The Pop's

Archive for May 2012

lanjutan naskah 10

By : Harry Ramdhani
Siapa saya ? Aku hanyalah rekaan dari atas yang kau buat. Bahwa aku adalah hatimu dan kau adalah hatiku. Lalu, siapa mereka ? Mereka hanyalah makhluk hidup yang bergerak pada alat tubuh yang terkoordasi dengan kegitan tubuh lainnya. Ketika aku bertemu denganmu dalam gelap. Kau telah menuntunku menuju terang dari gelap malam. Hingga kau dan aku menuju sebuah ruang, ruang yang hampa. Tidak ada satupun orang, hanya kita berdua. Disana kau belah dadaku dan mengganti isinya dengan paku. Menghisap pikiranku sampai memory terhapus. Terkunci mulutku dan menjereit terbersit. Karena setiap lembar yang kau buat mengalir berjuta cahaya. Karena setiap aksara yang kau buat membuka jendelela dunia. Kata demi kata yang kau buat mengantarkan fantasi, tetapi habis sudah. Bait demi bait yang kau buat telah memicu anastasi tetapi hangus sudah. Kau hilang, Rinduku seteguk pasir, hari demi hari berganti. Yang ditinggal takakan pernah hilang dari pertanyaan, kapan pulang ? Memang, aku pernah berkata bahwa aku suka hujan. Kareana aku percaya dibalik awan hitam ada yang bernyanyi dan berelegi. Dan aku-pun percaya ada yang menerangi disisi gelap ini, menanti seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda. Tapi lihatlah, kini hujan marah. aku bujang pasir sendiri disisi jemari, yang sedih dan letih. Seperti vena yang membawa darah menuju jantung. Terus dan terus, menumpahkan tangis dari sisi gelap lainnya. Rintis konyol berubah. Debu kosmik hujan resah. Kau tahu wajah bumi ketika itu, menangis. Aku memang pergi ke hutan seperti kata Khalil Ghibran. Karena sebelah mataku mampu melihat bercak adalah sebuah warna mempesona. Membaur suara-suara dibawanya kegetiran, memang sedikit asing terdengar. Tapi sebelah mataku, yang lain menyadari, bahwa gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang. Apakah ini yang disebubt dengan Emansipasi wanita ? Wanita yang selalu merasa tertiindas oleh perlakukan para laki-laki berotak beringas. Dimana wanita hanyalah obyek bukan sebagai subjek. Aku sadar kini kau berada dijaman modern, kau menerima pendidikan modern yang dapat mengubah pandangan hidup. Dimana kini kau mampu memisahkan apa yang baik dan apa yana kurang sesuai. Bahwa seorang wanita-pun memiliki hak yang sama seperti pria. Aku meraba teksture kemudian melahirkan gesture. Kini hidupku terasa begitu lentur. Berjingkakpun tidak teratur seperti melantur bagai seorang ballerina. Tapi aku sadar, seperti apa itu jatuh cinta ?ya, jatuh cinta itu biasa saja. Aku tahu, Kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan. Aku tahu, Kita berdua hanya saling bercerita, tak perlu memuji. Aku tahu, Kita berdua tak pernah ucapkan maaf, tapi saling mengerti. Biarkan semia terjadi. Tersungkurku disisa malam, bersandar direndah gairah, puisi yang romantis yang menetes dari bibir. Murung itu sungguh indah, karena melambangkan butir darah. Biarkan semua terjadi. Menikmati kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi. Kelesuan ini jangan lekas pergi, karena aku menyelami sampai lelah hati.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 9

By : Harry Ramdhani
MELANKOLIA SIAPA SAYA ? Aku hanyalah rekaan atas yang kau buat. Bahwa aku adalah hatimu dan kamu adalah hatiku. Lalu, MENGAPA SAYA DICIPTAKAN ? itu karena dirimu. Ketika aku bertemu denganmu dalam gelap. Kau telah menuntunku menuju terang dari gelap malam. Dan, APAKAH MANUSIA BUTUH CINTA DAN AIR MATA ? Jatuh cinta itu biasa saja. Kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan. Kita berdua hanya saling bercerita, tak perlu memuji. Kita berdua tak pernah ucapkan maaf, tapi saling mengerti. Jadi, MENGAPA UJIAN DAN COBAAN DATANG TAK KENAL WAKTU ? Hidupku terasa begitu lentur. Raba tekstur, ciptakan gesture. Berjingkak tidak teratur seperti melantur. APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN ? Tidak ada. Hanya murung, karena murung itu indah. Melambangkan setiap butir-butir darah. Menikmati kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi. Kelesuan ini jangan lekas pergi, karena aku menyalami sampai lelah hati. Melankolia.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 8

By : Harry Ramdhani
MONTAGE : Ive yang tadinya berada dilapangan langsung berubah latar tepat menjadi panggung pementasan. Ia membawakan tulisan yang telah Ia buat sendiri yang sempat Ia janjikan kepada Tyas. Ternyata Tyas berada dibelakang panggung sambil mendengarkan Ive yang sedang menyair. Setelah selesai, Tyas mendekat kearah Ive dari belakang dan memeluknya.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 7

By : Harry Ramdhani
Malam menyelimuti kamar Ive dengan dingin. Ia rasa tidak perlu lagi pendingin ruangan seperti AC atau kipas angin. Udaranya sangat dingin. Burung itu masih saja berkicau dan hingga Ive mendekatinya. “Dari tadi kau berkicau, apa kau lapar ?” Ive kembali berbica dengan burung itu. Entah apa yang terjadi dengan Ive. Ia seperti orang gila, berbicara dengan burung. Apakah mungkin karena kejadian Tyas yang lalu yang telah membuat Ive seperti ini. Ive memang terpukul dengan kejadian kala itu. Wanita yang telah membuat Ive seakan memenangi pelombaan mencari harta karun disebauh pulau terpencil didaerah antah-berantah. Wanita yang membuat Ive terus membawa perubahan kearah lebih baik untuk Ive secara pribadi. Wanita yang telah membukakan mata Ive akan keseriusan dalam berhubungan. Sehari lamanya sudah Ive seakan berkomunikasi dengan burung itu. Ia secara tidak langsung telah merawat burung itu. Diberinya makan, dibersihkannya kardus yang sempat Ia temukan di hutan. Ia merasakan Tyas berada didalam raga burung tersebut. Tyas yang dulu Ia kenal. “Aku ingin bertanya padamu, apa yang harus ku lakukan sekarang dalam semua kepenatan ini ?” Ive terdiam sejenak membiarkan burung itu berkicau yang Ia anggap sedang menjawab pertanyaannya. “Apa kau bilang ? Tidak ada. Tidak mungkin aku tidak melakukan apa-apa untuk hal semacam ini”. “Aku mencintai Tyas, dan kini Ia telah membagi, membuka hatinya untuk orang lain.” Ive masih saja mengajaknya berdiskusi tentang malam itu. “Kenapa kau bicara seperti itu ? Apa mungkin karena kau burung yang tidak bisa mengetahui perasaan ?” seketika Ive tertunduk setelah mendengar kicauan burung. “Kau benar, ketika aku merasa bahwa dia adalah jawaban dalam diriku, kenapa juga harus aku pikirkan hal-hal yang begitu aneh. Aku tidak perlu membuka jalan baru untuk bisa sampai kepada tujuanku. Mungkin aku terlalu mengekangnya, mengaturnya ini-itu, hingga kini aku merasa memikul beban bersalah sampai tidak bisa berganti menjadi perasaan yang lega.” Mata Ive berkaca-kaca ketika itu. “Itulah kesalahan terbesarku, aku tidak bisa membedakan antara tubuh dan jiwaku. Apalah arti tubuh yang fana ini bukan ?”. bersandarlah Ive di pagar beranda kostannya. “Aku terlalu memprihatinkan tubuhnya yang fana saja. Biarkanlah Ia mendapatkan yang fana, yang bisa menua untuk kemudian menjadi abu kembali. Tatapi aku, telah mendapatkan jiwa dan raganya. Kami telah membangun jiwanya terlebih dahulu barulah kita membangun raganya hingga menjadi satu kesatuan.” Diletakkannya burung itu tepat didepannya. “Baiklah, aku akan membawamu pulang. Tempatmu bukan disini.” Setelah keluar dari tempat kost-nya. Tiba-tiba burung itu terbang dari kardus yang terbuka. Burung itu terbang bebas, Ive yang berusaha mengejarnya ternyata hanyalah sia-sia. Burung itu terbang begitu cepat. Ive hanya bisa berdiri melihat burung itu terbang di udara.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 6

By : Harry Ramdhani
setia menunggu hujan reda. Ive terus menanti hujan itu reda. Samapi nanti ketika hujan tak lagi meneteskan luka, mendekap duka. Bahkan sampai hujan memulihkan luka. Pagi itu, matahari seakan ikut mereasakan kepedihan Ive. Ia sama sekali enggan memperlihatkan dirinya untuk menunjukkan jati dirinya yang sejati menyinari bumi. Baju Ive yang kering oleh tiupan angin semalam terlihat kotor terkena cipratan tanah. Seketika Ive bangkit dari duduknya, entah kakinya akan membawa kemana. Ive hanya menuruti dan otaknya-pun patuh terhadap perintah Ive. Lambat-laun, hentakan kaki Ive telah membawanya ke suatu hutan. Hutan yang dipenuhi pepohonan lebat. Akar-akar besar melintas dimana-mana, dedaunan yang telah kering dan memisahkan diri dari tubuh pohon bertebaran layaknya pasir dipantai. Sejauh mata memandang hanyalah dedaunan kering. Sungguh sunyi, hanya Ia seorang. Ive memperhatikan daerah sekitar, pikirannya terbang bebas memantul dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Ia berdiri diantar dua pohon yang berdekatan. Ive ‘lah yang menjadi pemisah. Matanya tidak kunjung henti melihat pohon itu. Dari atas kebawah, dari bawah keatas. Dari kiri kekanan. Tidak terlihat seberapa tinggi pohon tersebut. matanya tak sanggup menggapai puncak pohon. Tangannya tak senggup merangkai kedua pohon untuk bersatu. Lelah karena merasa tak sanggup melakukan itu semua, Ive akhirnya terkapar. Mungkin karena badannya yang telah dihancurkan hujan semalam. Seketika, ada burung kecil menghampiri tangan kanan Ive. Tetapi karena kelelahan, Ia tidak meresakan burung yang hinggap ditangannya. Perlahan burung itu terbang keatas badan Ive. Masih saja Ia tidak menyadarinya. Ive kini berada diantara dua dunia, dunia nyata dan dunia fana. Nyata , kerena Ive merasakan setiap gelombang yang mengisi seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Fana, karena dialam bawah sadarnya Ia seperti dalam mimpi. Matan ya terpejam lama hingga burung itu mematukan patuknya kebibir Ive. Ia tidak sanggup menggerakan tubuhnya. Kaku. Kemudian burung itu berkicau, yang dapat Ive lakukan hanya mendengar dan memperhatikan burung. Bunyi pepohonan yang terhempas angin seperti beragam irama yang menghasilkan sebuah nada-nada minor. Burung tersebut masih saja berkicau, semakin lama semakin meninggi. Ive memejamkan matanya kembali dan sesaat Ia dapat bangun. Perlahan tapi pasti dan sampai Ia dapat berdiri. Ive memandangi burung itu, aneh. Burung itu tidak terbang, hanya terus saja berkicau tanpa jeda sedikitpun. “Kenapa kau tidak terbang bersama kawananmu ?” kata Ive kepada burung tersebut. “Apa yang kau lakukan disini ?”. burung itu masih Saja berkicau, tetapi kini seperti menjawab segala pertanyaan Ive padanya. Ive menemukan kardus kecil yang berada tepat disebelah pohon lalu memasukan burung itu kedalamnya. Kardus itu dibiarkan terbuka atasnya tapi burung itu sama sekali tidak terbang. Ia membawanya pulang ke kostan dan meletakkannya didekat kasur.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 5

By : Harry Ramdhani
“Belum” Tyas menggeleng. “Kenapa sih kamu ga mau dengerin semua omonganku dari dulu ? kalau tidak salah ‘kan kamu sudah menjual banyak barang dagangan itu ke temen-temen kamu. Lalu kemana untung dari setiap item yang terjual ?” Ive semakin menekan suara hingga terdengar tegas. “Kenapa harus mengingat yang dahulu ?” “Toh aku cuma nanya doang, ga lebih. Dan maaf, aku belum bisa bantu kamu untuk hal ini” “Itu sama sekali bukan urusanmu, Ive. Itu urusanku dengan Ayahku.” “Aku tahu, tapi aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal ini.” “Sudah ku bilang, ini bukan urusanmu” akhirnya Tyas menoleh kearah Ive. “Ada yang ingin aku bicarakan selain itu denganmu” sambil meraih tangan Ive. “Apa itu ?”, tanya Ive dengan penasaran. “Pertengakaran kita selama minggu ini telah mebuat aku pusing. Dari masalah uang bayaran, kecurigaan akan orang ketiga yang entah ada di aku atau di kamu, tentang hal-hal sepele” “Terus ?” “Aku sempat membuka perasaanku pada orang lain, tapatnya 3 hari yang lalu” Tyas kembali menundukan kepalanya. “Aku suka dengan orang lain”. “Maksudmu, kamu punya pacar lagi ?”. Tyas hanya menganguk, tidak menjawab. Kehenignan kembali terjadi, tapi tangan mereka masih saja saling mengepal. Ive-pun sadar, bahwa beberapa hari ini mereka saling bertengkar. Tapi selalu ada saja pemecahan masalahnya, walaupun sedikit belum tuntas. Kali ini, Ive merasa dibohongi. Andai Tyas tahu apa saja usaha yang telah Ia lakukan untuk membantu Tyas. “lebih baik kamu pulang, hari sudah semakin gelap. Nanti kamu kehujanan” keta Ive. “Tapi aku sudah mengakhiri itu, itu hanya perasaan sesaat” Tyas mulai mengubah duduknya semakin berbelok kehadapan Ive. “Jangan bicarakan itu sekarang, lebih baik kamu pulang” sambil perlahan membuka lepasan tangannya yang dikepal begitu keras oleh Tyas. “Maafin aku” Tysa berdiri dan meninggalkan Ive yang masih duduk disana. Beberapa saat hujan turun begitu lebat, tapi Ive masih saja duduk, tidak bergerak sama sekali. Hujan telah menyirami isi kepala Ive yang termenung. Seakan menyatukan berbagai partikel-partikel kecil didalam otaknya menjadi satu kesatuan atom yang siap dieksekusi oleh Ive. Selau ada yang bernyanyi Dibalik awan hitam, semoga ada yang menerangi sisi gelap ini. Menanti seperti pelangi yang
Tag : ,

anjutan - naskah (melankolia) 4

By : Harry Ramdhani
dikirim. Tapi seperti itulah, Ive. Selalu menanggapi dengan diam. Dalam diamnya selalu uncul berjuta pertanyaan yang dijawabnya sendiri didalam pikiran. Dengan diam namun melalui kepekaan pereasaan dan ketajaman pandangan matanya, tanpa banyak bicara Ive masuk ke kamar. Dari dalam kamar, lantas Ive membuka jendela, dengan raut wajah muram dan dengan jutaan rasa yang terpendam didada menghantui pikirannya. Napasnya bergerak turun naik dengan irama yang tetap. Matanya dipejamkan, berharap agar ia dapat tertidur. Malam semakin larut. Angin di luar bertiup resah, seresah hati dan pikirannya. Dedaunan dari pepohonan di luar sana bergesekan, menerbitkan suara yang menambah kegeliasahan Ive. Rasanya, ia ingin melompat jauh-jauh. Entah kemana, pokoknya ia bisa terlepas dari keresahannya ini. Dari kegelisahan ini. Seteets air mata lolos dari matanya ketika suara angin itu semakin mencabik-cabik keheningan. Dengan gerakan kasar, Ia menghapus pipinya yang basah itu dengan tangan kirinya. Sebenarnya Ia tidak ingin menangis. Tahu betul bahwa tak akan menyelesaikan masalah. Keriuhan kamar yang tepat bersebelahan dengan Ive semakin menjadi. Padahal Istirnya kemaris sempat pergi dari kamar. Apa yang membuat Istri itu bisa kembali lagi kesana ? Pikiran Ive semakin semerewut oleh tingkah tetangganya itu. Sudah dua hari ini Tyas tidak memberikan kabar. Masalah demi masalah terajut menjadi satu dalam satu gumpalan benang kusut. Semakin hari semakin besar saja gulungan tersebut. Tidak lama kemudian handphone Ive berbunyi, nampaknya ada SMS dari Tyas, “Aku tunggu dideket lapagan voli, sekarang”. Tampaknya ada yang ingin dibicarakan serius. Hari itu sedikit mendung, nampaknya akan turun hujan yang lebat. Awan hitam saling mendahului untuk segerea sampai ditempat dimana mereka akan menumpahkan semua isi perutnya. Ive keluar kamar dengan tergesa-gesa. Dari jauh terlihat Tyas yang sedang duduk menunggunya. Rambutnya yang panjang terurai kedepan sehingga ketika menundudukan kepala hanya rambut tebal yang berada diatas kepalanya. Mereka hanya duduk berdua, pandangan kosong kedepan. Tidak ada yang memulai perbincangan. P;astik bekas air mineral-pun suaranya sungguh terdengar ketika melintas didepan mereka berdua yang tertiup angain. “Ive . . “ terdengar suara Tyas yang mulai merontohkan tembok keheningan diantara mereka. “Maafin aku”. Ive yang sama sekali tidak mengetahui alasan Tyas meminta maaf secara spontan memotong ucapan, “maaf untuk apa ?” sambil menoleh kearah Tyas, tapi Ia masih saja meunuduk. “Untuk semaunya”. Jawab Tyas sambil menunduk. Ive semakin bingung, langsung Ia engalihkan pembicaraan. “Bagaimana dengan biaya kuliahmu ? apa sudah dapat ?”
Tag : ,

anjutan - naskah (melankolia) 3

By : Harry Ramdhani
Tidak lama kemudian Ibu datang, hanya sendiri. Tidak diteman Ayah. Ive yang sedang mengistirahatkan badan dikamar langsung keluar. “Dari mana, bu ?” tanya Ive penasaran. “Tadi Ibu dari Rumah saudaramu, Ginting, dia sedang sakit” jawabnya. “Ginting, sakit apa dia ?” “Penyakit levernya kumat lagi, tadi sempat dibawa ke rumah sakit tapi kata dokter ia tidak harus dirawat. Jadi ia dibawa pulang lagi” “Ouw, lalu kemana Ayah ?” “Tidak tahu, mungkin masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan” Ayahnya bekerja disalah satu percetakan besar di Jakarta. Sejak kecil, Ive terkadang dibawakan buku-buku yang tidak lolos sortir. Tidak sempurna memang, tapi setidaknya Ive bisa membacanya dan mengetahui maksud dari semua buku yang didapat dari Ayahnya. Dan sampai sekarang-pun Ia masih dibawakan buku-buku dari tempat kerja Ayahnya. Adzan Maghrib berkumandang dan pada waktu yang sama juga terdengar suara motor dari arah luar rumah. Sudah jelas, itu Ayah yang datang. Suara motor seakan saling sahut-menyahut dengan suara Adzan. Timbul dan tenggelam. Ibu menghampiri Ive dikamar. “Apa kamu sudah makan, nak ?” tanya Ibunya. “Belum, Bu, tadi aku tidak sempat makan di kampus. Selesai kuliah langsung kesini”. “Yasudah, Ibu buatkan makan malam, ya. Hari ini kammu nginep disini, kan ?” “Kayaknya aku nginep deh, Bu. Lagi pula terlalu malam juga kalau aku kembali ke kostan” Ibunya kembali kedapur dan Ive keluar kamar untuk mengambil air wudhu sekalian memberi salam pada Ayahnya. “Ayah tumben pulang sampai waktu maghrib ?”, kata Ive “Iyah, tadi ada yang harus diselesaikan di percetakan” Ayah menjawab. “Kamu juga tumben sekali pulang ditengah minggu ini ?” “Ada yang buku yang tertinggal, Yah” “Cepat sana ambil air wudhu” Ayahnya sambil menganguk, tetapi ia sadar betul bahwa jatah uang minggu ini belum dikirim untuk Ive. Suasana rumah sangat hening, dan Ive mengetahui keadaan rumah kalau seperti ini. Pasti sedang ada masalah dalam keuangan. Dan Ive-pun sadar kenapa jatah uang jajan untuk minggu ini tidak
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 2

By : Harry Ramdhani
dapat meminjam uang terlebih dahulu kepada orang tuanya. Walaupun ia sendiri sadar bahwa minggu ini saja ia sama sekali tidak dikirim uang mingguan yang biasanya didapat setiap awal minggu. Logikanya, mungkin orang tuanya sedang tidak ada uang untuk mengirimnya atau mereka lupa mengirim karena ada kesibukan yang Ive tidak ketahui. Tanpa pikir panjang, Ive segera meninggalkan meja dan dua gelas besar the yang telah kosong di kantin. Diperjalanan pulang Ive kerap kali tersenyum pahit sendirian setiap pikiran akan masalahnya dengan Tyas itu melintas dikepalanya. Menilik sikap Tyas selama ini di masa mereka baru memulai berhubungan, wanita itu tak terlalu menempatkan sebagai ‘yang setara’. Ive ingat beberapa kejadian yang menguatkan itu. Antara lain ketika Tyas ingin meminjam motor teman Ive untuk menjenguk teman sekolah Tyas dahulu ketika masih SMU di Rumah Saklt. Tatkala Tyas meminta Ive mengantarkan kesana. Seolah tugas lelaki adalah semua yang berkaitan dengan antar-jemput, tidak ada bedanya dengan tukang ojek. Kecil memang persoalan itu, tetapi kalau itu menjadi tekanan dalam hubungan antara seorang pria dan wanita yang menajalin hubungan menuju kearah yang lebih serius, hal itu tak bisa lagi dianggap kecil. Terlebih bagi Ive yang sering melihat ketimpangan perlakuan wanita terhadap pria dimanapun. Seorang pria harus bersedia antar-jemput wanita kapanpun disuruh. Tanah yang sedikit menggembur akibat hujan semalam nampaknya belum juga kering sampai hari ini. Ive seperti sudah bertahun-tahun tidak pulang, padahal baru bulan lalu ia pulang untuk mengambil beberapa buku yang sepat tertinggal di rumah. Para tetangga yang tak kuunjung henti memberi senyum padanya seakan seorang tukang insinyur telah kembali membawa banyak ilmu yang siap dituangkan demi memajukan daerahnya. Memang, hanya keluarga Ive yang menyekolahkan sampai keperguruan tinggi. Selebihnya para masyarakat sekitar hanya menyekolahkan anaknya sampai sekolah atas lalu bekerja. Entah apa yang menjadi harapan orang tua Ive padanya. Mungkin berjuta harapan orang tuanya pada bahwa Ive mampu membawa nama keluarganya hingga martabat tertinggi didalam kehidupan. Dapat membantu orang-orang sekitar untuk bisa lebih maju dibanding sekarang. Sesampainya didepan rumah, sama sekali tidak nampak motor tua yang sering ditunggangi Ayahnya. Sepi sekali. Ive masuk dan langsung melihat ke dapur, tidak seperti biasanya ini terjadi. Biasanya setiap sore Ayahnya sedang asik duduk di ruang tamu sambil membaca koran dan ditemani secangkir teh lalu beberapa makanan kecil yang sekedar melengkapi. Makanan yang dibuat oleh tangan Ibunya tidak hanya lezat, melainkan cantik-cantik bentuknya. Sejak kecil Ive kerap kali diajarkan memasak oleh Ibunya, tapi apa boleh buat, Ia tidak bisa menuruni keahlian Ibunya dalam memasak. Tapi Ive ingat betul perkataannya ketika didapur, “Penelitian dan percobaan tidak harus selalu berbau ilmiah saja”, katanya dengan bangga. “Lihatlah hasilnya. Apakah kamu pernah merasakan kue yang serenyah ini ?”. Ayahnya selalu melakukan itu sembari menunggu waktu maghrib tiba. Dan Ibunya, sedang menyiapkan makan malam. Bau harumnya bisa sampai tercium ke ruangan depan. Seluruh rumah diselimuti masakan yang dapat menggugah nafsu makan.
Tag : ,

lanjutan - naskah (melankolia) 1

By : Harry Ramdhani
Masalah itu muncul seketika karena minggu ini pula Ujian Tengah Semester. Tyas terancam tidak bisa mengikuti Ujian karena belum membayar. Sedemikian kuatnya keinginan Ive tergambar lewat sikapnya yang penuh semangat untuk membantu Tyas. Seperti biasa, Ive menghabiskan segelas air putih setiap pagi seperti yang sering diingatkan Tyas padanya dengan kepatuhan bahwa Tyas telah memperhatikan kessehatan Ive. Bahkan juga dengan kepatuhan yang sama ia melakukan nasehat-nasehat Tyas untuk tidak lagi memilih-milih makanan tertentu. Dan kepatuhan itu juga lebih berisi pemahaman dan penghargaan atas jerih-payah Tyas untuk terus mengingatkan Ive daripada demi hasilnya. Bahkan apa dan bagaimana hasilnya, Ive tidak memperdulikannya. Sesuatu yang pasti tidak dapat tersentuh oleh orang lain. Yaitu, martabatnya sebagai manusia. Memang kedengarannya agak lewat takaran perasaan yang terjadi pada Ive. Tetapi apabila orang dapaat mengikuti jalan pikirannya, mungkin itu tidaklah terlalu berlebihan. Dari usaha-usaha Tyas dalam memperhatikan kesehatan Ive, seluruhnya hampir berpusat pada satu tujuan. Yaitu, agar Ive dapat hidup sehat karena mampu mempersembahkan dirinya sebagai orang yang akan menjalani hubungan yang lebih serius nanti. Setibanya Ive di kampaus, ternyata dosenya tidak hadir. Duduklah Ive di kantin, sendirian. Entah Tyas berada dimana saat sekarang. Berkali-kali Ive mengabari lewat SMS tapi tak satu-pun dibalas oleh Tyas. Dari meja yang tepat bersebelahan dengan Ive, ia melihat banyak orang yang berpasangan sedang bercanda-tertawa seperti tidak ada masalah yang mereka pikirkan. Tawa lepas mereka membuat Ive yang sedang duduk sendirian nampak seperti sebuah anomali, menjadi seorang yang minoritas. Maka yang keluar dipikirannya ketika itu adalah apa yang akan mereka lakukan apabila mereka berada dalam posisi sepertinya kini ? mungkinkah mereka seperti ia saat ini ? Tempat Photocopy ramai, banyak mahasiswa yang sedang mempersiapkan bahan-bahan perkuliahan untuk UTS nanti. Tidak hentinya orang lewat bagaikan kendaraan di jalan raya. Sama sekali tidak ada hentinya. Ive kembali membuka bukunya untuk meneruskan beberapa potongan syair-syair yang sempat ia janjikan kepada Tyas untuk membuatkan satu buah pertunjukan nanti. Hanya didepan Tyas seorang. Ive memang seorang penyair amatir, belajar menulis sendiri, tetapi sama sekali ia tidak pernah dipertunjukan kepada orang lain. Dan pada suatu ketika Tyas mengetahui bahwa Ive sangat senang membuat syair, Tyas memintanya membuatkan satu karya hanya untuknya. Ive menjanjikan akan melakukan itu pada satu hari dimana hubungan mereka genap 2 bulan. Tapi, mungkinkah itu bisa terjadi apabila keadaannya seperti ini ? MENJELANG sore dihari yang sama, Ive masih saja mencorat-coret bukunya di kantin. Ia sama sekali tidak memperdulikan orang lain yang berlalu-lalang. Hanya dia, pulpen dan buku itu. Tidak ada yang lain. Tak terasa sudah dua gelas besar teh manis yang ia habiskan disana. Dalam keresahan, Ive ingin sekali membantu mencarikan uang pengganti terlebih dahulu untuk Tyas agar dapat mengikuti Ujian. Terbesit didalam pikiran Ive untuk pulang ke rumah dengan harapan ia
Tag : ,

naskah (melankolia)

By : Harry Ramdhani
LANGIT sore itu begitu kemerahan. Ive yang duduk di beranda kostan sedang menikmati indahnya senja merasa sedikit terganggu oleh kegaduhan dari kamar sebelah. Dengan sepenuh pemahaman yang dimilikinya, Ive memperhatikan seluruh kejadian yang ada disekitarnya. Seperti seorang penonton dalam sebuah pementasan teater. Ive mendengarkan segala yang terjadi dengan diam. Suatu diam yang mengandung pengertian dan semacam keharuan yang menukik hingga jauh kedalam lubuk hati. Sudah sejak berminggu-minggu sebelumnya, Ive mendengar suara keributan ini. Dan sudah seminggu pula keributan ini semakin memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Diawali dari bantingan pintu lalu disusul dengan teriakan perempuan yang memang istrinya, “Maksud kamu apa ? Jawab, jawab, mas.” Tidak lama kemudian terdengar seperti suara pecahan kaca yang dibanting sangat keras. Kehjadian itu memicu sebuah ingatan, ingatan akan sebuah kejadian yang sudah lama berlalu. Kekjadian yang terus membekas dalam benak Ive. Ive yang masih tertidur sekejab terbangun oleh keributan pasangan muda yang tinggal dikamar sebelah kostannya. “Aku sama sekali tidak ada main dengan wanita itu”, kata suami dengan nada seakan ingin menagaskan kepada istrinya. “Sumpah Pocong-pun aku berani, mah”. “Selalu itu yang jadi alasanmu” kata Istri sambil melangkah keluar kamar. “Terus, apa yang bisa buat kamu percaya ?” sambil memegang tangan istrinya. “Lepasin tanganku, mas” istrinya berhasil keluar dari kamar. Nampak suami itu kesal karena ditinggal lalu terdengar bantingan gelas kearah tembok yang tepat berapitan dengan tembok kamar Ive. Sudah satu minggu lebih mereka bertengkar dan mungkin pagi itu adalah puncak dari segala kegundah-gulananya. Keluarlah Ive dari kamarnya dengan mata yang masih mengantuk. Entah apa yang ada dipikiran kedua orang itu ? Melihat mereka bertengkar layaknya sepasang binatang buas yang merasa kesal karena salah satu dari emreka gagal mendapatkan jatah makanan. Perempuan itu tersenyum seolah ia berkata “Sungguh gembira, engkau menyukai itu ? “.Ive angkat bahu, lalu masuk kembali kedalam kamarnya. Bergegaslah Ive untuk beragkat ke kampus, Ia sedikit kesiangan karena semalam harus tidur sedikit malam memikirkan Tyas, kekasihnya. Hubungan mereka belakangan memang sedikit kurang bagus, tiada hari tanpa pertengkaran layaknya pasangan suami-istri tadi. Memang, pada kesempatan ini Ive tersudutkan. Tersudutkan oleh masalah yang bisa dibilang tidak pantas diributkan. Masalah ketika belum lama mereka menjalani huubungan, tepatnya dihari ke-lima. Tyas menceritakan bahwa uang yang diberikan olehnya untuk membayar kuliah ternyata hilang. Tapi lambat-laun mereka jalani, masalah itu sedikit terlupakan.
Tag : ,

PERASAAN

By : Harry Ramdhani
Menarik, bagi gue membicarakan perihal tentang perasaan memang tidak berujung. Entah ada berapa jumlah kisah cinta yang keluar dari mulut kita ketika bercerita. Ada yang membahas tentang kisah perasaan dengan pasangannya, dengan teman yang baru dikenal di lorong kelas, dan lain-lain. Tapi, aku sedikit curiga dengan ‘mereka’ yang setiap hari bertukar cerita tentang perasaan itu sendiri. Mungkinkah mereka tahu apa itu ‘Perasaan’ ? bagi gue, perasaan terbagi atas 4 bagian, yaitu Suka, Sayang, Cinta, dan Bangga. Alasan gue membagi semua ini karena satu, yaitu agar kita tahu saat ini, saat yang kita lakukan, saat yang kita perbincangkan. Karena kita harus tahu apa yang kita kerjakan, agar kita tahu apa yang kita suka, agar kita tahu apa yang kita sayang, agar kita tahu apa yang kita cinta, agar kita tahu apa yang kita banggakan. Tidak perlu kita banyak mengerti akan banyak hal, cukup tahu banyak.  

Pertama, Suka.
Yup, perasaan Suka bisa timbul oleh setiap orang kepada orang lainnya. Baik itu sesama jenis maupun lawan jenis. Perasaan ini timbul bisa datang pada saat perjumpaan pertama. Dan inilah yang sering terjadi salah kaprah. Kita sering mendengar istilah “jatuh cinta pada pandangan pertama”, mulai sekarang akan gue kasih tahu bahwa itu, SALAH. Perasaan yang timbul ketika pandangan pertama adalah perasaan suka. Kenapa gue bisa bilang kayak gitu ? karena secara harfiah dengan secara alami. Tapi perasaan itu tidak serta merta datang, biasanya perasaan itu muncul ketika “anda” dapat menangkap sisi keunikan orang lain tersebut. maka perasaan itu akan muncul.  

Kedua, Sayang.
“Aku Sayang Kamu”, kalimat ini hanya gue rasakan ketika punya pacar doang. Selebihnya, engga pernah. Padahal, kita bisa Sayang sama siapapun. Tidak hanya terkotakan oleh pacar sendiri (diluar konteks kalau lu punya pacar lebih dari satu, ya). Kesalahan terbesar dari orang-orang yang pacaran adalah terlalu men-Tuhan-kan pasangannya. Sederhananya seperti ini, dalam satu kasus “pacar anda sudah jelas tidak masuk dalam perkuliahan, tapi anda (sebagai pacar) langsung meng-absenkan dia yang tidak masuk. Ketika teman anda mengingatkan karena perbuatan itu tidak baik, maka hal pertama yang anda lakukan adalah membela diri karena tidak ingin pacarnya terlihat malas kuliah”. Artinya, anda akan membela pasangan tanpa melihat lagi mana yang baik/buruk, mana yang benar/ salah. Kalau itu terjadi, maka itu bukan perasaan Sayang, tetapi BODOH. Perasaan Sayang bisa ditunjukan kepada pasangan anda dengan cara kita bisa menempatkan diri pada satu waktu dan kondisi. Artinya, perasaan Sayang adalah suatu hal yang kita lakukan kepada orang lain bukan hanya kepada pasangan kita saja.

Ketiga, Cinta.
Cinta, dengan bermodalkan satu kata itu, banyak orang yang bisa mendapatkan uang untuk hidup. Dari penulis lagu, penulis novel, dan banyaaaaaaaaaaaak lagi. Kalian tahu, mereka hanya bermodalkan “Cinta”. Dengan satu kata itu, mereka memainkan banyak kata-kata untuk bisa mendeskripsikan, apa arti cinta ? Tapi, untuk kali ini, gue engga akan berbicara banyak tentang cinta pada konteks ini. Agar lebih mudah dimengerti, tadi kita sudah membahas tentang Suka, Sayang, dan kini Cinta. Suka itu kita bisa menangkap hal terunik dari orang lain dan dari situ perasaan suka akan muncul. Sayang itu perbuatan yang kita BERIKAN kepada orang lain, bukan hanya kepada satu orang saja (pacar). Kini, Cinta itu perbuatan orang lain yang anda DAPATKAN dari orang lain, baik itu dari teman, sahabat, pacar, pasangan hidup, bahkan dari Tuhan. Dari sanalah anda akan bisa tahu, apa konteks Suka, Sayang, dan Cinta itu yang sebenarnya. Kita tidak akan mengkotakkan ini kepada satu obyek saja tapi kebanyak obyek.  

Keempat, Bangga.
Sengaja gue menyimpan ini diakhir criteria dari semua jenis perasaan yang telah dipaparkan. Bangga merupakan suatu aspek terpenting terhadap hal yang telah kita lakukan. Hanya dengan ini kita bisa menunjukan kepada orang lain. Perasaan bangga baru akan bisa timbul kalau kita telah melakukan hal kepada orang lain (terlebih kepada orang yang spesial). Dengan begitu, kita bisa berterima kasih kepada orang itu karena telah berbuat baik kepada kita.
Tag : ,

KEPASTIAN

By : Harry Ramdhani
Ada hal terunik yang baru gue temuin di kampus. Seperti biasa, tidak terikat waktu dan tempat, OBSET bisa terjadi. Kali ini, gue sempet terpikir oleh sebuah pertanyaan yang sangat mendasar “Sebenernya, kenapa sih cewek itu selalu butuh Kepastian ?”. coba deh, bayangin jijik banget denger orang yang ngomong “heh, buruan tuh tembak, nanti kedualan orang baru tahu rasa” atau “mau dibawa kemana hubungan kita ? aku butuh kepastian”. Memang, ini sedikit terkospirasi oleh pengalaman pribadi gue sendiri sebagai Pakar OBSET  Tapi gue akan meninggalkan itu, bertanya kepada banyak orang dan hasilnya beragam. Dan 80% orang menjawab hanya ala kadarnya, sebatas jawaban untuk mengusir gue pergi agar tidak banyak nanya lagi. Merasa kurang puas akan semua jawaban, gue dateng kesalah satu temen gue, kita sebut saja dia ‘Si Pulan’. Sambil ngecat secret dia ngejawab, “SALAH”, wuaw gue kaget tiba-tiba dibilang salah aje. “sebenernya yang lebih butuh kepastian itu Cowok, bukannya Cewek. Nih, dimana-mana juga yang nembak itu cowok dan dia pasti butuh jawaban dari si cewek. Berartikan yang butuh kepastian itu Cowok bukan Cewek”.
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -