The Pop's

Archive for May 2018

Mandi di Siang Bolong!

By : Harry Ramdhani
seger betul mandi pas siang bolong.




Segar betul. Mandi pukul 2 siang saat matahari sedang panas-panasnya di bulan puasa. Ketika hendak menjemur handuk keluar, matahari seakan baru ingin muncul dari tidur panjangnya semalaman. Tidak ada suara ayam karena ia berkokok terlalu pagi dan manusia tidak ada yang peduli. Pagar rumah, tanaman yang digantung, sampai lantai teras serasa masih diselimuti embun; dingin. Segar betul.

***

Tapi tadi aku duduk sendirian di bangku-bangku di depan Indomaret. Bingung. Bukan untuk berpikir antara batal puasa atau tidak. Bukan. Bingung karena tidak tahu bagaimana caranya memperpanjang masa aktif akun premium spotify. Susah betul. Pedahal bulan lalu gampang-gampang sahaja. Sekarang aku lupa caranya. Keringat dingin mulai merambah dari tengkuk leher hingga lengan tangan. Normal. Itulah reaksi tubuh ketika sedang kebingungan. Tadi di hadapan ATM berulangkali aku mencoba peruntungan. Hasilnya: hanya kartu yang masuk dan keluar. Sporify premium tidak berhasil di perpanjang, orang-orang mengantri di kasir Indomaret membayar minuman dingin yang mereka ambil dari lemari pendingin. Dua orang, tiga orang, mulai mengantri di belakang menunggu giliran menggunakan mesin ATM. Aku kebingungan betul.

***

Bulan puasa tahun ini seperti kembali menemuiku dengan kegembiraan. Entah. Tapi itu yang aku rasakan. Anak-anak yang mulai ramai datang ke masjid dan orang-orang yang berdagang di pelataran masjid. Aku menduga: sepertinya kegembiraan ini muncul ketika hampir setiap hari –sebelum bulan puasa ini– melulu diperbincangkan di media sosial –tapi orang-orang itu sendiri tidak pernah ke masjid –tentang tumbuh-kembangnya orang-orang ekstimis. Mulai dari isi ceramah sampai penceramahnya. Mungkin orang-orang yang melulu membincang itu lupa: masjid tidak melulu seputar itu. Masjid adalah kediaman bagi siapa saja, makanya ada yang dinamakan Dewan Keluarga Masjid (DKM). Keluarga, biar bagaimanapun, tidak pernah lepas dari masalah. Jika, anggaplah asumsi orang-orang yang tadi aku sebut benar, masjid sebagai awal mula tumbuh kembangnya ekstimisme, maka biarlah keluarga dari masjid itu yang menyelesaikan. Tidak perlu dipukul rata kalau semua masjid seperti itu, bukan?

***

Dua hari menjelang bulan puasa, anak-anak berkumpul di pelataran masjid selepas magrib. Anak-anak itu menikmati betul rasanya keluar malam dan bertemu dengan teman sebayanya. Waktu main mereka seakan diperpanjang. Kemudian satu per-satu dari mereka diberikan obor. Entah ini hanya ada di Indonesia atau di setiap negara seperti itu ketika menyambut bulan puasa. Beramai-ramai mereka berjalan dari masjid melantunkan salawat menyusuri malam, menerangkan jalan. Pawai obor. Perlu juga sepertinya aku beritahukan: masjid di mana anak-anak itu mengikuti pawai obor, saban jumat di masjid itu penceramah selalu melakuakan orasi melawan pemerintahan. Hanya ada dua hal yang bisa menyelamatkan orang-orang yang jumatan itu tetap mau datang ke masjid: (1) mendengar ceramah sambil main media sosial atau (2) melipir ke warkop yang letaknya bersebelahan dengan masjid dan mendengar ceramah dari sana. Yang ingin aku sampaikan adalah terlepas dari bagaimana masjid itu dikelola, ketika bulan puasa tiba, selalu ada hati yang terbuka untuk semua. Anak-anak yang bergembira dan kakak-kakak mereka yang manis-manis betul ketika mendampingi adiknya pawai obor.

***

Kuhanya ingin puasa menghadirkan yang betul-betul segar. Semial: kamu yang lagi suka ganta-ganti avatar twitter yang bikin temlenku jadi segar betul.
Tag : ,

Aku dengan Buku, Kamu (Sibuk) dengan Gawaimu

By : Harry Ramdhani
andai orang2 nyang diajak ngobrol liwat hengpon pada nongol di kreta... yha ndak mungkin!
Ayu Utami telah membuat fantasiku liar terhadap taman dari buku 'Saman'. Sebuah taman di mana Leila rela menemui Sihar jauh-jauh ke New York. Taman yang ditinggali hewan hanya untuk hidup bahagia. Gelandangan pun bisa tidur dengan nyenyak meski badannya dipenuhi debu. Dan di taman itu juga, tulis Ayu Utami, tak ada yang perlu ditangisi. Dosa seakan tidak tumbuh di taman itu.

***

Dan karena cerita tentang taman itu pula akhirnya aku membeli kumpulan cerita pendek 'Petang Panjang di Central Park' yang ditulis (alm) Bondan Winarno.

***

Kemudian aku selalu membayang ini: datang ke sebuah taman --seperti yang Ayu Utami gambarkan-- bersama pasangan. Aku membaca buku sedangkan dia sibuk dengan (kehidupan) gawainya. Sesederhana itu memang. Dan di taman itu kami saling memunggungi. Mungkin kami akan saling banyak diam. Namun, di taman itu kami akan saling memahami: hakikat kebahagiaan tidaklah satu, tapi saat di mana kita bisa saling mengerti kesukaan masing-masing. Mungkin ketika aku pergi ke taman itu aku akan membawa novel 'Le Petit Prince'. Entahlah. Sepertinya novel itu cocok saja. Lalu seperti yang aku jelaskan di awal, kamu akan sibuk dengan gawaimu. Mungkin kamu akan swafoto, mengunggahnya di Instagram dan menanyakan caption apa yang cocok untuk mengilustrasikan kebahagiaanmu di taman itu. Aku sarankan sebuah larik dari puisi Goenawan Mohamad: bersiap kecewa/ bersedih tanpa kata-kata. Dan kamu akan menanyakan artinya. Dan aku tidak akan menjawab apa-apa. Sebab keindahan antara taman, kamu dan puisi adalah keindahan yang hakiki.

***

Hanya syukur yang bisa aku panjatkan manakala masih diberi kesempatan membaca buku di kereta. Yha. Apalagi di sebuah perjalanan pulang pada suatu sore di mana besok adalah hari libur. Kukira kamu bisa bayangkan keadaannya dengan ilustrasi seperti itu. Aku keluarkan buku dari dalam tas, melanjutkan bacaan 'Saksi Mata' yang belum tuntas. Seorang perempuan masuk, sedikit tergesa dari stasiun berikutnya di mana aku semula naiki. Kami saling memunggungi di kereta. Aku bisa merasakan betapa tungkuk perempuan itu panas. Dan aku rasa perempuan itu merasakan disundul-sundul kepalanya oleh ikatan rambutku. Perempuan itu meletakan tasnya di bagasi atas. Sedikit mendorong ke depam karena penumpang sedang ramai. Sepertinya ia meminta maaf, tapi aku tidak terlalu jelas mendengar, telingaku tertutup pemutar musik.

***

Tidak ada gangguan. Kereta berjalan lancar. Hanya saja terasa sedikit pelan. Aku sungguh menikmati (1) cerita dari buku 'Saksi Mata' sekaligus (2) saling memunggungi dengan perempuan itu. Saat itu kereta laiknya masjid ketika ada sholat jumat: memberi ruang seberapapun banyaknya penumpang. Sesekali aku tertawa dengan bacaanku dan perempuan itu tertawa dengan orang-orang lain di luar sana lewat gawainya. Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan seperti burung yang disinari matahari musim semi: bernyanyian dan mengajakmu pacaran.

***

Sesekali aku masih mendengar tawanya. Renyah sekali. Sedangkan aku, boro-boro bisa tertawa. Bagaimana bisa tertawa dengan segala kekejaman yang ada dalam cerita-cerita dari buku yang tengah aku baca: bola mata yang dicongkel dengan sendok untuk kemudian dijadikan bahan tambahan tangkleng, telinga-telinga yang dipotong karena menguping sebagai mata-mata sampai pembunuhan massal. Sesekali aku membayangkan guyon seperti apa yang ia dapatkan dari orang-orang nan-jauh-di-sana-itu? Jika aku bisa pelajari, aku akan mencoba menghibur perempuan itu sesering mungkin.

***

Baru kemudian aku sadar ketika seorang di depan perempuan itu hendak turun dari kereta di Tanjung Barat. Perempuan itu sedikit mendorongku hingga hampir tersungkur ke depan. Aku menoleh. Dan dia sedang memegang buku. Sekilas aku lihat sampulnya: didominasi warna putih dengan warna tulisan biru dan merah muda. Buku itu sedikit tebal. Aku ingat, itu novel 'Sophie Kinsella, My not so Perfect Life'. Buku bagus. Beberapa kali aku membaca resensinya. Kereta masih berjalan pelan. Aku sibuk dengan buku, begitu juga perempuan itu.

***

Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan diam saja, memintamu menceritakan isi buku itu. Mendengarkanmu dengan saksama sampai selesai dan kita berkenalan. Namaku, Harry. Harry Ramdhani, siapa namamu?
Tag : ,

Tentang Kucing (Kampung) yang Lahir di Loteng Rumah

By : Harry Ramdhani

kucing-kucing ucul nyang kurang satu. :(((

Kucing itu hamil. Seperti halnya kucing betina lain, tidak ada yang tahu siapa yang menghamili. Tapi kucing itu, yang hitam warna bulunya, sedang bunting besar. Gomah sesekali memberi sisa makanannya yang masih banyak. Menyisakan, mungkin tepatnya. Dilahap dengan rakus nasi yang diaduk dengan suiran ikan lele di depan rumah dekat pot bunga. Aku tambah lagi dengan tahu. Kucing itu sekadang mengendusnya dan melanjutkan nasi aduk suiran lele itu. Sial.


***

Besoknya tidak lagi kucing yang hamil itu. Entah pergi ke mana. Kucing kampung memang suka seperti itu ketika ingin melahirkan: sembunyi mencari tempat. Bahkan dulu ada yang sembunyi di belakang perpus Teras Baca. Setelah melahirkan dan anak-anaknya bisa pergi mencari makan sendiri, barulah mereka keluar dari tempatnya. Ada tiga anaknya yang lucu. Aku cuma bisa memberikannya satu kardus mie instan dengan kain sebagai alasnya. Maksudnya untuk mereka tidur. Setiap pulang kerja, setiap malam, aku suka mampir sebentar. Anak-anak kucing yang mungil itu menyambut dengan berlarian menghampiri. Pedahal aku tidak bawa apa-apa. Senang rasanya ada yang menyambut ketika pulang kerja. Kapan yha bisa disambut kamu kalau aku pulang kerja kelak?

***

Setiap malam selalu ribut di loteng rumah. Kucing, tentu saja. Berisik sekali. Tapi bukan kucing yang tengah berkelahi, hanya suara kucing yang berlarian ke sana-ke mari. Kadang, hal-hal semacam itu ampuh untuk menakuti Peang agar supaya cepat tidur. Menarasikannya seakan-akan kucing itu sedang dikejar oleh Setan Kepala Buntung. Kucing itu tidak pernah keluar. Selalu di loteng. Entah kucing yang mana. Yang aku tahu: setiap malam selalu ribut.

***

Kucing hitam itu akhirnya melahirkan. Kucing yang selama ini ribut di loteng ternyata kucing hitam itu. Kata tetangga sebelah yang rumahnya tingkat, ia melihat kucing hitam itu bersama kelima anaknya. Lucu-lucu, mestinya. Aku tidak sabar seperti apa bentuknya. Tapi seperti kucing kampung pada umumnya, kucing itu tidak ingin turun (atau tidak bisa mungkin?) dengan anak-anaknya. Keenam kucing itu masih menetap di loteng. Sialnya, setiap malam semakin ribut. Keenam kucing itu berlarian, main kejar-kejaran di loteng. Dan satu malam, saking ributnya, remahan atap berjatuhan. Hadeeeeuh. Malam-malam mesti nyapu.

***

Sore hari dengan matahari yang sinarnya cukup, kopasus (kopi campur susu) dan buku puisi Aan, Cinta yang Marah, adalah caraku merenung. Buku itu terlalu anarkis. Apalagi Aan Mansyur yang kadung populer dengan puisi cintanya dalam buku "Tidak Ada New York Hari Ini". Dan terdengar suara benda yang jatuh di depan rumah. Berkali-kali. Aku kaget, tentu saja, lalu Gomah berlari keluar. Gomah selalu responsif jika ada suara-suara seperti itu. Bahkan bisa membuat panik. Meski pelan, namun reaksi Gomah cenderung berlebihan. Anak kecil kadang bisa nangis meski ia sekadar jatuh terpeleset. Aku dan Gomah melongok keluar. Wuah, kucing-kucing yang di loteng akhirnya turun (dengan terjun). Kelima anak kucing itu lucu-lucu betul. Kecil, sebesar telapak tangan.

***

Setiap ke warung untuk beli kopi titipan buat di kantor, kucing-kucing itu selalu mengikuti. Mungkin menganggap aku keluar membawa makanan. Pedahal tidak. Kucing-kucing itu melingkari kakiku. Kadang ada yang hampir terinjak. Aku serasa rock star yang tengah diikuti penggemar. Tapi memang, setiap ada sisa makanan, aku selalu memberikan pada anak-anak kucing itu. Sialnya, malah sering dikuasi si Induk. Namun, senang rasanya bisa berbagi makanan dengan yang membutuhkan. Berhenti sebelum kenyang dan (sengaja) menyisakannya untuk anak-anak kucing itu.

***

Karena pagar rumah ada lubang yang cukup besar, sering kali kucing-kucing itu masuk lewat sana. Seringnya memang malam, untuk tidur di bangku teras. Tidak memberantak tempat sampah untuk mencari makan atau memberantak buku-buku yang ada di rak di teras. Kadang terpikir membeli kandang, tapi buat apa? Teras rumah rasa-rasanya cukup besar buat sekadar tidur. Lagipula, pernah aku cek harga kandang kucing dan harganya mahal. Bukan rezeki kalian, cing!

***

Barusan tetangga sebelah bilag kalau satu anak kucing itu terpincang-pincang dekat pot bunga depan rumah. Sepertinya tertambrak motor. Entah. Tidak ada yang melihat. Pedahal tadi siang baru aku kasih makan semua. Daging rendang yang aku hancur-hancurkan dan diaduk dengan nasi. Nasi aduk rendang. Namun, tadi Gomah sempat memberinya potongan ayam goreng. Kucing itu tidak mau makan. Aku cari sampai sekarang tidak juga ketemu. Aku hanya ingin berterimakasih, karena (1) tidak melihatnya langsung kalaupun mati. Pasti ini sedih sekali. Aku pernah punya kelinci dan mati. Dua hari badanku panas dan tidak masuk sekolah. Dan (2) jikapun kucing itu tahu siapa yang menabraknya mohon maafkan. Manusia memang lebih suka merusak daripada menjaga. Ke manapun satu kucing itu pergi, pesanku: jaga diri baik-baik.
Tag : , ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -