The Pop's

Archive for August 2013

Dimana Semua Berakhir

By : Harry Ramdhani

  gambar

"Diana, Reno, Adrian, selamat atas keberhasilannya, kalian semua lulus."

Teriakan spontan dari ketiganya memang sedikit berlebihan, tapi itulah luapan emosi dari semua perjuangan yang telah mereka lakukan selama ini mengerjakan skripsi.

Seketika mereka sadar, baru tiga nama yang disebut oleh Dekan. Temannya, Anggita, belum disebutkan. Temannya tahu, Anggita tidak terlalu fokus mengerjakan skripsi.

"Kawan, selamat atas kelulusan kalian." Anggita menepuk ketiga pundak temannya bergantian.

"Anggita." Pak Dekan memotong, "Kamu bukan cuma lulus, tapi ada juga beasiswa untukmu melanjutkan studi ke luar negeri. Usahamu selama di kampus tidaklah sia-sia. Kini terbayar sudah."

***

Dimana semua berakhir, disana bermula harapan baru.



Di dalam mimpi, setelah kembali teringat akan skripsi. 31 Agustus 2013

Bekas Darahku Dulu

By : Harry Ramdhani


Peluk aku seperti kau memeluk agamamu. Ijinkan rasa ini mengalir layaknya darah menstruasi. Aku tak tahan terus masturbasi. Pula, tak terkecuali untuk kenangan. Setapak kau tinggalkan, maka selangkah kau buatnya kembali dalam ingatan.

***

"Baiknya aku pergi dan jauh dari sini. Jika aku masih dekat denganmu, sulit untukku bisa melupakanmu." Keluhmu seraya menjulurkan sebuah kotak kecil berisi semua pemberianku.

Penantian ini tidak berakhir di pelaminan. Tidak pula berakhir di persimpangan jalan. Kini semua berakhir di penyesalan karena pernah mengenal dan mencintaimu dulu.

"Sampai jumpa lagi."

Kau pergi meninggalkan tetasan air mata di sepanjang jalan, menjadikannya jejak untukku supaya bisa menemuimu kembali.



Perpustakaan Teras Baca, 30 Agustus 2013

Lebih Tinggi dari Atap

By : Harry Ramdhani


Kau terlalu tinggi mengantungkan harapan, kekasih, bahkan tak terlihat saat kulongok dari atas atap.

Dari semua kemungkinan, ada satu yang pasti: Suatu hari nanti aku datang membawa rasa yang bisa buatmu lupa pernah gantungkan harapan.

***

Pula, burung gereja enggan hinggap di atas atap. Untuk apa kau gantungkan harapan lebih tinggi dari atap?

Sedari kecil, kita diajarkan untuk menggantungkan cita-cita dan harapan setinggi langit. Tapi sedari kecil kita tak diajarkan seperti apa masa depan. Kadang aku malu sendiri, sekarang sudah ada gedung yang tingginya melebihi langit.

Cepat angkat harapanmu, kalau tidak, nanti ikut terangkat dengan pakaian yang dijemur di beranda.






Perpustakaan Teras Baca, 29 Agustus 2013

Secangkir Kopi Tak Berdaya

By : Harry Ramdhani


Rabu sore di Kedai Alania. Seperti biasa, orang-orang di sana sibuk memainkan gadget mahal miliknya. Kedai Alania, tempat ngopinya asyik dan harganya bersahaja untuk tanggal berapa saja.

***

Asap rokok mengepul di udara, sampai-sampai aroma kopi tak tercium baunya. Kipas angin yang menempel di tembok seakan hiasan belaka. Persetan dengan perokok yang tak tahu area.

Pula, senja sore ini tertutup oleh kepulan asap para perokok yang berdosa. Sungguh nista bukan mereka?

Kopi yang sedari tadi kupesan tak mampu berbuat apa-apa. Goyangan asapnya kalah dengan mosing asap rokok di sana. Dasar pemerintah kota, menempel 'KTR' saja tidak bisa, apalagi mengurus rakyatnya?




Kedai Alania, ketika senja tak lagi terlihat.

Lemparan Bunga Pengantin Wanita

By : Harry Ramdhani


"Cepat lemparkan bungamu, aku sudah tidak sabar untuk bisa menikah sepertimu." Teriakmu pada pengantin wanita yang langsung mengalihkan perhatian ke arahmu.

***

Membawa pasangan ke resepsi pernikahan adalah bukti kalau kita akan menyusulnya nanti. Entah dengan siapa? Mungkin dengan orang yang kita bawa atau mungkin dengan orang yang kita temui di resepsi. Aku sendiri tidak tahu. Memaksa kehendah Tuhan, merupakan tindakan bodoh, bukan?

Kalau saja kita tidak bertemu di resepsi pernikahan kala itu, mungkin orang yang ada di sampingku ini bukanlah kamu. Padahal, dulu, kita bertemu dengan membawa pasangan masing-masing. Ternyata pemilik sekaligus pencipta jalan adalah Tuhan.

***

"Saya terima nikahnya… "



Perpustakaan Teras Baca, 27 Agustus 2013

Kantor Terakhir

By : Harry Ramdhani
 



"Angka perselingkuhan tertinggi terjadi di kantor."
Kutipan dari sebuah penelitian di salah satu rubrik surat kabar nasional.

Karena penelitian itu, hubungan kita berantakan. Padahal, apa urusannya mereka dengan kita?

***

"Coba, deh, baca koran ini." Katamu, "Semoga kamu bukan salah satu dari mereka. Semoga saja." Nada bicaramu semakin ketus.

"Hah!? Kau percaya pada penelitian ini?"

"Ya, aku percaya saja. Toh, akhir-akhir ini kamu sudah jarang memberikan kabar, sekalipun itu sekedar mengingatkan makan."

"Tapi,…"

"Tapi kamu sedang sibuk dengan selingkuhanmu. Tapi kamu sedang makan berdua selingkuhanmu. Tapi kamu…"

Laki-laki lebih baik diam ketika perempuan sudah permainkan logikanya. Baginya, semua sama.



Perpustakaan Teras Baca, 26 Agustus 2013

Patahnya Kesetiaan

By : Harry Ramdhani


Tahukah kau, kekasih, bahwa duduk di halte adalah adegan paling romantis? Atau mungkin, aku sendiri yang baru sadar?

Di halte, aku temukan kesetiaan. Kesetiaan ketika menanti yang bisa buatku bahagia dikemudian hari.

***

"Kamu di mana? Aku tunggu satu jam lagi di halte tempat biasa." Pesan singkatmu yang tak lagi kujumpai. Padahal, dulu aku sudah berusaha datang lebih cepat dari aroma parfummu yang sering lebih dulu menjumpai hidungku dengan menyengat.

Untuk pergi lebih enak gunakan kendaraan pribadi, "Karena bisa pergi ke sana-ke mari sesuka hati." Katamu dulu. Tapi, kau malah pergi meninggalkanku sendiri di sini, di halte, tempat kita bertemu dulu. Good bye.



Perpustakaan Teras Baca, 25 Agustus 2013

Rindu Tak Melintas

By : Harry Ramdhani

 gambar

Karena rindu adalah ketika kau duduk di teras rumah sembari menyiram beberapa tanaman di pot dan menunggu seseorang yang biasa lewat, tapi sudah siang begini tak (lagi) kunjung terlihat.

***

Ketika rindu hinggap, langit seakan berubah gelap. Layaknya oase di padang gurun, rindu bisa membiaskan penglihatan dari kenyataan.

Rindu tak menyayat hati, hanya pikiran yang tersakiti.

***

Dan, rindu mendekap pikiran yang terbiasa melihatmu walau sepintas melintas. Sebisa mungkin aku melawan pikiran ini supaya tak terus berandai.

Andai kau tau aku merindu.



Sekolah Global Mandiri, 23 Agustus 2013

Terselamatkan Hujan

By : Harry Ramdhani


Bukannya aku takut sampai sekarang belum pernah datang ke rumahmu,-- walau sekedar silaturahmi pada bapak-ibumu --tapi sesaat sebelum berkunjung, aku sudah bawakan sekotak martabak keju bangka, kau bilang, "Itu sudah biasa. Tidak ada yang istimewa."

***

Hujan siang ini aku berteduh di pelataran toko yang sedang tutup. Sebenarnya di dalam jok motorku ada jas hujan, tapi entah kenapa, aku tidak ingin kenakan. Bagiku, itu sama saja ketika aku bawakan martabak keju bangka ke rumahmu.

Hujan merupakan alasan terkuat untuk memperlambat rasa takut yang berlebihan. Setidaknya berguna untukku yang sekarang ketakutan ketika kau memintaku datang ke rumahmu. Terimakasih, hujan, aku terselamatkan.




Kamar #peang, 24 Agustus 2013

Malam Pelarian Setan

By : Harry Ramdhani

Pada satu malam, kau jiwai aku dengan kerinduan pilu. Pula, setubuhi aku dengan birahi yang terselimut nafsu. Kau sudah tak karuan.

Melawan nafsu perempuan sama saja membunuh jati diri lelaki. Lelaki yang perkasa bisa dibuatnya lunglai tak berdaya. Malam ini aku ingin lari, entah kemana? Entah secepat apa? Walaupun tak secepat kanguru yang berlari dengan satu kaki, tapi tak ada salahnya mencoba demi selamatkan jati diri.

***

Sejatinya, jika ada perempuan yang bisa melawan nafsu, pastinya Ia sudah bisa lebih baik daripada kancil yang kalah bertanding lari dari kura-kura.

Kenakan pakaianmu sebelum tubuhmu bergeliat dan dipermainkan setan. Sungguh, aku tak tahan.



Kamar #peang, 22 Agustus 2013

Perjalanan Kacau

By : Harry Ramdhani


 Sore ini kau ajak ke taman.

Katanya, indah kalau melihat senja dari sana. Ah, aku tidak percaya. Senja di mana-mana sama, yang beda hanyalah rasa yang dibawa ketika pergi ke sana.

Selama perjalanan kau tak henti meracau dan rasa yang kubawa sekarang hanya pikiran yang kacau.

Dasar perempuan, sabar tidak berlaku mungkin bagi hidupnya. Pula, cerewetnya, ingin pergi, tapi tak mau berhenti cerita sana-sini. Ah, di mana serunya?

***

"Dulu aku pernah ke sana dengan mantanku." Tetiba kau cerita mantanmu. "Di sana, dia sering berikan pundaknya untuk tangisku. Keluh-kesahku. Kemudian tak lama dia bisa ubahnya jadi tawa. Aku senang ke sana."

Aku tidak peduli. Sungguh!!




Kamar #peang, 21 Agustus 2013

Akhir dari Sendawa

By : Harry Ramdhani



Kata orang, bersendawa adalah tanda sudah kenyang. Sedikit tidak sopan, sih, tapi layaknya kentut, sendawa sulit diperhitungkan kemunculannya. Terlepas begitu saja.

***

Sudah enam tahun kita pacaran namun, ada saja yang kurang, tapi apa? Maukah kau akhiri hubungan ini sekarang?

Jujur, selama ini aku cuma takut 'tuk katakan. Takut ada yang tersakiti. Takut ada yang hilang dari rasa yang tak berujung pasti ini. Semoga kau berpikir demikian. Semoga kita sama-sama siap untuk terima kenyataan.

***

"Jaga dirimu baik-baik. Kelak, kita akan bertemu untuk berbagi kisah bahagia dari cerita cinta kita yang tak sejalan."

Ternyata ini yang kurang, aku paham sekarang.



Kamar #peang, 20 Agustus 2013

Aku Masih Diacuhkan

By : Harry Ramdhani


Sabtu siang di Stasiun Tanah Abang. Para penumpang sibuk dengan telepon genggam dan aku malah asyik memperhatikan. Masa keemasan teknologi sekarang, menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh.

***

Dulu aku sedih ketika sadar bahwa banyak tulisan wartawan di surat kabar yang di kesampingkan. Serius. Jika kalian naik kereta, koran berguna jadi alas duduk, jadi kipas majemuk (satu koran bisa dibuat banyak kipas).

Lihat, penjual korannya, sampai lusuh di depan loket stasiun. Wartawannya, kepanasan memburu sumber berita dan kedinginan membuat naskah berita.

***

Baiknya aku pergi dari sini, tempat di mana surat kabar bisa lebih dekat dengan pembeli, tapi jauh dari maksudnya sendiri.




Antrian di loket stasiun, 19 Agustus 2013

Malam (Pertama) Tanpamu

By : Harry Ramdhani



Sudah malam, kekasih, sehabis hujan begini biasanya tidak ada nyamuk-nyamuk yang menyerang dan tidur-pun jadi nyaman.

***

Malam itu, kekasih, hujan sedang berpihak pada Dewa Kesedihan. Ia merangkulku erat sampai baju yang basah tidak membuatku kedinginan.

Malam itu, kekasih, malam di mana aku tidak lagi mengucapkan: Sampai ketemu lagi di mimpi, Pelangi, obrolan kita tadi begitu indah jika harus diakhiri.

Malam itu, kekasih, tanpa sebab yang jelas, seakan kau menghadiahi sebuah batu nisan, tanda sebuah akhir dari hubungan.

Kekasih, jika bertemu (lagi) di alam mimpi, tolong tegur aku dan katakan, "Di sana (alam nyata) hanyalah mimpi, tenang, di sini semuanya bisa terjadi."




Kamar #peang, 18 Agustus 2013

Turis Asing di Negeri Sendiri

By : Harry Ramdhani


"Pinggirkan… PINGGIRKAN!!" Teriak PM padaku dulu. "Kamu tahu, ini sedang penurunan bendera. Tidak cinta Tanah Air." Braaak. Aku dikemplang hingga helm-ku terbelah.

***

Saat ini aku enggan bicara kepahlawanan, perjuangan, dan apalah itu yang bersangkutan dengan kemerdekaan.

Selewat di depan rumah salah seorang angkatan darat, Aku lihat bendera merah-putih yang berkibar dengan penuh lipatan di mana-mana.

Tahu artinya? Bendera itu tersimpan terlalu rapi di dalam lemari atau bahkan sampai tersembunyi.

Ah, pengorbanan, kecintaan, katakan itu pada Tukang Asongan. Sekarang ini aku lebih mirip turis asing di negeri sendiri. Lebih baik aku pergi, siapa tahu bisa jadi turis dalam negeri.




Di bawah tiang bendera tanpa bendera, 17 Agustus 2013

Flat

By : Harry Ramdhani


Hidup itu sungguh datar, bahwa pemaknaannya saja yang terkadang berlebihan. Jika berusaha lebih dari biasa, maka hasil yang didapat pasti berbeda. Lain hal jika tidak berusaha, maka tahu sendiri hasilnya… tidak ada.

***

"Tidak perlu berlebihan dalam hubungan kita, karena awal dari cinta adalah pernikahan, bukan sedih-senang bersama seperti sekarang." Aku hanya menelan ludah saat Ia mengatakan itu.

"Yup. Layaknya hidup, awal dari kehidupan adalah kematian." Jawabku.

Sebisa mungkin, aku berusaha menjalin hubungan ini selalu dalam masa pendekatan dan sampai nanti akan tiba saatnya memulai cinta dalam ikatan pernikahan.

***

Apakah kau sadar, kekasih, hidup ini telah pertemukan kita untuk sebuah perpisahan.




Di sebuah jalan sepi tempat menikmati kopi yang tak lama di singgahi, 16 Agustus 2013

Bertahan Hidup

By : Harry Ramdhani


"Masih ingat cara bertahan yang baik dalam futsal?"

"Eumm,… Man to Man Marking?"

"Bukan. Bertahan yang baik dalam futsal adalah menyerang."

***

Beginalah cara untuk hidup, dengan terus bertahan. Menoleh ke belakang, aku selalu bertahan sampai sekarang. Lihat, tiga buku best seller, mengisi kolom di koran mingguan, membuat cerita untuk beberapa film. Hasilnya, lumayan, bisa untuk hidup sehari-hari tanpa membebani orang lain.

"Kau ingin sepertiku?"

"Yup."

"Dasar bodoh. Lakukan lebih dari yang telah aku lakukan sekarang."

"Contohnya?"

"Sebagai awal, lakukan apapun yang kau bisa lakukan, bukan melakukan yang sekedar kau 'mau' lakukan. Lalu lihat hasilnya, pasti menyenangkan."





Perpustakaan Teras Baca, 15 Agustus 2013

Tinta di Kemeja

By : Harry Ramdhani


Kita bertemu di kereta. Orang-orang dari belakang terus mendorongku dan semakin mendekatimu. Beginilah hambarnya hidup, pertemuan tidak dibarengi dengan kenalan.

Pula, gadget yang buatmu sibuk di tengah kesibukan orang-orang berdesakan. Aku menahan dorongan dari belakang, tapi seakan kau tidak memperdulikan.

***

Dua stasiun lagi aku mesti turun dan kita masih tak saling tegur. Aku putuskan untuk lebih dekat ke pintu sekarang.

Aku turun meninggalkan penyesalan di dalam, layaknya noda tinta di kemeja bekasnya menempel tersisa seperti noda.

Pula, kesedihan membuat badanku semakin gerah. Aku duduk di peron menyesali kenyataan. Hingga pada akhirnya, kau menepuk punggungku dari belakang.


Kamar #Peang, 14 Agustus 2013

Lidahku Pisauku

By : Harry Ramdhani



Lidah memang lebih tajam daripada pisau, tapi tajamnya lidah tak bisa mengupas kulit kentang, bukan?

***

Sudah tiga bulan menyandang gelar sarjana pendidikan tidaklah senikmat memasak di dapur. Walau gelarku ini berfokus pada tata boga, tetap saja meja kantor tempatku nanti bukan meja dapur.

Aku pernah bertemu seorang ibu tua di dekat taman kota. Ia adalah seorang penjualan makanan di sana. Awalnya aku percaya diri bertemu dengannya, tapi setelah mencicipi masakannya, aku malu sendiri dibuatnya. Aku sampai lupa diri.

Mana mungkin rasa soto ayam biasa ala kaki lima bisa bergoyang-goyang di lidah?

Penelitian tidak semata soal pendidikan, tapi juga dalam menciptakan masakan.




Kamar #peang, 13 Agustus 2013

Bila Sakit Berlanjut Segera Hubungi

By : Harry Ramdhani


Karena sakit adalah soal pikiran. Ketika semakin sering memikirkan penyakit itu, maka semakin sulit juga untuk disembuhkan. Alihkan pikiran ketika sedang sakit.

***

"Aku tidak ingin pergi ke dokter."

"Kamu sudah seminggu lebih tidak juga sembuh."

"Nanti juga sembuh sendiri. Ada obat kok di warung. Sama aja."

"Kalau besok masih gak sembuh, ke dokter."

Bukan karena aku takut ke dokter atau obatnya yang bisa buatku tercekik, tapi aku tahu cara untuk menyembuhkan diri. Tanpa dokter-pun, aku bisa sembuh.

Keesokan harinya aku dibawa ke klinik dekat rumah dan tiga hari kemudian sembuh.

***

Dokter memang memiliki wajah semenakutkan setan, tapi tangannya adalah perwakilan Tuhan.



Kamar #peang, 12 Agustus 2013

Cintai Masakan Rumah

By : Harry Ramdhani


"Makan apa aja yang ada. Gak usah pilih-pilih makanan. Nanti, kalau Mamah udah gak ada, siapa yang mau masakin?" Kata Gomah ketika mengingatkanku supaya tidak lagi jajan di luar dan makan di rumah saja.

***

Gomah (panggilan buat Mamah) adalah koki terhebat. Tidak ada yang meragukan. Bahkan ucapan orang-- yang tidak aku kenal --di hajatan tetanggaku beberapa tahun lalu.

"Masakan Ibuku udah paling enak, tapi masakan ini jauh lebih enak dari masakan Ibuku."

***

Kapanpun, setiap aku terpaksa makan diluar, ketika sampai di rumah-pun aku pasti makan lagi. Sekedar menghargai masakan Gomah.

Aku mencintainya Gomah, seperti Gomah mencintai makanan yang Ia masak sendiri.



Perpustakaan Teras Baca, 11 Agustus 2013

Maafkan Aku, Bir Hitam

By : Harry Ramdhani


Dosakah seorang Amilin meneguk bir hitam dari jatahnya? Mungkin sebatas busa yang menoda.

***

Katamu,"Lumayan, dapet jatah untuk Amilin."

Tadinya aku ogah menerima, tapi memang sudah begitu aturannya.

***

Aku bawakan sebotol bir hitam kesukaanmu, tentunya aku beli dari jatah Amilin. Toh, itu semua lagi-lagi demi kamu.

Kau memang seperti bir hitam, busanya cepat naik kepermukaan dan cepat juga turun menempel di sisi gelas.

Ketika kau menangis, aku hanya bisa melumat bibirmu. Bibir tipismu. Memang itulah caraku untuk meminta maaf atas perbuatanku yang mungkin tak sadar telah membuatmu sedih seperti ini.

Pastinya hingga bibirmu penuh busa seperti bir hitam.

Maafkan aku, sayang.




Segelas bir hitam dalam kamar yang sepi, 10 Agustus 2013

Negeri Kayangan

By : Harry Ramdhani


Gegara serial 'Kera Sakti', dulu, aku percaya ada Negeri Kayangan. Negeri di atas awan.

***

Mungkin di sana, di atas awan, hidup terlalu mudah daripada di bumi, tempat manusia saling sikut-sikutan.

***

Bidadari bertebaran di sepanjang jalan, bukan untuk jual badan, tapi mereka penunjuk arah menuju Negeri Kayangan. Pasti tidak akan tersasar, bukan?

Hari ini, aku dipanggil pemimpin Negeri Kayangan, katanya, "Makhluk Bumi sudah merusak Kayangan dengan mencemarkan asap dari pembakaran hutan."

***

Aku pulang diantar dua bidadari ASLI Negeri Kayangan. Cantiknya bukan buatan dan mereka adalah senjataku untuk menyadarkan makhluk Bumi yang suka mencemarkan asap dari pembakaran hutan.

Lelaki pasti takluk oleh wanita cantik.




Kamar #peang, 9 Agustus 2013

Menarik Ayunan

By : Harry Ramdhani


AH! Lebaran. Ini hari kemenangan. Hujan.

***

Menjelang petang, angin ribut beserta hujan datang beriringan. Bajuku basah kuyup sebadan-badan, tapi aku berteduh sendirian di Taman Kanak-Kanak, tempatku pertama belajar baca-tulis-hitung.

Sepi, itulah kebiasaan di daerahku ketika lebaran, bukan ketupat dan rendang yang tersaji di meja makan.

***

Tetiba ingatanku tersedot pada sebuah ayunan. Ayunan yang sedikit menyimpan kisah-kisah semasa sekolah di sini. Lucu memang masa kecil jika diingat.

Ayunan itu tempat kita saling bertukar bekal makanan. Ketika yang lain sedang asyik main perosotan, kau menarik tanganku ke ayunan. Manis memang.

***

Andai kau ingat, itu pertama kali kita ciuman.



Kamar #peang, 8 Agustus 2013

Tentang Rumput Tak lagi Bergoyang

By : Harry Ramdhani

Adakah yang bisa dilakukan rumput selain bergoyang?

***

Ebit G. Ade berdendang di vinyl tua sepeninggalan Kakek tersayang. Suaranya masih jelas, sejelas semua ingatanku dulu.

Kakek adalah seorang pendongeng terhebat. Tempat favoritnya berdongeng bukan di kamar, tapi tepat di sebelah vinyl-nya. Suara-suara lagu yang diputar dijadikan efek cerita.

***

Aku jadi ingat, lebaran 17 tahun lalu, saat usiaku masih enam tahun, kakek berdongeng kisah kancil dan kura-kura.

"Kancil kebingungan, Ia jauh meninggalkan kura-kura di belakang." Kakek menirukan suara kancil.

Suara Ebit melatari suara Kakek berdongeng, tak lama kemudian, Kakek diam. Tertidur masih memangku aku dan dongengnya yang belum selesai.



Perpustakaan Teras Baca, 7 Agustus 2013

Liburan di Balik Jendela

By : Harry Ramdhani
 
Dan aku tahu ini sudah sore. Dan banyak anak-anak seusia-ku main di luar sana. Bahagia. Maaf, kawan, aku tidak diijinkan bermain keluar dengan kalian dan aku hanya boleh melihat kalian bermain dari dalam.

Kata Ibu, "Seorang penyandang autis seperti kamu, tidak bisa main dengan sembarang orang."

***

Sore ini aku lihat kalian bermain lompat tali dan pasti lelah dan pasti haus dan lihat! Baju kalian basah karena keringat dan itu menjijikan. Seperti ikan salmon di Swalayan dan kalian tampak berlendir.

Lebih baik aku selesaikan permainan Zuma dan ini tidak membuat aku keluar keringat dan berlendir dan aku sangat suka permainan ini.



Perpustakaan Teras Baca, 6 Agustus 2013

Cinta Adalah Anugerah Tuhan

By : Harry Ramdhani
photo


Bagiku,

secara pribadi,
cinta itu
bukan melengkapi,
tapi saling mengisi.

Mengisi relung hati yang kosong,
seperti air dalam tong.
Tak berbunyi
karena sedang diisi.

Karena cinta bukan semata perbuatan,
tindakan,
atau,
pernyataan,
tapi cinta adalah anugerah Tuhan.

Cinta mengajarkan untuk jujur
pada perasaan.
Karena mencintai ada apanya
bukan (lagi) apa adanya.

Ada perhatian,
kasih sayang,
sampai keseriusan.
Dan, materi urusan belakangan.

Mungkin cinta terlihat nyata
ketika pernyataan dijadikan perbuatan.
Mungkin cinta terlihat indah
ketika perasaan dijadikan keseriusan.

Tidak ada yang pasti di dunia
semenjak ada cinta,
bahkan ketika Adam bertemu Hawa.

Karena cinta benar anugerah Tuhan,
semua kepastian hanyalah urusan Tuhan.
Menghendaki sajian-NYA
dan menerima keputusan-NYA.

Begitu cinta mengajarkan.
Pada umatnya untuk tetap
mencinta-dicinta.


Perpustakaan Teras Baca, 5 Agustus 2013
Tag : ,

Di mana Semua Bermula

By : Harry Ramdhani

Di mana semuanya bermula. Dari pagi buta sampai sarapan dengan telur bermata dua.

Seyumanmu tak ayal sinar mentari. Nikmat, indah, dan membuat sehat. Walau itu dari akun instagram-mu.

Kamu, kurang apalagi? Berpendidikan, sudah berpenghasilan dan, tentunya cantik luar-dalam.

Mungkin sudah jadi hafalanku setiap kau katakan, "Aku masih belum bisa lupakan mantan?" Ah,… apa itu cara penolakanmu secara halus?

***

Pagi ini aku menjemputmu. Itu pintamu sebelum tidur semalam. Andai aku juga bisa menjemput perasaanmu 'tuk tinggalkan yang dulu, pasti akan kubawa. Jauh.

Biarlah, dari photo-photo ini aku mulai semua kisah cinta khayalan bersamamu. Sadarkan aku jika sudah terlalu tinggi.



Perpustakaan Teras Baca, 5 Agustus 2013

Surat (cinta) Terakhir

By : Harry Ramdhani

Aku selipkan surat cinta terakhirku untukmu, di antara bab dalam buku puisi yang kau suka.

"Aku suka semua surat-surat cintamu." Katamu dulu saat aku berikan surat cinta kedelapan. Adalah caraku untuk membaharui cinta.

Yup, cinta perlu diperbaharui setiap hari, setiap ingat bahwa hubungan ini memang karena cinta, bukan nafsu birahi semata.

Dan ingat, kebosanan adalah benalu dalam setiap hubungan.

***

Aku beranikan untuk kali terakhir mengirimu surat cinta, karena hubungan kita sudah terendus orangtua.

Biarpun terasa getir, kupikir ini cara paling mutakhir. Walau mesti berakhir, tapi aku bisa berikan apa yang kau suka. Sekalipun itu sakit terasa.



Perpustakaan Teras Baca, 5 Agustus 2013

Negosiasi Martunis pada Malaikat

By : Harry Ramdhani

Tidak ada lagi yang Ia punya, Semesta telah merenggut semua. Ya, semua, harta-benda sampai nyawa orang-orang sekitarnya. Kini Ia hidup sebatang kara pasca musibah melanda.

"Inginkah Kau ikut dengan mereka?" Tanya Malaikat.

"Tidak! Biarkan Aku tetap di sini, di tempat musibah memisahkanku dengan orang-orang kesayanganku, walau dengan baju yang menempel di badan ini."

"Siapa yang menghidupimu nanti?" Malaikat kembali bertanya.

"Tuhan. Kalau Tuhan bisa memisahkanku, pasti DIA bisa menghidupiku. Dengan caraNYA tentu."

Malaikat kembali temui Tuhan, menyampaikan semua perbincangannya dengan Martunis.


***


Setelah itu, media ramai memberitakan. Dengan baju sepakbola Portugal, peninggalan Ibunya, Ia bertemu dengan Idolanya, Cristiano Ronaldo. Ia dirawat olehnya.


Perpustakaan Teras Baca, 4 Agustus 2013

Membawa Pelukan Ibu

By : Harry Ramdhani

Di stasiun, aku memeluk kesedihan. Erat. Tak mungkin kulepaskan, hangatnya masih ingin kurasakan. Walaupun airmata ini berceceran, membasahi diri dengan kenangan.


***


"Bu, biarkan aku pergi. Ayah memang tidak mengerti."

"Nak, … " Ibu menangis sambil menarik-narik tanganku karena sudah siap pergi. "Tolong pikirkan matang-matang dulu, Nak." Tangisnya makin-menjadi.


***


Kuberjalan tertatih-tatih, tongkat sebagai ganti kaki kiri. Ayah menghantamnya keras tadi, tapi perjalananku tak henti 'tuk pergi.

Ayah, harkat wanita bukan untuk diperjual-beli, walau untuk sesuap nasi dan seekor ikan teri.

Aku pergi hanya membawa pelukan terakhir Ibu dan memang terasa getir. Hanya pelukan ini aku harap kembali nanti.




Perpustakaan Teras Baca, 3 Agustus 2013

Tanpa Sayap menuju Kayangan

By : Harry Ramdhani

Mestinya kesabaran itu seperti keinginan, tak ada batasnya. Tak berujung membela dada melihat hati, bahwa keseriusan mempertemukan kesuksesan.


***

"Walau tanpa sayap, aku percaya, kau tetap bisa terbang menuju Kayangan. Di sana, kau bersama bidadari tanpa selendang."

Tak perlu murung, kau cantik tak-ketulungan. Hubungannya? Apapun bisa dilakukan, bahkan dapatkan asalkan cantik, bukan baik.

"When you're there, you can do anything."

Tempatmu bukan di sini, denganku, di lembah rimbun para pelamun. Tempatmu di sana, di Kayangan dengan para bidadari menunggu lelaki baik yang mesti kau temani.

"Percayalah, work it."

Tapi ketika nanti kau sudah di sana, ceritakan betapa indahnya Kayangan. Tapi banyak orang sebut Surga.



Perpustakaan Teras Baca, 3 Agustus 2013

Rangsangan Terakhir

By : Harry Ramdhani
"Secepat itukah?" Katamu dengan nada lesu. 

"Ya, ini sudah waktunya. Bukan inginku meninggalkanmu di sini, tapi ini sudah jadi jalanku 'tuk pergi. Kembali adalah harapanku, menikahimu adalah mimpi. Semoga bisa sejalan dengan usahaku terus jaga hubungan ini." Aku semakin tidak kuat menahan tangis. 

"Tapi, …" 

Aku cium bibir tipismu, melumat semua kata yang akan kau katakan. Matamu kau tutup, tubuhmu menggeliat, kemudian mengubah ciuman jadi rangsangan. 

Kau semakin menjadi. Tak kuat, kutahan semua supaya indah jika dijadikan kenangan. 

"Aku padamu." Kalimat itu yang kita ucapkan setelah bibir ini selesai menghabiskan ketakutan sebelum adanya perpisahan. 

Aku pergi dan kau di sini, 
menungguku kembali. 





Perpustakaan Teras Baca, 2 Agustus 2013

Luapan Kesedihan

By : Harry Ramdhani
Adakah yang paling sedih daripada tidak bisa mengantarmu pulang ke stasiun terakhir?

Aturan? Hah! Kini hubungan kita terhalang aturan, bahkan saat perpisahan. Ternyata bukan sekedar perbedaan keyakinan.

Aku kurang paham pada mereka, pembuat aturan, yang melarangku dekatmu di peron, di mana tempat perpisahan dan pertemuan tampak serupa.

Meski dengan apalagi aku luapkan kesedihan ini?

Kenapa aturan meski diselimuti Undang-Undang? Apa mereka tak pernah rasakan kehilangan? Apa mereka tak pernah bertemu rindu? Apa hati mereka terbuat dari batu?

Tanpa lambaian tangan, tinggal air mata mengembun di jendela. Dari perlintasan kereta, aku tunggu kau lemparkan senyum terakhir sebagai tanda pertemuan kita nanti.

Hati-hati di sana.




Perpustakaan Teras Baca, 1 Agustus 2013

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -