The Pop's

Archive for February 2014

Semenjak Ganti Redaktur, Ndak (lagi) Bisa Ngawur

By : Harry Ramdhani


Betapa sulitnya kini saya menulis karena perubahan redaktur. Mendadak saya mesti mengikuti pola pemikiran, tujuan, dan segala macam tetek-bengeknya. Menulis di Kompasiana-pun saya menjadi kagok. Selain ingin menulis dengan apa yang saya ingini, saya juga mesti memikirkan 'bagaimana caranya supaya di-share oleh momod (sebutan untuk admin moderator di akun Kompasiana) di twitter.

Redaktur memiliki kewenangan lebih, karena mereka-merekalah yang tahu pasar ingin apa, pasar mesti diberikan apa, dan lain sebagainya. Sebagai komunikator, saya terpaksa dan nampaknya ingin keluar saja. Daripada seperti makan di Rumah makan padang, tapi yang menjual bukan orang padang. Kurang nendang.

Saya jadi ingat, minggu lalu saya makan di Rumah Makan Padang. Seperti biasa, kalau makan pakai uang sendiri, saya tidak pernah memesan ayam (bakar/goreng) atau rendang, pasti saya lebih memilih menu-menu yang remeh-temeh dan murah seperti telor dadar, jengkol, dan, peyek udang. Toh, makan nasi padang tanpa lauk sebenernya sudah lengkap.

Namun hari itu berbeda, saya makan di Rumah Makan Padang di mana pemiliknya berasal dari jawa. Artinya, dari yang memasak sampai hasil masakannya pasti berasa 'lidah jawa'. Bukannya saya tidak suka, asalkan harganya murah tentu rasa menjadi urutan nomor dua.

Tapi, di lain hal, saya jadi memikirkan betapa inginnya pemilik Rumah Makan Padang tersebut mengikuti keinginan konsumen. Mayoritas orang-orang lebih memilih masakan padang daripada masakan warteg. Padahal, masakan khas daerah Jawa tidak kalah peminat.

Dibidang jurnalistik pun demikian. Saya mengenal banyak jurnalis kampus dengan segala tulisan dan pemikiran yang tajam, mendadak tumpul ketika mereka memasuki dunia kewartawanan yang lebih profesional. Entah. Tidak lagi saya membaca karya tulisnya yang mampu menggerakkan orang yang membacanya.

Tidak mudah ternyata memasuki dunia profesional yang mengatas namakan kepentingan khalayak pasar (konsumen). Padahal, pasar ialah kita yang membentuk, bukan malah menurutinya. Orang-orang ngawur yang jujur perlahan hilang menjadi nurut tapi, munafik.

Perihal ke-ngawuran, ngawur ialah sifat manusia yang jujur. Betapa indahnya melihat kejujuran di tengah masyarakat kini yang munafik. Ini yang kurang dimanfaatkan oleh banyak penguasa modal. Sebagai komunikator, kita punya peluang yang lebih besar mengubah perilaku komunikan, bukan malah menjijili komunikan dengan yang mereka inginkan.

Ingin ngawur tapi, jujur. Atau, nurut tetapi malah jadi munafik? The choice is your.




Perpustakaan Teras Baca, 25 Februari 2014

Hujan Datang, Rindu Meradang

By : Harry Ramdhani



Hujan.
Di perpustakaan.
Lagu dari radio tua berdendang.
Rindu berdenyut dalam kesunyian.
Aku kesepian.

Dingin.
Rindu selimutiku.

Malam.
Kantuk enggan menyerang.
Sampai pagi menjelang.
Berbaring rindu tanpa pakaian.

Satu batang rokok.
Habis terbakar nafsu.
Satu cangkir kopi.
Habis dikerumuti rindu.

Ayam-ayam bangun.
Aku masih mencari api unggun.
Rindu tak cukup selimutiku.
Namun nafsu sampai di kepala terlebih dulu.

Aku.
Terkekang.
Bayang-bayang.
Selangkangan.





Perpustakaan Teras Baca, 25 Februari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Rinduku di Antara Mata dan Bibirmu

By : Harry Ramdhani
Kutulis ini setelah terbangun dari mimpi.
Di sana, kau tetap menjadi
orang yang menyebalkan. Dan, kembali mengingatmu,
ialah membuka semua kotak ingatanku




/1/
Asu! Asu!
tak lagi bisa kulihat matamu, kekasihku,
yang luas seperti pekarangan kesedihan
yang dalam seperti lautan penyesalan.

matamu, kekasihku,
sering kali kudapati berloncatan
mana kala airmata menitikan sedu
mendiami suatu perpisahan.

Yang kutahu dari matamu, kekasihku,
paling
lihai menyembunyikan luka dan pilu,
hingga orang-orang disekitarmu pangling
; kau bahagia atau sengsara.

kekasihku, Rusheila, aku lupa
menunggu katamu, ialah pekerjaan setia
yang tak bisa dibohongi lewat mata,
lewat cerita dari mulut yang berbusa bisa.

/2/
semenjak setan berkata pada Tuhan,
"tak ingin menyembah Adam dan Hawa"
saat itu aku sadar, kekasihku, dari bibirmu perlahan
aku tahu, kesetiaan mesti diucapkan dengan rela
(meski kelak ganjarannya adalah neraka).

Rusheila,
dari bibirmu tak sekalipun sungkan berkata, "A"
walau "B" bisa buatmu bahagia.

kekasihku, dari semua ciuman-ciuman
mungkin, hanya bibirmu yang tak pernah terbayangkan
nikmatnya. Seperti mencicipi buah Khuldi di Surga,
menggoda namun, aku masih takut dosa.

perihal nyanyian itu, aku mendesahkannya
seraya menikmati dalam sukma.
kau bergetar, bibirmu menyambar
rindu ini yang terasa hambar.

/3/
Rindu ini menandai sendu.
Duduk di antara mata dan bibirmu,
ku hirup kenangan-kenangan
yang sesak disela kesunyian.

Rusheila,
kau
segala
rinduku.




Untukmu, Rusheila Heldayani.
Kamar #Peang, 24 Februari 2014
Tag : ,

Sedu Rindu

By : Harry Ramdhani


aku tetap terjaga setiap malam.
bersama hujan,
menunggumu pulang
; membawa rindu yang kau genggam.

merindukanmu,
seperti lagu sedu, kekasihku,
tak cukup sekali dan mesti diputar berulang kali
-- setidaknya sampai hati ini terobati --

malam ini hujan,
kabut menutup sepanjang jalan.
kau tak terlihat
namun, rindu terlampau menghujat.
konon, menemuimu ialah anjuran yang tepat.

aku ingin kembali mengulang pelukan-pelukan itu.
kapan kau pulang, kekasihku?
dalam sepi, birahi menunggalkan nafsu,
menanggalkan pilu, meninggalkan masa lalu.

Aku, ialah serdadu
yang diam-diam mengintip jasadmu
di kuburan; tempat kita mengubur harapan.
di sanalah masa lalu terlihat seperti khayalan.




Perpustakaan Teras Baca, 22 Februari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Dimadu Tukang Renda Rindu

By : Harry Ramdhani


INI malam kasih sayang dan aku menjemput rindu. Di kedai wedang jahe lesehan, aku menunggumu. Satu cangkir bandrek telah dicampur susu. Sengaja kupesan itu kalau-kalau nanti kau lupa janji untuk bertemu. Hangat dan manisnya mampu lama menempel di bibir dan tenggorokanku. Hanya itu yang kuingat dari pertemuan terakhir denganmu.

Lima jam berlalu. Kabar belum juga menghampiriku. Entah benar kau lupa atau sengaja dilupa-lupakan tapi, aku akan tetap menunggu. Seperti rokok yang dibiarkan di asbak, kesabaranku pun perlahan menjadi abu. Lampu-lampu yang bergelantungan bergerak ke sana - ke mari layaknya di film hantu. Bayangmu menakutiku.

"Di sini? terlalu ramai," katamu malu dan mulai memerahkan kedua pipimu. "Nanti saja kalau kamu dan aku berduaan, di ruangan yang tak lagi bisa disisipi kenangan," tukasmu.

Waktu memang tak seindah kupu-kupu; yang kedua sayapnya mampu menyimpan bergama warna. Terbang bebas, tanpa peduli ada yang diam-diam ingin menangkap raganya dan dikeringkan untuk dibuat pigura. Namun waktu, cuma membuatku eling dan waspada kala menunggu.

Ciuman-ciuman terakhir itu masih terasa getir. Sekedar mengingatnya, bibirku gemetar. Tangan ini masih hangat ketika ikut gentayangi tubuhmu disela ciuman. Di bawah lampu remang, hanya terlihat satu bayangan, itu kita sedang pelukan di antara perpisahan dan kesedihan. Tadinya aku tidak ingin lepaskan, tapi katamu, dadamu sudah sesak.

"Kalau-kalau nanti kita berpisah, bisakah kau sulam renda untukku?" ucapmu, "yang bisa kupakai ketika mengingatmu. Ketika aku merindu."

Kata-kata itu masih saja terngiang di kepala. Berdialetika tanpa sengaja.

***

"Kamu lebih tampan bila sedang diam," kata seorang perempuan yang tiba-tiba menghampiriku. Yang tak kukenal tentu. "Ada yang sedang dipikirkan?" lanjutnya.

Ia cukup cantik untuk ukuran seorang perempuan di kedai wedang jahe lesehan. Pertama kali melihatnya, aku langsung terpesona oleh kalung yang dikenakannya. Atau, buah dada yang terbelah kalungnya? Karena di sekitaran itu, Ia dapatkan perhatianku.

"Aku lebih suka diam. Karena di sini, tidak ada orang yang kukenal untuk sekedar berbincang," kataku.

"Kini kamu kenal satu orang."

"Siapa?"

Sofia namanya," ucapmu sambil menjulurkan tangan kanan.

Tangannya. Dadanya. Merusak isi kepala. Bandrek yang kupesan kembali panas, ditiup nafasku yang tak karuan; menahan dan mangatur alur nafsu. Seperti kacang yang lupa pada kulitnya, aku tak ingat lagi kalau sedang menunggu. Sofia datang membawa yang kucari sedari dulu; yang kutak dapatkan darimu.

Entah sudah diatur oleh siapa, ketika kita mulai berbincang segala, wedang jahe lesehan sepi. Tertinggal penjualnya, kita, dan birahi.

"Kamu kalau banyak bicara ternyata nakal juga, ya" katamu

"Kamu juga, terlalu sering bicara semakin terlihat ingin di bawa".

"Di bawa? kemana?" alismu diruncingkan. Heran. Atau, apabila itu ajakan, tak terlihat bedanya, bukan?

Aku bisa lihat bayang diriku di bola matamu. Di sana, aku terlihat bahagia, tak seperti lima jam yang lalu tentu; yang tampak lusuh dan berdebu.

Hampir satu jam kita berbincang. Membincangkan semua, tentang sedihnya hidup sendirian sampai yang tabu seperti selangkangan. Apa saja yang membuat kita nyaman.

Kau pesan beberapa sate yang beragam, lalu sebungkus nasi kucing lengkap dengan sambal terasi. Semua kau lahap sendiri. Meski sempat ditawari, aku "iya-kan" saja, toh itu lebih mirip basa-basi. Dan, ada lagi yang kusuka darimu kini: bibirmu berminyak dan itu seksi. Andai bibirku ini tisu, mungkin bibirmu sudah kuelapi.

Tepat pukul sebelas, terdengar suara mobil dari depan. Parkir di dekat penerang lampu jalan. Keluar seorang perempuan. Langkahnya, gerakan kakinya, dan besar lingkar buah dadanya aku jadi ingat seseorang. Seorang yang telah kutunggu akhirnya datang.

Cukup lama Ia berdiri memandangi kami. Dari dekat gerobak wedang jahe, tempat Ia berdiri, ingin sekali rasanya mendekat dan memeluknya erat sampai rindu ini terobati.

"Putri, kau terlambat," kataku. Kaki rasanya berat untuk diangkat, "sudah enam jam aku menunggu".

"Tapi, akhirnya aku datang juga 'kan?"

"Namun tetap, kau terlambat,"

Nampak tak ada sapaan hangat untuk orang yang tengah lama ditunggu. Aku, dan kamu, sibuk mencari-cari kesalahan darimu juga dariku.

***

"Jadi namamu Sofia. Maaf sebelumnya," ucapmu setelah aku bisa jelaskan semua. Semua tentang kita…,

***

"Maaf, mbak-mbak bertiga, saya sudah ingin tutup," Aku keluarkan jumlah pembayaran yang telah kalian pesan. Dasar perempuan, kalau sudah kumpul suka lupa waktu dan tempat.

***

… Semua tentang kita yang memang sama-sama saling menyukai sesama.




Perpustakaan Teras Baca, 15-23 Februari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Tertikam Ketakutan Bayangmu

By : Harry Ramdhani


mana kala kesedihan
kian mencekam,
bayangmu seumpama mimpi buruk
semalam.

kau,
menjelma angin dan cahaya bintang
; ketakutanku dihantui kenangan
ciuman dan pelukmu

suara jeritan dan desahan.
aku takut, tak lagi berani keluar.
di luar,
itu kau atau burung gagak hitam.



Kamar #Peang, 20 Februari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Draft Buku #22Desember

By : Harry Ramdhani
Akhirnya, saya temuin lagi draft buku #22Desember yang sempet kamu larang dulu. Saya terima itu karena satu alasan…, 



#22Desember 

Di pintu dekat jalan keluar bioskop, Dhani menyatakan cinta pada Shiren. Baju Dhani yang bertuliskan 'maukah kau jadi pasangan hidupku'. Shiren diam. Berdiri kaku.

"Beri aku 1000 hari untuk menjawabnya," kata Shiren. 1000 hari, berarti lewat sehari dari kiamat yang diramalkan Suku Maya, 21 Desember 2012.

Di hari ke 998, Dhani berangkat ke Kediri, menjumpai Shiren yang memilih untuk melanjutkan kuliah kesusteran di sana. Berita hari itu hanya seputar laporan-laporan dari beberapa media tentang aktivitas Gunung Kelud yang segera meletus.

Di hari ke 999, Dhani sampai Kediri. Semalam, Gunung Kelud meletus. Kediri gelap dan dipenuhi debu vulkanik. Warga panik. Semua jaringan komunikasi diputus. Dhani tak bisa menghubungi Shiren.

Kini, yang ada dipikiran Dhani tidak hanya menunggu jawaban Shiren, tapi juga ingin membantu warga Kediri mengungsi. Menyelamatkan diri. Semakin takut karena berita kiamat terjadi hari ini.

Di hari ke 1000, Gunung Kelud kembali meletus. Letusan kedua lebih besar dari pertama. Debu dan ketakutan menyelimuti. Dhani bertemu Shiren di lorong rumah sakit. Tak ada pikiran untuk mereka berdua akan janji pada sebuah jawaban yang ditunggu. Mereka sibuk membantu warga yang terkena imbas letusan Gunung Kelud.

Di hari ke 1001, tidak ada jawaban dari Shiren. Dhani pun lupa. Jawaban yang ditunggu tak lagi bisa ditagih. Shiren meninggal di hadapan Dhani. Hujan batu kerikil panas menimpanya.


gambar: dari sini
Tag : ,

Di Jalan Ini, Kenangan Kerap Lalu-Lalang

By : Harry Ramdhani


mana kala aku mulai diam, tanpa suara
di antara riuh-rendah kesenangan
maka, pada saat itu pula
kuingat semua kenangan.

kekasihku?
kenapa kau tanyakan itu?
ia sedang sibuk di masa lalu.

itulah sebabku tak suka
berlama-lama di sini, di jalan ini
kenangan kerap lalu-lalang.

seperti rumput liar,
cinta
tumbuh dan mekar
di mana saja.

di jalan ini, aku parkirkan kepedihan
tepat di persimpangan, yang membedakan keyakinan
bahwa kita punya dua Tuhan
; yang kupercaya dan kau puja.

Pula, di halte yang bis tak pernah lewati,
rindu kerep menghampiri aku yang tengah duduk sendiri
bersama orang-orang menunggu anaknya pulang
dari sekolah; tempat mereka belajar tabah

Pun, Kapten Muslihat akan malu
bahwa masih ada orang menampung airmata
padahal bangsanya sudah merdeka
dan, semenjak luka kaunamai doa*

jalan-jalan pinggir trotoar menapaki langkah kaki kita, dulu
mana kala cinta kini tak menjadi debu,
hingga kenangan mengeras seperti batu.
merindukanmu, ialah caraku berpuisi merawat masa lalu.

"Tak perlu kau ungkit masa lalu,
mulai cintailah aku yang baru," katamu




Perpustakaan Teras Baca, 15 Februari 2014
*) dari puisi Riwayat Luka, Khrisna Pabichara
gambar: dari sini
Tag : ,

Jui, Has Been Pressured

By : Harry Ramdhani
"As a soccer player, I wanted an FA Cup winner's medal. As an actor you want an Oscar. As a cheff it's three-Michelin's stars, there's no greater than that. So pushing yourself to the extreme creates a lot of pressure and a lot of excitement, and more importanly, it show on the plate." - Gordon Ramsay 





Jui Purwoto kini tengah menjelma menjadi idola. Idola bagi setiap orang yang mengetahuinya, setiap Komika yang ingin selucu dia, dan setiap penonton yang rela menunggu stand-up special-nya.

Saya sendiri belum pernah mewawancara Jui secara sengaja. Namun, apa yang diucapkannya seakan sudah cukup bagi saya untuk menulis tentang dirinya.

Bagi saya, Jui Purwoto ialah segeromblonan orang yang sedang asyik tertawa di satu meja; di mana orang-orang itu lucu semua. Ia merangkum lelucon-lelucon yang mampu dipahami semua orang. Karena itulah esensi dari komedi. Greg Dean menulis dalam bukunya Step by Step Stand-up Comedy, "Bila orang tidak mengerti kamu, mereka tidak akan tertawa".

Tidak mudah menjadi Jui Purwoto (dalam hal melucu maksud saya), butuh keja keras dan belajar lebih giat dari batas kemampuan dirinya.

Konon ada cerita, kalau Jui Purwoto sempat menjadi headliner (Komika yang tampil terakhir saat open mic) selama enam bulan lamanya. Tapi, yang membuat beda ialah durasinya mesti lebih lama dari komika sebelumnya, mesti menutup open mic dengan nge-kill (ketika komika sukses membuat penonton tertawa sepanjang set yang dibawakan), dan setiap minggunya saat tampil materinya mesti berbeda. Dulu, pernah saya bertanya ke Ridwan remin, siapa komika yang ingin dikalahkan? katanya, cuma Jui Purwoto. Wow!

Bukannya ingin membandingkan antara Ridwan Remin dengan Jui Purwoto, tapi katika ada target yang ingin dikalahkan, pasti ada usaha yang lebih dari biasa untuk mengejarnya. Ini cara berkompetisi yang baik.

Ada yang masih ingat penampilan Jui Purwoto saat #OpenMicBGRtur pertama di D'Jamilah Cafe? Bagaimana? Saya kagum, tampil hampir 30menit tanpa ada bit yang missed sedikit pun.

Kata Bang Rifky, "malam itu Jui tampil seperti penceramah. Ada tekanan dalam setiap bit yang diutarakan." Dalam stand-up comedy ini disebut reveal (setiap punch ada sebuah kata, frase, atau tindakan yang vital, yang memunculkan reinterpretasi, mematahkan target asumsi, lalu penonton tertawa).

Saya tidak ingin menyimpulkan kalau ini akibat enam bulan menjadi headliner. Bagi saya, itu semata memang jalan yang mesti Jui lalu untuk mencapai dititik sekarang. Di mana saya menunggu stand-up spesial dia dilaksanakan.




Perpustakaan Teras Baca, 12 Januari 2014
gambar: avatar Jui Purwoto

Persiapan dan Awal yang Matang

By : Harry Ramdhani


Sabtu malam yang ramai. D'jamilah Cafe malam itu terlihat tidak ada yang santai. Dan tentunya, #OpenMicBGRtur pun di mulai.

Sekitar 60 orang hadir di sana. Tempat yang mungkin hanya cukup untuk setengahnya, penonton rela berdiri di belakang atau sekedar mencantelkan telinga.

Saya pikir, ini ialah buah dari persiapan yang matang. Baik dari Stand-up Indo Bogor maupun D'Jamilah Cafe. Keduanya profesional.

Maaf sebelumnya, saya bukan orang yang termasuk penganut paham 'perencanaan' (yang apa-apa mesti direncanakan). Entah, walau dapat diuji dengan teori SWOT sekalipun, tapi perencanaan identik dengan kegagalan. Banyak orang-orang bijak akan bilang, "di balik kegagagalan ada kesuksesan". Pertanyaanya: Berapa banyak orang yang mampu bangkit dari kegagalan daripada yang merencanakan? Dari 1000 orang, mungkin orang yang mampu bangkit, tidak lebih dari jumlah tasbih.

Jujur, saya tidak suka merencanakan. Karena daripada sibuk merencakan, lebih baik saya sibuk mempersiapkan. Salah seorang pengisi seminar Wirausaha Mandiri beberapa tahun lalu bilang, "tidak ada waktu untuk merencanakan, langsung persiapkan. Dan, waktu untuk mempersiapkan hanya satu malam, sisanya jalankan." Saya sepakat, karena belajar itu dari hari ke hari. Kalau hari ini dan besok masih merencanakan, akan berbeda-beda apa yang akan direncanakan. Hari ini bisa merencakan A dan besok bisa B, dan lusa bisa C. Apa yang ingin dijalankan jadi bercabang. Makanya, apa yang sudah dijalani hari ini, renungi. Esok, tinggal memperbaiki. Kalau ditunda-tunda malah menumpuk dan sebatas jadi wacana.

Lihat hasilnya, malam itu penikmat stand-up comedy yang antusias. Komika Stand-up Indo Bogor-pun mampu menyajikan hiburan yang berkualitas. Dan, D'Jamilah Cafe; sebagai penyedia tempat, melayani kami semua layaknya pengunjung hotel bintang tiga ke atas.
#OpemMicBGRtur diawali dengan baik. Biasanya, kalau diawali dengan baik, akan diakhiri dengan yang baik juga.




Perpustakaan Teras Baca, 11 Februari 2014
gambar: @StandUpIndo_BGR' Gallery

Kenangan Berjejer Di Bangku Taman

By : Harry Ramdhani


Perempuan itu duduk di bangku taman. Sendirian. Entah menunggu atau sehabis ditinggalkan seseorang. Pastinya, Ia lebih terlihat seperti patung 'selamat datang'. Datar; tanpa ekspresi sama sekali.

Setiap sore, aku membawa anjingku jalan-jalan. Ia suka ke taman, karena di sana banyak kenangan yang tersimpan. Anjing memang pintar, Ia paling bisa membuatku bertemu ingatan yang suram. Namun, kadang kalau aku tak kuat menahan, aku tinggalkan anjingku sendirian. Membiarkannya bermain, soalnya Ia sudah tahu sendiri cara pulang. Tapi, melihat perempuan itu, aku sedikit kasihan.

"Bisa aku duduk di sini?" tanyaku pelan.

Perempuan itu menoleh, matanya merah seperti habis menangis atau marah. Padanya aku hanya bisa melempar senyum ramah. Perempuan itu tidak menjawab apa-apa. Ia menundukan kepala dan tangannya meremas tas kuat-kuat. Layaknya ingin menghancurkan sesuatu. Mungkin masa lalu.

"Aku suka ke taman ini. Setiap sore. Setiap hari," kataku tanpa berani aku menoleh ke arah perempuan, "dan, aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Pasti baru pertama kali ke sini."

Perempuan itu masih diam. Meremas tasnya semakin kencang.

"Namaku, Gilang. Gilang Anggara," melihatnya terus diam, aku malah ingin terus bicara. Anjingku, anjingku entah sudah ke mana mainnya. Biarkan saja.

Rambut perempuan itu panjangnya sepundak dan bagian depannya di poni. Mirip potongan rambut girlband masa kini. Aku suka perempuan dengan rambut seperti ini. Tapi, melihanya murung aku jadi tidak enak hati.

"Kenapa laki-laki suka selingkuh?" katanya.

"Perempuan juga," jawabku tanpa berani menoleh ke arahnya.

"Aku tidak,"

"Aku juga," kita bicara tanpa saling berhadapan. Mata kita sama-sama melihat ke depan. Sama-sama ingin meninggalkan kenangan.

"tapi dia selingkuh," suaranya mulai sesegukan. Mungkin tadi Ia menangis dalam hati.

"tapi tidak semua laki-laki seperti dia,"

"tapi aku mencintainya,"

"dulu aku juga pernah mencintai seseorang," kataku yang kembali mengingat masa laluku, "sangat mencintainya. Dia selingkuh dan aku tahu itu. Aku biarkan, karena ada yang tak dapatku berikan dan Ia musti dapatkan dari orang lain,"

"Lalu?" Perempuan itu penasaran.

"Ia malah marah. Katanya aku sudah tak lagi sayang karena telah membiarkannya selingkuh."

"Kenapa begitu?"

Kita sama-sama membuka diri. Menceritakan masa silam yang pernah menyakitkan. Seperti perokok yang meminjam korek, bisa saling akrab walau tak saling kenal dan korek bagi perokok ialah kebutuhan.

"karena memahami perempuan itu serumit main flappy bird. Walau begitu-begitu saja, tapi selalu ada halangan tuk memahaminya."

"perempuan tidak butuh dipahami, perempuan butuh dicintai."

"Aku mencintainya, tapi dia tidak memahaminya." dengan senyum, aku beranikan menoleh ke arahnya sambil menjulurkan tangan, "siapa namamu?"

"Aku, Sisca Amelia," Ia pun menjawab uluran tanganku.

"Ayo ikut denganku, main bersama anjingku, dan meninggalkan kenangan."

Senyum perempuan setelah menangis, ialah senja terindah. Menyambut malam dengan hubungan baru di masa depan. Aku, Amel, dan anjingku pulang. Amel ikut denganku ke rumah, karena Ia takut pulang dengan membawa kandungan di rahimnya.

Akhirnya anjingku punya teman baru sekarang. Dan aku, memiliki mainan baru kalau-kalau malam sedang hujan.



Perpustakaan Teras Baca, 11 Februari 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

Ceritakan Panasnya Ranjang, Kawan

By : Harry Ramdhani


Kau boleh pergi
ke mana saja dari sini
; dari kenangan-kenangan
yang akhirnya berakhir di ranjang.

"Perdebatan di atas ranjang lebih panas daripada adu argumetasi dalam kelas,"
katamu, "ilmu memang mengajarkan semua
tapi, tidak untuk tata cara malam pertama."

Malam pertama
bagimu, malam terakhir kau lucuti semua malu.
Kau selimuti malu dengan nafsu
dan desahan membuatnya birahi makin juara.

Ingin kita tanyakan:
lebih sehat mana, bermain bola di lapang atau di ranjang?

Kita hanya bisa membayangkan,
di malam pertamamu nanti
akan beterbangan pakaian dalam
yang entah berlandas di balik bantal atau di atas antena tivi.

dengan lampu dibuat remang
apa pun yang disentuh pasti terangsang
; leher, telinga belakang,
sampai kenangan.

Ini perihal selangkangan,
setiap tetes ialah cikal-bakal keturunan.

waktu, seperti halnya bercermin
; menampakan yang sesungguhnya
tanpa dusta.

Dan kita, menjadi potongan mozaik yang serupa.
Bahwa rindu, mengajak tuk ketemu
di lain cerita, di berbeda peristiwa,
di pelataran senja bahagiamu.

Biarlah waktu mengatur pertemuan kita
kelak, di bangku-bangku kelas yang kosong,
dengan papan tulis penuh coretan tinta,
dan ruangan kosong penampung semua tawa.




Perpustakaan Teras Baca, 09 Februari, 2014
gambar: dari sini
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -