The Pop's

Archive for January 2014

Biar Kutitipkan Kau Pada Semesta

By : Harry Ramdhani
Saya sempat menulis tentang buku puisi Kepulangan Kelima, di sana saya berandai seperti seorang anak kecil yang diberikan kotak musik mainan yang ketika dibuka kotaknya maka akan mengeluarkan bunyi atau nyayian dari kotak tersebut.  Entah, ada yang membuatnya saya selalu suka membaca buku puisi Kepulangan Kelima berkali-keli.  Salah satu puisi yang saya suka adalah Biar Kutitpkan Kau Pada Semesta. membaca ini, saya sadar betul bahwa hidup di negeri ini tidaklah mudah.  Tidaklah semudah mengajak menikah.  Tidaklah semudah bercinta sampai lelah. Ada sesuatu pesan yang secara tersirat maupun terurat di sampaikan om Irwan Bajang lewat puisinya ini.  Sungguh, saya menyukainya.  Sangat.

Dan saya sarankan untuk membeli buku puisi Kepulangan Kelima.

Biar Kutitipkan Kau Pada Semesta



biar kulepaskankau bayi mungil lucuku
bayiku gemuk berkulit hitam
bermata sayu dan berbibir agak tebal
beri kesempatan aku untuk melupakanmu

biar kutitipkan kau pada semesta
sebeb merawatmu,
sama saja menyaksikan kematianmu pelan-pelan
rambut keriting hitam di kepalamu
belum mengerti mahalnya susu dan makananmu di negeri ini
harganya telah membuat ayahmu mati kemarin pagi
dikeroyok manusia satu terminal

di tanah yang katanya surga tropis ini
serigala dan setan bersindikat menjadi raja rimba
ini persoalan tak sederhana, nak
mata sayumu terlampau bening untuk paham segala
jadi, biarkan kutitipkan kau pada alam raya
tidur yang nyenyak di keranjang ini,
menangislah esok di dingin pagi
semoga seorang bingung berkenan menjemputmu

kelak jangan percaya pada siapa pun
jangan pernah cari aku, ibumu
apalagi ayahmu
: ia telah mati kemarin pagi
dibacok orang satu terminal
lantaran ketahuan menyobek tas penumpang

jangan pernah cari aku
aku akan mulai berdandan dan bersahabat dengan malam
menjual daging berlendir
sambil menertawakn nasib yang makin muram
ijazah tamat SMP-ku, sudah lama aku lupakan
telah lama hilang bersama banjir dan bocor di rumah kita
tidurlah dan esok pagi menangislah
aku, ibu kandung yang secara halal dan sah menikah dengan ayahmu
akan pergi mengganti semua identitas
kau bukan anak haram,
hanya saja kau lahir pada keluarga yang salah
kami manusia miskin yang tak mau berbagi kemiskinan denganmu
sayang



2009
Irwan Bajang, Kepulangan Kelima
gambar: dari sini
Tag : ,

Kubelajar Menulis Namamu, Seruni

By : Harry Ramdhani


di terang bulan, yang sembunyi di antara bintang dan hujan
diam-diam ingin kurangkai namamu.
nama yang tak lagi kusebut selepas sembahyang
akhir-akhir ini sering gentayangi isi kepalaku
; yang kosong tak berilmu.

rindu ini, Seruni,
lebih indah dari purnama,
lebih deras dari hujan di bulan januari,
lebih sakit dari pukulan tentara Orba pada mahasiswa.

adakah cara lain untuk merindukanmu, Seruni?
yang lebih baik dari sekedar pencintraan;
retorika bualan tanpa perubahan.
agar bisa kurangkai namamu dengan benar di sini.

"coba kau tanya gelandangan,
; mereka yang mencari sesuap nasi dari jalan-jalan,
dari bekas makan yang tak dihabiskan
yang kotor tapi, tetap saja menikmati.
rindukan aku seperti itu, kekasihku,"

Hidup dalam khayalan.
Hidup dalam kenyataan.*)
namamu akan kusandingkan dengan bintang dan hujan,
mana mungkin aku musti meniru gelandangan,
itu terlalu rendahan, bukan?

"rindu bukan soal tinggi atau rendah kedudukan,
tapi rindu ialah perkara kau kuat menahan
rasa di antara peraduan
; mengakhir atau tetap melanjutkan."

"Banyak aktivis yang dulu berteriak ketidakadilan
kini bersembunyi di balik kokohnya jabatan.
Hidup mereka nyaman. mapan.
sandang, pangan, dan papan tak perlu lagi dipikirkan
karena negara sudah menjamin itu dalam anggaran.
mereka lupa akan arti memperjuangkan sesuatu yang dulu telah dilakukan.
seperti halnya rindu, kau akan kuat menahan
apabila ingat semua yang pernah kau perjuangkan," lanjutmu

kini aku hanya mampu mengeja namamu,
bersama buruh-buruh yang lantang
berteriak upah tak sesuai pengeluaran,
karena harga-harga dan kebutuhan tak sanggup lagi di bahas dalam anggaran.





Perpustakaan Teras Baca, 31 Januari 2014
*) dari puisi Sajak Kenalan Lamamu, WS Rendra 
gambar: dari sini
Tag : ,

Perempuan Pujaan Pujangga

By : Harry Ramdhani


Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.*

Pada hujan yang turun tengah malam, cintaku
yang kurasa menyelimuti celah-celah sempit kalbu.
Kaulah pujaan hati, sampai nantinya
khayalan terhapus pahitnya realita.

seperti korek bagi perokok,
cinta, mudah hilang
dan sulit (kembali) ditemukan.

Ada kalanya dirimu, cintaku,
menjadi alarm; pengingat masa lalu
yang membunyikan dengan berisik rindu.

Tuntunlah aku ini, Pujangga
yang gemar melukis kata-kata ketika senja,
ketika hujan turun, dan ketika birahi jadi juara
di dalam kamar yang sesak kepulan asap bayang-bayangmu di sana.

"Hidupku lebih tenang denganmu, dengan puisi-puisimu
yang setiap kali kubaca hanya perihal kesedihan dan rindu," katamu.
Di jaman di mana orang-orang butuh kepastian tindakan,
kau masih percaya bahwa puisi mampu membuat hatimu tenang.

"Menulislah," kataku
Dan, di jaman yang serba endan,
perempuan yang (sekarang) gemar menulis sepertimu pun ternyata masih bisa ditipu oleh uang.
Kau pergi meninggalkanku.

Kini, yang tersisa hanya semua tulisan-tulisanmu,
yang rapih ku-tata di dalam tas gemblok
supaya setiap kuberteduh menunggu
hujan, aku bisa baca-baca berulang kali seperti orang goblok.

Kau tetap pujaan hatiku, cintaku,
seorang perempuan yang gemar menulis ini-itu,
yang telah dibawa pergi oleh tumpukan uang.

Hujan lagi.
Rindu lagi.
Kau yang pergi.
Aku tetap di sini.




Perpustakaan Teras Baca, 28 Januari 2014
*) Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations 
gambar: dari sini 
Tag : ,

Perihal Kepulangan

By : Harry Ramdhani


kehilangan itu menyakitkan.
andai kubisa temani sepanjang jalan pulang,
'kan kuceritakan pada malaikat perihal kebaikan, ketulusan,
dan rasa sayangmu yang tak surut hingga akhir pertemuan.

sampai tiba saatnya, malaikat dan Tuhan
berdiskusi sengit memutuskan
; mana yang lebih baik untukmu? surga atau neraka.
bagiku sama saja, karena kau tetap tenang. di hatiku selamanya.

perihal kepulangan, seperti tebak-tebak buah manggis,
hanya Tuhan dan… Tuhan saja yang tahu;
aku, mereka, dan kita semua sekedar menerka.

akankah kita bertemu kembali, kekasihku?
karena itu hanya perkara waktu,
waktu adalah saudara kembar kenangan*
kebersamaanmu pasti kukenang.




Perpustakaan Teras Baca, 28 Januari 2014
*) dari puisi Kepulangan Kelima, Irwan Bajang
gambar: ini
Tag : ,

Penyair Dikalahkan Pelacur

By : Harry Ramdhani


/1/
"Ada yang ingin kau pecahkan
malam ini. Kesunyian. Kekal temani
dirimu terikat erat kenangan-kenangan.
Ke sini, tiduri tubuhku sampai pagi."

/2/
"Kau tahu, penyair butuh menyendiri
untuk dapati sajak-sajak yang menyayat hati,
hidup penyair penuh luka dan kesedihan
tapi, luka dan kesedihan, bagi penyair ialah kebahagiaan."

"Puisi tanpa luka, sama halnya melawan tanpa menyerang.
Puisi tanpa kesedihan, sama halnya menangis tanpa airmata.
Tinggalkan sudah pena dan kertasmu,
karena kebahagiaanmu berada di ranjang."

/3/
"Biarlah aku teguk bir dan menulis puisi,
bawa semua harapan dan mimpi pergi.
Pergi, kataku, aku ingin sendiri
denganmu luka dan kesedihan tak kudapati."

"busa-busa yang menempel di putingku nanti
ialah jejak bibirmu; dengan nikmat kau lumati.
Untuk apa luka dan kesedihan dibutuhkan?
Toh, puisi hanya peluru di dalam pistol gombalan."

/4/
Penyair itu diam. Pelacur menang.




Kedai Alania, 24 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Hujannya Hujan

By : Harry Ramdhani


kekasih, hujan biaskan sedih-sedih
pada luka yang makin hari kian perih
dirasa, hujan terus turun seharian,
kini aku lupa kalau rindu sedang bergelantungan.

Seperti menggali minyak di perut bumi,
merindukanmu penuh resiko
dan ketidakpastian yang tinggi.

Di sepanjang jalan pulang, lalu lintas tersendat
luapan air yang menggenang. Rinduku
tak bergerak. Stak!
ingatanku tersesat.

Hujannya hujan, kekasih,
aku inginkan sebuah pelukan
yang mampu tiduri kenangan
dan hangati masa silam

"Duduklah yang manis, tunggu
akan tiba saatnya rindu ini bertemu
dan menceritakan semua tentang masa lalu
yang belum sempat terselesaikan," katamu

tak hanya duduk, kekasih, rinduku pun bertasbih
karena luka pada hati yang tengah sedih.
Airmata, seperti yang kita tahu, kerap hadir
di doa-doa malam
orang yang tersesat dan meminta arahan-NYA kembali pulang.

kau dan rindu, seperti wayang dan dalang,
tak bisa terpisahkan
; keduanya saling memainkan peran,
menjadi suatu pertunjukan yang menyedihkan.




Kedai Alania, 24 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Mariday, Tukang Sol Sepatu dan Sepatu Pemberian

By : Harry Ramdhani


Langkah kakinya terhenti di warung sembako Pak Suryatna. Ada seorang wanita memanggilnya. Ia menghampiri dengan sedikit tertatih, maklum dari pagi belum sarapan dan ini sudah pukul tiga (sore maksudnya). Badannya lemas, bajunya berkeringat, mukanya usang seperti kotak mainan yang dipenuh jaring laba-laba.

Sudah lima tahun Mariday, seorang duda beranak satu, menggantungkan hidup menjadi tukang sol sepatu. Ia pasrahkan hidupnya pada dua kotak sol sepatu buatannya sendiri itu. Kotak sol sepatu dan segala isinya yang rela disisihkan dari setengah hasil uang pensiun dini lalu. Mariday diberhentikan karena penyakit yang diidap semenjak di mutasi ke divisi baru. Tidak ada yang membuatnya nyaman bekerja sampai bertemu hari sabtu atau minggu.

Diabetes, atau yang lebih dikenal penyakit gula, membuatnya bolak-balik rumah sakit karena penyakitnya semakin parah. Gaji yang didapat dengan jerih-payah mendadak musnah. Habis untuk cuci darah. Bagaimana tidak, olahraga saja tidak pernah.

Hari-harinya semasa bekerja disibukan dengan pekerjaan yang 'entah kapan bisa diselesaikan'. Memang banyak orang bilang, "semakin tinggi jabatan, makin tinggi pula tanggung jawab yang diberikan." Dulu, hampir setiap hari Mariday pulang larut malam. Tapi, lain cerita dengan Mariday, Ia tersisihkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan apa yang telah dihasilkan selama di perusahaan.

Bila mengingat kembali masa-masa sebelum pensiun, Mariday terkadang suka terseyum. Melihat orang yang tidak suka dengan kita (karena kebaikan) ialah cara terbaik mengobati luka, begitu katanya. Mariday besar oleh didikan orangtua yang terbilang serba tidak punya, namun itulah yang kini membuatnya selalu rendah hati pada siapa saja. Sekarang Ia mesti menjalani sepanjang umur tua-nya dengan penyakit dan kedua anaknya. Untung masih ada dua kotak sol sepatu yang membuat mereka bisa hidup tanpa mesti minta-minta. Mariday menjadi tukang sol sepatu keliling setiap harinya.

***

Langit tampak mendung sekali. Cuaca nampaknya kurang mendukung Mariday berkeliling hari ini. Aku sudah masukan beberapa peralatan sol sepatu dengan penuh hati-hati. Pernah suatu kali, aku tidak rapih memasukan alat-alat ke dalam kotak, akhirnya tangan Mariday terkena jarum untuk memasukan tali. Darahnya keluar cukup banyak dan hampir diamputasi. Maklum, sebagai adik kandung perempuan, aku hanya bisa membantu itu sebelum ada panggilan kerja nanti.

Di rumah, tugasku menjaga anaknya yang lumpuh sejak kecil, kedua kakinya tidak bisa digerakkan lagi. Dokter memvonis terkena Polio, katanya karena tidak pernah dibawa ke posyandu untuk vaksinasi. Memang benar, sebagai orang tua, Mariday sibuk mencari uang dan anaknya kadang dititipkan ke tetangga sana-sini. Waktu itu aku masih tinggal di kampung, menyelesaikan sekolah kejuruan di Wonosari. Bermodalkan ijazah itu, aku beranikan datang ke sini.

O ya, sebenarnya Mariday itu hanya nama panggilan. Orang-orang sering memanggil itu ke Kakakku dari kecil, dan aku jadi ikut-ikutan. Nama aslinya Mariono Dayat disingkat Mariday, sungguh sederhana bukan? Seperti rokok kretek, karena rokok tersebut ketika dibakar mengeluarkan bunyi kretek kretak, makanya diberi nama demikian. Tidak ada makna yang khusus dan mendalam.

Tak mudah menjadi tukang sol sepatu ditengah biaya hidup yang makin hari makin membuat sakit hati. Tapi, Mariday menjalani itu semua dengan sepenuh hati. Biar bagaimana pun musti dijalani. Musuh terbesarnya ialah perilaku konsumtif yang makin meninggi. Asalkan melihat barang murah, langsung dibeli. Sepatu khususnya di sini.

Nampaknya hari ini Mariday tidak berkeliling perumahan seperti biasa. Selain karena kondisi badanya yang sedang tidak baik, dari pagi Ia sudah keluar rumah tanpa membawa peratalannya. Mungkin membeli makan, mungkin bertemu pelanggan, atau mungkin menjumpai mantan istrinya. Istrinya. Setelah pensiun dini, istrinya meminta cerai dan menikah lagi dengan Suwardi, teman lamanya di perusahaan, tapi hubungan mereka baik-baik saja. Perempuan, selalu butuh tempat untuk melanjutkan hidup di masa depan, walau musti cerai sebagai jalannya.

"Aku ke warung dulu beli mis instan, kamu lapar 'kan?" kataku pada Husni, anaknya Mariday yang kuperhatikan daritadi sudah memegangi perut.

"Kalau ketemu Ayah, ajak pulang, ya," jawabnya cemberut.

Husni memang seperti itu kalau kesal, eh, maksudku lapar. Atau semua orang juga akan demikian kalau lapar? Sepertinya benar.

Dengan uang pas-pas-an yang cukup hanya membeli satu bungkus mie instan, aku langkahkan kaki dan berdoa agar Husni baik-baik saja. Warung terdekat adalah warung sembako milik Pak Suryatna. Namun cukup jauh juga jaraknya, seperti dari Monas sampai Istana Merdeka.

"Mariday," kataku terheran. "Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Eh, kamu, Dik. Maaf aku belum sempat pulang, tadi aku habis ketemu mantan istriku. Meminjam uang, tapi seperti biasa, aku selalu pura-pura menawarkan sepatu yang ingin dibenarkan."

"Lalu, kenapa tidak langsung pulang? Tidak dapat pinjaman."

"Ya, tapi aku diberikan sepasang sepatu ini, rusak memang." Mariday menjulurkan sepatu putih dengan rumbai-rumbai di bagian atasnya. Lucu, sangat perempuan.

"Untuk apa kamu terima, toh, ini juga tidak bisa digunakan."

"Kamu ini bagaimana, sih, aku ini tukang sol sepatu, semua sepatu awalnya memang rusak, tapi dengan sedikit sentuhan dariku pasti bisa tampak menawan."

"Kemudian ingin kamu apakan?"

"Jual saja ke orang-orang."

"Yasudah, aku ingin membeli mie instan untuk Husni, Ia sudah kelaparan." Aku dan Mariday bergegas pulang.

***

Sepatu putih dengan rumbai-rumbai pemberian mantan istrinya telah selesai Ia perbaiki. Hasilnya mirip seperti sepatu asli. Tak terlihat jahitan di sana-sini. Sembari Ia keliling perumahan, sepatu itu pun sekalian Ia tawarkan ke orang-orang yang sepatunya sedang diperbaiki.

Menjualnya tidak terlalu rumit, karena harganya yang murah dan Mariday sadar betul akan perilaku konsumtif orang-orang sekarang ini. Asal murah pasti dibeli. Itu yang membuatnya berpikir untuk kini mencari sepatu-sepatu bekas untuk dijual kembali.

Hasil penjualan sepatu Ia jadikan modal awal. Mencari sepatu bekas di Jakarta tak sesulit menyiapkan makan siang untuk bekal. Tinggal mendatangi daerah-daerah kolong jembatan, pasti sudah bertemu banyak yang menjual. Hidup di Jakarta memang butuh banyak akal. Asalkan yang dilakukan itu halal.

Usahanya menjadi tukang sol sepatu dan menjual sepatu bekas lebih-kurang sudah maju. Lumayan, berawal dari dua kotak sol sepatu buatannya itu, kini Ia tidak perlu keliling perumahan karena telah mampu membuka kios sepatu. Bisa membelikan Husni kursi roda dan baju baru. Bisa memperkerjakan adiknya di kios untuk bantu-bantu.

"Husni, hari ini Ayah ada uang lebih. Kamu ingin apa?" tanya Mariday.

"Aku ingin punya Ibu saja," jawabnya datar tanpa ekspresi.

Aku dan Mariday kaget, tidak menduga awalnya kalau itu yang keluar dari mulut Husni. Mariday tidak menjawab dan aku diam, badanku seakan beku ketika sedang berdiri. Permintaan anak-anak memang ada-ada saja; termasuk meminta Ibu baru ini.

"Kenapa kalian tidak menikah?" tanya Husni. "Usaha Ayah sudah lumayan maju, rumah kita sudah direnovasi, apa lagi yang ditunggu?"

Obrolan di meja makan semakin tak terarahkan. Tanpa jawaban, kita semua masuk kamar masing-masing, bersamaan. Di kamar, aku memikirkan pertanyaan Husni tadi yang tidak perlu-perlu amat dijawab tapi, cukup memberi perhatian lebih untuk dipikirkan. Menikah dengan kakak sendiri? Ah, tidak mungkin, bukan?





Rumah Bang Rifky, 19 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Tanpamu, Rindu Gerecoki Kamarku

By : Harry Ramdhani


Ular besi delapan gerbong telah tiba.
Inilah perpisahan kita
yang akan menyiksa. Kekasih, ingat itu,
aku tak lagi tahu kapan bisa menjumpaimu.

Aku tak ingin pulang, karena rindu
sudah terlebih dulu sampai di kamarku.
Itu kamar kita, tempat birahi mengerang
ketika lampu remang mengisi ruang.

Ranjang dan selimut kesepian,
tak ada lagi dua manusia telanjang badan
yang sembunyi menikmati malam.

Sebab biasanya, di luar hujan
enggan berhenti seliweran.
Bolak-balik, mengawasi kita di dalam
yang tengah panas; birahi dipanggang di atas ranjang.

Kita tahu, bila rindu sudah terlebih dulu
tiba di depan kamar, maka siapa yang siap membukakan pintu?
Malaikat sedang sibuk mencatat amal baikmu dan Tuhan ragu
; apakah rindu kuat ditinggal sendiri, di kamar tanpa kau di situ?

andai kau masih di ranjang, tidur terlentang,
mungkin rindu senang, kekasih.
Dan, tak lagi akan gerocoki malam-malam
bila nanti turun hujan. Aku pun ketakutan.

Kau pergi tanpa kenakan pakaian dalam,
karena punyamu masing nyangsang
di antena radio kesayangan
; yang sering leburkan suara kita dengan volume musik yang dikencangkan.

Tanpamu, rindu gerocoki kamarku.




Pondok Senja, 20 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Pada Akad, Pilu Mulai Merangkak

By : Harry Ramdhani



"Selamat menempuh hidup baru, kamu."

"Terimakasih sudah menyisihkan waktu untukku."

hari ini tepat jam sembilan pagi,
di langit yang kurang cerah
hatiku mencoba tabah
dari semua saksi yang nanti
akan serentak mengucapkan, "Sah"

ini ialah tindakan nekadku
yang rela hadir di akadmu,
meski kutahu, kesedihan dan keikhlasan
bak dua gunung kembar di buku bergambar pelukis kenamaan.

jika hidup seperti Yin dan Yan,
maka, musti ada kesedihan dan kebahagiaan
ketika nanti, di resepsi pernikahan.

aku yang bersedih
dan kau, yang berbahagia.
adilnya cinta
; berimbang antara satu dengan lainnya.

Jakarta yang sedang menjelma lautan
hari ini, airmataku banjir di penampungan relung hati terdalam,
tapi tetap kupaksakan
meski pahit menerima kenyataan
menjumpaimu di kursi pelaminan.

tepat di atas meja makan, kubaca
"Selamat Menikmati"
tapi, apa yang bisa aku nikmati
bila nyatanya hati terasa nyeri?

pada akad pertamamu (dan mungkin ada akad selanjutnya denganku), ada harap
pilu mulai merangkak. perlahan. saat dahaga
pun berhenti sejenak; menenggak airmatanya

dipanjatkan doa-doa juga restu pada kalian berdua. kubelajar menerima
barangkali tabah bisa menerka
kesedihan dikala getir yang setia.




Rumah Bang Rikfi, 19 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Sajak-Sajak Terakhir

By : Harry Ramdhani


sajak ini,
sajak terakhir untukmu
yang membawa lari
kebahagiaan dan harapanku.

hujan tak lagi kenal henti,
sedihku
pun hanyut mengikuti
kebahagiaanmu.

kalender di meja kerjamu jadi saksi
penantianku selama ini,
dari hari ke-hari
sampai jam sembilan akad nikahmu nanti.

walau hari itu hari libur,
aku akan tetap jadi seseorang yang paling sibuk
meratapi kesedihan dalam gubuk
tanpa kasur. Sedihku terjaga, tak bisa tidur.

aku ingin menghitung mundur waktu
pernikahanmu dari sekarang;
dari surat undangan
yang jelas terpampang di mading -- sebelah tulisanku.

ini terlalu cepat untuk sebuah pernikahan.
aku belum siap dengan penyesalan,
Dan kenapa? padahal tidak semua kenikmatan
perbuatan dosa, kan?

kaulah sumber airmata,
maha pembuat luka.

mengagumimu
ialah cara terakhirku
tersenyum, pada sayatan nyeri dalam kalbu.

Sajak ini,
sajak terakhir untukmu
setelah kau sah menjadi
istri untuk suamimu.
Tentunya bukan aku.
Itu pasti.



Perpustakaan Teras Baca, 18 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Tuan Ojek Payung

By : Harry Ramdhani


Hujan, sayang,
pelan-pelan, jalanan habis hujan
licin. Aku pernah lihat wanita jatuh; ngejengkang,
terpeleset di pinggir jalan. Kasihan.

makanya, saat hujan aku pilih diam,
rinduku perlahan merayap
dari jalan yang basah
sampai kamarmu yang penuh gairah

hujan ialah ludah Tuhan.*
Aromanya
khas di atas aspal yang kepanasan
lendirnya
seperti kenangan,
lengket dalam ingatan
sayang,
birahiku berceceran.

"Tuan Ojek Payung,
kenapa kau bisa kuat hujan-hujanan?"
tanyaku. Aku penasaran.
Aku sudah bersiap walau awan masih mendung.

aku ingin seperti Tuan Ojek Payung,
yang tidak jatuh, terpeleset, dalam rindu-rindu
terdahulu, langit sudah isyaratkan awan mendung
pun tangis bisa banjiri kalbu.

Sayang, payungku terlampau kecil
untuk kau ojek-i, namun rindu
atas masa lampau seperti anak kecil,
yang tak bisa diatur meski aturan sudah diberi-tahu.





Perpustakaan Teras Baca, 17 Januari 2014
(*)Koide's Tweet 
gambar: dari sini
Tag : ,

Memimpikanmu Pagi Buta

By : Harry Ramdhani


Kekasih, percayakah kau kalau mimpi itu membingungkan? Aku percaya. Bagaimana tidak, alur cerita dalam mimpi selalu buatku ingin bangun dan cepat-cepat melupakan. Aku tidak mungkin salahkan Tuhan yang berikan mimpi itu, tapi kadang karena keberadaan Tuhan semua pasti membingungkan. Ada orang mengaku sebagai Tuhan, ada orang yang terlalu fanatik (membela mati-matian) pada Tuhan, ada orang yang berTuhan tapi, kelakuan dan hatinya seperti setan. Bagiku, Tuhan semata untuk disembah, tidak lebih.

O ya, kekasih, reaksiku ketika bangun dari mimpi selalu bingung --apa yang mesti aku lakukan setelah memimpikan itu, namun selama berada di alam mimpi aku nikmati saja. Toh, itu tidak nyata.

Kadang aku takut ketika diberikan mimpi, apalagi memimpikanmu, karena ketika itulah harapanku kembali tumbuh. Ah, pernah aku memimpikanmu ketika tidur lebih cepat dari biasanya. Dalam mimpi aku bahagia bersamamu. Tidak ada lagi yang melarang kita berhubungan. Tidak ada lagi yang menolak ketika ingin bersetubuh di dalam kostan. Tidak ada lagi yang berjanji kalau tak akan pergi. Aku menikmati.

Tapi, perbandingannya hanya satu berbanding tujuh. Satu mimpiku bahagia bersamamu, sisanya menjengkelkan.

Aku sesekali coba mengakali supaya tidak lagi memimpikanmu (bukan maksudku mengakali Tuhan), tapi apapun yang diberikanNYA aku harap mimpi-mimpi yang bahagia saja.Aku coba untuk tidak tidur ketika malam, namun aku coba tidur nanti ketika sudah pagi.  Demi apa? Demi bisa memimpikanmu lagi (yang bahagia).

Duh, mukhadimah-ku terlalu panjang, yah? Sebenarnya aku ingin ceritakan mimpiku tadi pagi. Ya, aku memimpikanmu tadi pagi. Seperti yang aku katakan tadi, aku mengakali supaya dapat bahagia walau itu hanya dalam mimpi.

Tenang, kekasih, aku sudah terbiasa dengan mimpi yang membingungkan.

Jadi begini, di dalam mimpi aku sedang tersesat di suatu perkampungan yang hanya dihuni oleh beberapa penduduk. Salah satu penduduk itu kamu. Entah bagaimana caranya aku yang tersesat sudah kenal denganmu. Kita berbincang panjang-lebar di ruang tamu. Pakaian yang kamu kenakan seadanya. Baju putih polos yang hampir tembus dan celana pendek yang kurang pantas disebut celana -karena hanya dijadikan formalitas kalau kamu tidak setengah telanjang. Aku coba menahan birahi. Tapi kamu, selalu memancingnya supaya melakukannya di sini.

"Lebih baik kamu mengajakku keluar. Jalan-jalan," kataku yang takut kalau-kalau nanti aku malah lepas kendali

"Jalan-jalan ke mana?"

"Ke mana saja. Tapi, yang jelas aku tidak ingin cepat-cepat pergi dari aku yang sedang tersesat."

Kita pergi ke suatu tempat di mana orang-orang tidak ada yang mampu melihat. Ruangan gelap. Cukup jauh dari tempat tinggalmu, tapi aku tahu kalau di luar sana ramai.

Hanya 30menit kita di dalam. Namun, yang kita lakukan sama saja seperti di rumahmu: berbicang panjang-lebar. Sungguh. Itu seingatku. Kita lanjutkan jalan-jalan ke suatu tempat yang sepi, tapi aku bisa longkok sekitar kalau banyak orang yang di sana. Manusia, lebih suka di dalam (ruang) menuai harapan daripada keluar (ruang) melihat kenyataan.

Di ujung jalan, aku melihat seorang perempuan. Mirip sekali denganmu. Sangat. Mungkin kalian sepasang anak kembar yang terpisah, seperti sinetron Liontin, yah?

Kamu kaget. Orang yang mirip denganmu pun demikian. Aku, sih, malah senang, ada dua orang yang kusuka jadi dua orang. Lebih puas, bukan?

Kita bertiga mampir ke taman. Aku juga tidak tahu, kenapa dalam mimpi suka sekali pergi ke taman sebagai tempat tujuan. Sialnya, taman-taman itu selalu berbeda antara mimpi satu dengan lainnya. Kamu dan kembaranmu sibuk bertukar cerita, dan di sana aku mendengarkan saja.

"Aku tinggal bersama nenek, katanya orangtuaku sudah meninggal sejak aku berumur tiga tahun," katamu penuh semangat menceritakan.

"Sungguh? Kamu tinggal di mana?" jawab kembaranmu penasaran.

Bla… Bla… Blast! Angin yang bertiup di taman menyarukan perbincangan kalian. Tiba-tiba kalian berdiri, melangkahkan kaki, dan aku yang tidak diajak membuntut saja. Maklum, namanya juga laki-laki.

Setibanya di rumah kembaranmu, kita bertemu dengan orangtua kembaranmu -yang mungkin orangtuamu- yang sedang duduk di teras.

***

"Mas, bangun. Mpok mau beres-beres kamar dulu."

Mimpiku terpotong. Tapi, aku hanya ingat bahwa setiap orang di dunia memliki kembar tujuh. Semoga itu benar, walau aku pernah gagal dulu bersamamu, masih ada enam orang lagi yang bisa aku miliki. Orang yang serupa tentunya.

Tidak ada yang istimewa dalam mimpi selain mimpi horor. Aku juga pernah mimpi horor tapi, aku tidak ingin menceritakan pada semua. Mengingatnya saja aku sudah takut.

Kekasih, apa kau masih mendengar cerita mimpiku di pagi buta?




Ruang tunggu mahasiswa Fisip, Unida, 15 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Dua Pria Dilucuti

By : Harry Ramdhani


Dua pria berjalan pelan
di antara kerumunan perempuan-perempuan
yang molek mejajakan badan.
Pikirannya dilucuti birahi; tak terkendali

Rumah-rumah bordir berjejeran,
dari ujung ke ujung hanya ada perempuan
dan semua pria di sana hidungnya belang,
warnanya beragam
; merah-putih-biru, kuning-hijau-ungu.
Mereka terlihat dungu.

Lihat pria-pria hidung belang itu
seperti badut kehabisan lelucon,
mereka haus guyon.

"Kau ingin seperti mereka (pria berhidung belang)?" kata pria satunya,
yang sedikit menggoda temannya. "Ya, tapi bagaimana caranya?"
pria satunya menjawab sambil meremas titit.
Tak tahan. Menahan godaan perempuan-perempuan di sana
adalah jatuh ke neraka jahanam.

"Aku juga tidak tahu. Kenapa mereka hanya menggoda
tapi, tidak diberi-tahu bagaimana caranya?
dasar perempuan bodoh."

"Mereka tidak bodoh, hanya saja kita yang norak.
Perempuan-perempuan itu lupa menuliskan aturan mainnya
dan kita, dua pria
yang ingin menjajal permainan tanpa aturan."

Sampai di ujung jalan, langkah dua pria tadi tertahan
oleh panggilan, atau sapaan, atau teguran,
atau apalah itu sebutannya,
dari perempuan berkerudung.
Melihatnya saja sudah horni.
Dua pria tadi mastubasi. Onani.

Itulah yang mereka cari,
perempuan berkerudung
di antara perempuan-perempuan yang tengah menjajakan diri,
seperti cahaya matahari di langit yang mendung.

Sial, dua pria tadi ejakulasi dini.
padahal sudah susah mereka temukan
sensasi yang langsung buat ingin onani,
kasihan, bukan?



Kedai Alania, 6 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Ampulheta

By : Harry Ramdhani


Aku tidak lagi perlu arloji. Aku sudah temukan barang langka di jaman yang serba-ada, jam pasir namanya. Istimewa, bukan? Lihat ketika diputar-balik, pasir-pasir berjatuhan dengan teratur. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit, begitu kata pepatah yang melegenda. Entah siapa? Tapi, memang begitu adanya. Aku percaya saja.

Kekasih, silakan saja jika ingin coba putar-balikan jam pasir ini, siapa tahu kesedihan dapat diubahnya menjadi kebahagiaan. Bukan begitu inginmu? Aku sadar, beberapa hari ini aku tampak menyebalkan. Lebih menyebalkan dari penjual bakso yang menanyakan ini-itu, padahal apapun yang disajikan pasti akan dimakan. Menjengkelkan.

Sampai di mana tadi? O ya, kalau kau tidak ingin putar jam pasir ini, tunggu saja sampai yang dibawah penuh. Doa-doa yang kau panjatkan tadi -ketika memutar-balik jam pasir- semoga di-ijabah Tuhan. Tuhan melihat dan mendengar apa yang kau lakukan. Kalau tidak ada juga, simpan di tempat yang Tuhan tidak bisa lihat. Di hatimu. Aku hanya takut kalau Tuhan ikut berdoa, lalu kita mesti berdoa pada siapa?

Duka
Aku sadar. Sangat sadar, kalau melihatmu menderita adalah duka yang tak sanggup aku sembunyikan di antara semua kesedihan. Daripada aku melihatmu menderita, lebih baik aku coba mencabik-cabik kulit titit sampai menjadi luka. Itu kemaluanku. Aku malu tak bisa membuatmu bahagia.

Luka
Perih. Ketika luka aku tabur garam. Sengaja, supaya aku bisa rasakan hal terperih dalam hidupku selain buatmu menderita. Kekasih, lupakan semua cerita cinta selain cerita-cerita yang sering buatmu keluarkan airmata. Di sana, aku percaya, setiap cerita yang keluarkan airmata pasti tidak bisa dilupakan. Silakan pergi asal tetap ingat aku yang bisa buatmu keluarkan airmata.

Airmata
Aku sudah katakan tadi, luka jika ditabur garam rasanya perih. Airmata itu seperti air garam. Asin. Itulah duka dan lukaku bila melihatmu menderita dan ditinggal pula. Perih. Saat airmata jatuh di pipi, aku merasa ditampar kenyataan bahwa kau telah pergi dan tak lagi kembali. Di mana kau sekarang, kekasih?

***

Putar-balik jam pasir. Kesedihanku ini sanggup membasahi seluruh daratan pesisir. Aku ingin mencoba bahagia bila nantinya tidak lagi bersamamu. Aku ingin setia pada tawa dan canda supaya tak ada lagi duka. Tak ada lagi luka. Tak ada lagi airmata.

Setia itu baik. Lihat nelayan, seberapa jauhnya Ia berlayar dan akhirnya pulang juga. Aku ingin terapkan itu. Aku adalah nelayan dan kau ikan. Tapi, aku bukan nelayan yang sembarangan menjual hasil tangkapan. Aku adalah nelayan yang ingin berlayar di semua penantian-penantian kebahagian bersamamu kelak. Entah kapan, tapi pasti.




Perpustakaan Teras Baca, 13 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Tentang Seorang Penulis yang Tak Pandai Mengemis

By : Harry Ramdhani
Kekasih, untuk hari ini, kemarin, besok, lusa, dan mungkin seterusnya, aku belum bisa hasilkan uang. Tapi, kekasih, untuk saat ini aku hanya bisa hasilkan beberapa cerita-cerita panjang yang kadang (kalau beruntung) dimuat di media-media cetak setiap akhir pekan.

Sampai kapan kau kuat bertahan, kekasih?





Pagi di awal tahun tidak berbeda dengan pagi-pagi terdahulu. Aku masih saja terjaga, padahal malam sudah atur supaya aku nyenyak tertidur di pelukannya. Gelas kopi yang sisakan ampas dan asbak yang penuh puntung rokok di sebelah laptop usang pemberian orangtua. Aku tengah selesaikan cerpen tentang seorang nenek-nenek yang mampu hidup dari berjualan kayu bakar di tengah-tengah harga minyak tanah dan elpiji melambung tinggi. Namun, sudah sepagi ini belum juga selesai. Aku serasa diteror waktu dan tulisan yang belum terselesaikan.

Sebuah pesan pendek dari editor masuk. Menyanyakan kapan cerpennya dikirim. Karena ini pula, pagi ini aku serasa diteror oleh semua. Kamu. Ya, kamu, yang tak hentinya menyuruhku mandi dari tadi. Untuk apa mandi kalau nantinya aku tidak lagi bisa tidur di kamar ini karena tak sanggup bayar uang kostan? Pagi ini tugasku menyelesaikan cerpen ini dan cepat-cepat aku kirimi.

Writer's block. Kepalaku ingin sekali pecah. Kata-kata di dalam kepala sulit sekali dikeluarkan. Macet. Makin lama mikin menumpuk. Sakit rasanya, seperti anyang-anyangan.

"Satu jam lagi kirim naskahmu. Tak tunggu," Pesan dari editor masuk lagi. Sial, yang tadi saja belum sempat dibalas.

Andai aku bisa seperkasa editor; yang semena-mena menyuruh dan menyunting beberapa kalimat yang sudah aku sulit susun. Mungkin, aku tidak lagi terus berpangku tangan pada media yang hidupnya pun dari iklan-iklan tidak jelas dan membosankan. Tapi, aku butuh uang sekarang. Butuh uang untuk bayar kostan dan menabung untuk biaya pernikahan. Tiba-tiba aku ingin seperti nenek-nenek dalam cerpenku ini.

"Kamu boleh tidak punya uang, tapi bersih itu sebagian dari iman. Ayo mandi dulu, sayang. Mau aku mandiin?" Rayumu. Perempuan memang paling suka laki-laki yang bersih dan wangi, tapi karena perempuan juga banyak laki-laki yang setiap hari mandi bersih.

"Nanti. Naskahnya sudah ditunggu. Kalau kamu mandiin mana cukup se-jam, di dalam kamu selalu nagih dan bisa selesai berjam-jam, sayang," aku cium keningnya supaya tidak langsung marah. Itu pula yang membuat perempuan mudah ditebak sikapnya: langsung marah kalau apa yang diminta malah ditolak.

20 menit menit lagi deadline.

"Pak, pasti saya kirim naskahnya, tapi ini tinggal bikin ending-nya." Aku kirim pesan pendek ke editor.

Pesan yang benar-benar pendek. Dan, aku harap tidak memendekan urusanku dengannya ke depan.

"Lin, kamu mau ke mana?" Lina pergi dengan mengemas barang. Seperti ingin pergi dan tak kenal lagi untuk kembali.

Aku biarkan semua pergi. Nafkah dari naskah yang kubuat. Lina dan tubuhnya yang terus-menerus menggeliat. Saat ini aku hanya fokus menyelesaikan cerpenku. Menulis tidak bisa diburu waktu, karena ada adegan-adegan yang bisa saja aku temukan ditengah cerita. Aku biarkan saja semua berlalu. Cerita ini, yang mungkin terlalu pendek untuk hidup yang masih panjang.

Aku hanya menulis, tapi tak pandai mengemis. Apalagi yang aku punya selain tulisan-tulisan cerita pendek dan kesenangan menyelesaikannya? Namun, untuk sekarang aku bisa tenang. Ditemani tokoh-tokoh yang kubuat. Tidak ada lagi yang mengatur, karena plot sudah mengalur. Seperti daun kelor, air yang tadinya ingin hinggap, aku biarkan mengalir tanpa perlu aku tampung berlama-lama. Cerita, cinta, dan airmata adalah satu kesatuan dari diriku yang tengah kehilangan semua.




Cafe Merah Putih dan Perpustakaan Teras Baca, 11 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Cerita Cinta Tanpa Titik-Koma

By : Harry Ramdhani


/1/
kau adalah bidadari bersayap
yang hinggap; di dalam ingatan
masa lalu dan kini telah jadi kenangan

di setiap helai sayapmu; yang lepas
itu menyimpan puluhan cerita-cerita kita
dari yang manis sampai yang na-as
andai semua cerita cinta tanpa titik-koma.
mungkin perpisahan tak 'kan jumpa
dengan pertemuan yang menyakitkan,
sayang.

maafkan aku membiarkanmu pergi
mencari beras-beras yang berserakan
sampai ke negeri orang.
Hanya saja, aku ingat betul
kau pergi tanpa tinggalkan bekas cium di kening. Itu penting

perpisahan tanpa ciuman di kening
ibarat pergi tapi lupa jalan pulang
"ingat, sayang, semua yang pergi pasti kembali.
Keningku nanti memancarkan cahaya;
jadikan penunjuk jalan pulang,"

/2/
kau adalah Bidadari tanpa sayap
sedangkan aku, laki-laki yanng penuh harap.
Seperti pelacur, cinta membuatmu ada
walau dunia mengatakan kau ini tak berharga

kau penuh luka,
darah muncah dari matamu
lesung-pun tidak lagi di pipi
tapi, di seluruh badanmu.

tidak ada lagi kedipan-kedipan
yang menggemaskan,
lekukan tubuhmu yang menggairahkan,
kau hancur sebadan-badan

kembalilah,
kembali dengan luka-luka
yang buatmu tak lagi berdaya

pulanglah,
pulang dengan bahagia
walau cerita cinta memang dengan titik-koma.




Perpustakaan Teras Baca, 10 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Sayangku, Kaulah Skripsiku

By : Harry Ramdhani


melupakanmu itu sulit
karena dulu,
mendapatkanmu itu rumit,
sayangku.

Seperti skripsi,
ingin sesekali aku tinggal
jauh, dari hari ke-hari
dari halaman ke-halaman selanjutnya,
sampai nanti aku tertinggal
jauh oleh mereka

namun semua percuma
kamu dan skripsi adalah sepasang
pemilik badan dan bayangan
yang tak lekang walau sudah dipisahkan

sayangku,
kau ialah rindu,
skripsiku
yang belum tuntas aku kerjakan dahulu

yang sempat aku tinggal
dari hari ke-hari,
dari halaman ke-halaman selanjutnya
dalam mimpi
; yang aku harap tak jadi nyata.

Sayangku, kau ialah skripsiku



Perpustakaan Teras Baca, 7 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Hujan Tosca Senja Ini

By : Harry Ramdhani


aku melintas tanpa alas
ketika hujan, anak-anak kecil kegirangan,
orang-orang dewasa lalu-lalang
: ketakutan.

aku bisa rasakan dingin airnya,
sedingin Tuhan saat tahu ada hamba
yang lupa bersujud pasrah padaNYA.

kekuatan cinta memang luar biasa,
ada saja yang sibuk bersenggama
ketika Tuhan hampir murka.
Hujan dan dingin adalah sepasang merpati yang sereasi.

Hujan gelontori birahi
gumulku ragu dalam lamunan,
talarku ragu, masih saja tak jumpa.

Rona itu melekat,
deras teringat mana kala basah
bersama tiga tahun silam

listrik mati,
lilin-lilin habis sudah terbeli.
Dan hujan, tak sedikit pun beri sinyal tuk berhenti

saat itu semua orang sibuk.
Kecuali aku,
dan seorang yang mengganggu
di ranah gelap penuh gairah

selalu ada langit tak berwarna
hujan tosca senja ini,

angin hilir mudik, aku hangat walau tanpa perapian.
Syukuri, walau tak ada pelangi pasca ini.


oleh: Saya; Harry Ramdhani dan Pramdhani
12 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kutitipkan Luka Padamu, Rindu

By : Harry Ramdhani


 
aku titipkan luka malam ini padamu
semoga, bersamamu, Ia lekas pulih.
rindu maksudku, kekasih.

rindu ini baru sebutir nasi di piring yang panas
di malam-malam terdahulu, rinduku ada yang lebih ganas
; lebih perih dari sengatan lebah pada pencuri madu
yang diam-diam memberi manis padaku.

Andai bisa kutitipkan, tidak hanya luka
yang kuberikan, tapi tak sanggup kusampaikan
pada cerita, pada peristiwa
pada adegan-adegan mesra
di malam saat perpisahan.

katamu, "endap semua airmata
karena nanti akan tumpah juga pada waktunya,"
menampung airmata bukan semata soal seberapa kuat aku menahan,
tapi, banyak hal-hal lain yang belum sempat kita selesaikan.
Itu beban.
Itulah yang makin buatku rindu.

Malam-malam terdahulu, ketika angin mulai dengan kasar menyapa
aku masih baik-baik saja
kini aku hanya seorang yang pura-pura baik
ketika angin menepuk pundakku pelan
;lirih. Perih aku dibuatnya

Bawalah,
bawalah luka ini pergi.
Menjauhlah,
semakin jauh kau bawa luka, aku percaya
rinduku berangsur pulih, sampai nanti
akan tiba saatnya muncul benih-benih baru di hati.





Kamar #peang, 4 Januari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -