The Pop's

Archive for April 2014

Keja-D-IA-n

By : Harry Ramdhani
 ilustrasi: dari sini

IA pulang membawa dendam.

Semenjak kecil, dendam itu telah dipupuk setiap kejadian-kejadian kembali terbayang. Saat melintas begitu saja di kepala. Melihat orang-orang di jalan dengan kejadian serupa. Apapun itu asalkan sama. Asal ada sangkut-pautnya tentang DIA.

DIA adalah teman sekolahnya. Sangat dekat. Tiap kali ada pekerjaan rumah, mereka kerjakan bersama. Tiap kali bedug adzan baru ditabuh, mereka ke masjid bersama pula. Kebersamaan mereka adalah simbol kesetiaan. Seperti burung merpati di pohon natal.

***

11 Mei 1996, Pinggir lapangan, Kampung Longok

Sore itu menenggelamkan segala letihnya. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding tidur-tiduran di pinggir lapangan sepakbola. IA dan DIA tidur bersebelahan. Menatap matahari dengan bersahaja tenggelam. Perlahan. Setiap gerak kecil matahari terlihat jelas lewat mata.

DIA membuka obrolan.

"Tadi, aku baru saja bertemu adikmu," kata DIA, "dengan seorang lelaki bertubuh tambun. Rambutnya ikal. Kau kenal?"

"Tidak." Jawab IA.

"Yasudah."

Entah lelah atau apa, yang jelas IA sedang tidak ingin banyak bicara. Dan, DIA tahu sifat temannya itu tanpa perlu mengatakan terlebih dulu.

***

12 Mei 1997, Rumah IA

"Adik mana?" Tanya IA.

Seluruh keluarga diam. Tidak ada yang tahu. Dari semalam adiknya tidak pulang. IA coba datangi DIA. Tidak tidak ada.

IA, adalah seorang anak laki-laki paling tua. Ayahnya telah meninggal sejak IA kelas lima. IA tidak melanjutkan ke kelas enam karena tidak ada biaya. Setelah itu, IA kerja serabutan. Apa saja asal menghasilkan uang. DIA sempat menawari pekerjaan, tapi dengan segera IA lancarkan penolakan. Biarpun IA serba kekutangan, namun soal halal-haram, tetap dijadikan pedoman.

Ayahnya DIA seorang perangkat Desa. Sudah jadi perkerjaan seumur hidup mungkin. Tidak ada yang menggantikan. Sebuah sistem yang dibuat agar tidak ada yang bisa menjatuhkannya dari jabatan. Untuk ukuran kampung yang warga hidup dari sana, tapi masih saja serba kekurangan terlihat aneh, bukan? Apalagi kalau bukan karena karupsi. Apalagi kalau bukan karena sistem yang ditetapkan dari Kelurahan itu membuat para warga kesusahan sendiri. Tapi, para Perangkat Desa malah yang menikmati.

Sebagai keturunan Tiong-Hoa, hidup dijaman pergeseran era politik masa itu memang serba kesusahan. Mereka dianggap lintah penghisap darah. Darah pribumi. Padahal, tidak seperti itu sebetulnya.

***

13 Mei 1998, Rumah DIA

"BAJINGAN," teriak IA.

Terjadi baku hantam di rumah DIA. IA memukuli Ayah DIA. Adiknya diperkosa dan kini adiknya telah tutup usia. DIA lebih dulu dihabisi karena tidak memberitahu keberadaan adiknya selama setahun belakangan ini.

Ayah DIA tidak bisa apa-apa. Maklum, dengan perutnya yang tambun, bergerak saja susah, apalagi melawan. IA memukuli seperti orang kesetanan. Seluruh perabotan dijadikan senjata.

Polisi datang. IA dipenjara akibat kasus berlapis. Pembunuhan dan penganiayaan.

Ayah DIA dilarikan ke Rumah Sakit. Namun nyawanya tak terselamatkan. Di perjalanan, malaikat terlebih dulu menjemput.

***

Di emperan toko, selepas keluar dari lapas, IA sambangi penjual koran. IA kesal karena pemberitaan hanya seputar pembunuhan, penganiayaan, dan berita korupsi terpampang di halaman depan.




Perpustakaan Teras Baca, Rapat Karang Taruna RW, 29 - 30 April 2014
Tag : ,

Topeng

By : Harry Ramdhani


Membawa hati yang lapang ke suatu resepsi pernikahan itu sedikit terasa ambigu, bukan? Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang uangnya sering habis untuk ke warnet mencari bahan skripsi, mencetak ulang revisi, tampaknya lebih pantas membawa perut yang kosong dan kantong; untuk membungkus makanan dan kesedihan.

Jujur, aku tidak suka datang ke resepsi pernikahan. Sudah berkali-kali itu aku katakan. Karena di sana aku hanya lihat kemunafikan. Ya, aku tidak suka semua hal yang munafik. Termasuk hari ini. Sebuah pernikahan yang kau sendiri tak hendaki. Mungkin itu hanya asumsiku sendiri. Mungkin tidak benar sama sekali. Mungkin aku yang belum siap kehilanganmu mulai detik ini.

Tapi tunggu, hari ini juga hari ulang tahunmu, kan? 25 April. Dihari yang sama, dulu mulai dibangunnya sebuah Terusan. Terusan yang menghubungkan Pelabuhan Said di Laut Tengah dengan Suez di Laut Merah. Menghubungkan. Ah, aku memang paling pandai dalam menghubung-hubungkan semua semua kejadian dan perasaan.

Di hari ini aku bahagia bisa melihatmu bertambah tua. Di hari ini juga aku sedih melihatmu sudah bedua. Sudah tidak bisa digoda seperti masih jadi mahasiswa.

Ini adalah resepsi pernikahan paling sederhana yang pernah kudatangi. Sangat menggambarkan kamu yang begitu sederhana menyikapi kejadian selama ini. Tidak ada dangdut sebagai hiburan. Tidak ada panggung khusus untuk kedua mempelai. Tidak ada makanan aneh yang dihidangkan. Dan, yang paling penting, tidak ada fotografer nikahan yang nanti bisa-bisa memaksaku berfoto dengan kedua mempelai. Aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya kesedihan diabadikan di album foto pernikahan.

"Karni…,"

Ada yang memanggilku dari kejauhan. Sial, aku ketahuan sedang di parkiran.

"Woy, Karni, ayo ke sini,"

Oh, itu temanku, Anggi, teman lama ketika masih kuliah dulu. Eum, mungkin lebih tepatnya, teman kuliah yang lebih dulu lulus daripada aku.

"Iya, ngelipet jaket dulu," kataku.

Aku menghapiri Anggi, seperti biasa, senyum dan ketawanya tidak ada beda. Dan, setiap kali Anggi begitu, aku selalu memukul lengannya. Supaya diam maksudnya. Sungguh, ketawanya itu bisa mengganggu orang-orang di sekelilingnya. Tapi, aku tetap suka. Bisa lepas tertawa di negeri yang setiap harinya berduka adalah mukjizat untuk orang-orang yang dianggap Tuhan istimewa. Apalagi disaat hatiku berkabung seperti hari ini, aku sangat butuh orang seperti dia. Tertawa itu ibarat virus, menular kepada yang didekatnya.

Ketika lama berbincang dengan Anggi. Menertawan semua hal di sini. Saatnya kita datangi kedua mempelai yang dari tadi sibuk cipika-cipiki.

Aku menyalami kedua orang tuamu. Kemudian suamimu. Memberikan selamat semoga selalu bahagia dan Tuhan meyertai kelak hari-harimu. Meski dalam hati luka dan duka menghantuiku. Lalu kamu. Ah, mungkin baru kali ini aku tidak suka melihatmu. Make-up itu menghalangi kesedehanaan yang pernah kulihat di wajahmu dulu. Aku tidak mengenalimu saat itu.

"Itu tadi beneran Zamani?" tanya Anggi

"Iya kali," jawabku singkat sambil menaikan bahu kanan dan kiri.

"Kok gak mirip, ya."

"Coba longok janurnya," kataku sambil menoleh ke arah Zamani, "siapa tahu kita salah alamat ke nikahan orang lain lagi."

Anggi ketawa-ketiwi.

***

Di kedai kopi, tempatku menghabiskan waktu untuk menulis, aku lihat enam wanita berkumpul dengan riuh. Sungguh gaduh. Satu di antara membawa seorang anak kecil. Satunya sedang hamil. Empat lainnya sibuk ngemil.

Aku duduk di meja dekat toilet. Jadi setiap orang yang yang ingin buang air pasti lewat depanku dengan tampang kebelet. Satu wanita yang hamil tadi lewat. Sempintas saja aku lihat. Karena mataku fokus di layar monitor yang butuh ditulisi dengan padat.

Tidak lama, aku ingin buang air kecil. Di dalam, aku bertemu wanita yang hamil. Wanita Itu Zamani. Aku tidak menduganya sama sekali. Di luar toilet yang hanya dipisahkan seorang lelaki berseragam abu-abu, kita saling melemparkan senyum paling tabu. Senyum bahwa kau akan menjadi Ibu. Senyum bahwa aku masih belum mempercayai pernikahanmu itu. Senyum-senyum kecil yang akan mengiri perpisahan kita selamanya. Senyum-senyum yang akan kukenang dari wajahmu yang sederhana. Senyum-senyum kegetiran dari perasaan yang terus terpendam. Selamanya dipendam dalam-dalam.

"Mas. Mbak. Semuanya jadi empat ribu," kata petugas dengan seragam abu-abu.




Perpustakaan Teras Baca, 25 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Sofa Paling Empuk Di Dunia

By : Harry Ramdhani
Saya menulis cerita in setelah pulang dari YKAKI_Indonesia.  Ke sana hanya untuk sekedar interview pekerjaan.  Sungguh, itu kali pertama saya interview pekerjaan dan... menyenangkan.  Pengalaman pertama tidak akan pernah terlupakan.

Seperti biasa, saya menulis di hengpon  jadul --yang mungkin kalau rusak maka Tukang Service akan bilang,  "biaya ngebenerin lebih mahal dari harga handphone-nya, Mas."-- milik satpam dan belum juga ditebus.  Untuk biaya sekolah, katanya.  Yasudah.  Tulisan ini terhenti ketika hengpon jadul ini kehabisan daya.  Battre-nya habis.  Baru juga selesai beberapa penggal paragraf.  Lalu, tulisan ini sempat saya lakukan ketika mampir sebentar di Kedai Kopi untuk sekedar mencari 'colokan'.  Melanjutkannya dan tidak selesai juga. Layaknya nasib semua tulisan yang di hengpon jadul ini, saya selalu lupa memberi nama file dan saya biarkan begitu saja.  Tapi, ketika melihat tweet semalam dari YKAKI_Indonesia, saya cari-cari kembali tulisan itu.  Satu persatu saya buka file yang jumlahnya lebih dari 200.  Ketemu dan, saya melanjutkannya.  Bermodal ingatan-ingatan yang masih menempel, tulisan ini selesai.  Sungguh, senyum anak-anak di Rumah Singgah YKAKI_Indonesia tidak akan pernah saya lupakan.  Senyum mereka menguatkan.  Saya ingin sekali bisa kembali ke sana; bermain dan atau urusan yang berbeda. Inilah cerita fiksi setelah pulang dari sana:

Sofa Paling Empuk di Dunia 


Aku duduk di sofa paling empuk di dunia. Hitam warnanya. Ketika duduk, aku tidak ingin ke mana-mana, apalagi sampai berpikir angkat kaki dari sana. Sofa ini paling empuk di dunia.

Di hadapanku saat duduk di sofa paling empuk di dunia, banyak anak-anak yang sedang main, banyak juga ibu-ibu yang menjaga anak-anak itu main. Mungkin ibunya, mungkin juga pengasuhnya. Aku tidak tahu, melihatnya pun baru. Mainan-mainan yang berserakan dibiarkan, karena membereskan mainan sama saja mengubur harapan. Dunia anak adalah dunia bermain.

Lantainya putih dan bersih. Katanya, di sana kebersihan paling dijaga. Sepertinya tidak ada semut yang berani bercumbu di lantai itu. Malu. Saat itu aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Pasti lucu, ketika ada semut sedang nikmat bercumbu, tiba-tiba ada kibasan sapu yang datang bagai luapan air tsunami. Semut itu terangkat bersama kenikmatan yang hilang mendadak. Ah, sofa paling empuk di dunia ini membuat imajinasiku tidak karuan.

Anak laki-laki dengan kepala yang plontos dan mengenakan rompi orange menghampiri. Matanya bulat sebulat kepalanya. Ia memandangiku. Di bola matanya ada aku. Di bola mataku ada anak laki-laki itu. Aku ajak duduk di sofa paling empuk di dunia, Ia menggeleng. Aku ulurkan tangan, Ia lari. Dasar anak kecil, sulit sekali ditebak maunya. Tapi, biarlah, namanya juga anak-anak. Melihat mereka bahagia bermain, adalah caraku memperindah hidupku.

Sepintas teringat sebuah novel kenamaan yang aku lupa judulnya. Novel itu bercerita tentang dunia anak yang diisi hanya main, main, dan main. Tiada libur untuk main. Setiap pagi. Setiap hari. Setiap mereka habis nangis dan mengingat bahwa penyakit ini bisa dengan semena-mena menyerang kapan saja --tanpa kendali.

Aku hanya mengingat salah satu nama tokohnya, Chris. Ya, Chris, adalah pengidap Retinablastoma, salah satu gejala kanker pada anak. Matanya ada bercik putih. Bersinar layaknya mata kucing ketika disorot cahaya. Mata yang kelak akan mampu memandang ke depan. Dokter sering mengingatkan untuk tidak terlalu banyak main, namun anak kecil selalu begitu; lebih baik tidak makan daripada tidak main.

Seingatku, Chris baru berumur 6-7 tahun, sedangkan umur Ibunya sudah berkepala enam. Jarak yang cukup jauh, bukan? Kadang, Ibunya sendiri yang kualahan menjaga Chris. Konflik yang disajikan penulis novel itu sangat bagus. Ia memainkan perasaan dan peran seorang Ibu yang ingin anaknya menjaga kesehatan atau membatasi seluruh kesenangan.

Aku masih duduk di sofa paling empuk di dunia.

Di teras rumah, aku lihat anak laki-laki kepala plontos itu main mobil-mobilan. Mobil yang besar, karena bisa dinaikinya. Layaknya pembalap mobil, Ia banting stir ke kanan dan kiri. Membunyikan klakson yang keluar dari mulutnya sendiri.

"Tiiin… tiiiiiin… permisi, pembalap ingin lewat," kata anak laki-laki plontos itu.

Lucunya, mana ada pembalap bilang, 'permisi'? Dan, aku masih melihatnya main mobil-mobilan.

"Hey, boleh aku ikut main?" kataku.

"Boleh, tapi mana mobilmu?"

"Ini…" aku menunjuk sofa yang kududuki. Sofa paling empuk di dunia.

Aku berputar di sofa itu. Anak laki-laki plontos tadi malah ketawa melihat ulahku. Ah, sekali lagi, aku dibuat senang oleh anak ini. Tawanya sungguh terlalu. Dan, aku ulangi lagi putaran bodoh itu. Anak laki-laki plostos kembali tertawa. Aku ulangi sampai lima kali, kepalaku pusing.

O ya, selain aku, ada empat orang muda-mudi yang --sepenglihatanku-- sedang mengajarkan anak-anak lain. Ada yang diajarkan mewarnai, melukis, dan mencoret-coret kertas. Empat orang muda-mudi tadi duduk berseberangan denganku. Ketika duduk, mereka bicara dengan bahasa inggris, tapi ketika mengajarkan anak-anak itu mereka menggunakan bahasa Indonesia. Hebat. Melihat mereka mengajarkan anak-anak di sini lebih mirip seorang Ibu yang menyuapkan sayuran pada anaknya. Tidak suka tapi, sedikit memaksa. Biarlah, mungkin itu metode lama yang sudah direvisi. Aku tidak tahu, urusanku masih dengan anak laki-laki plontos tadi.

'Di mana dia?' tanyaku dalam hati.

Seorang perempuan dengan rambut dikuncir satu memanggilku berkali-kali. Membangunkanku dari tidur tadi. Ah, sofa ini memang paling empuk sedunia. Bermimpi pun tampak nyata.

"Silakan masuk, Mas. Sudah gilirannya sekarang."

Mengunjungi Rumah Singgah ini, seperti duduk di sofa empuk; tidak ingin ke mana-mana ketika sudah duduk. 



Kedai Alania - Perpustakaan Teras Bac.
Tag : ,

Tidurlah

By : Harry Ramdhani


Tidurlah yang nyenyak
selagi malaikat dan bidadari
sedang sibuk berdiskusi.

Tidurlah yang lelap
selagi jangkring dan kunang-kunang
sedang kerja malam ini.

Tidurlah.

Bermimpilah.

Aku tahu, tidur nyenyak dan lelap
setiap malam, bukanlah perkara mudah.
Pernah kau terbangun di Kantor Polisi
gegera tidur di bahu jalan.
Pernah kau lari ketakutan
karena ada yang gelantungan di dahan pohon rambutan.

Aku tahu, tidur, bagimu, bukan istirahat,
tapi cara untuk keluarkan keringat.
Tidur juga, bagimu, bukan untuk kembalikan energi,
tapi malah sakit berkepanjangan setelah dipukuli.

Tidurlah,
kau selalu terlihat cantik ketika tidur.

Kalau kau bangun nanti seisi
ruangan gelap dan pengap,
itu artinya kau di kuburan.
Dipendam di dalam.



Kamar #peang, 20 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Pagi dan Malam yang Terpisah Jurang Terjal

By : Harry Ramdhani


paling tidak, yang membedakan hari ini
dan esok adalah tidurmu, kekasih.
pejamkan matamu dan lihat,
rindu ini masih.

jam yang tergeletak di samping ranjangmu
tak lagi berputar; tak mampu
menghitung seberapa lama
kesepian menjalar sampai ke akar-akar.

malam memang kejam, kekasih. gelap.
tidak ada yang kutahu selain berharap
kalau-kalau pagi nanti
coretan hitam di ingatanku memutih.

biar saja mukaku dibedaki.
biar saja tubuhku dikebiri.
biar.
asal semua ingatan dan kenangan kau bawa lari.

esok pagi,
ketika pak satpam membuka portal,
para mucikari membereskan bantal,
semoga kau, kekasih, terperosok ke jurang yang terjal.

jurang kematian; tempat terkuburnya
harapan dan impian. karena bisa
seranjang denganmu, ialah angan-angan.



Kamar #peang, 18 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Ranjang yang Mengerang dan Merangsang

By : Harry Ramdhani


Tidak ada yang diingat penyair itu selain tubuh kekasihnya yang telanjang di atas ranjang.* Otak kotornya berloncatan seisi ruang dengan suara pantulan yang lantang. Birahinya menjuarai perlombaan menahan nafsu dan pikiran. Tapi, tak satu sentuhan pun penyair berani memoles tubuh kekasihnya yang telanjang.

Libido mendidih di kepala penyair itu. Mukanya memerah seperti puting sapi pasca diperah. Di hadapannya, ada puting yang menyumbul menantang tinggi langit dan kuasa Tuhan. Kekasihnya meliuk, menggerakkan tiap lekuk titik tubuh sensual. Mata penyair itu mulai dibutakan dengan binal.

Tidak adalagi sajak soal rindu, cinta, dan segala macamnya. Birahi penyair mengamuk.

Penyair itu memberanikan diri naik ke atas ranjang. Ke puncak nikmat tertinggi; tempat selangkangan nantinya beradu aksi. Padahal setengah hati penyair itu menolak setubuhi kekasihnya ini. Namun, dinding yang telah dibangun hancur, seperti keringat yang mengucur dan mengumpul di bulu dada penyair.

Lampu yang remang. Pakaian yang entah ke mana dibuang. Sepasang kekasih di atas ranjang tanpa pakaian berhadapan. Keduanya memejamkan mata. Berpelukan; melakukan segala yang menggairahkan. Penyair itu dan kekasihnya saling menerima rangsang yang mengengerang membakar ranjang.

Penyair itu kalut. Kedua kakinya tak lagi bisa gerakkan lutut. Manuver penyair itu berlebihan. Kekasihnya tertidur dengan selangkangan penuh darah yang mengucur. Kelamin penyair itu lari, lepaskan diri dari sangkarnya. Ketakutan. Mencari-cari letak Tuhan 'tuk mengakui segala penyesalan.




Perpustakaan Teras Baca, 15 April 2014
*) Puisi Agus Noor
gambar: dari sini
Tag : ,

Tanpa Tanda Baca

By : Harry Ramdhani


Saya menulis ini di sebelah #peang ketika tertidur. Malam itu, Ia sedang sakit. Tapi, #peang tetaplah #peang, ketika sakit pun Ia terkadang terbangun --seperti mengigau-- lalu mengajak ngobrol dan bercanda. Layaknya orang yang tidak sakit, tawa dan senyumnya tidak luput dari dirinya. Saya senang (sekaligus prihatin) melihatnya.

Seperti yang tadi saya ungkapkan, saya menulis disela-sela tidurnya. Ketika #peang tidur, saya menulis, ketika Ia bangun, saya menemaninya sampai tidur lagi, dan begitu seterusnya sampai selesai. Saya hanya membayangkan apa yang ada di dalam alam mimipinya. Apa yang kelak akan terjadi ketika #peang besar nantinya. Semua hal tentangnya saya bayangkan. Berkatnya, saya ingin terus dan terus belajar menulis dan kelak bisa mengajarkannya. Karena menulis, bagi saya, adalah berlayar yang tak kenal ujung dan tepi. Saya ingin #peang membawa serta-merta harapan-harapan saya yang tak terselesaikan --dikemudian hari. Saya mencintainya lebih dari segalanya.  Dan, inilah lima cerita 100kata:

Tanpa Tanda Baca

ilustrasi: dari sini
Aku tidak ingin makan karena perutku masih terasa kenyang oleh traktiran di sekolah tadi siang oleh Destria dan katanya dia hari ini ulang tahun yang ke sembilan kemudian kami sekelas ditraktir makan bakso yang letaknya mungkin tiga puluh meter dari pagar sekolah dan di sana Kenya menghampiriku membawa semangkuk bakso yang mengepulkan asap di atasnya namun Ia terpeleset saus yang berceceran di lantai tapi Kenya tidak jatuh karena masih berpegangan meja dekatku tapi sayangnya mangkuk itu malah mendarat dengan cantik di badan Destria dan dengan langkah seribu Ia pulang tanpa membayar namun untunglah Kenya mempertanggung-jawabkan itu meski Ia nantinya bekerja di sana sampai tua.




Kamar #peang, 16 April 2014

Diburu Malu 


ilustrasi: dari sini

Semestinya Andri waktu itu tidak keluar dari tempat persembunyian. Tapi, memang dasar keras kepala. Ia mengacuhkan dan akhirnya ketahuan juga.

Ayahnya menutup pintu dengan keras. Ibunya keluar dari kamar mandi masih dengan mengenakan handuk biru-muda. Mandinya diburu-buru ketika tahu Andri pulang.

***

"Kata Ayah, ketika maghrib mesti sudah di rumah," ucap Andri sambil memegangi bagian mukanya yang memar habis dipukuli.

Aku menggelengkan kepala sambil coba obati beberapa titik lukanya. Ia menjerit kesakitan.

Menjadi anak yang penurut dan keras kepala memang tipis bedanya. Kamu coba jujur ketika ujian, malah jadi bahan cemoohan masyarakat sekitar. Keluargamu malu. Kamu sudah dicari-cari dari siang tadi, tahu?





Kamar #peang, 16 April 2014

Sembuh

ilustrasi: dari sini


"Aku tidak ingin ke dokter. Sebentar lagi juga sembuh. Percayalah," tukas Badru seraya menyelimuti badannya dengan sarung yang bolong di segala sisinya.

"Panasmu makin tinggi, Nak," jawab Ayah yang duduk di kasur sebelahku, atau yang lebih pantas disebut triplek berkapuk mungkin, "tidak perlu takut."

Sambil menahan batuk dan darah yang ingin keluar, Badru meyakinkan Ayahnya karena tahu kalau kondisi keuangan keluarga tidak cukup untuk biayanya ke dokter, "sebentar lagi aku makan dan istirahat," katanya, "dengan begitu pasti sembuh."

"Tapi…,"

"Ayah," Badru keluar dari selimutnya itu, "aku baik-baik saja."

Ayahnya keluar. Dan, setelah perbincangan, Badru tidak lagi terdengar suaranya. Di balik selimut, Ia tutup usia.




Kamar #peang, 16 April 2014 

Secepat itu Penyesalan Datang 

ilustrasi: dari sini

Ibu itu memegang erat tangan anaknya. Ketika meyebrang jalan, semua tampak baik-baik saja. Namun, ketika sampai di seberang, barulah semua kejadian terjadi.

Kedua tangan Ibu itu sibuk, yang satu memegang tangan anaknya. Dan, satunya sibuk dengan gadget. Anak itu mungkin habis dijemput pulang dari sekolah.

Di ujung jalan, Ibu itu senyum-senyum sendiri melihat layar gadget-nya. Seperti melihat barang discount-an. Tanpa sadar mungkin, tangannya melepas tangan anaknya. Dari kejauhan, motor melintas dengan cepat. Menyerempet anaknya. Keduanya terpental jauh. Isi tas anak itu berserakan di jalan.

Hanya karena mantan pacarnya menanyakan kabar di Twitter, Ibu itu dengan cepat membalas kabarnya penuh penyesalan.




Kamar #peang, 16 April 2014 

Katana

ilustrasi: dari sini

Aku ambil katana dari kotak mainan. Memang hanya itu yang tersisa di sana. Mainan lainnya, ada yang dimainkan, ada juga yang dibiarkan di lantai berserakan.

Di Taman Kanak-kanak, mainan seperi mobil, motor, dan, puzzell adalah mainan favorit. Saking seringnya, bentuk mainan tidak karuan; bagian satu dan bagian lainnya terpisah. Namun, tak ada satu pun yang memainkan katana. Meliriknya pun sungkan.

"Bu Guru, boleh aku mainkan katana ini?" kataku.

Nampaknya Ia tidak dengar pertanyaanku tadi. Memang, Ia terlihat sibuk menjaga anak-anak yang main dan hampir bertengkar.

"Bu Guru. Bu Guru…," panggilku.

Bu Guru malah menjerit kesakitan. Jarinya putus setelah kuayunkan katana. Sungguh, aku hanya ingin tanya, "ini katana sungguhan atau mainan?"




Kamar #Peang, 16 April 2014

Mesin Jahit dan Kenangan Pahit

By : Harry Ramdhani
Saya terus ingin mencoba cara menulis dari berbagai orang yang rela berbagi wawasannya tentang tulis-menulis. Dari Rusell Peters sampai Irwan Bajang. Dari penempatan titik dan koma, sampai pengembangan kata jadi sebuah tema.

Siang itu, Irwan Bajang berbagi tentang permasalah penulis dalam menuangkan isi kepalanya, tapi sulit sekali dituangkan (lengkapnya di sini). Saya mencoba dan akhirnya malah saya yang terperangkap di sana. Sial. Tapi, bermodalkan itu, akhirnya saya mencoba untuk setia terhadap apa yang saya tulis. Sepuluh kata yang saya pilih, lalu saya buat menjadi satu cerita. Menyenangkan. Ini sepuluh kata yang saya pilih:

Mesin jahit: Mesin jahit, Ibu, meja, kontrakan, benang, jarum, kebaya, berisik, lampu, berdarah. 

Mesin Jahit dan Kenangan Pahit 



Sudah lama mesin jahit tua itu ingin Ibu jual. Di rumah kontrakan yang lebih pantas disebut kamar petak, mesin jahit itu hanya penyempit. Meja mesin jahitnya pun sudah rapuh dimakan rayap. Di kaki bagian kanan ada lipatan karton dan di kaki kirinya diganjal bungkus rokok.

Umur Ibu sudah berkepala enam, namun semangatnya menjahit tak pernah padam. Seperti ada lampu penyemangat yang membuatnya terus dan terus menjahit. Setiap malam. Setiap akhir pekan. Ia terus menjahit seperti orang kesetanan. Lantas, apalagi yang mesti Ia kerjakan? Kedua kakinya sudah tak kuat untuk berjalan walau sekedar keliling dagang makanan. Namun, apalah daya, tanpa mesin jahit itu, Ibu tidak akan bisa menyambung hidup kita.

Sebagai janda seorang perwira tentara, Ibu bukan perempuan manja. Rumah dinas yang semestinya kita bisa tempati, malah kita tinggali. Kata Ibu, "Ayah sudah tiada. Sudah tidak lagi bekerja. Jadi, lebih baik kita pergi saja."

Kini Ibu hanya menerima order jahit dan vermak saja. Hasilnya cukup lumayan, masih bisa menutupi biaya berobat Ibu yang sekali-kali kambuh dan untuk makan sehari-hari.

***

Umurku waktu itu baru enam tahun. Ayah ditugaskan untuk menjadi salah satu yang dikirim ke daerah konflik. Di timur Indonesia sana. Ketika Ayah ingin pergi, paniknya itu tidak seperti biasanya. Berkali-kali Ayah dinasihati agar tidak jadi pergi, namun perintah atasan lebih wajib ketimbang perintah Tuhan. Ayah berangkat.

"Ayo, kita doakan Ayah supaya baik-baik saja di sana, Nak," kata Ibu sambil mengusap-usap kepalaku. Kulihat matanya berkaca-kaca, seperti menunggu penampungan airmata jebol dan membanjiri pipinya.

Aku dan Ibu mengambil air wudhu. Kita sembahyang berjamaah. Sajadah Ibu basah. Nampaknya ketika sujud airmatanya tumpah. Terlalu kecil untukku ketika itu untuk bisa fokus sembahyang. Aku tiduran --di depan Ibu yang sedang sembahyang-- memperhatikan sajadah yang basah. Bingung darimana basah itu berasal.

Selesai sembahyang, Ibu memelukku.Mengangakat kedua tanganku. Kita berdua berdoa bersama-sama. Suara Ibu sesegukan. Aku ketiduran.

***

Sebagai anak yang memegang title sarjana, aku tampak tak berdaya. Serasa berdosa. Ibu sudah capek-capek menyekolahiku tinggi, tapi sampai sekarang aku masih jadi pengangguran. Masih saja bergantung dari hasil Ibu menjahit order-an.

Pernah satu waktu aku belajar menjahit. Ibu senang. Tapi, akhirnya kutahu, menjahit bukanlah perkara mudah. Memasukan benang ke dalam lubang jarum sungguh susah. Aku lumut sedikit ujung benang supaya basah. Tetap saja, di depan lubang jarum, benangnya tak mau masuk. Seperti ejakulasi dini, di hadapan lubang jarum, benang terlihat payah.

Ibu membantuku memasukan benang. Aku mulai menjahit dengan mesin. Ajaib, kain yang kujahit tidak berubah apa-apa. Hanya bolong-bolong oleh jarum. Semenjak saat itulah, aku mentasbihkan diri untuk tidak menjadi penjahit.

***

Ketika Ibu menjahit kebaya pesanan Bu Karim, langganan jahitnya, terdengar ada yang mengetuk pintu. Aku buru-buru membukanya. Ternyata seorang tentara datang. Bukan Ayah. Aku mempersilakannya masuk dan Ia memilih duduk di bangku dekat pintu. Ibu menghampiri kami. Dengan baju kebaya setengah jadi, Ibu menanyakan maksud kedatangan Tentara yang datang.

"Jadi, apa maksud kedatangan Bapak ke sini?" tanya Ibu.

"Saya membawa kabar kalau suami Ibu… "

"Akan pulang dalam waktu dekat ini?" Ibu memotong.

"Eum,…" lama tentara itu diam. Mungkin sedang berpikir, kalimat apa yang cocok untuk diucapkan. "Suami Ibu, Jendral Sudirno, tak akan lagi bisa pulang. Beliau tewas di medan perang. Sebuah peluru mendarat tepat di bagian jantung. Dan…,"

Ibu pingsan. Kebaya setengah jadi yang dipegangnya tadi, menutupi setengah tubuhnya yang terkapar di kursi. Aku berusaha semampuku menyadarkan Ibu. Namun, apalah yang bisa dilakukan anak berumur sepuluh tahun ketika itu?

***

Suara mesin jahit dengan merk kupu-kupu itu, terdengar lebih berisik dari ingatan-ingatanku dulu. Ingatan yang membuat Ibu jatuh-bangun membiayai hidupku. Hidup keluarga kami. Bahkan, sampai pernah kulihat tangan Ibu berdarah tertusuk jarum dan kenangan.




Kediaman Bang Rifky-TehNit dan Perpustakaan Teras Baca, 06 - 13 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Ronaldo, Messi, dan Cerita Lainnya

By : Harry Ramdhani

 ilustrasi: dari sini

Setiap orang punya permasalahan yang beragam.  Begitu pun dengan saya.  Dalam menulis, hal yang selalu buat saya jadi suatu permasalahan adalah penamaan tokoh karater.  Bagis saya, membuat itu tidak bisa asal-asalan.  Setiap nama memiliki karakter yang kuat dalam cerita. Itu menurut saya.  Itu permsalahan saya.

Tapi, beberapa hari lalu, saya baca beberapa tweet Irwan Bajang (lihat sendiri TL-nya 08 April 2014) tentang proses menulis.  Saya kagum pada keberaniannya meng-eksplore imjinasi tanpa membatasi. Dan, cerpen ini: Senin, Selasa, dan 5 hari lainnya; yang membuat saya ingin 'gila-gilaan' seperti dulu dalam menulis.  Berani meng-eksplore imajinasi tanpa membatasi.

Hal tergila dalam proses belajat tulis-menulis adalah ikut nimbrung di project TehNit: #JuliNgeblog dan #100Kata8.  Selama dua bulan, setiap harinya saya hanya menulis, menyunting, ke warnet --untuk posting.  Jadi, mungkin saya akan memulai 'kegilaan-kegilaan' lain dalam menulis selepas #NyeratNgariung.  Inilah beberapa kumpulan cerita dalam 100 Kata:

Ronaldo, Messi, dan Dia



"Pelatih, buat aku seperti Ronaldo, Messi, dan Dia," pinta Dimas.

***

Dari wilayah pertahanannya, Dimas merebut bola dari kaki Polli, lawan latih tandingnya. Dengan lincah Ia giring bola itu sendiri ke depan. Sangat lincah. Satu per-satu Ia lewati musuhnya. Dari jarak 40 meter, Dimas menendang bola dengan keras. Dan, gol.

Dimas adalah pemain andalan Timnas U-14 Indonesia. Diumur segitu, permainannya jauh dari rata-rata pemain lain. Ia seperti lahir di lapangan sepak bola.

Ketika istirahat Dimas kesal. Ia merasa masih gagal mempunyai kuda-kuda yang kuat dan tegap seperti Dia, seorang Kakek tua yang Ia intip ketika dia buang air besar di sungai.




Kamar #Peang, 09 April 2014


Tuhan, Ambil Mataku
ilustrasi: Puisi Cyber Punk


Gara-gara mata ini aku dipukuli lagi. Hampir mati. Padahal, semua yang terlihat itu tidak seluruhnya disengaja. Kebetulan saja ketika kejadian aku di sana. Dan sial, mataku ikut melihatnya.

Pernah satu waktu, aku buang air kecil di rawa-rawa. Tidak jauh dari tempatku, rawa itu gerak-gerak. Aku pikir ular, ternyata sepasang kekasih yang sedang menggelar tikar. Aku kepergok. Dipukuli habis-habisan. Aku diancam akan dibunuh kalau membocorkan ini. Akhirnya aku diam.

Malam ini, aku dipukuli lagi. Hampir mati lagi. Kulihat Paman membawa plastik hitam. Ada rambut yang terjurai keluar. Itu kepalaku setelah dipenggal. Mata ini membuatku sial. Tuhan, ambil mataku.




Perpustakaan Teras Baca, 09 April 2014
Cerita ini diambil dari berita detikcom. Berita pasutri yang ditembak mati pasca pergoki perampok.


Polisi dan Timbangan yang Rusak
ilustrasi: Gallery Abstract


Andai timbangan badan itu bisa teriak, pasti akan seperti ini, "cepat angkat kakimu sekarang".

***

Berat badanku naik kata timbangan. Aku takut, karena lusa ada seleksi masuk polisi. Kalau berat badanku seperti ini, pasti tidak losos nanti.

***

"Selamat, Handoko. Kau diterima sebagai anggota Polri."

Satu set seragam kuterima saat pelantikan. Begitu juga yang lainnya. Timbangan itu telah membantuku.

Ibu senang bukan kepayang. Ayah tidak hentinya memukul-mukul pundaku. Ayah bangga. Katanya sambil tertawa lebar. Lusa mereka adakan syukuran. Banyak yang diundang, dari saudara, tetangga, sampai selingkuhanku juga. Semua.

Andai mereka tahu, ketika aku jadi Polisi nanti, semua timbangan akan berkata bohong.




Perpustakaan Teras Baca, 09 April 2014


Tiga Bocah Tewas Ditabrak Sedan Hitam
ilustrasi: Lelang Lukisan


Tiga bocah tertabrak mobil sedan hitam. Semua korban tewas di tempat dengan luka yang sama; otaknya keluar dan terpental jauh sampai bahu jalan.

Polisi datang dengan cepat untuk proses evakuasi. Sama sekali tidak terlambat seperti dalam film-film aksi. Korban di masukan ke dalam mobil ambulan yang juga ada di lokasi. Hebat. Semua ada pada waktunya. Polisi. Ambulan. Dan, orang-orang yang mengerubuti mobil sedan hitam; menunggu jatah bayaran.

Dari dalam mobil, seorang Caleg melambaikan tangan keluar, "tenang, kita akan menang," katanya dengan bahagia dan bangga.

Ingin rasanya aku berikan tiga otak bocah tadi --yang terlempar ke bahu jalan-- pada orang-orang di kampanye jahanam ini.



TPS 53, Perpustakaan Teras Baca, 09 April 2014


Lelaki yang Keluar dari Saku Celana

ilustras: Lukisan Abstrak

Dari dalam saku lelaki itu keluar. Semua kebohongannya terbongkar. Angan-angan menikah akhir bulan ini nampaknya pudar. Cerobohnya saat itu terlalu fatal. Andai kata andai menjadi nyata, tentu Ia tidak ingin semua terjadi seperti sekarang; secara mendadak semua batal. Semua.

"Aku bisa jelaskan semua," katanya sambil sesegukkan.

Ibarat sebuah masakan, penjelasannya pasca semua kejadian terungkap, biasa lebih banyak bumbunya ketimbang bahannya.

Dengan seketika juga, Ia acuhkan lelaki yang keluar dari saku celana tadi. Seperti tidak mengenalnya dari pertama, 'lu-lu, gue-gue' saja.

Ia susah payah berlari. Namun, langkahnya tak bisa lebih cepat amarah yang serta-merta dibawa pergi. Jauh --ke lain hati.



Perpustakaan Teras Baca, 08 April 2014



Kado itu Membelalak Matanya

By : Harry Ramdhani


Kado itu bukan miliknya.
Kado itu milik matanya.

Kado bertuan yang diam-diam
Ia simpan di kolong meja,
membelalak matanya.

Di dalam lemari,
kado lari. Sembunyi
; di sela
kenangan yang terlipat rapih.

itulah kado terindah
yang pernah dilihat matanya.




Kamar #peang, 05 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Kado yang Meleset dengan Tepat

By : Harry Ramdhani


KADO itu bukan miliknya. Kado itu milik matanya yang baru saja membuka bingkisan namun, yang tertera di sana bukan namanya.  Itu nama orang lain. Ingin rasanya mata itu mengucurkan air. Biar hanya setetes. Tapi, itu sia-sia. Tak sekali pun ada niatan untuk membasahi kado terindah yang pernah dilihat matanya.

Ia letakkan kado itu di kolong meja. Disimpannya agar tidak ada yang tahu kalau kado itu bukan miliknya. Andai pemiliknya lupa, mungkin sudah segera Ia taruh di kamar atau dalam lemari baju; di sela celana dan pakaian dalam lainnya. Sayang, kado itu bertuan.

Padahal, diulang tahunnya yang ke-23, rasanya tidak ada kurangnya. Pacar, punya. Sahabat baiknya, tak lupa mengucapkan pula. Orang tua dan calon mertua, sudah singgung-singgung pernikahan di acara makan malam kemarin lusa. Tapi, kado ini, rasanya lebih berarti dari semua. Dari segala hal yang Ia miliki dan baru saja dimiliki.

***

"Untukmu yang selalu kucinta, Marlina." Begitu yang tertulis dibingkisan kado miliknya. Sebuah payung bergambar kartun kesukaannya. Ia senang, tapi biasa-biasa saja. Meski pacarnya tahu kalau Ia senang sekali dengan hujan namun, pacarnya tak ingin melihatnya hujan-hujanan. Sakit adalah alasannya, karena sakit di negeri ini sama saja menunda kematian secara perlahan. Pacarnya tak ingin seperti itu.

"Selamat ulang tahun, Marlina. Ayo, dong, ditunggu surat undangan nikahnya." Sahabat baiknya sedari kuliah tak lupa mengirmkan kado. Sepasang Flat shoes idamannya yang sempat Ia ceritakan dulu kini sudah ada di tangan. Tinggal tunggu tanggal main untuk memakainya. Entah ingin digunakannya ke mana. Tentunya,jelas karena kado yang tadi Ia simpan di kolong meja, membuatnya ingin dibawa lari saja pergi jauh dari kenyataan.

Kado itu merusak segalanya. Merusak kebahagiaan yang semestinya didapat menjadi kesedihan yang mendalam.

Ucapan ulang tahun dari teman-temannya yang lain mulai menggumpal di akun sosial medianya. Tak satu pun sempat Ia balas. Melongoknya saja Ia sudah malas.

***

Sebenarnya kado itu bukan perkara seberapa harganya atau apa bentuknya. Tapi, kado biasanya ialah perkara siapa yang memberinya. Marlina senang-senang saja dapat kado dari orang-orang yang Ia cinta, tapi kado itu terlihat lebih istimewa. Lebih ada rasanya.

***

"Sepulang kerja, kamu ingin ke mana, Inggit?" tanya Marlina padaku.

Inggit-- adalah aku; teman barunya di kantor. Kita satu divisi di bagian keuangan. Marlina adalah karyawan baru di kantorku. Kurang dari setahunan Ia kerja di sini. Sebagai fresh graduate, Ia termasuk yang paling mudah beradaptasi dengan dunia kerja.

Akhirnya kita sepakat untuk ke kafe yang tak jauh lokasinya dari kantor. Tempatnya cukup sepi. Di sana, Marlina menceritakan semua perihal kado yang Ia terima dari Pak Pos yang bukan teruntuknya itu.

"Bukannya ada alamat atau nama pengirimnya di setiap pengiriman barang, ya?" kataku

"Iya, karena itulah, sampai sekarang aku tidak percaya," jawab Marlina.

"Kirim balik saja."

"Tapi,…" Marlina diam cukup lama.

***

Semenjak obrolan kita itu, Marlina jadi sering melamun di kantor. Walau aku tidak ingin menduganya, tapi pasti karena kado itu. Seminggu sudah kado itu ditangannya. Dan, tak ada niatan sama sekali untuk mengirimnya balik. Sama sekali tidak.

Satu bulan. Dua bulan. Marlina tak terdengar lagi namanya. Ia resign dari kantor tanpa alasan yang jelas pula. Aku pun tidak bisa menghubunginya. Mendatangi rumahnya, tak ada yang tahu juga. Orang tuanya sudah melaporkannya ke polisi untuk minta kasus anaknya diselidiki. Ia hilang. Padahal, tahun ini rencananya Ia dinikahi.

Sempat ada kabar kalau Ia telah meninggal. Ada juga yang bilang kalau Marlina kawin lari. Semakin banyak kabar aneh-aneh tentangnya, semakin membuat orang tua, pacarnya, dan sahabatnya cemas.

Dugaan awal polisi adalah orang yang mengirim kado itu, karena kado yang sempat Marlina simpan di kolong meja pun ikut tiada. Namun sayang, orang yang mengirimkan kado itu ditemukan meninggal dengan pita kuning di leher yang terikat kencang.

Pita kuning? Aku ingat sesuatu dengan pita kuning.

Pita kuning itu adalah salah satu kado yang meleset dengan tepat ke Marlina satu tahun lalu. Kado ulang tahunnya yang ke-23 itu. Selain pita kuning, ada juga buku kumpulan cerita-cerita cinta, Sup Ayam.

Pada cerita ke-23, diceritakan kalau ada sepasang kekasih yang seminggu menjelang hari pernikahannya, sibuk memasang pita-pita kuning di sebuah taman --yang kelak akan dijadikannya lokasi pernikahan. Dijadikannya hiasan, gantungan, dan lain sebagainya. Dilakukannya hanya bedua, tanpa ada bantuan siapa-siapa. Kisah cinta yang romantis di mana-mana sama saja, salah satunya mesti ada yang tewas. Pita tempat mereka menggantungkan vas yang berisi mawar merah, putus. Vas itu menghantam keras kepala calon pengantin pria. Darah mengalir deras. Pengan tin perempuan berusaha memanggil ambulans, tapi semua terlambat. Nyawanya tak selamat. Pita kuning yang digunakannya tadi, melintang di leher mayat pengantin pria.

Seminggu setelah kematian itu, pengantin wanita jadi gila. Seperti caleg yang gagal mendapat jabatan di gedung Nusantara.

***

Di tengah taman kota, ditemukan sesesok mayat perempuan yang lehernya terikat pita kuning. Tangannya dengan erat memegang mawar merah yang baru kuncup. Perempuan yang sudah tak lagi waras. Bajunya belel, dadanya terlihat ke mana-mana, ada ceplakan darah kering dibagian vagina. Seperti telah lama diperkosa. Perempuan itu, Marlina.

Laki-laki yang terlebih dulu ditemukan tewas, ternyata orang yang memperkosa. Ia adalah teman dekat Marlina dulu, ketika sempat putus dengan pacarnya. Hubungan mereka tak berlanjut pada yang lebih serius. Marlina kembali pada pacarnya dan lelaki itu kembali pada kebiasaanya dulu; mengagumi dan diam-diam mencintai Marlina.

Marlina kembali menemuinya atas saranku. Kemudian terjadilah semua ini.




Perpustakaan Teras Baca, 05 April 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Rest In Puppets Sastra Jingga

By : Harry Ramdhani
"Kita kehilangan maestro wayang Indonesia. Selamat jalan Pak Asep Sunandar Sunarya, semoga sumbangsihmu terus menginspirasi" - tweet Pak BeYe.



Tepat di mana sebagian umat sedang merayakan Nyepi; memohon ke hadapan Tuhan untuk menyucikan alam manusia dan semesta, diam-diam Kau meninggalkan kami. Tanpa memberitahu dulu kalau kepulanganmu jatuh pada hari ini. Setidaknya saya percaya, orang-orang yang tahu cara berinteraksi dengan Tuhan dan dirinya dengan baik, maka akan tahu pula kapan kepulangan tiba menjumpai. Tapi, Kau? Ah, kami di sini masih banyak utang rasa padamu. Utang yang terbayarkan meski saya mampu.

Asep Sunandar Sunarya, atau yang akrab disebut dengan Dalang Cepot, telah pulang dengan meninggalkan bangsa yang masih belum bisa mengapresiasi budayanya sendiri. Saya salah satunya. Jati diri yang semestinya dijadikan wajah perlahan samar seperti make-up yang pudar. Lewat pewayangan, Asep Sunandar Sunarya memperjuangkan. Demi jati diri bangsa di hadapan dunia. Demi jati diri bangsa di jurang kehancurannya.

Penyakit komplikasi penyebabnya. Sungguh kompleks penyakit yang Ia derita sama persis dengan penderitaan bangsa. Kalau kau bisa tiada, bagaimana dengan Indonesia?

***

Saya tumbuh, besar, dan berkembang dengan jarak 30-50 km dari pusat peradaban tataran sunda; Kota Bogor namanya. Letaknya tidak terlalu jauh untuk saya bisa melihat dan memahami kehidupan di sana. Saya sadar, masih ada segelintir orang yang peduli, namun oknum yang merusaknya lebih banyak. Merusaknya dengan tidak mampu mengemban amanah sebuah warisan kearifan lokal. Saya benci karena tidak mampu melakukan itu sendiri.

Wayang kini adalah warisan dunia. Milik kita semua. Dan, kemunculan Dalang Cepot ialah penyegarnya. Seperti yang dilakukan Wali Songo ketika itu, melalui pertunjukan wayang, menyebarkan ajaran islam. Dalang Cepot punya cara yang berbeda namun pola yang sama. Menyebarkan pemikiran lewat pewayangan sembari mengenalkan wayang kepada masyarakat dengan jenaka. Ya, lewat tawa, kritik dan segala macamnya akan mudah diterima.

Saya masih ingat, ada dua hal yang saya tunggu ketika puasa: pertama, adzan maghrib; kedua, tayangan Asep Show. Tidak lebih. Masa kecil memang menyenangkan, karena dua hal kecil saja serasa kebahagiaan sudah di genggaman tangan.

Tapi, lambat-laun ketika saya dewasa, mulailah saya mengenal ada Dalang lain yang nyentik namun tetap asyik: Sudjiwo Tedjo. Lalu, Ki Dalang Rohmad Hadiwijoyo yang selalu baik mendongeng kisah-kisah pewayangan di Twitter Hills. Semenjak saat itulah saya kembali percaya, ingatlah kembali cita-cita atau apapun yang pernah membuatmu bahagia ketika kecil, niscaya ketika besar dijalankan pasti akan tercapai. Saya ingin menjadi Dalang.

Lewat buku-buku yang ada kaitannya dengan pewayangan apapun saya baca. Dari buku Wayang Beber sama Ngawur Karena Benar, anggitan Mbah Tedjo. Dari Daeng Google yang membeberkan semua sampai mendengar Radio Play pewayangan di Motion Radio. Namun, dari semua cara saya belajar tentang pewayangan, mendadak hilang senada nama Dalang Cepot di dunia pertelevisian, ketika teman saya bilang, "kalau mau jadi Dalang itu mesti punya turunan Dalang juga. Kalau enggak, ya gak mungkin bisa."

Semenjak saat itu pula saya berhenti belajar menjadi Dalang. Semenjak saat itu pula saya mengubur cita-cita dan harapan dalam-dalam.

Namun, setelah kepulangan Kang Dalang Cepot, saya ingin menggali kembali yang telah lama dikubur. Mencari dan kembali mewujudkannya karena wayang merupakan warisan dunia; yang siapa pun bisa memiliki meski tak ada turunan darah sama sekali. Ya, lewat beliau'lah saya banyak belajar lewat lakonnya seperti hidup ini perlu hiburan, setiap tindakan tidak perlu dilakukan dengan tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, membuka diri untuk mempelajari watak oranglain supaya bisa lebih bermasyarakat, dan yang paling berharga, ialah belajar untuk selalu jujur. Itulah Si Cepot dalam lakon yang kerap dimainkan Sang Maestro Wayang Indonesia, Kang Asep Sunandar Sunarya.

Selamat karena telah memperindah pertemuanmu dengan Tuhan. Bersemayam dengan tenang bersama Cepot yang Kau tinggalkan.

Rest In Puppets Sastra Jingga, Sang Dalang Cepot yang melegenda.



Perpustakaan Teras Baca, 31 Maret 2014
Sebuah catatan sedihku atas kepulanganmu, Asep Sunandar Sunarya.

NB: Sastra Jingga adalah nama lain dari Cepot. Sebuah sebutan yang didapat karena sifat nakalnya walau bijaksana.
gambar: dari sini

Penyesalan 29

By : Harry Ramdhani


Maret, 29,
kini yang tertinggal hanya kenangan.
Bukan rindu,
tapi penyesalanku.

Inginku tidur sejenak;
memejamkan mata,
mengistirahatkan semua.
Membiarkan serdadu mengurung piluku.

Waktu tak selalu tahu,
mana kala putar detaknya melaju
maka sungkan Ia kembali
jumpai.

Segala yang terdampar, ialah aku
dalam kekinian. Segala yang pudar, ialah aku
dalam penyesalan. Segala yang hambar, ialah aku
dalam kesendirian. Namun, segala yang bersinar, itu bukan aku,
aku sembunyi dalam kamar gelap yang pengap.

Waktu hanya terdiam.
Tanpa gerak.
Tanpa detak.
Ada lupa ucap; sedih yang terungkap.

'Di harian terkemuka,
di halaman pertama,
ada seorang yang menangisi
penyesalan,' tulis wartawan berat hati

Selepas tanggal 29,
aku seperti tahanan
; yang selepas dari lapas bingung,
sampai mana penyesalanku berujung.




Perpustakaan Teras Baca, 29 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Serambi Rindu

By : Harry Ramdhani


Aku, ialah serambi rindu ini
; tempat di mana namamu,
bayangmu,
pelukmu,
ciummu,
dan segala hal tentangmu kelilingi.

Kalau pun jumpa itu ada, tentunya
pipiku sudah penuh jentik-jentik airmata.

Ibarat penyiar, aku tak pernah tahu
; kapan kau di sana mendengar
atau tidak.
Maka, saat itu pula, aku percaya
kebetulan itu ada.

ah, kebutulan, ialah perkara rindu
dan jumpa bertemu.

Atau, tak ayal seorang Penyair
; yang dengan mudah berhenti menulis puisinya
dengan hanya tak lagi membaca.
Namun, berhenti merindumu,
butuh waktu,
tak cukup meski besok itu ajalku

seperti yang kubilang dulu,
"menunggu itu menyenangkan,"
dan, hanya memperindah kebetulan
yang bisa kulakukan.




Perpustakaan Teras Baca, 31 Maret 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -