The Pop's

Archive for May 2014

Taman Siangmu!

By : Harry Ramdhani
Entah, dalam bayangan saya, 'taman' itu serupa tanah lapang dengan rerumputan yang hijau terbentang. Di sana ada banyak mainan dan banyak yang memainkan. Ada yang bermian dan dimainkan. Ada yang menunggu dan ditunggu. Ada yang berlarian dan ada juga yang hanya duduk diam. Taman, juga segala hal yang di dalamnya, selalu tak pernah habis untuk diceritakan. Seperti cerita roman.

Saya-- dan orang yang mengirimkan beberapa foto di depan Perpustakaan Teras Baca --bermaksud menceritakan taman yang terus diam padalah selalu dimainkan. Kalau saya, pasti sudah teriak sangat kencang; agar yang lain mendengar.

Kali ini saya coba menulis lima cerita #100kata dari lima foto yang dikirimkan Uyya'-- seorang fotografer amatir --dari kamera barunya. Seperti yang sudah-sudah, lima fragmen itu saya gabungkan dalam satu cerita. Dan, sekarang entah akan seperti apa. Inilah… selamat membaca:

Taman Siangmu


Sejak saat itu kami tidak bertemu. Sesekali aku ingin menelponnya, tapi selalu kandas di ujung telingaku. Tapi…, lagi-lagi tapi, katamu, pertemuan denganku hanya akan menyisakan ngilu karena sesuatu yang mesti dikeluarkan.*)

***

Pukul sepuluh lebih sepuluh.

Aku longok sekilas jam dinding yang jarumnya berbentuk simetris itu. Lalu mulai muncul ragu ketika pesan masuk ke email-ku. Darimu. Pesan itu bukan sekedar ajakan, tapi juga terkandung permintaan belas-kasihan. Aku hiraukan.

"Temui aku di taman."

Pukul satu kurang lima.

Lagi-lagi jarum jam berbentuk simetris. Tak lama ada yang menelpon. Aku angkat dan yang terdengar hanya tangis tanpa suara! Ibaku dirampas habis oleh tangis itu.




Perpustakaan Teras Baca, 21 Mei 2014
*) kutipan dari Novel Saman - Ayu Utami

Kupu-Kupu di Bulan Mei



Kisah ini bermula dari seorang lelaki yang tiba-tiba saja lari. Di bangku taman itu, ia tinggalkan segelas kopi hitam yang ampasnya sudah tenggelam di kedalaman yang entah ke berapa. Pastinya sangat dalam; kenangan pun tak sanggup meraihnya.

Ada yang bilang, lelaki itu adalah Tom Hanks dalam film 'Forest Gump'. Ada juga yang bilang, lelaki itu kesurupan. Ada-ada saja.

Di taman ini, aku adalah kupu-kupu yang tersesat di bulan Mei yang suka sekali mandi.

Tampang lelaki itu selangkah lagi ingin disudahi. Lebih baik mati daripada hidup namun, susah sudah seperti saudara sendiri.

***

Di taman ini, Lelaki itu adalah kepompong yang tersesat di bulan April yang suka sekali mandi.




Perpustakaan Teras Baca, 19 Mei 2014

Luka Kecil Sebesar Kerikil


Tidak perlu kau tanya pada seorang teman dengan lukanya itu, karena sama saja akan mengingat betapa sakit dan perihnya proses terjadinya luka tersebut.

***

Lelaki itu. Ya, lelaki itu tidak hanya merenggut taman main dan temanku, tapi juga Ia merenggut semua tawa-ceria dan masa depan mereka. Jahat sekali! Luka itu tak akan kulupakan seumur hidupku.

***

"Andini di mana?"

"Ada apa dengan Rini? Sudah satu minggu Ia tidak mau makan?"

"Mereka kenapa? Satu kelas jadi pendiam semua!"

***

Luka itu membekas. Biarpun kecil, tapi luka tetaplah luka! Kejadian itu singkat, di dekat perosotan, lelaki itu seperti kesetanan.

***

Dahsyat… lelaki itu tidak ditangkap. Barangkali polisi lupa. Atau, sengaja?



Perpustakaan Teras Baca, 20 Mei 2014

Perempuan itu Mati di Ayunan


Ia memilih duduk menyendiri di ayunan yang bisa diputar itu. Padahal di sisi taman lainnya banyak orang yang asyik sibuk dengan entah apa namanya. Ada yang melompati karet-karet yang disatukan. Ada yang duduk-duduk menikmati satu tangkap isi keju lengkap dengan susu. Dan lain-lain. Dan sebagainya.

Saya datang bersamaan dengan mendung yang mengundang hujan. Bahkan satu-dua rintik sudah turun duluan. Ada perempuan yang duduk sendirian. Di taman, yang sendirian pastinya tak bertuan.

Saya dekati…

***

Sambil menatap handphone, kemudian ia menangis. Lalu tertunduk. Cukup lama dan jatuh seketika. Ia mati di ayunan yang bisa diputar-putar itu.

Saya diduga membunuhnya. Saya dipenjara.

"Hah!!!"



Perpustakaan Teras Baca, 21 Mei 2014

Taman Tetap Mengerikan


Dulu taman ini selalu ramai. Lebih dulu lagi, sebelum taman ini berbentuk taman, ini ialah tempat pembantaian pejuang yang tertangkap tangan mengintai. Aku ada di antara taman yang dulunya ramai dan taman yang lebih dulu lagi dibuat tempat pembantaian.

Di taman itu, kenanganku gentayangan. Di setiap tanggal sembilan, kenangan itu menghatui seluruh pengunjung taman. Pada sebelah selatan taman bisa kau lihat ada gundukan tanah, kan? Pada tanggal sembilan gundukan itu mengeluarkan asap. Kenanganku menguap!

"Sudah saya ingatkan untuk tidak ke sana setiap tanggal sembilan!"

***

10 Agustus 1998

Wonosari - Ditemukan sepasang kekasih gosong di taman. Diduga semalam mereka bercumbu di dekat gundukan taman di sebelah selatan.




Perpustakaan Teras Baca, 21 Mei 2014

Tertinggal

By : Harry Ramdhani
gambar: dari sini

Sudah tidak ada lagi yang pura-pura malu di ruang tunggu. Bangku-bangku panjang yang warnanya cokelat pun menyimpan banyak kenangan yang lekat. Mungkin juga, di ruang tunggu itu, dua meja besar menatakan kertas-kertas tugas yang belum tuntas. Aku, di ruang tunggu, barangkali bersama rindu.

"Ya, barangkali rindu akan menunggu…."

"… ya, barangkali kamu ialah rindu itu."

Dari ruang tunggu yang ditutup dua pintu, mata terlempar jauh ke ujung lorong tepi. Sepi. Aku, di ruang tunggu menyendiri.

Sudah tidak ada lagi yang pura-pura malu di ruang tunggu.



Ruang Tunggu Fisip - Univ. Djuanda, 19 Mei 2014
Tag : ,

Barangkali Kau Adalah Segala Hal yang Tak Terjabar

By : Harry Ramdhani
gambar: dari sini

Semenjak kutanggalkan rindu
di antara halaman buku,
bunga mawar kering itu
pada tanggal tertentu menyerembak harum wangi tubuhmu.

Semenjak kutinggal barang satu waktu
di antara kesibukan yang menjenuhkan,
sms dan panggilan tak terjawab darimu
menggunung; tinggi menjulang.

Semenjak kutunggalkan namamu
di pemahatan hatiku,
seringkali terhapus kenangan
yang tiba-tiba datang.

Barangkali kau adalah segala hal yang tak terjabar
pada genggaman tangan
sinar fajar yang gemetar.

Sejatinya kau adalah piyama bermotif bunga
yang pudar terhapus sesal
pada hukum alam yang kekal.

Bahwa cinta tak sekuat kuasa penguasa.



Perpustakaan Teras Baca, 09 Mei 2014
Tag : ,

Kucing Kampung dan Kucing Kota yang Bingung

By : Harry Ramdhani
 gambar: dari sini

/1/
Kucing-kucing kampung migrasi ke kota

Kucing-kucing kampung bosan
setiap hari yang dimakan
hanya tulang-belulang ikan teri
kadang daging ayam, tapi basi.

Kucing-kucing kampung ingin juga spageti

/2/
Kucing-kucing kota ketar-ketir

Terbayang sudah
makanan kucing kota dijatah
bisa-bisa ikut mulung dari tempat sampah

Kucing-kucing kota biasa dimanja, bukan kerja

/3/
Kucing kota dan kucing kampung bertemu

Tak ada sapa
sebatas aungan gema
dari perut yang kosong dan keroncong

Kucing kota mendekat ke restoran
Kucing kampung datangi rumah makan padang
tidak ada makanan sisa.

Kucing kampung dan kucing kota bingung.

Di kota, tak ada lagi makanan sisa
makhluk bernama manusia
ambil jatah makan mereka jua.




Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
Tag : ,

Menara Mimpimu

By : Harry Ramdhani

Sudah saatnya saya simpan di loker semua harapan-harapan. Menjadi apa yang diharap tak semudah mengupas kulit rambutan. Tapi, jika berani merealisasikannya tanpa keluh-kesah, mungkin satu persatu tercapai. Seperti menjadi penulis. Bagi saya pribadi, mentasbihkan diri menjadi penulis tak ayal seorang perantau; di mana satu kaki kanan adalah kuburan dan kaki kiri adalah rumah sakit. Tidak ada yang mengasyikkan, bukan?

Namun beginilah caraku berani untuk merealisasikannya. Menulis apa pun yang ingin saya tulis. Dan, kali ini saya belajar menulis dari lima gambar yang sempat di twitpic oleh Pandaikata. Masih sama, saya menulis beberapa cerita yang berjumlah 100 kata. Semoga ini ialah langkah jemari saya menuju beberapa harapan yang sempat saya simpan di loker.  Selamat membaca, wahai Kaum Medioker.

Menara Mimpimu


INGIN aku gantungkan mimpi di pucuk menara itu. Menara paling romantis, katamu.

"Ajak aku ke sana,"

"Kalau ini ciuman terakhir, aku ingin menciummu di bawah menara paling romantis di dunia,"

Dan, masih banyak lagi pintamu pada menara itu. Itu baru yang aku ingat, belum yang aku catat.

***

Pagi turun perlahan, bersama angin dan dingin menulang.* Aku terbangun dari mimpi yang basah. Keringatku sebesar biji jagung.

Sudah banyak semut kerumuni kopiku. Semalam aku tertidur dengan setumpuk pekerjaan dan kenangan. Satu persatu aku ingat, sebuah ciuman di bawah menara dengan tegangan listrik yang tinggi bawa nyawamu pergi.

Ciuman yang basah dari mimpi yang basah di bawah menara mimpimu.




Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Irwan Bajang, Antologi Pertanyaan

Kalkulasi Sebuah Airmata


Kupandangi langit lembut itu seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia yang lebih ajaib dari surga.*

***

DITANGIS ketiga hari ini, matamu memerah seperti habis dipukuli. Memang, tak ada tangis yang abadi, tapi airmatamu ialah aliran sungai yang menghidupi pepohonan Khuldi. Yang haram namun, nikmatnya tak tertandingi.

"Menangislah pada Tuhan," katamu, "jika tidak bisa, maka berpura-puralah. Niscaya Tuhan membayar setiap tetes airmata yang kau keluarkan."

Airmata adalah doa, katamu lagi. Seperti yang kulakukan berulang-ulang ini.

Biarlah aku tidak di surga, bila nanti di neraka aku masih bisa lihat airmata yang terbuang percuma. Sebuah dunia dengan orang-orang yang berdoa.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Agus Noor, Perempuan di Tepi Fajar yang Mekar yang Gemetar

 Istana Tanpa Mahkota


ISTANA ini terlalu megah untukmu yang tinggal sendiri. Seorang anak manja yang sama sekali tak bisa mandiri. Aku pernah usulkan untuk pindah saja, tapi kau malah balik mencaci.

Pernah satu waktu, di ruang tamu, aku temukan bunga mawar yang kau letakkan di guci kecil. Tidak ada air. Tak lama, mawar itu mati. Ah, anak manja sepertimu mestinya tinggal di rumah sakit; agar selalu ada yang melayani.

Hanya ada kau, aku, dan kelopak bunga di kamar. Tapi kau yakin: ada yang sedang diam-diam menatap kita dengan pandangan berkaca-kaca.*

***

Di balik lemarimu, ada beberapa laki-laki beku. Kaku. Semua mantan kekasihmu yang tak kau kebumikan.




Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Agus Noor, Kelopak Bunga dalam Delapan Kwartin

 Di Tanah Lapang Tak Ada Bulan


"Bawa aku ke tanah lapang. Melihat bintang dan segala rasinya yang luas terbentang."

"Tanpa bulan?"

"Ya, tanpa bulan. Bulan selalu datangimu setiap bulan."

***

KOTA ini terlampau terang. Lampu jalan. Lampu taman. Lampu-lampu pembias langit; tempat cerita cinta kita kandas di tengah jalan.

Di sini, keberadaan bintang sebatas dijadikan ramalan. Dan, bulan, seperti biasa, hanya sebagai alasan perempuan yang kesal setiap akhir pekan.

Tidak ada lagi keindahan meski bulan dan bintang bersebelahan.

***

Di tanah lapang.

"Lihat, Bulan, tidak ada bulan, kan?"

"Ya, di mana bulannya?"

"Bulan bersemayam di hatiku yang dalam."

Kau tersenyum lalu menciumku perlahan. Itulah pertemuanku dengan Bulan yang terakhir di akhir pekan. Dan, selamanya.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014

Langkah Kaki Ibukota


DARI JENDELA kantor, sering kutangkap langkahmu di ujung jalan sana. Di trotoar, tempat hilir-mudik orang dengan sibuk yang sesak.

Ketika jam dinding mulai terdengar berdetak menepikan sepi, dingin, gerimis, dan angin-angin malamku.* Tiba-tiba masih kutemukan langkahmu di situ. Di tempat yang sama itu. Langkahmu tak tenggelam ditelan waktu. Dan, bayangmu, kadang hilang dibalik kelopak mataku.

***

"Masih menunggu Ia lewat?"

"Tidak, langkah dan bayangnya tetap lalu-lalang di pikiranku,"

***

Kadang sering kutanyakan, ke mana langkahmu berlabuh? Karena semua hal tentangmu merindangkan bumiku. Meneduhkan terik yang sangat.

***

Di trotoar, tempat hilir-mudik orang dengan sibuk yang sesak mendadak ramai. Seorang wanita tanpa kaki ditemukan mati. Kakinya dimutilasi.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajang Irwan Bajang, Impresi

NB: semua gambar ini saya dapat dari twitpic pandaikata

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -