The Pop's

Archive for 2018

Nyanyian Kesedihan, Pablo Neruda

By : Harry Ramdhani
lukisan karya anak-anak di rumah singgah Potads.

Ingatanmu muncul dari malam di sekelilingku.
Sungai itu membaur dengan ratapan kerasnya dengan laut.

Gurun seperti dermaga saat fajar.
Ini adalah jam keberangkatan, oh sepi!

Kepala bunga dingin menghujani hatiku.
Oh lubang puing-puing, gua ganas kapal karam.

Di dalam kamu, perang dan penerbangan terakumulasi.
Dari kamu sayap burung-burung lagu naik.

Kamu menelan semuanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Di dalam kamu semuanya tenggelam!

Itu adalah saat-saat bahagia dari serangan dan ciuman.
Jam mantra yang menyala seperti mercusuar.

Ketakutan pilot, kemarahan seorang penyelam buta,
mabuk mabuk cinta, di dalam kamu semuanya tenggelam!

Di masa kecil kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Sebuah pencarian yang hilang, di dalam kamu semuanya tenggelam!

Kamu berdukacita, Kamu berpegang pada keinginan,
kesedihan mengejutkanmu, di dalam diri kamu semuanya tenggelam!

aku membuat dinding bayangan menarik kembali,
di luar keinginan dan tindakan, aku terus berjalan.

Oh daging, dagingku sendiri, wanita yang aku cintai dan kehilangan,
aku memanggilmu di jam lembab, aku angkat laguku untukmu.

Seperti kendi kamu tempatkan kelembutan yang tak terbatas,
dan pelupaan tak terbatas itu menghancurkanmu seperti guci.

Ada kesendirian pulau-pulau hitam,
dan di sana, wanita cinta, tanganmu membawaku masuk.

Ada kehausan dan kelaparan, dan kamu adalah buahnya.
Ada kesedihan dan reruntuhan, dan kamu adalah keajaiban.

Ah wanita, kamu tidak tahu bagaimana kamu bisa menahanku
di bumi jiwamu, di salib tanganmu!

Betapa mengerikan dan singkatnya keinginanku terhadapmu!
Betapa sulit dan mabuk, seberapa tegang dan rajin.

Pemakaman ciuman, masih ada api di makammu,
masih dahan-dahan yang digoreng terbakar, dipatuk oleh burung-burung.

Oh mulut yang tergigit, oh anggota badan yang dicium,
oh gigi yang lapar, oh tubuh yang terjalin.

Oh gila harapan dan kekuatan
di mana kami bergabung dan putus asa.

Dan kelembutan, ringan seperti air dan tepung.
Dan kata itu nyaris tidak mulai di bibir.

Ini adalah takdirku dan di dalamnya adalah pelarian kerinduanku,
dan di dalamnya kerinduanku jatuh, di dalam kamu semuanya tenggelam!

Oh, lubang puing, semuanya jatuh padamu,
kesedihan apa yang tidak kamu ungkapkan, dalam kesedihan apa kamu tidak tenggelam!

Dari mengepul hingga mengepung kamu masih disebut dan bernyanyi.
Berdiri seperti seorang pelaut dalam haluan kapal.

kamu masih berbunga dalam lagu, kamu masih memecahkan arus.
Oh lubang puing, terbuka dan pahit.

Penyelam buta pucat, pengumban beruntung,
penemu yang hilang, di dalam kamu semuanya tenggelam!

Ini adalah jam keberangkatan, jam yang sangat dingin
yang malam kencangkan ke semua jadwal.

Sabuk gemerisik lautan membentuk pantai.
Bintang dingin naik, burung hitam bermigrasi.

Gurun seperti dermaga saat fajar.
Hanya bayangan yang berliku-liku di tanganku.

Oh lebih jauh dari segalanya. Oh lebih jauh dari segalanya.

Ini adalah jam keberangkatan. Oh ditinggalkan.

Mendamaikan rindu dan dendam setiap tahun

By : Harry Ramdhani
bagus2 yha? gelang and gantungan, kesukaanmu.
Kamu ulangtaun dan aku lupa. Anehnya, entah kenapa, aku bisa merasakannya. Seperti ada yang berbeda seharian ini. Orang-orang, pekerjaan dan hal-hal lain yang menyebalkan tidak menghampiri. Sungguh, aku merasakan itu semua, hari ini, saat ulangtaunmu. Dan, aku ingat, ulangtaun, bagimu, bukan sekadar ucapan (basa-basi) dan perayaan tiup lilin belaka. Bagimu, yang aku tahu, ulangtaun adalah soal perenungan. Yha. Ini berlebihan. Sebab, selalu ada yang tidak aku tahu setiap ulangtaunmu. Sabab, setiap kali kamu ulangtaun, aku selalu tidak ada di dekatmu; selalu ada di jarak terjauh yang bisa dibayangkan akal sehat. Kamu selalu menjadi orang yang paling antusias setiap ada yang ulangtaun: keluargamu, keluargaku, aku, teman-temanmu dan (mungkin saja) pasangan barumu. Namun, di balik itu semua, kamu menjadi pengingat untuk selalu mawas diri. Bertambahnya usia dan berkurangnya umur mesti disikapi dengan pendewasaan. Kadang, tapi aku selalu lupa, ingin menanyakan padamu satu hal: mengapa kamu selalu ingin orang-orang di sekitarmu dewasa? Apakah tetap menjadi anak-anak bukan sesuatu yang menyenangkan? Yha. Maaf. Malah jadi dua pertanyaanku. Aku menduga, rasa-rasanya, bagimu seseorang tidak bisa hanya dibuat dewasa karena bertambahnya usia, bukan? Tapi juga keadaan. Karena kita, tentu saja, berpisah karena keadaan. Bukan takdir, bukan keinginan, apalagi nasib. Dan kita, aku dan kamu, dan segala keputusan-keputusan dalam menyikapi, selalu karena keadaan. Seperti buku yang pernah aku pinjamkan padamu: Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Aku sudah ikhlas kalau buku itu pada akhirnya kamu buang. Aku sudah tidak peduli walau di buku itu ada tanda tangan penulis kesukaanku. Sungguh. Tapi, aku hanya penasaran: kamu sudah baca barang satu halaman saja dari buku itu? Kalau tidak, justru ini yang membuatku kecewa. Malah mungkin saja marah. Kamu tahu itu, kan? Aku bisa saja marah pada hal-hal yang tidak penting sekalipun. Sial. Aku kangen memarahimu. Sikap pasrahmu, ketidakpedulianmu yang justru, aku tahu, mendamaikan itu. Kamu terlalu bodoh untuk dimiliki lelaki bangsat. Tapi, untuk sekarang ini, kebahagiaanmu yang terpenting tentu saja --sebangsat apapun lelakimu.

***

Apa yang kamu dapat di hari ulangtaun? Apa yang kamu harapkan? Ceritakanlah... biar dari jauh akan aku amin-kan.
Tag : ,

Mari merayakan bengong!

By : Harry Ramdhani
nyang aing bayangkeun tentang gopah!


Bengong itu ibadah. Menikmati bengong itu sama halnya dengan menghargai sepi dan sunyi. Sebab, tak ada yang khidmat, yang membuat lebih dekat, ketika bengong. Bengong itu seperti puisi; tidak cukup dibaca satu kali untuk memahami. Dalam bengong, tentu saja, kita bisa meringkus dengan ringkas atas apa yang dipikirkan, diharapkan, dan kenyataan. Dan bengong, sekali lagi, bisa menjelma apa saja. Kesepian. Keramaian. Kesedihan. Kebahagiaan. Kerinduan. Kegalauan, kalau perlu.

Tak pernah ada cinta yang rapi. 
Rindu membuatnya berantakan lagi.*

Kehidupan ini, barangkali, terlalu cepat. Sehingga yang berubah jauh lebih tampak tinimbang yang berproses atau bertumbuh. Bengong adalah tanda, alarm bagi diri sendiri, untuk sedikit merenungkan --bukan menghentikan, karena konotasinya cukup negatif, mungkin-- semua yang berkejaran dan berlarian. Bengonglah untuk sementara. Sewaktu yang kita punya. Bengong juga tidak perlu diluangkan. Karena bengong bukan tentang lama atau sebentar, tapi bengong, barangkali, adalah soal memahami sejenak apa yang terjadi saat itu.

Haruskah dengan bertengkar, 
kekuatan cinta kita ditakar?*

Laiknya nyala api yang mengeluarkan asap, bengong itu menghasilkan. Jika bukan sesuatu yang berbentuk atau nyata, bengong paling tidak menjernihkan. Ujudnya bahkan bisa menjadi ekstrem: bengong membuat kita menangis. Tidak perlu heran ada mata yang berkaca-kaca ketika bengong. Apalagi sampai menetes di pipi. Sebab dari bengong, adalah cara kita memasuki diri jauh ke dalam. Tempatnya mungkin jauh lebih gelap dari dasar laut terdalam. Dan, buat apa malu untuk menangis? Menangis itu obat yang hanya bisa diramu oleh orang yang sedang sakit itu sendiri. Menangis, paling tidak, menenangkan. Penyair pernah berpesan: airmata tidaklah jatuh untuk hal yang sia-sia.

Jika cinta hanya soal segala hal benar, 
maka mustahil kita bisa sebegini tegar.*

Bengong itu tidak terkotakkan dan terkatakan. Bengong adalah segala hal yang mustahil dirancang-rencanakan. Ketika bengong, selalu hadir hal-hal spontan yang tidak terikat. Bengong  biar bagaimana pun juga adalah pergulatan batin. Dari bengong kita mampu merasa kesepian di antara keramaian, merasa sendiri sampai bayangan pun enggan menemani. Saat ini aku hanya ingin merayakan bengong itu sendiri, seorang diri.


*) Dari puisi-puisi Candra Malik dalam bukunya: Fatwa Rindu 

Tag : ,

Kewajiban Para Penyair

By : Harry Ramdhani
ilustrasi (pixabay)

Untuk siapa pun yang tidak mendengarkan laut
Jumat pagi ini, kepada siapa pun yang terkurung
di rumah atau kantor, pabrik atau wanita
atau jalan atau saya atau sel penjara yang keras;
kepadanya saya datang, dan, tanpa berbicara atau melihat,
Saya tiba dan membuka pintu penjara,
dan getaran dimulai, tidak jelas dan mendesak,
sebagian besar guntur mulai bergerak
gemuruh planet dan buih,
sungai parau banjir laut,
bintang bergetar dengan cepat di koronanya,
dan laut berdetak, sekarat dan berlanjut.

Jadi, tertarik oleh takdirku,
Saya tidak henti-hentinya harus mendengarkan dan menyimpan
ratapan laut dalam kesadaran saya,
Saya harus merasakan jatuhnya air keras
dan mengumpulkannya dalam cangkir abadi
sehingga, dimanapun mereka berada di penjara,
dimanapun mereka menderita celaan musim gugur,
Saya mungkin berada di sana dengan gelombang yang menyimpang,
Saya dapat bergerak, melewati jendela,
dan mendengar saya, mata akan melirik ke atas
mengatakan 'Bagaimana saya bisa mencapai laut?'
Dan saya akan menyiarkan, mengatakan apa-apa,
gema berbintang dari gelombang,
pemecahan busa dan pasir apung,
gemeresik penarikan garam,
teriakan abu-abu burung laut di pantai.

Jadi, melalui saya, kebebasan dan laut
akan membuat jawaban mereka ke hati yang tertutup.


*) A minhas obrigações, Pablo Neruda. Sebuah terjemahan Puisi

Untuk yang akan kembali dalam waktu yang lama

By : Harry Ramdhani
untuk yang ditinggalkan

'Anaknya' Gomah yang lain yang terakhir mulai hari ini bakal tinggal di asramah. Kuliah. Momen pas pamit tadi waktu seakan tidak bergerak maju. Semua yang lalu hadir: ingatan dan masasilam. Mereka, ingatan dan masasilam tadi, mencoba menahan untuk sebuah kepergian. Menjadi pahlawan kesiangan untuk menolak semua. Karena kepergian, biar bagaimanapun, selalu melahirkan korban: yang ditinggal dan tertinggal. Tapi waktu, sekali lagi, tidak pernah bergerak mundur: waktu terus tumbuh dan tidak ada yang bisa menahannya maju --meski lamat-lamat kesedihan dan kerelaan yang menetap. Pada momen semacam ini manusia hanya bisa pasrah akan kehendak Tuhan. Adil atau tidak. Menerima atau tidak. Namun begitulah aturan mainnya. Andai manusia bisa meminta, jawabannya hanya satu: jalani.

***

Seminggu lalu 'anaknya' Gomah itu bolak-balik mencari peralatan untuk di asramah. Beberapa sudah didapat dan sebagiannya lainnya belum. Ia datang ke rumah, menanyakan tempat menjual bantal dan guling ke Gomah yang murah. Harga itu relatif, murah atau mahal, namun yang pasti yang murah, tentu saja, selalu kalah nyaman dengan yang mahal. Tapi waktu itu Gomah tidak menjawab. Gomah masuk ke kamar dan keluar dengan membawa dua bantal. Pakai ini saja, katanya, biar tetep bisa ingat rumah. Tidak ada yang bisa diharapkan dari sebuah kepergian selain tetap bisa ingat bagaimana ada orang-orang di masasilam ini akan setia menunggu kepulangan. Ia menirama kedua bantal itu. Duduk di teras dan memeluknya. Entah apa yang dipikirkannya. Entah apa yang tengah dirasakannya.

***

Gomah punya dua anak lain. Yang satu sudah akan lulus kuliah. Satu lainnya yang akan berangkat ini. Yha. Sedari dulu aku ingin punya adik. Sampai akhirnya tetangga ada yang lahiran dan anaknya, keluarga kami anggap seperti anak sendiri. Dan aku seakan punya adik. Begitulah kedua anaknya Gomah yang lain itu. Sedari kecil selalu di rumah. Pulang untuk tidur malam di rumahnya dan paginya sudah main lagi ke rumah. Kedua anaknya Gomah yang lain itupun memanggil Gomah dengan sebutan "Mamah". Seperti jua aku tentu saja. Dan Peang yang terakhir ini. Keduanya tumbuh. Menjadi remaja dan dewasa. Dan Gomah, sampai sekarang, tetap saja menganggap mereka masih kecil. Bila di rumah mereka sedang tidak ada makanan, misalnya, mereka akan datang ke rumah untuk makan. Atau, jika air dingin di kulkas mereka habis dan mereka ingin minum, maka mereka akan datang ke rumah: mengambil gelas dari lemari dan menghabiskan satu botol air dingin sendiri. Tidak ada sekat. Bahkan walau kami berbeda keyakinan. Hidup kami jauh lebih tentram dari apa yang kalian kotak-kotakan. Setiap lebaran Gomah selalu memberi ketupat dan teman-temannya itu. Dan ketika natal, Gomah akan memberi ucapan selamat dan mengamplopinya. Tidak pernah jua kami terganggu jika di rumah mereka sedang latihan atau beribadah dengan menyanyikan puji-pujian. Kami bukan lagi sekadar saudara, lebih dari itu, kami berkeluarga. Dan ketika satu anggota keluarga pergi, tentu saja, anggota keluarga yang lainnya bersedih. Termasuk Gomah dan Gopah dan aku.

***

Sebelum tadi aku berangkat jumatan Gomah memanggilku yang sedang buang air besar. "Dek, lagi pegang uang kes? 50ribu aja," kata Gomah. Sambil sedikit ngeden, aku jawab ada di kantung celana. Ambil saja. Tadinya aku tidak tahu uang itu untuk apa. Toh aku tidak begitu peduli jua. Namun setelah jumatan Gomah bilang kalau uangnya untuk membekali anaknya yang lain itu. Nambahin. Aku bilang, kenapa engga diambil semua aja yang di kantung celana. Seingatku ada seratus ribu. Tapi nanti jua dia balik lagi, kata Gomah, untuk nantinya tidak kembali dalam waktu yang lama.
Tag : ,

Teka Teki

By : Harry Ramdhani
ilustrasi: @kulturtava

kau bertanya kepada aku apa yang sedang ditenun lobster
kaki emasnya?
aku jawab, laut tahu ini.

kau berkata, apa yang ditunggu ascidia secara tembus pandang
bel? apa yang ditunggu?
aku katakan itu menunggu waktu, seperti kau.

kau bertanya kepada aku siapa Alga Macrocystis di pelukannya?
belajar, pelajari, pada jam tertentu, di laut tertentu yang aku tahu.

kau menanyai aku tentang gading jahat dari narwhal,
dan aku membalas dengan menjelaskan
bagaimana kuda laut dengan harpun di dalamnya mati.

kau bertanya tentang bulu burung rajawali,
yang gemetar di mata air murni dari pasang selatan?

atau kau menemukan di dalam kartu pertanyaan baru yang menyentuh
arsitektur kristal
dari anemon laut, dan kau akan menghadapinya sekarang?

kau ingin memahami sifat listrik lautan
duri?
stalaktit berlapis baja yang pecah saat berjalan?
kail pemancing ikan, musik mengulurkan
di tempat yang dalam seperti benang di air?

aku ingin memberi tahu kau bahwa laut tahu ini, bahwa kehidupan di dalamnya
kotak perhiasan
tidak terbatas seperti pasir, tidak mungkin dihitung, murni,
dan di antara waktu anggur berwarna darah telah membuat
daun bunga
keras dan berkilau, membuat ubur-ubur itu penuh dengan cahaya
dan membuka simpulnya, membiarkan benang musiknya jatuh

dari tanduk banyak terbuat dari ibu mutiara yang tak terbatas.
aku bukan apa-apa selain jaring kosong yang telah berjalan di depan
mata manusia, mati dalam kegelapan itu,
jari-jari yang terbiasa dengan segitiga, garis bujur
pada bola mata oranye dari oranye.

aku berjalan seperti kau, menyelidiki
bintang tanpa akhir
dan di jaring aku, pada malam hari, aku terbangun telanjang,

satu-satunya yang tertangkap, seekor ikan terperangkap di dalam angin.


Enigmas, Pablo Neruda. Sebuah terjemahan puisi.

Cerita tentang Anak Kecil di Warung Makan yang Tetap Buka Saat Puasa

By : Harry Ramdhani
Bocil nyang lagi tidur itu. Pules beut!

Anak itu tertidur pulas. Sesekali matanya terjaga, lalu terpejam kembali. Sayangnya bukan di tempat tidur dan bantal yang empuk untuknya, anak itu tidur di meja warteg. Kau pasti tahu seberapa luas meja itu. Sekadar cukup untuk satu piring dan satu gelas --meski ukurannya panjang. Mainan yang tadi dipegangnya sampai terjatuh ke lantai. Ibunya sedang sibuk mencatat utang pelanggannya. Satu dari karyawan kantor, satu lagi oleh satpam. Buku tulis yang semestinya digunakan mencatatan pelajaran, namun kini di perlakukan sebagai pengingat tunggakan. "Tidak boleh kalah sama yang gajinya bulanan," katanya, tidak ditujukan kepada siapa-siapa yang ada di sekelilingnya.


***

Aku pindahkan gelas dan bungkus rokok dari sebelah anak itu. Takut tersenggol dan pecah ketika jatuh. Sebelum anak itu tertidur, ia manaiki meja, menghampiri tv yang diletakan di atas etalase warung. Ia coba berkali-kali tidak bisa. Mungkin aku sendiri sedikit risih dengan apa yang dilakukannya. "Belum dicolokin kali kabelnya," kataku. Anak itu menoleh dan lalu (seperti) tidak peduli. Barangkali anak itu semakin penasaran, ketika kaki kanannya sudah terangkat, aku langsung menjulurkan tangan untuk melarang. Ayahnya di dapur keluar. "Mau apa, dek?" Nonton tv, jawabnya. Anak itu diturunkan dari meja, didudukan di sebelahku. "Colokannya dipake buat kipas. Nanti saja ya." Anak itu paham. Meski tidak mengangguk dan diam, aku tahu begitulah reaksi anak-anak jika habis dinasehati. Mainan lego, sepertinya itu namanya, berbentuk pesawat terbang yang ada di tangannya ditaruh di atas etalase. Anak itu duduk lagi. Tidak lama anak itu berdiri untuk tidak duduk lagi. Anak itu berdiri sembari melafalkan beberapa surat dan ayat. Surat Al Kausar yang aku tahu dan ingat. Kemudian menyelonjorkan badan di meja warung, masih melafalkan itu, dan tertidur.

***

Seketika aku ingat tayangan di MNC TV "Semesta Bertilawah". Setiap sahur sekeluarga aku menonton itu. Gomah senang ada anak kecil yang bisa hafal Quran. Aku sendiri senang ayat-ayat Quran disenandungkan. Aku kira Peang dan Gopah juga suka, meski aku tidak tahu suka karena apa.Namanya program tv selalu mengedepankan drama-drama, apapun didramatisir. Pernah satu episode di mana Seorang anak yang dititipkan di Pesantren oleh ibunya sewaktu kecil ditanya-tanya oleh Arie Untung dan entah siapa host perempuannya. Anak itu masih kecil, umurnya sekira 8-10 tahunan, ditanya kabar ibunya saat ini, bagaimana ia mencari ibunya lewat facebook yang dibantu oleh pihak pesantren dan lain-lain. Pedahal sudah jelas: anak itu dititipkan ketika masih (sangat) kecil. Barangkali ingat wajahnya saja tidak. Sudah tentu anak itu menangis. Ia diminta mengingat atas apa yang ia tidak tahu. Betapa bodoh! Hanya pagi itu sahur jadi tidak terasa mengenakan. Aku sendiri hanya memakan beberapa suap nasi dan keluar; merokok.

***

Sewaktu kecil, setiap kali aku membaca Quran di rumah, jika ada satu bagian yang aku baca keliru, entah dari dapur atau mana, Gomah selalu memperbaiki dengan sedikit berteriak. Atau, ketika aku kesulitan membaca, mungkin karena tidak tahu tajwidnya, jadi terdengar aneh, pasti Gomah akan membetulkan. Aku sendiri tidak tahu apakah Gomah (sudah) hafal Quran atau Quran memang gampang diingat, jadi mudah terdengar aneh ketika ada keliru saat membacakannya. Membaca Quran selalu menyenangkan. Apalagi membaca terjemahannya. Ini adalah fase di mana aku mulai mencintai puisi. Selepas terawih atau sholat subuh, aku pergi ke perpus Teras Baca. Membaca Quran dan terjemahannya. Tidak lama, paling 3 jam sahaja. Bahkan, entah mengapa, ketika selesai membaca, aku merasa tenang. Terlebih senang karena arti ayat yang aku baca tersusun sangat baik --laiknya puisi. Buku puisi terbaik yang pernah aku baca, barangkali, adalah Quran. Anehnya lagi, setiap kali selesai membaca Quran, aku tidak bisa berdiri. Kedua kaki tidak bisa digerakkan. Kaku. Malah aku pernah dibangunkan Gomah yang membangunkan aku di Perpus dalam keadaan tertidur dengan kaki menyila sambil memeluk Quran. Sudah pagi dan mau dipakai tadarusan.

***

Ibu warung tadi langsung bercerita tentang anaknya. Katanya, anak itu semestinya sudah kelas dua, tapi mesti berhenti sekolah karena ikut ke Jakarta dengan ayah-ibunya. Maklum, keluarga itu datang untun bergantian dengan kakaknya yang kebetulan aku kenal, mesti balik kampung. "Dulu sih bilangnya cuman 3 bulan, lah ini udah hampir setahun. Ya gitu jadinya, dia gak sekolah. Diajak pun ia nolak, cuma mau main dan ngaji saja," kata Ibu warung. Umur anak itu kira-kira hanya berbeda satu tahun dari Peang. Jadi aku tahu betul pada umur-umur segitu apa yang ingin dan tidak inginkan dari anak-anak. Ibu warung bilang, anak itu memang tidak tidur semalaman. Dari siang malahan. Kadang main dan baca Quran saja. Sampai tadi dia bilang, kata Ibu warung, "mama gak saur, mama gak masak buat dagang?" Warung itu memang tidak tutup ketika bulan puasa. Tetap buka, tapi aku sama sekali tidak ingin menanyakan alasannya. Buat apa juga. Masih ada orang-orang yang tidak berpuasa dan lapar. Aku pikir wajar saja kalau buka. Kami berbincang sangat pelan takut-takut anak itu bangun. Namun, dalam obrolan kami itu, ada yang terus pikirkan, seperti: bagaimana orangtua itu memberi tahu kepada anaknya kalau puasa di bulan Ramadan itu wajib bagi umat muslim? Sedangkan sampai saat ini saja warungnya tetap buka.

***

Mainan yang tejatuh di lantai itu aku ambil dan letakkan di sela jari tangannya yang tertidur. Semula tidak ia genggam mainan, tapi saat jariku menyentuh jarinya, ia langsung mengambil tanganku. Ibu warung tersenyum. Aku lepaskan perlahan dan membayar makananku. Sambil keluar warung, spotify tengah memainkan lagu "Breakfast at Tifanny's" dari Deep Blue Something.
Tag : ,

Mandi di Siang Bolong!

By : Harry Ramdhani
seger betul mandi pas siang bolong.




Segar betul. Mandi pukul 2 siang saat matahari sedang panas-panasnya di bulan puasa. Ketika hendak menjemur handuk keluar, matahari seakan baru ingin muncul dari tidur panjangnya semalaman. Tidak ada suara ayam karena ia berkokok terlalu pagi dan manusia tidak ada yang peduli. Pagar rumah, tanaman yang digantung, sampai lantai teras serasa masih diselimuti embun; dingin. Segar betul.

***

Tapi tadi aku duduk sendirian di bangku-bangku di depan Indomaret. Bingung. Bukan untuk berpikir antara batal puasa atau tidak. Bukan. Bingung karena tidak tahu bagaimana caranya memperpanjang masa aktif akun premium spotify. Susah betul. Pedahal bulan lalu gampang-gampang sahaja. Sekarang aku lupa caranya. Keringat dingin mulai merambah dari tengkuk leher hingga lengan tangan. Normal. Itulah reaksi tubuh ketika sedang kebingungan. Tadi di hadapan ATM berulangkali aku mencoba peruntungan. Hasilnya: hanya kartu yang masuk dan keluar. Sporify premium tidak berhasil di perpanjang, orang-orang mengantri di kasir Indomaret membayar minuman dingin yang mereka ambil dari lemari pendingin. Dua orang, tiga orang, mulai mengantri di belakang menunggu giliran menggunakan mesin ATM. Aku kebingungan betul.

***

Bulan puasa tahun ini seperti kembali menemuiku dengan kegembiraan. Entah. Tapi itu yang aku rasakan. Anak-anak yang mulai ramai datang ke masjid dan orang-orang yang berdagang di pelataran masjid. Aku menduga: sepertinya kegembiraan ini muncul ketika hampir setiap hari –sebelum bulan puasa ini– melulu diperbincangkan di media sosial –tapi orang-orang itu sendiri tidak pernah ke masjid –tentang tumbuh-kembangnya orang-orang ekstimis. Mulai dari isi ceramah sampai penceramahnya. Mungkin orang-orang yang melulu membincang itu lupa: masjid tidak melulu seputar itu. Masjid adalah kediaman bagi siapa saja, makanya ada yang dinamakan Dewan Keluarga Masjid (DKM). Keluarga, biar bagaimanapun, tidak pernah lepas dari masalah. Jika, anggaplah asumsi orang-orang yang tadi aku sebut benar, masjid sebagai awal mula tumbuh kembangnya ekstimisme, maka biarlah keluarga dari masjid itu yang menyelesaikan. Tidak perlu dipukul rata kalau semua masjid seperti itu, bukan?

***

Dua hari menjelang bulan puasa, anak-anak berkumpul di pelataran masjid selepas magrib. Anak-anak itu menikmati betul rasanya keluar malam dan bertemu dengan teman sebayanya. Waktu main mereka seakan diperpanjang. Kemudian satu per-satu dari mereka diberikan obor. Entah ini hanya ada di Indonesia atau di setiap negara seperti itu ketika menyambut bulan puasa. Beramai-ramai mereka berjalan dari masjid melantunkan salawat menyusuri malam, menerangkan jalan. Pawai obor. Perlu juga sepertinya aku beritahukan: masjid di mana anak-anak itu mengikuti pawai obor, saban jumat di masjid itu penceramah selalu melakuakan orasi melawan pemerintahan. Hanya ada dua hal yang bisa menyelamatkan orang-orang yang jumatan itu tetap mau datang ke masjid: (1) mendengar ceramah sambil main media sosial atau (2) melipir ke warkop yang letaknya bersebelahan dengan masjid dan mendengar ceramah dari sana. Yang ingin aku sampaikan adalah terlepas dari bagaimana masjid itu dikelola, ketika bulan puasa tiba, selalu ada hati yang terbuka untuk semua. Anak-anak yang bergembira dan kakak-kakak mereka yang manis-manis betul ketika mendampingi adiknya pawai obor.

***

Kuhanya ingin puasa menghadirkan yang betul-betul segar. Semial: kamu yang lagi suka ganta-ganti avatar twitter yang bikin temlenku jadi segar betul.
Tag : ,

Aku dengan Buku, Kamu (Sibuk) dengan Gawaimu

By : Harry Ramdhani
andai orang2 nyang diajak ngobrol liwat hengpon pada nongol di kreta... yha ndak mungkin!
Ayu Utami telah membuat fantasiku liar terhadap taman dari buku 'Saman'. Sebuah taman di mana Leila rela menemui Sihar jauh-jauh ke New York. Taman yang ditinggali hewan hanya untuk hidup bahagia. Gelandangan pun bisa tidur dengan nyenyak meski badannya dipenuhi debu. Dan di taman itu juga, tulis Ayu Utami, tak ada yang perlu ditangisi. Dosa seakan tidak tumbuh di taman itu.

***

Dan karena cerita tentang taman itu pula akhirnya aku membeli kumpulan cerita pendek 'Petang Panjang di Central Park' yang ditulis (alm) Bondan Winarno.

***

Kemudian aku selalu membayang ini: datang ke sebuah taman --seperti yang Ayu Utami gambarkan-- bersama pasangan. Aku membaca buku sedangkan dia sibuk dengan (kehidupan) gawainya. Sesederhana itu memang. Dan di taman itu kami saling memunggungi. Mungkin kami akan saling banyak diam. Namun, di taman itu kami akan saling memahami: hakikat kebahagiaan tidaklah satu, tapi saat di mana kita bisa saling mengerti kesukaan masing-masing. Mungkin ketika aku pergi ke taman itu aku akan membawa novel 'Le Petit Prince'. Entahlah. Sepertinya novel itu cocok saja. Lalu seperti yang aku jelaskan di awal, kamu akan sibuk dengan gawaimu. Mungkin kamu akan swafoto, mengunggahnya di Instagram dan menanyakan caption apa yang cocok untuk mengilustrasikan kebahagiaanmu di taman itu. Aku sarankan sebuah larik dari puisi Goenawan Mohamad: bersiap kecewa/ bersedih tanpa kata-kata. Dan kamu akan menanyakan artinya. Dan aku tidak akan menjawab apa-apa. Sebab keindahan antara taman, kamu dan puisi adalah keindahan yang hakiki.

***

Hanya syukur yang bisa aku panjatkan manakala masih diberi kesempatan membaca buku di kereta. Yha. Apalagi di sebuah perjalanan pulang pada suatu sore di mana besok adalah hari libur. Kukira kamu bisa bayangkan keadaannya dengan ilustrasi seperti itu. Aku keluarkan buku dari dalam tas, melanjutkan bacaan 'Saksi Mata' yang belum tuntas. Seorang perempuan masuk, sedikit tergesa dari stasiun berikutnya di mana aku semula naiki. Kami saling memunggungi di kereta. Aku bisa merasakan betapa tungkuk perempuan itu panas. Dan aku rasa perempuan itu merasakan disundul-sundul kepalanya oleh ikatan rambutku. Perempuan itu meletakan tasnya di bagasi atas. Sedikit mendorong ke depam karena penumpang sedang ramai. Sepertinya ia meminta maaf, tapi aku tidak terlalu jelas mendengar, telingaku tertutup pemutar musik.

***

Tidak ada gangguan. Kereta berjalan lancar. Hanya saja terasa sedikit pelan. Aku sungguh menikmati (1) cerita dari buku 'Saksi Mata' sekaligus (2) saling memunggungi dengan perempuan itu. Saat itu kereta laiknya masjid ketika ada sholat jumat: memberi ruang seberapapun banyaknya penumpang. Sesekali aku tertawa dengan bacaanku dan perempuan itu tertawa dengan orang-orang lain di luar sana lewat gawainya. Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan seperti burung yang disinari matahari musim semi: bernyanyian dan mengajakmu pacaran.

***

Sesekali aku masih mendengar tawanya. Renyah sekali. Sedangkan aku, boro-boro bisa tertawa. Bagaimana bisa tertawa dengan segala kekejaman yang ada dalam cerita-cerita dari buku yang tengah aku baca: bola mata yang dicongkel dengan sendok untuk kemudian dijadikan bahan tambahan tangkleng, telinga-telinga yang dipotong karena menguping sebagai mata-mata sampai pembunuhan massal. Sesekali aku membayangkan guyon seperti apa yang ia dapatkan dari orang-orang nan-jauh-di-sana-itu? Jika aku bisa pelajari, aku akan mencoba menghibur perempuan itu sesering mungkin.

***

Baru kemudian aku sadar ketika seorang di depan perempuan itu hendak turun dari kereta di Tanjung Barat. Perempuan itu sedikit mendorongku hingga hampir tersungkur ke depan. Aku menoleh. Dan dia sedang memegang buku. Sekilas aku lihat sampulnya: didominasi warna putih dengan warna tulisan biru dan merah muda. Buku itu sedikit tebal. Aku ingat, itu novel 'Sophie Kinsella, My not so Perfect Life'. Buku bagus. Beberapa kali aku membaca resensinya. Kereta masih berjalan pelan. Aku sibuk dengan buku, begitu juga perempuan itu.

***

Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan diam saja, memintamu menceritakan isi buku itu. Mendengarkanmu dengan saksama sampai selesai dan kita berkenalan. Namaku, Harry. Harry Ramdhani, siapa namamu?
Tag : ,

Tentang Kucing (Kampung) yang Lahir di Loteng Rumah

By : Harry Ramdhani

kucing-kucing ucul nyang kurang satu. :(((

Kucing itu hamil. Seperti halnya kucing betina lain, tidak ada yang tahu siapa yang menghamili. Tapi kucing itu, yang hitam warna bulunya, sedang bunting besar. Gomah sesekali memberi sisa makanannya yang masih banyak. Menyisakan, mungkin tepatnya. Dilahap dengan rakus nasi yang diaduk dengan suiran ikan lele di depan rumah dekat pot bunga. Aku tambah lagi dengan tahu. Kucing itu sekadang mengendusnya dan melanjutkan nasi aduk suiran lele itu. Sial.


***

Besoknya tidak lagi kucing yang hamil itu. Entah pergi ke mana. Kucing kampung memang suka seperti itu ketika ingin melahirkan: sembunyi mencari tempat. Bahkan dulu ada yang sembunyi di belakang perpus Teras Baca. Setelah melahirkan dan anak-anaknya bisa pergi mencari makan sendiri, barulah mereka keluar dari tempatnya. Ada tiga anaknya yang lucu. Aku cuma bisa memberikannya satu kardus mie instan dengan kain sebagai alasnya. Maksudnya untuk mereka tidur. Setiap pulang kerja, setiap malam, aku suka mampir sebentar. Anak-anak kucing yang mungil itu menyambut dengan berlarian menghampiri. Pedahal aku tidak bawa apa-apa. Senang rasanya ada yang menyambut ketika pulang kerja. Kapan yha bisa disambut kamu kalau aku pulang kerja kelak?

***

Setiap malam selalu ribut di loteng rumah. Kucing, tentu saja. Berisik sekali. Tapi bukan kucing yang tengah berkelahi, hanya suara kucing yang berlarian ke sana-ke mari. Kadang, hal-hal semacam itu ampuh untuk menakuti Peang agar supaya cepat tidur. Menarasikannya seakan-akan kucing itu sedang dikejar oleh Setan Kepala Buntung. Kucing itu tidak pernah keluar. Selalu di loteng. Entah kucing yang mana. Yang aku tahu: setiap malam selalu ribut.

***

Kucing hitam itu akhirnya melahirkan. Kucing yang selama ini ribut di loteng ternyata kucing hitam itu. Kata tetangga sebelah yang rumahnya tingkat, ia melihat kucing hitam itu bersama kelima anaknya. Lucu-lucu, mestinya. Aku tidak sabar seperti apa bentuknya. Tapi seperti kucing kampung pada umumnya, kucing itu tidak ingin turun (atau tidak bisa mungkin?) dengan anak-anaknya. Keenam kucing itu masih menetap di loteng. Sialnya, setiap malam semakin ribut. Keenam kucing itu berlarian, main kejar-kejaran di loteng. Dan satu malam, saking ributnya, remahan atap berjatuhan. Hadeeeeuh. Malam-malam mesti nyapu.

***

Sore hari dengan matahari yang sinarnya cukup, kopasus (kopi campur susu) dan buku puisi Aan, Cinta yang Marah, adalah caraku merenung. Buku itu terlalu anarkis. Apalagi Aan Mansyur yang kadung populer dengan puisi cintanya dalam buku "Tidak Ada New York Hari Ini". Dan terdengar suara benda yang jatuh di depan rumah. Berkali-kali. Aku kaget, tentu saja, lalu Gomah berlari keluar. Gomah selalu responsif jika ada suara-suara seperti itu. Bahkan bisa membuat panik. Meski pelan, namun reaksi Gomah cenderung berlebihan. Anak kecil kadang bisa nangis meski ia sekadar jatuh terpeleset. Aku dan Gomah melongok keluar. Wuah, kucing-kucing yang di loteng akhirnya turun (dengan terjun). Kelima anak kucing itu lucu-lucu betul. Kecil, sebesar telapak tangan.

***

Setiap ke warung untuk beli kopi titipan buat di kantor, kucing-kucing itu selalu mengikuti. Mungkin menganggap aku keluar membawa makanan. Pedahal tidak. Kucing-kucing itu melingkari kakiku. Kadang ada yang hampir terinjak. Aku serasa rock star yang tengah diikuti penggemar. Tapi memang, setiap ada sisa makanan, aku selalu memberikan pada anak-anak kucing itu. Sialnya, malah sering dikuasi si Induk. Namun, senang rasanya bisa berbagi makanan dengan yang membutuhkan. Berhenti sebelum kenyang dan (sengaja) menyisakannya untuk anak-anak kucing itu.

***

Karena pagar rumah ada lubang yang cukup besar, sering kali kucing-kucing itu masuk lewat sana. Seringnya memang malam, untuk tidur di bangku teras. Tidak memberantak tempat sampah untuk mencari makan atau memberantak buku-buku yang ada di rak di teras. Kadang terpikir membeli kandang, tapi buat apa? Teras rumah rasa-rasanya cukup besar buat sekadar tidur. Lagipula, pernah aku cek harga kandang kucing dan harganya mahal. Bukan rezeki kalian, cing!

***

Barusan tetangga sebelah bilag kalau satu anak kucing itu terpincang-pincang dekat pot bunga depan rumah. Sepertinya tertambrak motor. Entah. Tidak ada yang melihat. Pedahal tadi siang baru aku kasih makan semua. Daging rendang yang aku hancur-hancurkan dan diaduk dengan nasi. Nasi aduk rendang. Namun, tadi Gomah sempat memberinya potongan ayam goreng. Kucing itu tidak mau makan. Aku cari sampai sekarang tidak juga ketemu. Aku hanya ingin berterimakasih, karena (1) tidak melihatnya langsung kalaupun mati. Pasti ini sedih sekali. Aku pernah punya kelinci dan mati. Dua hari badanku panas dan tidak masuk sekolah. Dan (2) jikapun kucing itu tahu siapa yang menabraknya mohon maafkan. Manusia memang lebih suka merusak daripada menjaga. Ke manapun satu kucing itu pergi, pesanku: jaga diri baik-baik.
Tag : , ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -