The Pop's

Archive for August 2014

Tuan-Nyonya Dalam Cawan

By : Harry Ramdhani



lamat-lamat waktu terisi penuh di dalam cawan.
matahari ditelan rembulan,
sepi mengintai dengan penasaran;
apakah sang nyonya malam ini pulang?

sang tuan disuguhkan kejenuhan
yang berlebihan tanpa hiburan.
sang tuan geram,
segalanya ingin sekali dipecahkan
tak terkecuali kenangan.

nyonya dan tuan berpisah di satu waktu
menjelang pemilu.

lamat-lamat waktu terisi penuh di dalam cawan.
jari-jari jam dinding makin terdengar seisi ruang.
raut wajah sang tuan beri isyarat
kepulangan nyonya tak akan pernah terlihat.

sang nyonya seliweran di media massa:
di televisi,
di radio,
di koran,
di dunia maya.
rupa sang nyonya tak ada habisnya
seperti bara api yang abadi.

nyonya dan tuan bertemu di satu waktu
setelah pemilu.

lamat-lamat waktu terisi penuh di dalam cawan.
malam mengganas,
angin mencakar-cakar tubuh ringkih sang tuan
dengan muka yang kucel,
baju yang kumel
sang tuan memohon welas asih pelacur taman.
sudah lama kebutuhannya tidak tersalurkan.

samar-samar lampu taman yang temaram,
rawa-rawa di pojokan bergoyang hebat.
sang tuan mendekat.
dilihatnya baju partai Biru Abu
yang tipis itu dijadikan alas sang nyonya
merintih keenakan. 


Warung Bang Do, 22 Agustus 2014
Tag : ,

Sajak dan Doa Malam

By : Harry Ramdhani



Suara-suara itu akhirnya bungkam
oleh kutukan
yang diikrar lewat doa para pendosa.

Tuhanku,
bisakah kau bedakan
mana doa
dan permintaan;
yang kerap disenandungkan tiap sepertiga malam?

Aku larut
menjadi hamba sahaya yang tak berbentuk.

Dengan hampa tanganku
menjulur ke atas dan di bawah dagu
mencari-cari ke mana akan jatuh
kabulku dari sarang-Mu.



Kamar #peang, 22 Agustus 2014
Tag : ,

Sajak Untuk Sepasang Matamu

By : Harry Ramdhani



Pada sebelah matamu tumbuh taman yang gersang:

Ada ular sebelum mereka melata
Ada pohon luka yang berbuah dosa
Ada sepasang kekasih tanpa pakaian;
kitab-kitab bilang mereka Adam dan Hawa.
Ada sungai yang dulu airnya mengelirkan susu

Iblis sudah tak ada,
Peri pergi bersamanya.

Pada sebelah matamu yang lain ada kota yang gersang;

Orang-orang tinggal di selokan
Buku-buku berdebu di perpustakaan
Tentara-tentara tidak lagi mengangkat senjata;
mereka memegang bunga kamboja.

Tak ada Alim Ulama,
dan pemimpin malah sibuk memuja.

Tapi entah dari mana,
pada kedua matamu memancar cahaya
Tapi entah bagaimana,
pada kedua matamulah aku meringkuk tak berdaya.

Barangkali dari sepasang matamu
lahir cinta yang terulir sempurna.




Kamar #peang, 22 Agustus 2014
Tag : ,

Menunggu Kepulangan

By : Harry Ramdhani



aku hidup
sebelum datang waktu malam.
Angin bawa serta bau badan dan harapan
ke sebuah taman yang gersang.
Di sana aku adalah keindahan yang hilang
yang barangkali bisa buatmu kembali pada kenangan.

Burung-burung gereja bergelantungan terbalik di pepohonan,
bebatuan kerikil menjadi duri,
sementara itu bunga menjelma senapan
yang kapan saja bisa meneror kedatanganmu pulang.

Lamat-lamat cahaya matahari tanggal jua.
Memasuki waktu malam
sepi menjadi cermin
dan jalan pulang begitu berliku dan pilu.

Di udara yang berdebu
ingatan mengembara isi kepala
nafasmu meradang terbuang.
Di taman ini, kau berpijak
tak bisa lagi pulang. Berpaling pun tidak. 

cepatlah datang 
sebelum nanti aku di makan oleh malam. 



Kamar #peang, 21 Agustus 2014
Tag : ,

Sajak Perempuan Bali

By : Harry Ramdhani

Bunga kamboja yang hiasi kedua telingamu
layu.
Kain biru yang menutupi bawah kemaluanmu
memudar warnanya lembayu.
Kebaya putih yang kau kenakan, kekasih,
merekat dan mengikat tubuhmu.
Adakah yang mampu hidup dari dirimu?

Terik siang menyengat ubun-ubun kepalamu,
kutu-kutu kepanasan;
di kepalamu, mereka blingsatan.

Tertulis, "Bali" dari papan yang kau pegang
tapi, yang terbaca adalah "Sepi",
di atasnya tertulis, "Wisata"
tapi, lagi-lagi yang terbaca bukan itu
Orang-orang membaca, "Airmata".
Adakah yang tidak fana dari dirimu, kekasih?











Perpustakaan Teras Baca, 17 Agustus 2014

*ditulis selepas Parade Karnaval Budaya.
Tag : ,

Sajak Laki-laki Malang

By : Harry Ramdhani

Ia hidup di jalan-jalan gelap
dan tumbuh ditiap pertemuan-pertemuan malam,
mukanya tirus karena jarang makan,
rambutnya awut-awutan.

Di bawah sorot lampu jalan,
laki-laki itu menghisap rokok sangat dalam.
Ada yang ingin dibuangnya
ke udara; ke ruang yang tak ada batasnya.

Ia hidup di jalan-jalan gelap
yang berbau melati.
Jalan itu jalan kematiannya.

Sambil membawa kumpulan puisi W.S. Rendra
dan Madilog - Tan Malaka,
aroma tubuh dan jejak langkahnya mudah ditemukan.
Adakah sebuah tempat untuk sembunyi?

Malam adalah sunyi.
Angin adalah sepi.

Laki-laki itu ditimpa kemalangan
karena hidup di zaman pemberontakan.
Di sekolah, ia diajarkan untuk menurut,
tapi di jalan, orang-orang sibuk menuntut.

Laki-laki malang itu ingin sembunyi.

Beberapa orang datang,
semuanya menggunakan jas kulit hitam
seperti ingin memberi pertolongan.
Ia dibawa lari.
Di sembunyikan sampai tak lagi ditemukan.


(Buat Wiji Thukul)
Perpustakaan Teras Baca, 20 Agustus 2014
Tag : ,

Tas Kecil Berwarna Hijau

By : Harry Ramdhani



Lebaran tinggal menghitung hari. Bagi Zahra, lebaran tak ayal adalah hari penantian. Ia ingin tampil cantik hari itu: memakai baju baru, kerudung baru, dan tas kecil yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari itu. Tas kecil itu setiap hari selalu dibersihkan, dilap sampai mengkilap, lalu digantungnya di balik pintu. Sebelum tidur dan memejamkan mata, Zahra terus memandangi tas kecil itu seperti bintang; bergelantungan dan bercahaya. Matanya berkaca-kaca. Tas kecil berwarna hijau itu adalah simbol penantiannya. 

Tas kecil berwarna hijau itu sudah dimilikinya sejak 11 tahun lalu. Sejak kepergian ibunya 11 hari sebelum lebaran. Setelah itu Zahra lupa akan segalanya. Ia hanya mengingat tas itu akan dipakainya. 

“Kamu pasti akan semakin cantik menggunakan tas ini,” ujar ibunya dulu.

“Lalu ibu pakai apa?” tanya Zahra.

“Usia seperti Ibu sudah tidak pantas memakai tas seperti ini,”

“Memang ibu tidak ingin tampil cantik saat lebaran nanti?”

“Bukankah ibu selalu cantik setiap hari, dengan atau tanpa tas ini,”

“Ibu, lihat! Ada amplop di tas ini,”

“Buka saja,”

“Apa isinya?”

“Kamu pasti suka!”

“Tiga lembar sepuluh ribuan. Ini THR untukku, bu?”

“Ya, hadiah atas puasamu tiga puluh hari,”

Keduanya tertawa. Namun, di balik tawa ibunya, seakan ada yang dipendam; sesuatu yang disembunyikan. Tawanya tak selepas biasanya.

Di kamar ibunya, malaikat datang tanpa permisi. Zahra menduga ibunya sedang tertidur selepas sembahyang zuhur. Masuk waktu ashar, ketika senja mulai meniggi, dan dari balkon rumahnya sudah mulai teras hangat, baru diketahui ibunya telah tiada. Hari itu, Zahra berbuka puasa dengan kesedihan yang amat-sangat. 

Zahra seakan tidak percaya. Kematian memang lebih menganehkan daripada lahirnya alam semesta. Tidak ada teori terlebih dulu, hanya ada rumus kekekalan di sana: bahwa tak ada yang abadi selain ketiadaan itu sendiri.

Setelah itu Zahra kehilangan bentuk. Kini hidupnya tak bertanggal dan tak bertahun. Setiap hari, yang diingatnya hanya persiapan menjelang lebaran. Penantiannya akan lebaran, adalah saat-saat yang diingat dengan ibunya.

Sudah 11 tahun berlalu dari kejadian yang menyedihkan itu. Dan Zahra, tetap menanti lebaran dari hari ke hari– meski bukan bulan Ramadan. Aku bertemu dengannya diusia yang matang, ibarat buah, kita berdua sudah bisa langsung dimakan. Kali pertama kita bertemu di taman yang sedikit mendung itu. Ketika senja enggan menampakan diri, aku melihatmu yang sedang duduk-duduk di bangku taman sendiri. Di taman itu, di dekatmu, bunga-bunga tumbuh bermekaran. Burung dara dan burung gereja hidup berdampingan.

Bulan ini adalah bulan penghujan. Setiap hari hujan turun seperti tangis perempuan yang baru saja kehilangan keperawanan. Di taman yang mendung dan hampir diguyur hujan, kita berkenalan. Dengan kerudung biru muda itu, kau terlihat lebih muda. Seperti baru berumur duapuluhdua. Barangkali memang segitu umurmu. Aku sendiri tidak tahu.

Di taman aku ingin melukis pemandangan. Entah, nampaknya semesta memberi jalan dan jalan itu diperindah dengan keberadaanmu. Taman yang mendung dan dirimu, adalah pemandangan terindah sore itu. Akhirnya kita berbincang-bincang banyak di taman. Aku tidak jadi melukis, dan kamu, tidak lagi sendiri. 

“Kamu suka ke taman ini, ya?” kataku.

“Tidak juga. Hanya sesekali,”

“O ya, siapa namamu?” aku menjulurkan tangan.

“Zahra…, kamu suka melukis?”

“Tidak juga. Hanya sesekali,” lalu kamu tersenyum karena aku mengulang jawabanmu.

“Ibuku punya beberapa lukisan di rumah, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana menikmati dan artinya,”

“Lukisan memang tidak perlu dimengerti, seperti puisi, bahkan penyairnya pun kadang tidak tahu apa yang ditulisnya,”

“Tapi aku suka puisi,”

“Sungguh?”

“Ya…, aku suka puisi-puisi Joko Pinurbo, Chairil Anwar, dan lain-lain,”

“Aku pun…, bolehkah nanti lukisanku dihias puisimu?”

Kamu kembali ternyemum. Senyummu, akan aku ingat sampai nanti aku mulai menorehkan cat air ini di kanvas.

Zahra pulang dengan tergesa. Hujan turun sangat tiba-tiba. Aku tidak mengantarnya karena sibuk merapihkan peralatan lukis. Tapi, senyumnya itu sepertinya tertinggal di taman ini. Aku masih bisa mendengarnya. Renyah dan ramah.

Barangkali semesta sudah menulis jalan ceritanya. Barangkali semesta telah melukis bentuknya. Dan, barangkali juga, semesta yang menggaris pertemuan ini. Aku kembali bertemu Zahra di taman yang sama. Senangkah saya? Bukan kepayang.

“Zahra…,”

“Ya,” tapi ia tampak heran.

“Kebetulankah ini? Kita bertemu lagi,”

“Maaf, kamu siapa?”

“O ya, kemarin aku lupa mengenalkan nama. Panggil saja: Pangki…,”

“Apa benar kita pernah bertemu?”

“Tentu. Kemarin. Kamu lupa?”

“…” Zahra meruncingkan kedua alisnya.

“Ayolah…, lukisan memang tidak perlu dimengerti, seperti puisi, bahkan penyairnya pun kadang tidak tahu apa yang ditulisnya,”

“Apa yang kamu katakan? Dan kenapa tahu namaku?”

“Kau yang…,” aku bingung dan tidak tahu mesti menerangkannya dengan apa lagi.

Zahra pergi dengan tergesa. Kali ini bukan karena hujan yang datang tiba-tiba. Tapi, barangkali karena kehadiranku di taman itu. Sepertinya kemarin aku telah melakukan dosa tapi, entah dosa seperti apa. Kemarin aku tidak melakukan apa-apa!

Sore ini aku tidak jadi melukis lagi. aku ingat betul kalau kemarin bukanlah mimpi. Padahal, padaku Zahra sendiri yang memberitahu. Perempuan cantik memang selalu misterius, kataku dalam hati sambil menghibur diri sendiri.

Dua burung dara menghampiri. Kepakan sayapnya menghasilkan angina yang lumayan. Kanvasku yang disandarkan di bangku taman sampai jatuh. Kedua mata burung dara itu berlarian kesana-kemari. Seperti mencari sesuatu. Atau, bersiaga kalau-kalau ada yang menangkapnya. Jaga diri lebih tepatnya. Dan benar saja, ada yang datang. Sepasang burung dara itu langsung terbang. Seorang lelaki yang mukanya makin mengkilap karena kejatuhan sinar sore itu di taman  mendatangiku. Ia langsung duduk tampa terlebih dulu permisi.

“Tidak usah lagi kau dekati Zahra,” kata laki-laki itu sambil membuang asap rokoknya yang tebal.

“Maksudnya? Kenapa bisa tahu?” aku memalingkan wajah ke arah laki-laki itu. Habis ia bicara tanpa melihatku. Mata dan pandangannya lurus ke depan saja.

“Sudah 11 tahun kami menjaganya. Setiap hari tanpa ada jeda. Ia lebih berharga dari segala yang kami punya,”

“Aku masih tidak paham maksudnya,”

“Sudah, tidak perlu lagi kau dekati dan kemari!!”

“Aku sama sekali tidak mendekati Zahra, itu yang pertama. Dan yang kedua, kami hanya bertemu sekali di sini. Itu pun kemarin. Sebelumnya aku tidak menduga akan bertemu dengannya lagi,”

“Ikuti saja kataku, atau nanti akan aku ledakan kepalamu!!”

“Baiklah…,” sebenarnya aku takut, tapi rasa takut itu tertutup rasa bingung dan heran yang berlebihan.

“Kami sudah lelah. Aku tidak ingin ada orang yang mempermainkannya,”

“Tentu!! Karena saya belum melakukan apa-apa padanya,”

“Mungkin kalau aku tidak kemari, kau akan melakukan apa-apa,”

Lalu laki-laki dengan kulit yang mengkilap itu menceritakan semua. Dan aku juga baru tahu kalau itu ayahnya. Pantas saja kepalaku ingin diledakan kalau berbuat macam-macam. Tapi, dengan sedikit penjelasannya, aku bersedia ikut menjaganya. Baru kali ini aku tertarik pada perempuan yang baru pertama bertemu. 

Zahra, kaulah pemilik waktu. Dengan sesuka hatinya kau putar waktu itu ke belakang. Kau tidak mengenal kenangan; karena hari ini terjadi berulang.

Melukis Taman, Melukis Kenangan

Aku datang lebih dulu darimu. Satu jam sebelumnya. Menjelang kedatanganmu ditandai kawanan burung gereja yang hinggap di mana-mana. Taman ini berubah jadi berwarna cokelat. Tidak ada sepasang burung dara yang kemarin datang. Bunga-bunga yang sudah bermekaran dari beberapa hari lalu, hari ini, entah kenapa, menjadi semeakin cerah. Hari ini aku melihatmu yang sama seperti dua hari lalu. Kerudung biru itu… aku suka melihatmu memakainya. 

Senja datang perlahan. Dan kau, tiba sebelum senja mulai meninggi. Lukisanku sudah setengah jadi, aku melukis taman yang tengahnya terpampang jam gadang. Di sini, waktu dan kejadian seperti sejarah yang tak pernah terjadi.

Dengan senyum itu, kau kembali mengingatkan pada pertemuan pertama kita. Senyum yang ramah, yang renyah. Kita berbincang seperti tidak pernah bertemu. Kita saling berbagi cerita. Sayangnya aku sudah tahu kamu, jadi aku tidak lagi begitu terkesan tentang ketidak-pahamanmu terhadap lukisan dan kesukaanmu terhadap puisi.

Aku sudah menduga sebelumnya, kau akan pulang dengan tergesa. Maka dari itu, aku hadiahi kau sebuah lukisan yang di belakangnya ada namamu dan sepotong sajak dari puisi Agus Noor: 

aku masih saja menerka-nerka:
lebih merah mana,
senja
ataukah
luka
yang kau sembunyikan sejak lama.*)

Cerita Tas Kecil yang Lain

Suara adzan isya’ melengking di udara. Mungkin sampai luar angkasa. Sebab ada bintang yang jatuh dan melintas sesaat. Diiringi suara adzan, aku menelungkupkan kedua tangan dan berdoa: berilah keselamatan pada Zahra sampai kapan pun juga, Tuhan. Keselamatan seperti seorang lelaki yang kau beri perlindungan di dalam sebuah mutiara pada zaman Ibrahim. Berilah ia kenangan-kenagan yang lain, yang mampu diingatnya di kemudian hari.

Selain ke taman, Zahra juga suka ke toko tas di persimpangan jalan rumahnya. Sebuah toko tas yang cukup tua. Malam ini aku ingin menjadi karyawan tas di sana. Aku menjelaskakn semua tentang niatku pada Zahra ke pemilik toko itu dan akhirnya diizinkan juga. Zahra datang dengan mengenakan kerudung merah muda dan cardigan biru bergaris ungu di lengannya. Tampak sederhana, tapi terlihat istimewa. 

“Mau cari tas yang seperti apa, Mba?” tawarku.

“Tas yang cukup untuk menaruh satu dompet dan satu telepon genggam. Ada?”

“Tentu ada. Untuk siapa tasnya?” 

“Ibuku,”

“Bagaimana dengan tas ini?” aku menunjukkan tas kecil yang berwarna merah. Semestinya aku keluarkan yang warnanya putih. Seperti yang sudah-sudah.

“Bagus juga, berapa harganya?”

“Tapi ini tidak dijual,”

“Kenapa ditawarkan?”

“Aku hanya mengira-ngira saja sebelumnya dan sepertinya ini cocok. Tapi sayang, tas ini tas ibu saya,”

“Katakan saja berapa, biar aku bayar,”

“Ibuku suka sekali puisi, banyak sekali buku-buku puisi menumpuk di raknya. Tapi, akhir-akhir ini ibu saya sepertinya bosan membaca puisi yang itu-itu saja. Kata pemilik toko ini, kamu suka puisi dan bisa menulis puisi juga. Siapa tahu kalau ibu saya suka, ia mau memberi tas ini untukmu,”

Di sisi yang agak berjauhan denganku, pemilik toko tas itu terlihat cemas. Aku melanggar yang persetejuan yang tadi telah disepakati bersama. Zahra diam sebentar, seperti memikirkan sesuatu. Tanpa awalan ia mengiyakan. Akhirnya kami keluar dari toko tas itu dan pindah ke seberang jalan. Ada kedai kopi yang buka sampai tengah malam. Di sana Zahra menuliskan sebuah puisi untuk menukarnya dengan tas merah kecil itu. 

Zahra melipat kertas yang sudah ia tulis puisi itu. Dan mengingatkan untuk tidak dibaca terlebih dulu. Untuk ibumu, katanya. Aku memberikan tas merah kecil yang telah kujanjikan. Dan setelah tukar-menukar itu, aku mengantarnya pulang. Jalan kaki. Karena jarak antara kedai kopi dan rumahnya cukup dekat. Terpeleset pisang juga sampai barangkali.

Zahra sudah masuk kamarnya. Di luar rumah, kepalaku ditodong kayu balok bekas oleh ayahnya. 

“Mestinya dari dulu sudah kupercahkan kepalamu, Bajingan,”

“Ada apa?”

“Ke mana tadi kau bawa pergi Zahra?”

“Aku hanya mengajaknya minum kopi di dekat toko tas itu,”

“Kau sudah mengubah pola dalam hidupnya! Kau tahu, besok pagi, kepala akan sakit bila ada yang berbeda sebelumnya,”

“Mana mungkin, ia akan lupa hari ini selamanya. Ia tidak bisa mengingat lagi,”

“Bajingan! Pergi!!!”

“Saya…,”

“Pergi!!!”

“Tapi, saya…, ngng…,”

“Keluarga ini tidak ingin melihatmu lagi. Kalau kau masiih berani, aku akan sungguh-sungguh menghancurkan kepalamu!!!”

Aku tidak suka pada diriku sendiri.
Sepotong sajak dari Zahra aku baca ulang. Terus-menerus. Berkali-kali sampai aku hafal isinya.
Bagi para penyair, Ibu,
tanganmu tak ayal samudra biru
yang tak kenal dasar, yang tak kenal tepi,
yang tak (lagi)… aku kenali.**)

Aku mengutuk diriku sendiri. Menyayat lengan dengan silet, mengadu kepala dengan tembok; aku ingin tahu lebih keras mana, kepalaku atau tembok itu. Bodoh! Menjelang sore, aku pergi ke taman tempat Zahra biasa datang. Tapi, tidak ada dia di sana. Ke mana?

Ada yang menepuk pundakku dari belakang. Ayahnya Zahra. Aku takut karena masih berani ke sini. Aku takut kepalaku akan dihancurkan. Entah ada apa, ini kali pertama ayahnya tersenyum padaku. Walau senyumnya tak seindah anaknya, tapi cukup buatku senang. Ia mengajakku ke rumah. Ada yang diperlihatkan, katanya.

Dasar laki-laki tua, katanya ingin memperlihatkan sesuatu tapi, selama perjalanan menuju rumahnya aku sudah diceritakan semua. Zahra sudah sembuh. Ia telah bisa mengingat semua. Meski ia belum bisa menerima bahwa ibunya telah tiada.  Dan tas hijau itu, tetap digantungnya di balik pintu. Setiap kali menulis puisi, ia menaruhnya di sana. Sambil berdoa kalau kelak ibunya akan membacanya.

Ternyata dengan menulis puisi bisa juga untuk mengembalikan ingatan. Atau, lebih tepatnya merawat ingatan. Menulis memang obat yang paling mujarab.

Zahra, kaulah pemilik waktu. Dengan sesuka hatinya kau putar waktu itu ke belakang. Kau tidak mengenal kenangan; karena hari ini terjadi berulang.


(Cerita buat Siti Zahra)
Perpustakaan Teras Baca, Juli – Agustus 2014
*) dari puisi Agus Noor, Sajak-Sajak Kecil kepada M.
**) dari puisi saya sendiri, Salim.
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -