The Pop's

Archive for March 2014

Narcissus

By : Harry Ramdhani


Narcissus kemudian menutup matanya
dengan tenang. Bersama kelopak-kelopak yang berserakan
di jalan; kenangan tak serta-merta dibawa pulang.

Kau coba memindahkan jiwamu
dari ragumu
di musim semimu.

Di Mediterania,
kau gugur bersama spesies lainnya.

Aku dan ingatan kau tinggalkan.



Perpustakaan Teras Baca, 22 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Surat Cinta yang Tak Selesai Dibaca

By : Harry Ramdhani
Beberapa hari lalu (sampai tulisan ini di pajang), saya sempat tweet 'kan kehebatan @pandaikata dalam meracik aksara menjadi kata akan sarat makna. Saya sendiri mengaguminya.

Ia hebat dalam me-metafora-kan rasa lebih dari apa pun yang tak terduga. Mungkin hasil dari buku-buku yang sempat Ia pamerkan pada saya seperti Albert Camus dll dsb dst. Saya sendiri tidak tahu-menahu, yang jelas, lewat anggita ini, dengan @pandaikata saya banyak belajar memaknai situasi menjadi beragam rasa.

Inilah anggitan versi saya dengan seorang… Penyair, Rapper, dan Stand-up Comedian; @pandaikata:

Surat Cinta yang Tak Selesai Dibaca 



Kita mulai dari mana?
Dari malam tanpa suara?
Kau adalah nadi dari segala puisiku. Gadis Kelabu yang bermata buram.

Bogor usai hujan, kekasih.
Dari radio kesayangan kita, aku tunggu
surat cintaku dibacakan.

Senyummu
adalah salah satu frekuensi kesukaanku. Suaramu
adalah kepalsuan yang menenangkanku. Kamu suka hujan malam ini?

Entahlah, yang jelas,
tengah malam ini aku ingin
kau tahu semua perasaanku tentangmu. Walau itu dari seorang penyiar.
Mungkin surat ini sarat dengan kepalsuan.
Ya, aku bohong
jika selama ini tak menyimpan rasa. Lebih
dari itu, kau kusimpan dalam doa.

Sudah mendekat pukul satu. Lagu
ini, biasanya penyiar mulai membacakan
surat cinta yang masuk. Salah satunya
punyaku.

Sekarang jarum-jarum jam dinding bergerak 10kali lebih lambat.
Mereka menertawak kita
yang saling menebar rindu lewat pengeras suara.

Sudah surat kedelapan
yang dibacakan. Suratku belum juga dapat giliran.
Aku harap kau masih terjaga
melawan kantuk dan nyamuk.

Besok tanggal 21. Besok hari aku terlahir.
Mungkin umurku tak akan lama lagi,
rindu ini terus menggerogoti.
Aku terjaga, menunggu suratmu.
Ya, aku ingat kata-katamu itu. Aku ingat
ketika kau ucapkan di Rumah kupu-kupu. Kau inginkan sesuatu (yang baru)
di hari lahirmu.

Aku hanya ingin kebahagiaan. Tapi
aku tak mau merusak kebahagiaanmu.
Rahimku sudah rusak. Dulu
pernah ada bedil tua bersemayam di sini.

Tapi dengar, itu suratku dibacakan.
Apa kau dengar? "Teruntuk Gadis Kelabu
yang bermata buram, " kata penyiar
terdengar heran.

Ah, aksaramu bagai lulabi penutup mataku, penutup malamku. Kini,
kau sempurnakan aku dengan segenap rasa
yang sesak dan kuat merasuk kepala.

Tertinggal cerita kita.
Masa kecil yang selalu bahagia
dan dikerumuni tawa setiap harinya.

Dan kau,
masa lalu
untuk masa depanku.

Hasratmu membuat batinku dikekinian.
Radio usang terdengar riuh
bersuara cempreng. Aku butuh pelukmu sekarang juga.
Tak lama suara penyiar mulai serak.
Seakan menahan airmata seperti dahak. Intonasinya semakin tak jelas
dan membuyarkan imajinasi.

Karena penyiar, bukan penyair. Pagi ini
kembar-kembar rinduku rontok dan pudar di
terjang badai kenyataan. Dulu pernah ada
bedil bersamanya di sini.

Di sini, di tempat cinta
membenamkan rasa, meninggalkan asa, bahwa nanti bersamamu kelak
bukanlah sebatas mimpi belaka.

Ah, baiklah. Aku tunggu kau
ajak Gadis Kelabu ini menjejaki batas suci, sambil merapal masa depan
dengan seikat janji abadi. Sekian.





Perpustakaan Teras Baca, 20-21 Maret 2014
Saya dan @pandaikata yang menulis entah di mana.
gambar: dari sini

Kau yang Sama

By : Harry Ramdhani


Tuhan, dosa apa yang kuperbuat
sampai-sampai semalam
aku memimpikan @sheilahelda?

Memang, aku rindu bawelnya
dengan nada marah;
yang seakan apa yang kuperbuat
di matanya selalu salah.

Tuhan, lindungi dan jaga
@sheilahelda, seperti malaikat-malaikat-Mu
menjaga pintu
Surga dan Neraka.

… Amin.


Beberapa tweet ketika terbangun dari mimpi.
Kamar #Peang, 19 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Salim

By : Harry Ramdhani


/1/
Kutanggalkan kedua tangan
tepat menempel dengan
daguku. Di sana, tempat penampungan
airmata yang bercucuran.

Namamu
ialah, warta yang selalu
hadir dalam tiap-tiap doaku.
Dan Tuhan, pun bosan mendengarkan itu.

Di peraduan rindu,
di sela-sela jemariku, kau
menimbun sisa-sisa kenangan
yang teramat sulit kubenamkan.

Malam disuatu waktu
hujan,
tak ada istimewa
selain rindu dan kenangan

membunuh
masa lalu,
tumbuh
duka baru.

/2/
Kenangan,
berjalan perlahan dari malam ke malam,
dari dendam ke semenanjung kepulangan.

Subuh itu, khotbah Khotib dengan lantang
dari mimbar masjid mengiringi
langkah kaki 'tuk kembali.
; menuju pelukan yang menenangkan.

tunas-tunas pohon kini menjulang; menantang
langit, jalan dilumuri aspal abu-abu.
Di perjalanan pulang,
rindu ini mengebu-gebu.

/3/
Bagi para penyair, Ibu,
tanganmu tak ayal samudra biru
yang tak kenal dasar, yang tak kenal tepi
yang tak (lagi)… aku kenali.




Perpustakaan Teras Baca, 19 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Putri Malam

By : Harry Ramdhani


Bermula dari cerpen anggitan Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu, Kunang-kunang dalam Bir dan Mata Telanjang. Ingatan saya seketika tersedot pada suatu kejadian, di mana dulu pernah menulis bareng dengan orang yang sama sekali saya tidak kenal via SMS. Mungkin dia teman FaceBook, atau Friendster, atau mungkin teman MySpace. Kita hanya menulis tanpa berkenalan terlebih dulu. Kadang malam, pagi, bahkan siang; lagi, tanpa menanyakan sesuatu seperti: lagi apa? dan sebagainya.

Setelah itu, lama menghilang dan kita tak pernah (lagi) menulis bersama.

Dari sana, setelah kini saya mengenal banyak penulis hebat, saya mulai mengajak menulis seperti dulu. Ada yang hanya meng-iya-kan saja, ada yang langsung menolak, dan ada yang berminat tapi, tidak ada kelanjutannya.

Dan, cerita mini ini akhirnya terwujud juga. Dengan seorang Komika profesional, @ridwanremin, saya menulis bersama. Memanfaatkan media sosial Twitter, kita menulis bergantian via DM. Yup, bergantian dengan sekali tweet.

Kami (belajar) menulis dengan 'keterbatasan' --karena Twitter memiliki sifat kesederhanaan dalam jumlah karakter-- juga mencoba menyatukan dua isi kepala yang berbeda dalam satu cerita. Dan, nantinya kami akan menyusun masing-masing anggitan ini. Hasilnya pasti beda antara saya dengan dia.

Setidaknya saya percaya, keterbatasan dapat memacu kreatifitas yang tak terbatas. Inilah cerita mini saya dengan @ridwanremin:

Putri Malam

Aku memulai ini dengan ketidak-tahuan. Dari sebatang permen yang kau berikan, aku tampak seperti Pangeran.

***

Selimut malam menghangatkan tubuhku dari sisa hujan di luar rumah. Tak ada yang gelisah, hanya ada daun basah yang terlihat payah. Kau tak lain orang yang gemar belajar dari penderitaan. Terus saja; hingga semua kenangan semanis permen yang kau berikan. Aku ingin terjaga sepanjang malam, menanti kerinduan yang mungkin datang. Di sana, di tempatmu, apakah rindu masih ada?

Sudah pukul dua rupanya. Ibukota masih sibuk dengan pejalan kaki dan laki-laki tukang jajan. Lika-liku kehidupan.

***

Mungkin aku ini memang tak berarti untuk kau rindukan. Tapi, apakah kau tahu, begitu tak lebih berartinya aku bila tanpa dirimu?

Lampu-lampu jalan warnanya temaram. Bau busuk selokan menghantam keras penciuman. Ibukota yang memilukan, tapi di sanalah dimulai pertemuan. Hujan mulai habis, bersama kegelapan malam yang mulai terkikis. Aku di sini menantimu, bukan untuk pulang, melainkan untuk pergi bergandengan.

Pergi dan pulang hanya soal darimana kita memandangnya. Maka aku ingin menemuimu, walau sekedar mengakui perasaan yang lama kupendam.

Mungkin terlalu biasa bila aku berterus terang, maka izinkanlah aku mencintaimu diam-diam. Agar aku berbeda, setidaknya tak biasa.

Ada yang datang. Langkah kakinya semakin dekat. Nampaknya ada lelaki hidung belang yang memilihku untuk sekedar menunaikan nafsu. Aku ingin berbisik di telingamu, "jangan berlari terlalu kencang!" Sebelum kau terjatuh ke dalam lubang yang disiapkan oleh dunia.

Tak ada lagi yang mampu kulakukan selain diam dalam kegelapan. Saat ini hanya kegelepan yang buatku tenang.




Kamar #Peang, 18 Maret 2014
Saya dan @ridwanremin yg entah menulis di mana.
Di tulis mulai pukul 00:33 dan selesai pukul 09:09.
gambar: dari sini

Dirimu, Secangkir Kopi dari Hujan

By : Harry Ramdhani


/1/
Aku.
Kopi hitam.
Seketika rindu.
Seperti sedang hujan.
Bayang-bayangmu.
Kenangan.
Cerita indah masa silam.

/2/
Itu inti ceritaku, kekasihku,
mana kala hujan dan kopi berdekatan
lalu, bayang-bayangmu
menghapiri; mengembalikan ingatan.

Kopi hitam
dengan aroma dan warnanya yang pekat
diam-diam membunuhku
; diam-diam dengan perlahan.

Barangkali rindu tak merasakan
; bagaimana pedih dan lirihnya
kesendirian dengan setumpuk kehilangan.
Ingatan sepia.

Hujan
malam itu,
di rimba malam yang penuh kemunafikkan,
kau, mengubur semua rindu dan kenangan.

Siluet di balik pintu terbentuk jelas
bayangmu yang ingin bergegas
pergi. Dengan sepeda keemasan,
menyusur beningnya langit dan awan yang cekikikan.

Katamu, "kenanglah aku seperti hawa dingin
yang merembes dari dinding
yang lekat untuk bawamu tertidur pulas
dalam harap cemas.

Kekasihku, seduh aku ikut bersama cerita-cerita
kita di secangkir kopi.
Dan, sebagaimana hujan mengajarkan,
kopi juga bayangmu
hanya sebatas ilusi.




Kamar #Peang, 15 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Malam Ini, Lelaki Itu, Jadi Pusat Perhatian

By : Harry Ramdhani


Lelaki itu sempoyongan. Sambil memegang botol bir hitam, Ia bicara pada lampu tiang, "bisa kau terpejam? Kuingin berimu kejutan".

Usut punya usut, lelaki itu baru dari pub. Ia mabuk berat. Dan, sesekali, di tengah mabuknya, memanggil nama seorang perempuan. Aline.

"Aline. Aline. Aline," katanya. Tangannya menunjuk ke segala arah, seakan semua pengunjung pub, ialah Aline. Bahkan, kata seorang pelayan, 'aku lihat sekotak cincin tunangan, letaknya tak jauh dari minuman yang Ia pesan'.

'Aku pikir, lelaki itu habis ditolak lamarannya. Banyak yang seperti itu di fim-film roman,' lanjutnya. 'Mabuk berat dan tak bisa pulang'.

Tapi, kenapa Ia bisa memegang sebotol bir hitam? Dari mana Ia dapatkan? Kata seorang penjaga parkir pub, 'tak lama dari sini, sempat kulihat Ia di supermarket 24jam.'

"Ambil saja kembaliannya untukmu. Untuk tambah-tambah membeli cinta," tukas lelaki itu dengan jalan sempoyongan keluar supermarket 24jam.

'Oh, lelaki yang tadi?' sambar seorang perempuan yang baru saja diturunkan oleh mobil sedan abu-abu di ujung jalan. 'Mulutnya bau minuman. Bicaranya saja tak karuan'. Kata lelaki itu, "lamaran hanya soal pemanasan. Pernikahan tidak butuh itu, bukan?" Aku mengangguk bingung.

"Aline, kau boleh tolak lamaranku. Kau boleh anggap hubungan kita selama ini sebatas pertemanan yang abadi, yang sudah lama kita bina selama di perguruan tinggi," kata lelaki itu dengan nada marah-marah.

'pantas saja, kau ini pemabuk,' balasku.

"Aku pemabuk. Aline, sadarkah, bahwa kau yang telah membuatku mabuk. Dengan dosis perhatian yang semakin hari semakin kau tambah, aku mabuk dalam setiap caramu memarahiku ketika salah, mengingatkanku ketika lupa, dan mengajariku bagaimana caranya yang baik dalam bercinta."

'Dasar pemabuk!!' Ucap perempuan yang tadi baru diturunkan dari sedan abu-abu di ujung jalan.

Lelaki itu semakin tak karuan. Semakin Ia teguk bir hitam langsung dari botol, ucapan yang keluar dari mulutnya seperti orang tolol. "Aline, setiap kita kencan, atau yang lebih sering kau sebut 'hanya jalan-jalan' itu, aku terus lawan rasa ge-er dari orang sekitar. Bagaimana tidak? Mata orang-orang seperti radar mengikuti targetnya. Itu baru kencan, masih banyak lagi yang kurasa. Namun, bila kuceritakan semua mungkin akan jadi,… cerita cinta."

***

Tidak lama, tempat lelaki itu berdiri tadi mulai ramai. Ia di kerumuni layaknya semut menemukan gula. Di depan tiang lampu jalan, lelaki itu terlihat salah tingkah, apa saja yang di dekatnya dimainkan, dijadikan pengalih perhatian. Orang-orang yang sama sekali tak saling kenal mulai bertanya pada setiap orang yang juga ikut mengerumuni.

'Ada apa?'

'Siapa dia?'

'Kenapa, ya?'

***

'Saya pernah lihat lelaki itu. Satu minggu yang lalu di dua blok dari sini,' kata salah seorang tukang bersih-bersih jalan. 'Ia datang ke pub, mabuk berat, dan setelah itu pergi ke supermarket 24jam terdekat. Berjalan ke sana-ke mari sempoyongan sambil berteriak nama seorang perempuan: Aline.'




Perpustakaan Teras Baca, 05 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Siasat Cerdik Musang Pada Ular

By : Harry Ramdhani


Musang kaget. Di hadapannya ada sekawanan ular yang perutnya kelaparan. Ular menatapnya penuh harap dan seluruh badannya berkeringat. Tak ada yang mampu musang lakukan. Lari pun seakan hanya menunda kematian. Keempat kaki musang keram. Sungguh tak bisa digerakan di tengah situasi yang menakutkan. Nampaknya ini adalah hari sial musang.

Bagi binatang, sial, ialah kematian. Dan, beruntung, ialah tetap bisa melanjutkan makan.

Sesederhana itu kehidupan binatang. Tapi, ketika di hadapkan dengan rantai makanan, rasanya saat itu ketidakadilan sedang diperlihatkan Tuhan. Binatang apapun cuma bisa pasrah pada keadaan. Yang terkuat maka bisa berdiri kokoh di kasta tertinggi rantai makanan.

Di antara ilalang yang tumbuh tinggi menjulang, mata ular terus mengamati gerak-gerik musang. Walau musang tidak bergerak sama sekali, namun ular tetap mencermati. Ular kesal, tadi pagi, ayam kampung yang sedang berkeliaran di sekitaran semak-semak ilalang disantap habis oleh kawanan musang. Ular tidak sedikit pun kebagian, sampai sore perut ular keroncongan.

"Dasar serakah! Kamu lupa masih ada kami yang juga hidup di sini?" kata ular yang berada paling dekat dengan Musang.

"Ttttaappi," musang menjawabnya terbata-bata. "Aku tidak ikut memakan ayam itu tadi pagi."

"Kalau pun ada, pasti kau ikut makan, kan?" Ular yang berada paling belakang naik pitam.

Musang tidak bisa menjawab. Dalam kehidupan binatang, selagi ada yang bisa disantap, ya, habiskan. Lain lagi ceritanya kalau urusan tidak kebagian atau tidak ikut makan, maka itulah penyesalan.

Perbincangan antara Ular dan Musang melebar. Ular sesumbar soal hal-hal yang sering musang salah lakukan. Dari kakek moyang musang sampai sekutu musang yang kerap menjadikan ular sebagai musuh bebuyutan.

Di semak-semak ilalang, ayam atau kucing yang nasibnya sedang sial hari itu, pasti sudah habis oleh kawan musang. Kalau hari itu ada dua kesialan, tentu nantinya musang akan jadi sasaran ular yang kelaparan. Seperti sekarang, musang hanya berharap malaikat pencabut nyawa sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk menghampiri lalu lupa mencabut nyawa.

Musang semakin tertekan. Kawanan ular sudah mulai bergerak mendekati. Perlahan tapi, pasti. Lubang pantat yang biasa dijadikan senjata seakan tertutup rapat sekali. Ia tidak bisa kentut dengan perut yang sama-sama kosong seperti ular sekarang. Keringat dingin membanjiri tubuh Musang.

"Lebih baik kau ucapkan salam perpisahan pada semua kawanan bau-mu itu," kata ular yang sisiknya kecoklatan.

"Tenang saja, kami tidak akan membuatmu mati perlahan. Kami sudah kelaparan," lanjut ular yang badannya lebih besar daripada ular lainnya.

"Biar pun nanti akan datang kawananmu, kami tidak takut. Kami malah akan senang bila mereka datang. Artinya, sore ini kami akan pesta daging musang." ucap ular yang paling dekat dengan musang.

Selang beberapa detik, dengan sekejap, musang diterjang ular terdepan. Musang tidak memberikan perlawanan. Bisa ular mulai bekerja ke suluruh badan musang.

***

"Aku tidak akan melawan. Silakan makan. Tapi, ingat, setelah kalian habiskan tubuhku, putuskan musang dari rantai makananmu," kata sambil dilumuti tubuhnya.

Ular tidak pernah mengingkari janji, karena mereka yang terkuat di semak-semak ilalang ini.

***

Malamnya, semua ular yang tadi melahap musang kesakitan. Gas beracun yang mengendap di tubuh musang telah meracuni ular. Mereka, kawanan ular, mati konyol karena gas kentut beracun musang. Di depan ayam kampung yang rabun malam dan tersasar, ular terbaring kaku tak berdaya.




Perpustakaan Teras Baca, 27 Februari 2014
Tag : ,

Sekret Reformasi Nan-Sepi

By : Harry Ramdhani


Dulu, sekitaran tahun 1997/98, kampus lebih tepat di sebut untuk tempat yang menakutkan ketimbang tempat untuk mengayom pendidikan.

Bagaimana tidak, setiap hari hanya diisi dengan diskusi dan demonstrasi mahasiswa menentang kekuasaan Soeharto kala itu. Ya, mengatas-namakan 'aspirasi', halal dan haram tampak abu-abu. Karena yang dipikirkan mahasiswa hanya satu: menjatuhkan singgasana orde baru. Titik.

Hebatnya, saat itu, gerakan terjadi di seluruh Indonesia tanpa lagi mengenal kampus ini dan kampus itu sempat bermusuhan. Kepentingan pribadi dan kelompok disingkirkan. Seluruh mahasiswa saling mengepalkan tangan kiri tanda perlawanan. Bersama-sama turun ke jalan.

Setiap hari. Setiap ada mahasiswa yang diperlakukan tidak adil oleh polisi.

Kumudian, muncullah sekret-sekret yang di sebut Sekret Reformasi di setiap kampus. Di sana, rasanya sekret tempat paling aman; selain kostan, untuk aktivis kampus merencanakan agenda demonstrasi besok pagi. Inilah yang menyebabkan sempat ada slogan, 'Aparat dilarang merapat ke wilayah akademis'. Makanya, dulu, polisi atau pun tentara tidak bisa masuk ke kampus untuk menertibkan.

Kemunculan sekret reformasi ini saya rasa karena memang kostan tidak lagi aman. Dari laporan yang sempat di tulis Anton, Pustakawan Geng Salip, pada majalah Retorika, dulu kawasan kostan Universitas Djuanda (Unida) sempat di swiping oleh polisi untuk mencari DPO (Daftar Pencarian Orang) yang diduga adalah mahasiswa karena telah membunuh aparat. Salah seorang aktivis kampus dari Unida ditangkap di kostan. Barulah terjadi ledakan besar-besaran oleh mahasiswa dan aparat seluruh Indonesia. Dan, baru pada akhirnya terjadi penembakan pada beberapa mahasiswa dari Trisakti, Jakarta.

Sekret Reformasi tersebut sebagai benteng terakhir mahasiswa. Tak ada lagi tempat yang aman untuk mereka.

Karena itu, sebagai bentang terakhir, sekret reformasi tidak pernah sepi. Mahasiswa hanya bisa memanfaatkan keterbatasan supaya (tetap) bisa demo sepanjang hari-selama yang mereka inginkan: menjatukan Soeharto tercapai. Dari sekret reformasi itu pula mahasiswa orasi, mengajak dan terus menentang tiada henti.

Hari itu Soeharto tumbang. Mahasiswa menang. Rakyat bernyanyi dan menari kegirangan.

Reformasi telah terjadi dengan diangkatnya Habibie sebagai Presiden baru. Menggantikan Soeharto, yang telah mengibarkan bendera putih di Istana kala itu.

Satu hari. Satu minggu. Satu bulan. Perlahan sekret reformasi sepi. Merasa yang diperjuangkan telah didapat, mahasiswa pun meninggalkan sekret seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bak kehilangan nyawa, bangunan sekret tak ayal sebuah jasad; yang lambat laun menjadi bangkai.

Sebenarnya, gerakan yang dilakukan oleh aktivis kampus dulu ketika demonstrasi dalam bentuk orasi tak jauh berbeda dengan stand-up comedy. Bedanya hanya stand-up comedy mesti mengemas dengan lucu suatu aspirasi, pendapat/opini.

Perihal tadi, sekret reformasi yang sempat dibuat mahasiswa untuk berlindung, itu pun dilakukan dalam stand-up comedy dengan membaut komunitas. Komunitas stand-up comedy. Ini sama-sama dijadikan wadah atau benteng terakhir untuk mereka supaya tetap bisa mengatas-namakan aspirasi sebagai bentuk perlawanan.
Hampir setiap kampus di Indonesia ada. Ya, hampir, karena kebanyak hanya di-ada-ada-kan saja. Ingin dianggap eksis lebih tepatnya.

Di Universistas Djuanda-pun ada Komunitas Stand-up comedy. Komunitas Stand-up Unida. Tapi, apa ini tergolong yang ingin eksis saja? Saya rasa tidak. Usia komunitas tersebut hampir dua tahun. Banyak event yang digelar. Beberapa Komikanya pernah perform di beberapa event stand-up comedy. Tidak banyak komunitas stand-up comedy kampus yang bisa bertahan selama dan seperti itu. Namun, apa kini bernasib sama dengan sekret reformasi yang sempat dibuat mahasiswa dulu? Saya rasa ini benar.

Lihat nasib sekret reformasi yang perlahan sepi karena tujuannya telah tercapai. Komunitas Stand-up Unida tampak begitu. Entah benar karena tujuan dari komunitas itu tercapai jadi sepi. Dari tujuan untuk bisa mendapat pasangan setelah bergabung. Tujuan bisa bertemu artis-artis stand-up comedy dari televisi. Tujuannya kini bisa membuat orang-orang yang tergabung di dalamnya mampu bicara di depan orang banyak. Atau, tujuan yang lain-lainnya yang saya sendiri tidak bisa memahaminya.

Komunitas stand-up Unida kini sepi. Saya hanya belajar memahaminya kalau memang nantinya akan membenci sebelum ada orang lain yang menyebut, "Dulu pernah ada Komunitas Stand-up Unida di Universitas Djuanda". Membangkai. Menjadi bangkai.

Atau, akan ada gerakan-gerakan baru dari Komunitas Stand-up Unida? Saya tidak tahu. Kita lihat saja nanti. Setidaknya itu yang terlihat saat ini.




Perpustakaan Teras Baca, 28 Februari - 04 Maret 2014
gambar: avatar Komunitas Stand-up Unida

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -