidak ada saja. Raut mukanya memelas. Makin lama makin terlihat cemas.

Namun, bagi saya, perempuan terlihat sedikit cantik bila sedang bingung. Dan terlihat lucu ketika murung. Saya lihat ia sudah di ujung utara peron dua. Perempuan itu berdiri tepat di bawah lampu. Tak lama, ia senyum-senyum sendiri, seperti menemukan jawaban yang dicari-carinya sedari tadi. Ah, sebenarnya apa yang dimaksud perempuan itu, kata saya dalam hati.

Klakson kereta itu sudah terdengar dari kejauhan.
Perempuan itu maju satu langkah ke depan.
Kereta masuk stasiun dari arah selatan.
Ia menanyakan hal yang sama, pada bayangannya –melewati garis aman.

Dan, pada saat yang bersamaan kereta itu menabraknya. Tubuhnya terpental jauh. Namun setelah evakuasi dilakukan, dari wajah perempuan itu ditemukan seperti sedang tersenyum senang. Betapa beruntung perempuan itu, bisa mati dalam keadaan tenang.

2/
DI depan toilet umum stasiun itu dibangun sebuah patung seorang perempuan. Menurut cerita, itu perempuan gila yang mati di depan toilet umum. Setelah kematiannya, toilet umum itu menjadi sangat angker. Selalu ada kejadian yang aneh-aneh. Pernah satu waktu pengguna toilet mati dengan tubuh berlumur tahi. Kejadian itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan ada juga yang mati tanpa pelir, kemaluannya tidak ditemukan di sekitar toilet. Hilang begitu saja. Setelah Perusahaan kereta itu dikelola swasta dan tidak ingin kejadian-kejadian aneh itu terulang, maka dibuatkan patung di depan toilet umum itu.

Namun ada juga cerita lainnya: ini tentang kisah cinta penjaga loket dengan petugas pemeriksa tiket. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan. Mereka dipertemuakan oleh duka yang sama: masing-masing di antara mereka telah lebih dulu ditinggal mati kekasih yang dicinta. Persis saat-saat ketika ingin melangsungkan pernikahan.

Hubungan mereka sangat bahagia. Ke mana-mana selalu berdua. Di mana ada penjaga loket, di situ ada petugas pemeriksa tiket. Sangat lengket. Barangkali mereka baru pisah hanya ketika ke toilet.

Dan benar saja, setelah rapih-rapih ingin pulang shift malam, mereka pergi ke toilet. Penjaga loket itu sudah selesai lalu menunggu pacarnya di depan toilet. Lama sekali. Teman-temannya sudah pulang , tapi perempuan penjaga loket itu tetap menunggu. Dia berdiri di depan toilet laki-laki sampai pagi. Baru saat itulah pasangannya ditemukan tewas dengan luka tusuk di jantungnya. Semalam ia dibunuh di dalam kamar mandi.
Mungkin karena telah lelah, perempuan penjaga loket itu mati terserang penyakit jantung di depan toilet laki-laki. Untuk mengabadikan kisah cinta mereka, akhirnya dibuatkan patung perempuan di depan toilet umum itu.

Sesaat setelah keluar dari toilet umum, tepat di depan patung itu, seperti ada yang tangan yang menarik baju saya.

3/
Tidak pernah ada yang tepat waktu di negeri ini, tak terkecuali jadwal kereta. Tapi, dari ketidak-tapatan itulah kau akan membuat suatu pola sendiri, dari yang belum terpola. Kau mulai sadar, sebelum keretamu datang akan selalu ada kejadian yang terjadi berulang: entah terlebih dulu kereta barang yang datang, entah kereta yang tiba di seberang, dan entah orang-orang yang biasa barsamamu pulang. Apa saja.

Mungkin sebagian orang di stasiun itu ada yang menganggap saya tidak waras. Sebab saya menunggu kereta yang rutenya telah dihapus. Karena tahun lalu terjadi kecelakaan beruntun di stasiun.


Perpustakaan Teras Baca, 14 Januari 2015
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -