The Pop's

Archive for November 2013

Kunang-Kunang Hijrah

By : Harry Ramdhani


malam-malam dengan kunang-kunang,
itulah kesedihan dengan keindahan yang rupawan.

kunang-kunang pergi tinggalkan kota
menuju desa yang gelap gulita,
di sana ia pantas dianggap pahlawan
yang datang membawa cahaya kehidupan

kini malam-malam di desa terang,
tidak ada lagi pencuri ayam,
juga pemuda desa yang mabuk-mabukan.
Mereka sibuk melakukan apa yang orang kota lakukan.

kunang-kunang senang tinggal di desa,
setiap hari ia di sanjung
dan dipuja
bak Tuhan kesiangan.

hari demi hari berlalu,
bulan berganti tahun, lalu
usia kunang-kunang menua.

penduduk desa terlalu asyik dimanja cahaya
tanpa pernah berpikir kunang-kunang akan mati juga
tanpa melakukan apa-apa selain menjadi orang kota

kunang-kunang pun tiada,
penduduk desa sudah hidup seperti orang kota
malas-malasan; tanpa hasilkan apa-apa


Perpustakaan Teras Baca, 29 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Opa Poe, Bercerita dari Kisah Nyata sampai Derita

By : Harry Ramdhani


Nama bukunya: Kisah-Kisah Tengah Malam. Dari judulnya, saya sendiri bisa menerka akan seperti apa isinya. Jujur, saya bukan pembaca cerita-cerita horor atau kawan sepermainannya itu, yang jelas selepas salah satu buku karya RL. Stine, saya tidak bisa tidur. Saya pun jadi ingat semasa kecil membaca buku-buku Petruk - mem-visual-kan sesuatu yang seram - adalah pilihan terburuk saya membaca kisah-kisah menakutkan diumur 7-8 tahun.

Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe, merupakan buku pertamanya yang saya baca. Tidak menarik. Karena saya terpaksa membaca yang bukan jadi pilihan saya sendiri. Tapi, apa boleh buat, semua buku dibuat untuk dibaca.

Ada dua kesialan ketika saya membaca bukunya ini. Pertama, cover bukunya yang menakutkan dengan gambar empat jenis makhluk menyerupai hantu. Menyeramkan. Kedua, ketika buku ini direkomendasikan, saya pun menyimpulkan bahwa buku ini pasti buku yang bagus. Dan membuat nyali kisut.

Opa Poe (baca: Edgar Allan Poe), adalah pendongeng yang baik. Ia mampu menceritakan sedetil mungkin tentang hal-hal apa saja yang terjadi dalam setiap cer-pennya. Tidak ada yang terlewat dan semua berfungsi sebagai mana mestinya, seperti:
"Setelah lama menunggu, kuperhatikan dia tetap di beranda dalam posisi duduk di atas ranjang, maka kuputuskan untuk menyalakan lentera pelan-pelan, menghadirkan cahaya yang sangat minim." - dalam cerpennya yang berjudul: Gema Jantung yang Tersisa

Padanya, saya belajar bahwa menceritakan situasi seperti apapun, dalam kondisi apapun, jika memang perlu untuk ditulis, tulislah.

O ya, saya sampai lupa, gaya bertuturnya dalam setiap dialog mengingatkan saya pada dialog-dialog khas Agatha Christie (menurut saya secara pribadi, sih). Opa Poe membuat dialog-dialog yang singkat tanpa keterangan siapa yang sedang bicara dan siapa yang mendengarkan. Namun, itulah kehebatan penulis nomor wahid: semua dialog hidup, semua bisa dibedakan antara komunikator dan komunikan. Saya pikir tidak ada penulis yang mampu menandingi dialog-dialog singkat - setidaknya yang saya tahu - seperti Agatha Christie, ternyata itu memang wawasan saya yang sekenanya. Masih ada penulis lain, yaitu Opa Poe.

Sungguh, setelah saya membaca buku Ope Poe, saya pun belajar menyiksa orang secara perlahan. Tidak terburu-buru.

Walau saya sendiri terkadang suka bingung ketika membaca adalah adanya judul-judul buku (atau esai yang saya tidak temukan) orang lain yang dijadikan penguat logika berpikir manusia.

Saya tidak tahu lagi ingin menulis apa di sini, Opa Poe memang pendongeng yang mampu menuangkan semua dongeng-dongengnya menjadi sebuah cerita lengkap pembalasan dendam, kegelisahan sang pembunuh, hingga terombang-ambing dalam badai lautan.

Saya rekomendasikan untuk membaca: Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe. Karena jika memang semua yang ada di dalam buku ini nyata, maka berhati-hatilah pada orang-orang disekitar kalian; membawa luka yang telah disimpan lama.



Perpustakaan Teras Baca, 28 November 2013
Tag : ,

Bibirku Terlepas (selepas) Ciuman

By : Harry Ramdhani


di antara buku-buku yang berserakan
kita larut dalam ciuman-ciuman yang memabukkan.

ciuman yang awalnya sebatas perbincangan
sebelum kantuk diselimuti malam
dan dingin menusuk hingga tulang rusuk terdalam

ciuman yang bermula hanya bisa kita bayangkan
bahwa di sanalah rasa tumbuh dengan beragam
pun, kesedihan dan kebahagian bak bayi kembar siam

di hadapan buku puisi Agus Noor
: Ciuman yang Menyelamatkanku Dari Kesedihan
ciuman ini dimulai dengan ketakutan-ketakutan mencekam.
Bibirmu dingin.
Dan kaku; membeku.

kau memejamkan mata
menikmati ciuman merabah jiwa,

bibirku terlepas,
tersangkut bibirmu setelah kita ciuman,
aku telah bohong, karena selain ciuman
aku pun ingin tubuhmu untuk mendobrak batas-batas
kesucian orang-orang kelas atas.


Perpustakaan Teras Baca, 25 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Penjajah Bertanding, Indonesia Asyik Menonton

By : Harry Ramdhani
 

Sedih memimpikan Indonesia bisa tampil (lagi) digelaran Piala Dunia. Entah kapan, tapi saya percaya suatu saat nanti semua itu akan terjadi.

SAAT semua negara yang sudah memastikan diri masuk final Piala Dunia, mereka akan disibukkan beberapa pertandingan persahabatan. Pertandingan yang mungkin lebih tepat sebagai pertandingan amal. Tidak ada penampilan terbaik yang bisa disaksikan, tidak ada saling serang antar kedua kesebelasan. Semua hanya hiburan.

Terlebih dulu sudah beberapa negara yang melakukan pemanasan seperti Inggris melawan Chile, Italia melawan Jerman, dan kini giliran negara penjajah Indonesia yang melakukan pemanasan: Jepang melawan Belanda.

Seperti yang sudah saya tulis di atas, lebih mirip pertandingan amal. Hanya ada aksi individulistis yang disajikan dalam pertandingan Jepang melawan Belanda semalam.

Jepang Menyerang, Belanda Bertahan 

Setelah unggul dua gol atas Jepang lewat aksi Van Der Vart dan Arjen Robben di babak pertama. Namun, dipenghujung babak pertama, Jepang berhasil memperkecil keadaan lewat Osaka.

Babak kedua milik Jepang. Keluarnya De Jong adalah awal keran pertahanan Belanda bolong. Dimenit-menit pertama babak kedua, Trisula Jepang: Honda, Kagawa, dan Endo bermain apik. Lewat sisi kiri pertahanan Belanda, bola-bola pendek dialirkan dan akhirnya Keisuke Honda dapat membuahkan gol. Skor imbang 2-2.

Sepanjang pertandingan Jepang dengan lapang memainkan bola pendek dari kaki ke kaki. Tidak ada tekanan yang dilakukan oleh pertahanan Belanda di babak kedua. Kagawa tercatat beberapa kali bisa mengalirkan bola dengan mudah ke dalam pertahanan yang dipimpin Vlaar, namun sayang banyak tendangan ke gawang yang melebar.

Masuknya Jonathan De Guzman sama sekali tidak merubah gaya permainan Belanda.

Berbeda dengan tugasnya di Swansea City: menerima bola dari lapangan tengah dan mengalirinya langsung ke depan.

Kehilangan Bayangan 

Ternyata benar, kedua bintang dari masing-masing tim menunjukkan sinarnya. Robben, mampu menceploskan satu gol ke gawang Jepang dan Kagawa dengan baik mengatur serangan sesuka hatinya.

Tapi dari kedua bintang tersebut terlihat seperti kehilangan bayangan. Ada yang kurang dari permainannya malam tadi. Seakan butuh tandem yang terlanjur cocok karena telah dibangun dari masing-masing tim, Bayern Munchen dan Manchester United. Robben mencari Ribery dan Kagawa mencari Rooney.

Kedua bintang tidak bermain maksimal. Robben yang berkali-kali mesti turun ke jantung pertahanan membendung serangan-serangan yang di komando-i oleh Kagawa dari Jepang. Kagawa pun demikian, gerakannya terkadang melebar dari kiri atau kanan untuk mebuat ruang-ruang yang bisa dimasuki para pemain Jepang.

Skor imbang mungkin pantas untuk pertandingan yang lebih mirip pertandingan amal. Saya sendiri tidak tahu, karena dimenit 86, remote tive dikendalikan adik saya dan diganti untuk menonton Bima Satria Garuda.

Saya hanya bisa menyaksikan bekas penjajah kita saling serang, tapi pemenangnya tetap Indonesia, karena adik saya bisa menyelesaikan Film Bima Satria Garuda. Menyaksikan kekuatan-keuatan Bima yang tidak terkalahkan. Mungkin timnas Indonesia mesti banyak menonton sama seperti yang adik saya tonton.

Malam Pengantin

By : Harry Ramdhani


"Kesepian itu bukan pilihan, tapi sebuah tempat tinggal untuk jiwa yang mencari aman. Jiwa yang enggan bergerak dalam diam." - Lingga Wastu


Dulu, bulan madu merupakan yang ditunggu setelah pernikahan telah sah. Kini, melihat orang-orang yang banyak menikah karena 'kecelakaan', nampaknya lebih dulu bulan madu daripada dilaksanakannya pernikahan yang sah.

Di dalam kamar, di malam pertama, setelah aku secara sah menjadi istri terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari tidur sampai pagi nanti membuka mata. Aku sudah rasakan semua dulu. Bahkan, lebih seru sebelum menikah, banyak fantasi-fantasi yang seketika muncul di atas ranjang.

Suamiku telah tertidur lelap. Aku menunggu kantuk tanpa sekali pun mulutku menguap.

***

Andai semua orang yang menikah tahu, kalau rasanya malam pertama dan bulan madu sudah terlebih dulu dilakukan sebelum menikah itu tidak enak, pasti mereka tidak akan berikan semua sebelum sah.

"Ayo, dong. Toh, nanti juga kita akan lakuin ini semua juga 'kan," aku ingat bujukanmu dulu, November empat tahun lalu, sebelum kita sah menikah.

Aku merasa menyesal dan malam ini aku ingin diam. Malam ini aku kesepian bersama cahaya lampu remang yang telah orangtua kita siapkan.



Perpustakaan Teras Baca, 8 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kue Kering

By : Harry Ramdhani


Katamu, "cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga,"


TIGA hari yang lalu, di rumahku sibuk dengan persiapan pengajian. Pengajian di sini tidak hanya soal membaca Quran, tapi mesti banyak juga makanan yang dihidangkan. Aku sendiri tidak tahu kenapa mesti ada makanan, yang jelas kalau itu dilupakan bisa jadi bahan omongan. Maklum…, ibu-ibu pengajian.

Biasanya hal terpenting yang disiapkan untuk pengajian adalah makanan. Makanan apa yang sekiranya cocok dihidangkan dan tidak jadi bahan omongan. Dari cemilan sampai makanan yang dibawa pulang (orang-orang pada umumnya menyebut: besek). Sebagai anak yang mesti berbakti pada orangtua, jadi nurut saja bila disuruh ini-itu mencari makanan yang sudah ditentukan.

Pagi itu aku berangkat mencari makanan kering. Makanan yang tetap bagus jika dibeli H-seminggu sekali pun. Tempatnya cukup jauh, tapi katanya makanan di sana tidak ada didekat rumah dan harganya murah. Tanpa basa-basi, kakiku melangkah.

Toko kue kering yang cukup besar. Banyak makanan kering yang di pajang sampai masih terikat rapih di kantong plastik. Sialnya, aku baru tahu kalau makanan kering mengandung (cukup) banyak MsG. Baru satu menit di dalam, aku sudah pusing dan mencari sandaran.

"Mau cari kue apa, mas?" Kata salah seorang penjaga.

"Aaaa…, mau cari kue kering. Ada?" Aku bingung ingin bicara apa. Penjaganya cantik.

Ia mengenakan hijab yang enak untuk dipandang dan nampaknya cocok jika dijadikan pasangan. Tapi aku pikir wajar, laki-laki ketika disapa perempuan cantik pasti bingung ingin jawab apa. Sama sepertiku waktu itu.

"Di sini memang ingin tempat jual kue kering, mas." jawabnya ramah dan penuh senyum yang sama sekali tidak sanggup aku jamah, "maksudnya saya, jenis kue kering yang seperti apa yang dicari."

Kalau boleh jujur, aku mencari yang sepertimu, yang cantik dan pastinya baik. Jawabku dalam hati

"Ouw, iyah. Aku tahu, kok, mau liat-liat dulu boleh 'kan?"

"Silakan, mas."

Senyumnya itu, seakan aku kering dan bisa dengan mudah menjadi abu. Kamu cantik.

Sepanjang jalan pulang, aku terus memikirkannya. Andai aku punya kesempatan untuk ke sana lagi pasti tidak akan aku sia-siakan. Sayangnya aku tidak bisa basa-basi.  Ketika di rumah pun aku baru sadar, entah kue kering apa yang tadi dibeli. Aku hanya sibuk curi-curi pandang dengannya dan sesekali menatapnya penuh harapan. Harapan kalau Ia pun sadar kalau aku terkesan pada pendangan pertama.

***

Tuhan selalu punya cara yang misterius untuk makhluknya dan tidak bisa duga sebelumnya. Aku bertemu dengannya, penjaga toko kue kering yang cantik itu, di tempat makan. Saat itu penuh dan hanya ada satu bangku yang tersisa. Bangku itu ada dimejaku. Ia duduk dengan senyum yang sama ketika di toko kue. Ternyata senyum itu perihal kejujuran. Di mana pun bisa dilakukan kepada siapa pun, bukan? Hari itu Tuhan sedang iseng. Teh manis yang Ia pesan habis dan teh manisku yang telah kupesan sama sekali belum diminum.

"Ini minum saja teh manisnya. Belum diminum, kok," kataku yang sama sekali tidak sadar kalau tadi sudah menuangkan empat sendok sambal. Dan, itu pedas. Laki-laki setiap bertemu perempuan cantik memang bisa hilang kesadaran seketika. Seketika perhatianku hanya padanya.

"Terimakasih," Ia menerima tawaranku.

Kita mulai bicara banyak setelah itu. Sama-sama membuka diri untuk memperislakan masuk hati tanpa perlu diketuk.

"Cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga," katamu

"Semoga cinta tidak perlu MsG untuk menyedapkan rasa," timpalku, "cinta terlalu sedap untuk ditambah ini-itu."

***

Semoga malam ini tidak sedingin bulan November pada biasanya. Aku ingin bertemu untuk ungkapkan rasa yang suatu saat nanti mungkin bisa basi. Tapi tidak masalah, setidaknya hari ini aku bisa nikmati sebelum semuanya basi.

Di awal bulan November hujan bak bayangan. Mengikuti setiap langkah ke mana pun kaki ingin pergi. Seperti malam ini, hujan turun terlalu riang dari siang hingga malam. Dan, tidak memberikanku sedikit ruang untuk pergi dari rumah menemuimu, Aisyah. Di rumah, aku duduk di teras menunggu hujan reda. Perasaanku ini sudah tak kenal arah.

Entah mengapa malam itu juga kamu tidak bisa dihubungi. Mungkin sibuk. Atau, mungkin juga merasakan hal yang sama denganku: merasakan hati yang berkecamuk. Aku tidak tahu.

Kue-kue kering yang dulu pernah kubeli di tokomu itu masih tergeletak di meja. Tidak habis setelah pengajian. Aku hidangkan dengan kopi hitam, seperti sepasang kekasing yang tidak ingin diganggu oleh cahaya terang. Hanya gelap dan birahi yang bertindak.

Malam hampir usai, tapi tidak dengan hujan. Dan, aku, sibuk berselancar di sosial media karena diusir kopi dan kue-kue kering tadi. Beberapa kali aku perhatian timeline yang bergerak cepat. Orang-orang sedang mengalami seperti yang aku alami. Tidak bisa pergi ketika hujan tidak berhenti.

Sepintas aku temukan salah seorang pria yang gunakan avatar dengan seorang perempuan cantik. Itu kamu, Aisyah. Terlihat mesra bak pasangan muda-mudi. Aku baca-baca semua statusnya. Ternyaka benar itu kamu, Aisyah, istrinya. Kenapa dari dulu tidak pernah beritahu itu?

Cinta memang itu seperti kue kering. Yang remah-remahnya dibiarkan berserakan di lantai ketika sedang dimakan.



Perpustakaan Teras Baca, 7 November 2013
gambar: dikasih @fajarnugraa
Tag : ,

Panasnya Terik, Aline

By : Harry Ramdhani


November tanpa hujan, sama saja mencoba baik; tidak ada apa-apa, padahal hatinya terluka. Menutupi kesedihan dengan memasang wajah riang adalah dosa. Kau menipu Tuhan, malaikat, dan orang-orang yang ingin dekat untuk berikan kebahagiaan.


Aline, adalah perempuan yang biasa saja, tapi entah mengapa banyak pria yang merebutkannya.

Di kampus, Ia ibarat gula yang dikerumuti semut. Lama-kelamaan Aline jenuh dengan keadaannya sekarang. Mungkin mulutnya sudah lelah untuk menjawab semua sapaan dari setiap orang -khususnya laki-laki yang menyapa sekalian menggoda.

Perempuan memang cepat jenuh, makanya talak tiga dipegang oleh laki-laki supaya tidak mudah terjadi perceraian.

"Siang, Aline,"

"Hai, Aline,"

"Aline, sudah makan,"

"Aline, pulang dengan siapa hari ini?"

Masih banyak lagi sapaan-sapaan seperti itu setiap bertemu orang-orang di kampus. Setiap hari. Setiap waktu.

***  

"Raisa, kok tiba-tiba aku kepikiran pindah kuliah, yah," kata Aline di kantin yang saat itu tidak terlalu ramai

"Hah? Kenapa emangnya?" Raisa pun bingung mendengar itu.

"Enggak tahu, nih, rasanya bosen begini terus di kampus,"

"iyah, begini gimana?"

"Ya, kamu tahu sendirilah."

"Ouw, ada juga yang bikin 'begini mulu',ya, kamu sendiri ini. Makanya punya pasangan, dong"

"Ngaco kamu."

Aline sampai sekarang masih trauma untuk punya pasangan lagi. Trauma karena kehilangan orang yang disayang lebih dulu pergi diujung keseriusan dalam berhubungan. Pernikahan. Seorang lelaki yang sejak kecil telah menjaganya, menjadi kakaknya, menjadi segalanya untuknya, mesti pergi dipanggil olehNYA.

"Aku takut jatuh terlalu dalam pada rasa yang sama," kata Aline yang kemudian diam cukup lama di kantin sebelum kakinya melangkah pergi karena sudah semakin ramai.

Aku, Tony, adalah teman satu kelas Aline, kelas Filsafat Komunikasi. Di dalam kelas, Ia lanjutkan diamnya. Diam yang penuh makna seperti seorang filsuf merenungi pemikiran-pemikiran yang sulit dicerna oleh otak kanan. Tapi Aline tetaplah Aline yang sama seperti biasanya, selalu menjawab bila disapa.

Aku sama sekali tidak pernah menyapa Aline seperti laki-laki di kampus pada umumnya. Kecuali ada tugas kuliah, itu pun kalau satu kelompok, kalau tidak? Ya, biasa saja. 

***

Hari ini cukup panas, aku putuskan untuk berteduh di toko buku. Bukan toko buku besar, tapi di toko buku bekas. Aku suka ke sana, selain harganya yang murah, selalu ada buku-buku lama yang tidak bisa didapat di toko buku besar lainnya. Rasanya teduh bila dekat banyak buku.

Ketika aku sedang memilih buku, ada Aline juga di sana. Ia sedang mencari buku novel 'Menyemai Harapan' karya Maria A. Sardjono. Begitu terakhir kudengar di kelas tadi. Tapi aku tidak menyangka akan bertemu dengannya sekarang. Di sini, di toko buku bekas.

"Sebenarnya aku punya novel 'Menyemai Harapan' di rumah, kamu ingin pinjam?" kataku

"Sungguh? Boleh. Kapan bisa aku baca bukunya?"

"Sepulang dari sini pun bisa. Biar nanti aku antar ke rumahmu."

"Wuah. Gak enak, ah. Masa minjem aja segala dianterin ke rumah gitu," jawab Aline, "atau, nanti malam saja di Cafe Rainy."

"Ngajakin dinner?" tanyaku bingung sambil tersenyum. "Boleh. Jam 8, yah."

"Aaa Oke, deh."

Aku pun mengantarnya pulang. Ternyata Aline adalah wanita yang ramah. Pantas saja laki-laki di kampus bisa menyapanya sampai tiga kali dalam satu hari. 

***

Waktu begitu cepat belalu. Makan malamku pun tak terasa tinggal menunggu kepulangan. Aline menceritakan banyak tentang dirinya. Tentang semua yang membuatnya bosan kuliah lagi. Aku hanya jadi pendengar saja. Wanita memang butuh didengarkan, terlalu banyak yang dipendam memang tidak baik.

Disitulah aku bisa lebih dekat dengan Aline. Bisa menjalin hubungan seperti menyemai bibit harapan bahwa aku pun bisa menjaga, menjadi kakaknya, dan menjadi segalanya untuknya. 

***

Pada panas yang sedang terik di bulan November, aku beranikan untuk melamarnya. Aku harap, ketika hujan turun nanti aku bisa tempat baginya berteduh.

Apa Aline menerima? Belum ada jawaban darinya sebelum Tuhan memanggilnya di bulan November yang terik.



Cafe Merah Putih, 6 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Takut Dikutuk

By : Harry Ramdhani


Malaikat enggan menegur orang yang sulit bersyukur, padanya Ia berikan kotak pandora
yang di dalamnya hanya ada kesedihan dan penderitaan.


INI bukan kutukan. Bukan pula sandiwara disebuah pementasan. Bahwa November memang hanya soal kesedihan. Kesedihan yang mungkin selalu diingat dan tak terlupakan. Terkadang menyesal pun rasanya percuma untuk airmata - airmata yang terlanjur menggenang. Itulah kenangan.

Malam-malam kuhabiskan di club bersama wanita-wanita yang berbeda. Entah ada apa? Mungkin aku masih mencari wanita yang sama, yang bisa buatku terlena pada ciuman-ciuman yang memabukan. Aku merindunya.

Musiknya terlalu keras, aku tidak bisa dengar namanya dengan jelas. Novia atau Regina? Aku lupa. Yang aku ingat hanya pakaian dalamnya yang berwarna merah muda. Ia tampak cocok dan cantik kenakan pakaian dalam itu. Kulitnya yang putih, halus, dan mulus dengan lampu-lampu yang menyala warna-warni buatnya seperti bunglon. Nampaknya malam ini aku ingin dikelon.

"Bermalam di apartemenku saja," katamu.

Aku yang setengah sadar karena alkohol tadi, rasanya ingin tertawa mendengar itu. Karena ini hampir pagi.

 ***

Pukul 11:11 siang di apartemen

Aku terbangun tanpa pakaian sehelai pun. Di balik selimut, aku lihat Novia juga. Tanpa pakaian. Apa yang telah kulakukan? Aku lupa. Yang kuingat hanya pakaian dalamnya yang merah muda.

Novia masih tertidur pulas. Nampaknya alkohol telah buat kita berdua saling melepas pakaian selepas malam. Tubuhku pun tak sanggup untuk bangkit dari tempat tidur. Rasanya ingin mengulang dan mengingat apa yang kulakukan tadi.

Tidak adalagi ingatan-ingatan yang tersisa dari cerita semalam. Aku pun enggan untuk pulang.

"Kamu udah bangun, Ren?" matamu sayu memandangku.

"Ya, tapi kayaknya aku mau tidur lagi, deh."

"Mau tidur atau mau ditidurin?"

Ah…, tawarannya itu buatku malu sendiri.

Padahal ini sudah siang dan matahari pun sedang sibuk menghangatkan. Tapi untuk kali ini aku memilih dihangatkan oleh tubuh yang terlanjur tanpa pakaian di atas ranjang.

***

Apartemen semakin berantakan. Pakaian dalam berserakan di setiap sudut ruang. Lampu yang tetap menyala dan AC yang sengaja diatur lebih dingin dari malam ketika musim penghujan.

Novia sedang mandi. Wanita memang lama ketika mandi, ada saja yang dilakukan dari membersihkan setiap sudut badan sampai nyanyi-nyanyi layaknya di tempat karaoke-an. Aku pun siap-siap untuk pulang. Tanpa mandi terlebih dulu, karena aku tak ingin Novia tahu.

Lebih baik aku pulang dan kembali ke kehidupan semula walau mesti bertemu pada ingatan-ingatan yang menyakitkan. Semua lelaki memang bangsat, tapi mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan kita, para wanita, di muka bumi sekali pun terus dijahati.

Novia memang cantik. Tapi, aku harap kita bisa lupakan semua seperti masakan yang gosong karena lupa di angkat. Aku ingin tetap bersyukur masih dikaruniai rasa untuk saling mencinta. Meski keduanya aku suka. Biarlah aku lupakan semua. Lupa kalau pakaian dalam yang kukenakan ini adalah milikmu yang berwarna merah muda.

***

"Ren, Rena…, sini mandi bareng, Ren. Rena. Rena."




Perpustakaan Teras Baca, 5 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Mamah

By : Harry Ramdhani


Kekasih, malam ini aku ingin tidur di sekitaran taman bermain mimpimu. Bersama kelinci-kelinci yang kerap berlarian ke sana - ke mari, sampai pagi menegurmu untuk segera bangun membangun asa di hari yang baru.


KETIKA malam pertama setelah aku resmi menjadi istrimu, semua tampak biasa. Tak ada ajakan untuk segera tunaikan percobaan pertama layaknya hubungan suami-istri pada umumnya. Aku menunggu itu sampai pagi buta menjelang matahari terbit di luar sana.

Sudah kubilang dulu, "tidak perlu kita gelar pesta pernikahan. Di sana kita hanya seperti boneka Dufan yang diajak foto tiada henti." Kelelahan itu yang membuat kita tak sanggup berbuat apa-apa di atas ranjang setelah pesta pernikahan. Aku maklumi saja, tapi malam ini adalah malam-malam yang kutunggu sedari dulu setelah kamu coba mengajakku untuk lakukan sebelum kita resmi menikah.

***

Kamu bangun dengan mata yang sayup dan kaos singlet yang basah kuyup oleh keringat semalam. Semalam begitu panas, padahal kipas angin sudah dinyalakan tepat di sampingmu. Atau, semalam kamu bermimpi yang lain? Mimpi yang tak bisa kutanyakan di pagi setelah kita resmi menjadi suami-istri. Semoga di mimpimu, orang yang bermain denganmu adalah aku, istrimu, yang semalam menunggu untuk lakukan itu.

"Ingin sarapan apa, pah?" tanyaku.

Kamu tersenyum. Dan, aku suka senyummu pagi itu. Senyum yang tak biasanya bisa kulihat ketika kamu baru bangun dari tidur. Kejujuran biasanya hadir diawal, pasti ini senyum kejujuran yang kamu berikan untukku. Karena ini masih pagi, masih dengan keindahan semalam. Atau, keindahanmu mimpi basah semalam?

"Pah?" jawabmu heran.

"Iyah. Papah. Kenapa? Ada yang salah?"

"Engga, kok. Kapan, ya, ada anak kecil yang memang kita dengan sebutan papah-mamah?" Kemudian kamu berjalan keluar dan duduk di teras rumah.

Aku tidak paham maksud ucapannya pagi itu. Langsung saja kubuatkan sarapan dan menaruhnya di meja makan.

"Indri, hari ini kamu ingin ke mana?" tanya Andre, suamiku, dari luar.

"Di rumah aja, deh. Aku masih lelah," jawabku seadanya, "o ya, sarapanmu sudah aku ada di meja makan. Cepat dimakan sebelum dingin."

Aku putuskan untuk melanjutkan beberapa bab tulisanku yang sempat tertunda karena sibuk mengurus pernikahan. Entah ada apa pagi ini? Yang jelas, aku hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.

***

Andre masuk ke kamar. Menghampiriku yang sedang asyik menulis di laptop yang kubeli dari keringatku sendiri. Ternyata benar, semua yang berkeringat mampu menghasilkan uang.

"Aku ingin bicara denganmu," kata Andri yang duduk di sebelahku

"Silakan," aku pun hentikan jemariku yang asyik menari di atas laptop.

"Aku sudah punya anak."

DEG. Jemariku di atas laptop tidak hanya berhenti, tapi seakan semua remuk di atasnya mendengar itu.

"Ini masih pagi, sayang, tidak usah bercanda berlebih begitu," kataku mencoba untuk tidak menanggapi serius, "lagi pula itu tidak lucu."

"Aku serius, Indri."

"maksudmu?"

"Dulu, ketika kamu menolak ajakanku untuk 'berhubungan' aku langsung pergi menemui Sela, kamu pun kenal pasti. Kita berbincang lama dan pada akhirnya,…"

"Serendah itu kah kamu?" Aku mulai naik pitam mendengar ceritamu.

"Maafkan aku, sayang,"

Lama kita bertengar di dalam kamar. Berkeringat.

Sela sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakan. Kini anaknya dari suamiku dititipkan di Panti Asuhan. Aku pun luluh. Tak lagi mampu berbuat apa-apa selain menangis, menangis, dan menangis.

Andre memelukku erat sampai sesak di dada. Namun, dadaku sudah terlebih dahulu sesak menerima kenyataan.

***

27 November, di Restoran cepat saji.

Kita merayakan ulang tahun kelima, Yusron, yang kita ambil tepat siang itu setelah pertengkaran dihari pertama pernikahan kita di Panti Asuhan.

Tawa riang teman-teman Yusron di Paud sungguh membuat hatiku pun senang. Menerima semua kenyataan walau itu bukan darah dagingku sendiri. Toh, di dalam tubuh Yusron juga mengalir darah Andre, suamiku.

Aku mencintai keduanya seperti aku mencintai malam pertama yang telah kudambakan sedari dulu. Malam pertama yang tidak terjadi apa-apa. Andai ini adalah mimpi, aku ingin sekali bermimpi untuk bisa lakukan malam pertama yang kuidamkan dengan lelaki yang kucintai.



Perpustakaan Teras Baca, 4 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kebaya Abu

By : Harry Ramdhani


Setiap orang memiliki arsip sendiri-sendiri. Kadang, saking terlalu terbukanya manusia, arsip itu mudah keluar begitu saja. Tapi aku lebih suka cara manusia mengeluarkan arsipnya lewat tulisan, bukan ucapan-ucapan yang terkadang dilebih-lebihkan.


TERLIHAT murung di antara para pengunjung yang sibuk mencari makanan yang jelas-jelas sudah cukup dihidangkan. Itulah manusia di setiap pesta pernikahan. Dan, yang murung itu kamu. Kamu dengan kebaya abu-abu yang terlihat seperti awan mendung di tengah kebringasan orang-orang melahap makanan.

Aku yang sedari tadi memperhatikanmu jadi lupa kalau es krim di tangan sudah mencair dan bercecer di lantai. Tadinya aku malu sendiri, tapi untuk apa malu? Toh, aku sudah selipkan amplopku di depan tadi. Sama seperti lainnya, aku bayar di sini.

Perlahan aku bulatkan tekadku untuk menghampirimu. Tepat di sampingmu, aku diam sejenak untuk mencari momen yang tepat melemparkan kalimat pertama yang keluar dari mulutku.

"Biasanya, di dalam sebuah pesta, semua yang hadir senang dan ikut berbaur dengan yang lainnya," kataku kaku.

"Kenapa masih ada satu orang yang mengasingkan diri di pojokan?"

"Aku pikir ada dua hal yang tidak benar dari pernyataanmu," jawabmu dengan terus memandang orang-orang di sekitar,"

"Hah?"

"Pertama, di sini aku tidak mengasingkan diri. Di sini aku senang melihat orang-orang di pesta ini senang," tanpa sedikit pun kamu menoleh ke arahku, "kedua, bukan satu orang yang mungkin katamu 'mengasingkan diri', tapi dua orang; aku dan kamu."

Dingin. Jawaban yang dingin. Atau, mungkin lebih dingin dari sirup yang ada di genggamanmu itu.

Setelah itu tidak ada lagi perbincangan. Kita berdua diam di antara orang-orang yang sibuk mencari-cari makanan di pesta pernikahan. Memang, diam adalah emas. Tapi, aku harap diam ini tidak seperti emas yang lupa digarap sampai orang asing yang dapat. Aku hanya berdiri dan mengelap tangan yang tadi terkena es krim. Dan, kamu juga hanya berdiri dan membiarkan es yang ada di gelas mencair menjadi air.

***

Kalau ada yang berani memulai (lagi) perbincangan, pasti ia yang menaruh harapan lebih. Sayangnya aku tidak berani dan kamu pun tidak memperdulikan itu. Sesaat ketika aku ingin melangkah pergi. Satu langkahku tertahan oleh tangan yang tiba-tiba merangkul satu tanganku.

"Bawa aku juga pergi dari sini," katamu

Tangannya halus. Aku tidak lagi melangkah karena jaringan sel di dalam otakku seketika bekerja cepat. Dan selewat ada akal bulus yang mungkin bisa buatku peluang untuk dapatkan yang lain dari dirimu yang halus. Jangtung berdebar tak karuan. Rasanya seperti buah mangga yang sedang disodok dari bawah dengan galah.

***

Di cafe tidak jauh dari gedung pesta pernikahan, kamu mulai mendominasi perbincaraan. Menceritakan ini-itu sampai lupa kalau itu sudah melebihi batas. Batas yang mungkin tidak boleh oranglain tahu selain dirimu dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk luapkan semua, tapi perlahan semua itu keluar dari mulutmu, dari bibir merah muda itu.

Kamu mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tas dan memberikannya padaku. Bukunya seperti buku tagihan.


Aku baca secara perlahan supaya tidak ada yang terlewatkan. Isinya adalah sebuah konsep pernikahan yang sama seperti pesta pernikahan tadi. Rupaya, temanku, Ryan, yang menikah adalah mantanmu. Dulu, mereka sempat berjanji untuk lanjutkan hubungan ke tingkat yang serius. Pernikahan.

Di buku itu tertulis jelas dari daftar makanan yang akan dihidangkan nanti hingga gaun pengantin yang akan dikenakan. Sebuah konsep pernikahan yang sempurna. Tapi, lagi-lagi Tuhan bekerja secara misterius. Tanpa ada keributan, lalu hubunganmu putus. Di hadapanku, kamu menangis. Menangisi yang sudah pergi. Dan air mata itu mewakili semua kesedihamu yang terlanjur ditinggal pergi. Sekali lagi, kepergian kerap datangkan kesedihan.

***

"Tidak perlu kamu iba ketika melihat air mata. Ini wajar ketika kesedihan datang," katamu.

Kali ini aku yang ingin keluarkan air mata setelah kamu keluarkan satu buku lagi dari dalam tasmu. Sebuah cerita cintamu dulu dengan Ryan. Sedih memang ketika menulis sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan. Kata demi kata disusun dengan air mata yang menetes ke pipi dan tidak sekali pun dibiarkan jatuh di atas kertas. Di bulan November ini, aku bertemu denganmu, yang merenung seperti awan mendung di pesta pernikahan.



Perpustakaan Teras Baca, 3 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Langirie

By : Harry Ramdhani

Kalau musim penghujan hanya sajikan kesedihan, maka itu benar. Kesedihan yang tak lagi mampu ditampung oleh airmata yang bersenandung. Airmata hanya soal butiran sajak-sajak kehilangan.


Ada yang berbeda di musim penghujan tahun ini. November tahun lalu, masih ada kamu yang menemani. Kini, hanya aku dan ranjang di sini. Di dalam kamar tak ada yang temani. Dulu, masih ada kita yang sibuk di atas rajang. Bergoyang di bawah lampu remang.

Terkadang, aku buat lampu ini remang. Hanya sedikit memberi harap kalau suatu hari nanti kamu pulang. Dan aku, sudah siap di kamar ini, di atas ranjang dengan setengah badan telanjang.

Menunggu ada yang mengetuk pintu, lalu perlahan ada yang masuk dengan kenakan langirie merah marun kesukaanmu itu. Aku suka melihatmu kenakan langirie merah marun, seakan tak sekali pun aku dibiarkan melamun. Memandangi setiap lekuk tubuhmu di balik langirie itu adalah oase di tengah gurun. Rambut panjangmu yang dikuncir satu lalu, kaki panjangmu yang ditekuk seperti orang penuh malu. Malu hanya perkara tak berani siapa yang mesti memulai terlebih dulu.

***

"Aku ingin mengikat cintamu seperti langerie dibadanku," katamu yang perlahan maju dekatiku dulu, "biar saja aku ikat supaya kamu sulit lepaskan tali-temali ini. Semakin kau berusaha lepaskan, semakin aku kuatkan ikatan."

Kamu memang nakal, Anna, membuat fantasi tak kenal henti ketika langirie itu masih hiasi tubuhmu. Aku tak ingin lepaskan itu dari tubuhmu, biarkan saja menempel seperti iman orang-orang yang sedang jadikan agama sebagai barang jualan.

***

Malam semakin larut dan dingin buat sebagian dari tubuhku ada yang mengkerut. November ini aku lupa bahwa Anna sudah miliki suami. Andai dulu pertemuan di lobby apartemen tidaklah serumit itu, mungkin tidak akan berlanjut ke ranjang yang sama sekali tak diselimuti malu.

Musim penghujan ini, aku jadikan kesedihan karena lupa meminta kontak teleponmu. Saat itu aku sibuk menjalin kontak dengan tubuhmu. Dan, aku ingin menangis supaya ada yang basah di ranjang; di tempat kita sama-sama melupas bujang dan kamu melepas keperawanan.



Perpustakaan Teras Baca, 2 November 2013
gambar: dari sini

Tag : ,

Laura

By : Harry Ramdhani


Ternyata otak bisa lebih encer daripada sperma ketika uang tidak ada. Pantas saja banyak tukang tipu seliweran di setiap tikungan jalan.


AKU tahu, uang tidak bisa membeli semua tapi, dengan uang apa pun bisa diusahakan untuk didapat. Bahkan, cinta yang baru seumur jagung.

Masih saja teringat November tiga tahu lalu ketika aku datang ke pesta pernikahanmu. Rasanya biasa saja, sama sekali tidak ada sedikit pun sedih yang menghampiri. Kalimat terakhirmu itu yang buatku biasa saja kala itu, "semoga ini bisa jadi keputusan terbaik untuk hubungan kita. Kau dan aku memang mesti dapat orang yang lebih baik lagi," katamu dulu, "aku bukan yang terbaik untukmu dan kamu bukan yang terbaik untukku." Aku sepakat. Karena yang baik hanya setia bukan cinta yang terbagi dua.

Baju pemberianmu dulu yang bertuliskan 'Setia adalah perbuatan baik' masih kusimpan rapih di lemari. Walau tidak (lagi) kukenakan, tapi biarlah terlipat rapih di sana. Daripada kukenakan untuk terus mempermainkan banyak wanita, rasanya itu seperti dosa yang sulit ditebus ketika ingin masuk surga.

***

Di pusat perbelanjaan, yang ramai menjelang akhir tahun adalah potongan harga. Apa pun yang dijual harganya dipotong. Bahkan, ada yang sudah dipotong harganya dan masih dipotong lagi. Dua kali potongan. Entah dapat untung darimana? Yang aku tahu, potongan harga hanya soal subsidi silang. Ketika satu barang dipotong harganya, maka harga barang yang lain dinaikan. Jadi tidak ada yang berubah. Andai dulu aku melamarmu menjelang akhir tahun, pasti ada potongan standar untuk jadi pendamping hidupmu. Andai,…

Aku sempatkan untuk mampir di Kedai Jus ketika lelah melihat potongan harga di mana-mana. Toh, untuk apa potongan harga kalau uang saja tidak punya?

Di sini jus alpukatnya murah dan ada potongan harga pula. Aku suka minum jus alpukat karena dalam alpukat tidak ada lemak jahat. Lemak yang terkandung di dalam buah alpukat adalah lemak baik. Tidak membuat gemuk dan benjolan-benjolan yang rasanya tidak pantas di tangan. Semua lemak membuat badan terlihat berisi dan kencang. Nah, tidak perlu bingung kalau banyak wanita suka minum jus alpukat, untuk wanita, lemak di dalam buah alpukat bisa mengencangkan payudara. Jadi di sini aku lihat banyak payudara-payudara yang sedang dikencangkan, khususnya Ibu-ibu muda yang baru memiliki anak barang satu atau dua. Surga dunia.

Segelas jus alpukat aku rasa cukup untuk mengisi tenaga hari ini. Tapi tidak jauh dari tempatku duduk, sepintas aku lihat Laura, mantanku itu yang menikah November tiga tahun lalu. Mirip. Atau memang dia?

Dengan kereta bayi di dekatnya dan badannya yang kini juga berbadan dua, aku coba dekati. Dan memang, itu Laura. Semenjak Ia menikah, aku sudah tidak lagi menjalin komunikasi. Kini aku senang bisa melihanya yang bahagia. Pastinya tetap cantik.

"Laura?" kataku yang berdiri di depannya.

"Ya," jawabnya bingung, "Dias? Hei, apa kabar kamu? Long time no see. Ayo sini duduk."

Ia masih seramah dulu. Senyumnya tidak pernah surut dari bibir tipisnya yang mungkin sudah habis dilumat suaminya. Laura memang ramah, tapi tidak baik, karena yang baik hanya soal kesetiaan.

Aku lihat ke kereta bayi, ada seorang lelaki lucu di sana. "Lucu. Namanya siapa?" tanyaku seraya mencubit pipi tembemnya.

"Novando. Novando Andrias. Aaa,…" Laura ragu-ragu meneruskan kalimatnya, seakan tersangkut di ujung mulut.

"Apa?"

"Ah. gapapa, kok,"

Perbincangan kita mulai tidak tak karuan. Menceritakan ulang kisah-kisah kita terdahulu. Kenangan memang manis bila dikenang, tapi pahit ketika kenyataan berkehendak tidak sejalan.

"Aku harap Novando kelak sepertimu. Karena nama Andrias memang sengaja kuselipkan supaya aku terus bisa melihat dan mengenangmu," rasanya aku paham maksud ucapan Laura. Karena memang itu yang ingin kutanyakan sedari tadi. Novando mirip denganku. Dari hidung dan matanya.

***

November tiga tahun lalu, kita habiskan satu malam bersama sampai lupa kita di ranjang dari malam bertemu malam. Banyak yang kita lakukan. Banyak yang kita keluarkan. Air mata, keringat, dan sperma. Tapi itu semua kita lakukan atas kehendak cinta. Cinta yang mungkin tidak lagi tumbuh setelah kita turun dari ranjang.

Beberapa minggu setelah itu, kau menikah. Menikahi seorang lelaki yang umurnya hampir dua kali lipat umurmu.

Aku terima saja ketika kau ucapkan kalimat perpisahan. Karena aku tahu, keluargamu sedang butuh uang untuk menutupi hutang perusahaan. Dan, pernikahan adalah jalan keluar satu-satu dari permasalahan.

Memang aku tidak mampu penuhi mau keluargamu, maka kau pasrah dimadu demi membayar hutang perusahaan. Ketika tidak punya uang, otak memang bisa lebih encer daripada sperma. Kau tipu suamimu dan mengatakan ini anaknya.

Jadi, Novando Andrias adalah anakku? Darah-dagingku?



Perpustakaan Teras Baca, 1 November 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Malam Lupa Meluap

By : Harry Ramdhani


pada malam-malam yang runyam
di mana harga-harga menjulang,
hidup seorang wanita hanya ditentukan dua pilihan
: mencari teman hidup mapan
atau, menjadikan lidah (yang tak bertulang) sebagai tulang punggung mata pencaharian.

pada malam-malam yang dingin
di mana selimut tebal tak sanggup menghangatkan badan
maka, ruang sempit empat kali enam
mendadak ramai laki-laki datang bergantian

supir-supir truk antar kota,
remaja-remaja tanggung usia,
sampai pemuda ormas menagih jatahnya

tugasnya di sana hanya melayani
dan sisanya dikelola oleh Mami.

melumat keringat-keringat yang menempel,
menjilat daki seperti orang ngepel,
bolak-balik dari atas hingga bawah
tak ada yang terlewat sampai moral pun ikut menguap

pada malam-malam yang makin gelap
wanita-wanita itu sudah lupa cara menguap.



Perpustakaan Teras Baca, 31 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Fantasi

By : Harry Ramdhani


"di ruang mesra imajinasi, segalanya bisa terjadi,"
itu kataku berpuluh-puluh kali
padamu yang ingin mencoba berfantasi

di sini, semut pun bisa mengerang; menanggapi rangsang
dari nyamuk-nyamuk yang beterbangan
atau cicak-cicak yang sembunyi di balik cahaya terang.

Berfantasilah kau di sini,
coba tanyakan pada semut
yang sedang bergelut dengan nyamuk
atau pada cicak-cicak yang berkecamuk
melihat semut bergelut dengan nyamuk

tanyakan saja tanpa sungkan
dan nanti pun mereka akan jawab,
malu hanya soal aurat yang tak terawat
tapi, diumbar

pula, aku sepakat katamu
: hidup tak melulu soal kenyamanan.
daripada terus malu, cobalah berguru
pada semut yang sedang bergelut dengan nyamuk
atau cicak yang sembunyi di balik cahaya terang

lakukan fantasi itu
di sini, di ruang mesra imajinasi
dan bercumbu
daripada melulu kau masturbasi.



Perpustakaan Teras Baca, 31 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -