The Pop's

Archive for October 2013

Sebut Saja: Aku, Mawar

By : Harry Ramdhani


Andai, segepok uang cukup untuk makan,
mungkin tidak ada wanita-wanita di pinggir jalan
: menjajakan diri, menjual badan,
demi menjadi tulang-punggung keluarga dan mertua.

Andai, birahi bisa dikendalikan,
mungkin tidak ada wanita-wanita duduk manis di bawah lampu remang
temani lelaki hidung belang 'tuk penuhi hasratnya semalaman
dari matahari terbenam sampai bulan tenggelam.

Aku tak lagi bisa lari,
jalan pun lemas, selepas keramas melayani mas-mas
yang haus akan dilayani dini hari.

apa ini keputusan Tuhan; takdir?
sepanjang malam hanya bermain-main dengan lendir,
mengelap keringat dan desah para supir,
dan menata kembali rambut dengan sisir.

soal kinerja, aku berani taruhan dengan pejabat negara,
soal kepuasan, aku berani taruhan dengan lembaga survey kenamaan,
soal harga diri, aku pun berani taruhan nanti di hadapan Tuhan,
pastilah aku yang menang.

yang mengotoriku adalah sperma-mu,
bukan diriku dan perbuatanku;
karena aku adalah Mawar, wanita di bawah lampu remang,


Perpustakaan Teras Baca, 29 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Temu Sebelum Kangen

By : Harry Ramdhani


pada rindu-rindu terdahulu
yang telah kujadwalkan di kalender dua bulan lalu,
perpisahan itu terikat janji untuk bertemu
di kemudian hari, di tempat yang sama-sama kita tak tahu

Kekasih, hujan tak selalu identik dengan perpisahan
tapi, hujan memang tepat untuk temani orang-orang kesepian;
orang-orang yang dipermainkan kenangan-kenangan

pada temu nanti, rindu mainkan peran dominan
di antara ciuman dan pelukan
yang lama kita tak lakukan

tik tok
tik tok

jam tanganku teriak menunggu kedatanganmu
pada rindu-rindu terdahulu
sebelum menumpuk jadikan kangen karena tak lagi bertemu

datanglah membawa janji-janji yang bisa kutagih, kekasih,
sepahit apa pun itu,
kangen adalah tumpukan rindu yang lupa ditagih
pada kepergian dua bulan lalu.


Perpustakaan Teras Baca, 29 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Seteguk Bir Terakhir

By : Harry Ramdhani
Penantian adalah soal kesetiaan. Di sana perkara sabar dan gusar sering berdebat untuk menangkan penantian. Katamu, "setia itu baik," itu untuk yang ditunggu, tapi untuk yang menunggu? Beruntung aku suka menunggu. Menunggu hal-hal yang tidak perlu ditunggu, semisal menunggumu, mungkin. Tunggu sampai cerita ini berakhir dan nanti pun kalian akan tahu kalau aku adalah orang yang suka menunggu.






DI CAFE tempatku menghabiskan malam dan uang, biasanya banyak orang mabuk lalu hilang kesadaran. Entah apa yang membuat mereka mabuk? Padahal bir hanya mengandung sedikit alkohol. Mungkin wanita-wanita yang mereka sewa adalah oplosan bir itu.

Namun malam ini sepi. Musiknya pun bisa terdengar jelas dan pelayan-pelayan terlihat bekerja sangat malas. Botol dan gelas bir masih banyak di atas meja. Pula, lantainya berserakan abu dan puntung rokok. Aku tidak suka tempat yang kotor, tapi lebih baik aku menunggu ada yang membersihkan sebelum aku laporkan mereka ke atasan.

Di sinilah biasanya aku melihatmu datang sendiri. Di minggu ke-empat setelah gajian. Dengan satu botol bir dingin dan beberapa cemilan, kau duduk di pojok bersama remang cahaya lampu. Aku selalu suka melihat wanita meminum bir langsung dari botolnya, diteguk seakan kepenatan ikut hanyut dalam tenggorokan. Itulah kau yang selalu datang di minggu ke-empat.

"Tempat duduk ini kosong?" kataku saat pertama memberanikan diri mendekatimu.

"Kelihatannya kosong, tapi ini bukan untukmu," jawabmu dulu.

Saat itu aku langsung pergi tanpa ucapkan satu kata pun. Bukannya malu, tapi aku tahu dari salah seorang pelayan di sini, kau memang selalu datang dan pulang sendiri. Tidak pernah ada satu orang pun yang kau tunggu.

Namanya: Tirani Azra Lluvia, kata salah seorang pelayan yang sering melayanimu. Nama yang cantik untuk wanita yang cantik.

Sesekali aku pernah pesankanmu sebotol bir dingin, tapi sayangnya tidak kau minum. Katamu, "Aku tidak ingin meminum apa pun yang tidak kupesan," walau sudah diberikan beribu alasan oleh pelayan dari bonus pengunjung ke-seratus sampai buy one get one, namun tetap saja kau tolak.

Lagu Mr. Brightside dari The Killers menghantam sepi cafe ini. Botol dan gelas bir yang belum dirapihkan seakan jatuh, ikut berserakan bersama abu dan puntung rokok di lantai. Semua berantakan seperti aku yang malam ini sedang menunggu datangnya seseorang. Penantian memang tidak semanis kisah-kisah romansa di novel remaja.

Bir di gelasku tinggal sisakan satu teguk lagi. Lagu Mr. Bright Side dari The Killers pun hampir selesai. Malam ini sepertinya penantian terakhirku untuk temuimu, Lluvia.

"Bangku ini kosong?" Mataku terperanjat ke atas. Seakan tak percaya dengan penglihatanku sendiri.

"Bangku ini kini sudah diisi orang," jawabku, "silakan duduk." Lluvia datang dengan menenteng dua botol bir dingin. Yup, kehadirannya telah lebih dulu menghangatkan malam penantianku.

"Setia itu baik," katamu.

"Apa menunggu adalah soal kesetiaan, juga?"

Kita mulai bicara ini-itu karena ada dua botol lagi yang mesti dihabiskan. Bicara pun tak karuan. Bahkan, sampai kedekatan itu kita bicara sering berakhir dengan ciuman-ciuman yang menyejukkan.

Penantian bila tidak dibarengi usaha terlebih dulu memang seperti bir dingin; getir sampai akhir. Dan, sekali lagi kulumat busa di atas bibirmu dengan nikmat, dengan lahap karena kita dibiarkan terkunci di cafe dalam keadaan gelap.



Perpustakaan Teras Baca, 28 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Hujan dari Jendela dan Asap Kopi Hitam

By : Harry Ramdhani


aku suka memandang hujan dari dalam jendela
lalu ada kepulan asap kopi hitam di antaranya,
di sanalah semestinya kopi hitam berfungsi
untuk menghagatkan orang-orang yang kesepian memandang hujan,

di luar pun rintik-rintik hujan serasa hidup
ketika dipandang dengan asap kopi hitam
dan mereka pun bergoyang mengikuti tiap lekuk asap.

Terkadang aku tertawa sendiri
melihat rintik hujan menari, bergerak ke sana-ke mari
mengikuti gerak asap kopi hitam ini.
asap memang sulit ditebak geraknya
dan itu tergantung udara di sekitarnya.
"aku sadar, aku kesepian," batinku

Andai kepulangan bisa diatur dari asap kopi hitam, pastinya
penantianmu tak akan pernah selama pergantian musim-musim,
dari awal musim kemarau hingga akhir musim penghujan.
Sungguh, sayang, aku kesepian.

"Semua yang pergi akan kembali," katamu
dan bodohnya aku percaya saja.
Ini adalah soal penantian, disitu aku lupa memperhitungkannya,
penantian hanya hadirkan kesendirian dan kesepian adalah efek selanjutnya.
ketika sudah menunggu begini, aku suka kesal sendiri.

tadinya aku sempat senang ada hujan dimusim kemarau
tapi kata Ibuku, aku sedang mengigau.
"Itu ulah manusia-manusia lupa merawat bumi
sehingga efek rumah kaca membuat musim kacau," ujar Ibuku.

Kopi hitam sudah dingin,
sudah tidak ada asap
yang bergerak ke sana-kemari dari rintik hujan,
tapi kau tak juga kunjung datang, sayang.
Pulanglah, aku kesepian.



Perpustakaan Teras Baca, 28 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Bulan Rindu

By : Harry Ramdhani


malam itu, aku ingin berjumpa dengan rindu
di malam puisi, para penyair bergantian membaca puisi-puisi miliknya sendiri
tapi aku, masih menunggu seseorang yang datang di depan pintu.
Sungguh, malam ini aku merindu.

Satu persatu sajak-sajak dibacakan dalam ruang
yang terang selepas hujan,
dinginnya malam buatku kembali pada ingatan-ingatan
yang masih manis bila dikenang.

/1/
di depan pintu, aku intip keluar
ada bulan dan bintang berkelakar,
mungkin mengejekku,
mungkin juga mengejek para penyair yang bersenandu rindu di malam itu,
atau, mungkin mengejek jomblo-jomblo yang berkeliaran di malam minggu.
Aku tidak tahu.

aku rela hibahkan waktuku untuk menjumpai rindu,
meski lama kita tak bertemu
tapi, aku masih ingat ciuman-ciuman itu.
Ciuman-ciuman yang bisa buatku melamun semalaman.

/2/
kudengar ada yang pecah di depan,
di tempat orang-orang membuat kopi untuk menghangatkan badan
dan berharap rindu, malam ini datang.

Sial, malam puisi segera berakhir,
aku tahu itu dari suara para penyair yang mulai serak. Pula, dahak
yang muncrat di kertas berisi puisi itu.

tapi, di mana rindu?
di mana seseorang yang kutunggu?
aku masih di sini, di depan daun pintu menunggumu

/3/
katanya, "kesetiaan adalah perbuatan baik,"
namun, bila kesal menunggu yang kita tunggu
tak juga datang, apa itu masih disebut setia, Tuan Berbaju Biru?

/4/
Di mana kau malam ini, kekasih?
kesetiaan adalah soal penantian, bukan
perkara tunggu-menunggu seseorang yang dirundu.

Bulan sudah mengenakan piyama,
bintang-bintang bernyanyi bersama
dan langit mendung pun cerah, seirama
kopi yang kubuat dingin terangin-angin di depan pintu;
menunggumu, kekasih.

Kabari aku bila rindu itu masih kuat kau tahan dan
biar nanti kuadukan kau pada Tuhan
bahwa menunggu yang tidak pasti pun termasuk tindakan setan.



Perpustakaan Teras Baca, 27 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Kotak Mainan di Pekarangan Istana Boneka

By : Harry Ramdhani


aku terbangun di pagi buta,
setelah kusadar kini aku telah menua
bersama usia yang membabi-buta
rasa yang sudah terpendam lama
di pekarangan istana boneka

tak berani sekali pun kugali
kotak mainan di pekarangan yang tidak jauh dari kamar ini,

yang kutahu, tanah tak dapat mengurai plastik,
namun tanah dapat membusukan
apa pun yang tertanam lama.

sialnya, aku lupa
kotak mainan itu kubalut apa?
plastik atau cita-cita?


Perpustakaan Teras Baca, 26 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Chatby: Malaikat Penjaga

By : Harry Ramdhani


Kekasih,
tidurlah kau dalam pelukan,
dalam indah mimpi yang kau harapkan

bilamana mimpi buruk datang
cepatlah bangun
lalu,
ingatkan aku 'tuk segera menghiburmu

aku akan tetap di sini
di sampingmu
menjaga tidurmu
dari godaan siluman mimpi
yang kerap mencumbu
mimpi-mimpi indahmu.


Perpustakaan Teras Baca, 23 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Selepas Hujan

By : Harry Ramdhani




selepas hujan,
kini giliran kantuk yang menyerang,
kau, kekasih,
telah meniduri rinduku
bersama-sama angin malam itu

angin malam pun membawa kenangan
yang tersisa dikeringnya ampas ingatan

nyamuk-nyamuk yang lalu-lalang
kini tak lagi tampakan wujudnya di hadapan,
ilalang pun ikut basah, tak lagi nyanyikan
lagu-lagu kesepian.
Ilalang diam.

Selepas hujan,
malam-malamku meradang.

rindu-rindu terinjak
di antara genangan air jalan berlubang,
sepi-sepi selepas hujan
memeluk erat dalam kesunyian.



Perpustakaan Teras Baca, 23 Oktober 2013\
gambar: dari sini
Tag : ,

ASDAMBA: Wanita Tuna Susila

By : Harry Ramdhani


"Kau adalah malaikatku tanpa sayap
yang hinggap di kepalaku; sesak dan gelap," katamu
dulu, "tidak perlu ke mana-mana, tetap di sini, di dalam pikiranku, mondar-mandir ke sana-ke mari" aku ingat itu.

untuk APA terbang
kalau diam pun aku bisa lihat bidadari khayangan?

"Ke mari,
lebih dekat lagi,"
celetukmu di dalam kamar mandi

Kamar mandi memang penuh misteri
lalu, di sana kita penuhi ember-ember kosong
yang bercecer air mani.
DI MANA lagi aku bisa salurkan birahi selain di kamar mandi?
Di sana aku masturbasi.

"Biar kubuka bertahap pakaian ini
supaya kau sanggup lihat, tak ada kemunafikan lagi,"
bisikmu semakin tak terkendali
menahan diri.

Di atas ranjang kau memang selalu menang,
tapi aku selalu bisa buatmu mengerang dan di situlah aku merasa senang.
KAPAN aku pernah gagal buatmu merangsang?

"Cepat lakukan," paksamu "supaya tak ada yang sia-sia dari cincin tunangan
dan rencana-rencana kita untuk mengundang tamu undangan,"

Menolakmu adalah tindakan bodoh yang pernah kulakukan,
tapi menurutimu adalah perkara lain yang sama sekali tidak mungkin kupenuhi,
aku bukanlah siapa-siapa untukmu dikemudian hari,
SIAPA tahu ada oranglain yang lebih pantas, bukan?

"Semua laki-laki itu bangsat,
lihat
kau hanya tunaikan syahwat,"
air mata pun membucat, ketika kau sadar bahwa yang enak belum tentu nikmat.

Bahwasanya enak dan nikmat berada dalam lintasan yang sama,
namun jalur mereka berlawanan di persimpangan.
MENGAPA sampai sekarang aku terjebak? Toh, tetap saja, semua itu sifatnya sesaat.

"Simpan semua. Sudah, tinggalkan aku," katamu semakin kesal,
"pakai uangmu untuk hal yang berguna
daripada kau mesti bayar aku, tubuhku, dan setiap desahku."

BAGAIMANA mungkin aku tega tinggalkan semua?
uang hanya nilai tukar, bukan nilai ukur manusia
pada kesan dan pengalaman pertama.
Itu lebih istimewa dan uang tidak ada apa-apanya.

Aku akan pergi, untuk mencari
kamar-kamar yang lupa dikunci.



Perpustakaan Teras Baca, 25 Oktober 2013
Tag : ,

Boneka Politik yang Menangis

By : Harry Ramdhani


kita bicara lewat tanda
rinduku tak lagi berbahasa

tiga tahun lalu, di depan penghulu
sampai pergi bulan madu
desahmu masih bisa diadu
dengan rintik hujan dimusimnya.

akad nikah yang khitmad
di antara cinta yang pula tersesat
aku coba ikhlaskan perasaan,
seperti dua kucing yang saling dikawin silang

perjalanan menuju ranjang
sesulit menanam buah durian
karena ini
karena ini janji suci yang terlalu dipaksakan.

kedua orangtua kita
lebih mementingkan masa depan
daripada hubungan cinta
yang terus melekat di hati nan-terkekang

di respsi pernikahan,
banyak tamu undangan datang
namun, aku yang duduk di pelaminan
seperti orang kesepian

aku pun tahu, kau yang duduk di sebelahku
merasa malu pada hati dan bayangan
yang tak bisa berbuat apa-apa
yang terpaksa mengikuti kehendak mereka.

kita terpenjara kasus pencucian uang
: pernikahan.
pernikahan dijadikan boneka politik
demi menggenggam kekuasaan dan uang.

sayang, cepatlah pulang
selamatkan aku dan wanita ini dari pelaminan
Tuhan, cepatlah pamer kuasa-Mu
supaya mereka jengah saling rebut kekuasaan

tak usah lagi kau tanyakan rinduku, sayang,
butiran tangisku adalah jumlah kereta
yang lewat kala menunggumu pulang

pulanglah, sayang,
kau buat kumenangis sampai mataku keluar.


Perpustakaan Teras Baca, 19 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Dalam Mimpi Jumat Kliwon

By : Harry Ramdhani


sore ini, menjelang senja
aku bak dokter gigi di perkampungan Dayak
mereka yang sakit sepakat menolak

ada perbincangan yang berbeda
di atas ranjang selain kenikmatan, kekasih,
kau ceritakan semua
betapa malunya punya simpanan.

katamu,
"ia adalah bunga harapan,
tempatku taruh di vas berisi air
yang dipenuhi kesetiaan,"

dalam langkah ringkihku
kunikmati perjalanan menuju telingaku
walau itu pilu.

kau datang dengan mata yang merah
dan kerah baju yang basah
sedihmu adalah awal bahagiaku
merajut asa.

ketahuilah
biar pun ini malam jumat kliwon
sejak malam-malam terdahulu
aku sudah rindu 'dikelon'.

bilamana malam nanti aku ingin mimpi indah
memimpikan semua yang tak terarah
biar pun itu sebatas mimpi yang basah dan penuh gairah
tapi apa mungkin? berjumpa denganmu saja aku tak pernah



Perpustakaan Teras Baca, 18 Oktober 2013
gambar: dari sini
Tag : ,

Mainan Kotak Musik

By : Harry Ramdhani
merah, kereta, insomnia,
waktu, kepulangan, tanah,
Malaysia, pernikahan, O,
namamu, desa,
negara, Tuhan,
Aria, ingatan, pasar malam,
puisi, kota, kabut,
tembakau, rindu, Rinjani,
mimpi, Ibu, kampung halaman,
terbakar, rahasia,

Kata-kata di atas adalah segerombolan kata yang akan sering dijumpai di buku puisi #KepulanganKelima - Irwan Bajang.



Tahu kotak mainan yang dibuka tiba-tiba ada dua boneka saling menari; berputar, dan diiringi musik itu? Yup, seperti itulah buku puisi #KepulanganKelima. Ketika kalian buka setiap halamannya, maka ada yang menari-nari di atasnya. Saat mulai membacanya tiap sajaknya, maka mulailah kalian diajak menari bersamanya.

"seperti usia remaja dulu, aku ingin datang lagi
kujemput kau dalam malam pertama mimpi basahku
usai kita berciuman di kebun tebu milik tetangga
sebelum akhirnya
gerombolanku gagal menculikmu menjadi istriku"

Secuil kutipan sajak dari buku puisi #KepulanganKelima yang berjudul: Kepulangan Kelima. Membayangkannya saja, saya diajak paksa untuk mengingat mimpi basah pertama. Sial, ya?

Masih banyak lagi cerita-cerita yang diangkat di sana, seperti: kutitipkan kau pada semesta; membaca ini saya menangis, karena membuat saya takut jadi tua. Pula, kelak akan dititipkan anak dan takut tidak bisa mengemban tanggung jawab semua.

Setelah saya pikir-pikir, negeri ini tidak butuh banyak Negarawan, tapi butuh banyak penyair. Olehnya, mata, hati, dan pikiran kita dibuka selebar-lebarnya. Saya tahu itu berlebihan, namun itu saya rasa pantas untuk negeri ini yang tak ada habisnya akan koruptor yang mesti diberantas.

Dari buku puisi #KepulanganKelima, saya jadi tahu, bahwa pemilik segala adalah Tuhan. Dibuatnya kita tidak pernah tahu hari esok akan seperti apa, bahkan sampai kepulangan kita yang kelima.

Maaf atas review-nya yang begitu singkat. Serta, mengatas-namakan cinta, saya ingin ucapkan terimakasih atas buku puisi #KepulanganKelima, om Irwan Bajang.


Perpustakaan Teras Baca, 17 Oktober 2013

Berebut Takhta Sejarah

By : Harry Ramdhani


Semisal
aku bisa bersahabat dengan waktu
pasti aku bisa rajut kembali masa suramku dulu.
Pun, tetap tenang aku menatap masa depan.

lihatlah
sejarawan bisa sesuka hati keluar-masuk batas waktu
;menjumpaimu
dari kedua putingmu merah-muda sampai kini kau telah beranak dua

tapi sial
sejarawan selalu punya lawan
: Pemimpin yang berwenang
olehnya, cerita bisa dibolak-balik layaknya memasak

sejarawan punya fakta, pemimpin punya kuasa
sejarawan meneliti, pemimpin mengubahnya sesuka hati

kau tahu sendiri, kekasih,
tidak ada tempat isi ulang bejana waktu
ketika habis, itulah masa lalu.

Aku, sejarawan, dan pemimpin tengah berebut mesin lorong waktu.



Kamar #peang, 16 Oktober 2013
gambar dari sini
Tag : ,

Saya Tidak Mencontek

By : Harry Ramdhani


Kaki ini terlalu berat untuk melangkah pergi, mungkin terlalu lama di rumah berdiam diri. Masih pagi buta dan suara ayam masih terdengar mendengkur di sana. Di kandangnya.

Kali ini tugasku bukan lagi pemenuh di rumah, tapi menjadi salah seorang dari Tim Pengawas Independen Ujian Nasional. Tugas yang cukup berat. Di Indonesia, pengawas hanya sebuah identitas dan independen merupakan slogan yang disepakati oleh para dipenden. Diberikan tugas di sekolah yang tidak tahu ‘apakah masih terlacak GPS?’ merupakan beban tambahan tersendiri dari tugasku. Sempat iseng mencari di googleMap dan … tidak ada. Jawaban yang sama saat orang ingin meminjam uang.

Seperti biasa, jam-jam segini angkutan umum yang melintas hanya dipenuhi belanjaan warung, sayur-mayur, dan karyawati para mucikari. Setidaknya aku akan menunggu angkutan umum yang aman, karena ini masih pagi, karena masih banyak laki-laki hidung belang yang berkeliaran, karena aku tidak ingin keperawananku hilang direnggut pemuda bajingan di jalan. Dan ingat, ini pagi buta, ayam saja yang biasa bangun pagi tidak melihat, lalu jika ada apa-apa denganku, mesti teriak minta tolong ke siapa?

***

Perjalanan aman, aku sudah sampai di tujuan dengan tidak ada gangguan. Di sekolah, sudah ada beberapa guru yang menyambut dengan ramah –lebih tepatnya berlebihan– bak dokter umum yang siap membuka klinik di perkampungan. Aku tidak tahu mesti bersikap apa? Ini masih pagi buta.
Tugasku ke sini adalah mengawasi kalian yang menyelenggarakan ujian. Tidak lebih.
Ternyata di tempatku mengawas, guru-gurunya tidak ada yang lulus kuliah, sebagian besar dari mereka hanya sempat mengenyam bangku pendidikan sampai Sekolah Rakyat, sisanya malah tidak pernah sekolah. Dan, Kepala Sekolahnya, cuma lulusan Menengah Pertama. Menyeramkan, mereka diminta untuk mengurusi sekolah yang sama sekali mereka tidak pernah enyam dulu. Di sini, mereka diminta mengajar oleh Bupati setempat.

Kalian tahu, tenaga pengajar yang dibuatkan standar oleh pemerintah pusat terlalu tinggi, terlalu membuat daerah ini bermimpi bisa maju oleh orang-orang bernama panjang oleh gelar. Gelar yang kita tidak tahu bisa didapat dengan cara seperti apa, dimana, dan bagaimana. Bukan urusanku, tapi sudah cukup membuatku sedikit prihatin.

Kata salah seorang guru, “Buatkan saja memo, biar nanti guru yang lain bisa menggantikan mengambil soal.” Ide yang baik. Padahal ini masih pagi, mungkin saja Ia sarapan dengan roti tadi. Tiga orang yang ditugaskan untuk mengambil soal di rayon yang kupikir jaraknya sama seperti jarakku kembali pulang, sudah berangkat. Mestinya aku ikut ke sana, tapi karena baru tiba dan perlu istirahat sejenak. Aku istirahat di ruang Kepala Sekolah –sebenarnya tak beda dengan ruang guru, karena masih di satu ruang dan hanya dipisahkan papan sebagai penyekat. Kita Berbincang banyak hal tentang keadaan sekolah. Miris. Mana mungkin satu guru dibebani tugas untuk mengajar empat mata pelajaran? Padahal, di Kota, banyak guru (mungkin lebih baik aku menyebutnya: Pengajar) yang satu minggu hanya kebagian tiga kali mengajar, sisanya mereka hanya absen. Alah, pemerataan adalah akal-akalan orang yang kantornya di kota metropolitan.

Aku tanyakan kesiapan untuk Ujian Nasional, Kepala Sekolah hanya bisa pasrah. Pemerintah sudah seperti Tuhan ketika sedang Ujian, orang-orang yang bergantung dengannya dibuat tak berdaya. Pelecehan terhadap dunia pendidikan. Indonesia mestinya tidak seperti sekarang, Indonesia mestinya sudah siap melihat masa depan.

Apa yang mesti aku lakukan? Jika membiarkan mereka nanti nyontek saat ujian, maka tak bedanya aku dengan setan-setan yang Ia anggap sendiri dirinya manusia. Padahal mereka lebih cocok disebut Landak, bentuknya lucu tapi berduri.

***

Setengah jam lagi ujian dimulai. Aku, beserta pengawas kelas dan panitia pelaksana dari sekolah melakukan rapat kecil dahulu. Berbekal sosialisasi oleh Dinas Pendidikan beberapa hari lalu, dengan itu aku membuat aturan-aturan baru untuk pelaksanaan ujian.

Di depan kelas, aku melihat wajah-wajah peserta ujian yang tegang, sesaat sebelum waktu hampir menunjukan pukul tujuh. Aku hampiri seorang sisiwi yang duduk, Ia bersimpuh dibawah jendela yang hampir copot dan tentu bisa membahayakan dirinya, “sudah siap, kan?” tanyaku seramah mungkin agar tidak semakin membuatnya takut. “Tenang, kamu pasti bisa mengerjakannya.” lanjutku.

Suara velg mobil yang dipukul-pukul ternyata adalah lonceng, tanda peserta ujian masuk kelas. Suara itu seperti suara terompet Sangkakala, pertanda kiamat. Siswa pun berbaris dengan wajah nan-pucat. Pemandangan pendidikan macam apa ini? Tidak ada keriangan yang mencuat, hanya ketakutan yang terlihat dan membuat mereka seakan tidak kuat.

Aku mengelilingi kedelapan ruangan. Memantau satu demi satu agar tidak ada yang kacau. Jujur, dulu pun aku mendapat bocoran selama ujian, tapi apa mereka juga dapatkannya?

Suasana sekolah mendadak sepi, seperti tak ada penghuni di setiap lini. Aku mainkan velg mobil yang dijadikan lonceng, dengan pelan tentunya. Di sini aku jadi orang yang kesepian, berkeliling ruangan pun tak ada tujuan. Di belakang sekolah ada mushola atau kupikir lebih tepat bila disebut gudang penyimpanan beras, debunya banyak, alas kaki membekas di mana-mana, dan banyak lagi. Aku lihat ada guru sedang khusyuk berdoa, ada juga yang tidur, mungkin guru ini sudah percaya atas apa yang Ia lakukan selama ini ke muridnya.

Di ruangan lima ada sedikit keributan, aku bergegas menghampiri. Ada siswa yang ketauan nyontek, Ia membawa kertas bocoran. Darimana Ia dapatkan?

Suasana ruang lima menjadi makin gaduh. Laki-laki yang sedikit lusuh hanya tertunduk dan menangis setelah dibawa ke ruang Kepala Sekolah. Aku, pengawas kelas, dan panitia pelaksana berdiskusi untuk tidak membuat keributan semakin memanjang. Pelaksanaan Ujian dilanjutkan.

Laki-laki itu menangis dan sesegukan, aku ambilkan Ia teh manis untuk tidak melulu ketakutan, sekedar menenangkan. Aku tahu apa yang Ia pikirkan, pasti merasa masa depannya telah hancur karena tidak lulus Ujian Nasional. Banyak cemoohan pasti yang akan Ia terima dari tetangga, dari teman-teman sebaya, dari orang-orang yang tega membunuh jiwa dan anak harapan bangsa.

“Dapat darimana jawaban bocoran itu?” Ah, aku merasa sudah melemparkan pertanyaan bodoh.
Dia masih diam tidak menjawab. Menggenggam cangkir pun seperti ingin dipecahkan. Erat.

“Yasudah, nanti aku coba urus. Kamu tenang saja.” Ucapku sambil mengusap punggungnya.

Kita semua sepakat untuk tidak membawanya kasus ini ke Dinas Pendidikan. Tapi dengan catatan, Ia tidak bisa ikut Ujian bersama temannya di ruangan, tapi di sini, di meja Pengawas Ujian.

***

Ternyata, kasus ini bocor ke Dinas Pendidikan. Ah, dasar dunia pendidikan, bocornya dimana-mana, coba sekali-kali kau bocori oknum yang suka membuat anggaran pendidikan ini bocor, berani tidak?

Aku dan anak laki-laki yang didampingi Kepala Sekolah juga Wali muridnya dipanggil ke Dinas Pendidikan. Mungkin kita akan disidang. Aku sudah siap dengan segala keputusan yang akan dijatuhkan. Karena, seperti yang semua orang tahu, adil di Indonesia hanya mitos belaka.

Dengan menggunakan jilbab merah, tanda aku sudah siap untuk berjuang atas semua tuduhan. Atas semua pernyataan konyol yang mengedepankan aturan. Atas tindakan bodoh mereka memanggilku untuk melihat anak laki-laki ini dibilang: Bersalah.

Dihadapan laki-laki tua berperut tambun, nyaliku tidak akan menciut sedikitpun.

“Kamu sebagai pengawas Independen kenapa malah menyembunyikan kasus ini?” katanya seakan hakim.

Aku malah jadi ikut bodoh, apa urusan mereka menghakimi aku? Kalau ini soal aturan, mestinya dibawa ke pengadilan. Barangkali mereka ingin sesekali berurusan dengan wanita cantik. “Aku tidak menyembunyikan, tapi menyelesaikan kasus ini. Itu berbeda.” Kataku dengan lantang.

“Bukan kewajibanmu menyelesaikan kasus seperti ini. Tugasmu mengawasi ujian.”

Tuhan, kenapa negeri ini mesti dikelola oleh orang-orang tolol seperti laki-laki tua berperut tambun?

“Jika hanya mengawasi, kenapa pemerintah tidak berdayakan preman pasar saja atau pengangguran?” jawabku. “Jelas itu lebih berguna dan aman. Ada kecurangan, tinggal hantam.”

Laki-laki tua berperut tambun naik pitam, “Apa maksudmu? Kau sudah dibayar mengawasi.”

“Di bayar? mana? Aku belum menerima uang sepeser-pun.” Intonasiku sudah sedikit meninggi. “Lantas, apa salahnya anak ini? Yaa… memang Ia mempunyai bocoran tapi, Ia sudah dapat ganjaran.”

Suasana di ruangan semakin panas, antara aku dengan laki-laki tua berperut tambun yang kemudian aku tahu namaya: Rasyidun Gofur.

“Dia mencontek. Dia melanggar aturan. Dan dia tidak akan lulus ujian.” kata Gofur sambil menunjuk-nunjuk Gilang, seorang siswa yang sedang aku bela.

“Mencontek? Dasar bodoh” Aku semakin tidak terkontrol dan berdiri dengan menggebrak meja. “Dia tidak mencontek. Paham?”

“Kau ini sarjana bodoh, yah” Gofur ikut tidak terkontrol. “Jelas-jelas dia mencontek.”

Ibunya Gilang sambil mengusap tanganku untuk tetap bersabar dan menangis memeluk Gilang yang dari tadi tetunduk. Aku yakin, Ia sedang menangis dalam tunduknya.

“Wahai, Pak Gofur yang memiliki jabatan” kataku, “mencontek itu melihat pekerjaan oranglain yang sama-sama sedang mengikuti ujian, sedangkan yang Gilang lakukan adalah melihat bocoran. Sekali lagi, itu berbeda. Melihat bocoran bukanlah mencontek. Jika bapak berani mem-black list nama Gilang, artinya bapak juga telah mencoreng pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan Gilang juga adalah ulah oknum Dinas Pendidikan. Tuduhan bapak tidak diterima. Dan saya, sebagai Tim Pengawas Independen telah menghukumnya.” Jilbab yang aku pakai sampai kendor ke sana-ke mari. Yang aku lakukan di dalam ruangan, persis orang orasi di depan Gedung Kepresidenan.

*** Empat tahun berikutnya ***

Ada sebuah undangan tergeletak di depan pintu rumah. Undangan pernikahan Gilang, seorang siswa yang dulu pernah dihukum mengerjakan Ujian di mejaku. Aku tersenyum melihatnya, Gilang masih mengingatku. Bagiku, itu sudah terlampau membuatku bahagia.

Aku dan Suamiku datang ke pesta pernikahan. Sungguh meriah. Aku bertemu beberapa guru di sekolah tempat mengawas dulu.

Pula, tidak aku duga sebelumnya, Gilang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Biaya kuliahnya Ia tanggung sendiri sambil berdagang. Kini Ia telah terbilang sukses. Usahanya berkembang pesat dan Ia juga banyak terlibat di Lembaga Sosial untuk mensejahterakan pendidikan. Sungguh senang aku mendengarnya.

Dalam setiap butir tangis anak-anak sekolah, mereka yang pernah dilecehkan oleh oknum-oknum pejabat pendidikan, terbersit doa. Doa berbentuk air mata yang ditadahi malaikat dan diberkati ke Tuhan. Selebihnya, adalah urusan Tuhan.



Saat aku menyadari bahwa pendidikan memang pantas untuk diperjuangkan. Perpustakaan Teras Baca, Mei 2013
gambar dari sini
Tag : ,

Delapan Siaga di Lapangan

By : Harry Ramdhani

kalau cafe Merah Putih saja sepi
kenapa juga aku mesti terus duduk di sini?
menunggu yang tak pasti?
bukan, ini soal kesetiaan.

Gesti masih ada, tapi di mana?
lihatlah
gelas-gelas plastik tidak pernah kosong
tetap terisi anggur merah dan bir dingin.

Kepualangan
adalah cara manusia untuk pertemuan yang tak terlupakan
tak ada lagi beban yang menggantung di kepala.

delapan ca-ang dengan kepala plontosnya berbaris di lapangan
pun mereka menggigil menunggu perintah selanjutnya

andai kita berada di satu dunia
pastinya tali tambang, pengait, dan slayer
yang mengikat di kepala
tidak bertumpuk di pojok ruang
tapi terpasang di antara dua pohon yang bersilang.

Gunung Salak paling sedih
terakhir diberita katanya,
"kepulan asap mulai menutupi awan,"

Tapakmu tak lagi membekas di tanahnya,
walau pernah kita buat janji untuk mendaki bersama
biarlah kepulangan membawamu pada perjalanan yang tak 'kan terlupakan.


Cafe Merah Putih, 16 Oktober 2013
gambar dari sini
Tag : ,

Beragam Alasan Pro-Kontra Soal Rokok

By : Harry Ramdhani
Tema itu biasanya kata benda. Dan, tema saya menulis ini adalah rokok.



Apa pun yang ada di dunia ini pasti isinya pro-kontra. Yang pro biasanya membawa hal-hal positif; menyenangkan, menggembirakan. Dan, yang kontra isinya cuma hal-hal negatif; menakutkan, menyeramkan.

Jujur, saya ini perokok. Perokok yang tidak suka rokok. Tapi kalau masih ada orang yang tidak suka rokok dengan alasan klise, pingin rasanya saya keplak: Dari pada duitnya buat beli rokok, mending beli yang lebih berguna. Perokok itu tolol, beli rokok cuma untuk dibakar. Sama aja bakar uang.

*plaaak*

Gini, boleh tidak suka rokok, asal punya alasan yang asyik. Semisal: Daripada kamu beli rokok, mending beli kondom. Lebih aman, kan? Nah, kalau begitu, sih saya setuju.

Orang-orang yang masih pakai alasan klise semacem itu, sama aja kayak orang beli pulsa: Beli pulsa lebih berguna dan tidak menyakiti oranglain.

Coba telaah lebih lanjut, kalau beli pulsa terus pulsanya dipaketin internet dan nanti menggunakan internet untuk mesra-mesraan sama pasangannya. Itu juga menyakitkan, kok, menyakiti oranglain yang jomblo. Hargai juga oranglain yang gak bisa mesra-mesraan sama pasangan, seperti menghargai udara bebes untuk oranglain yang tidak merokok.

Pro-Kontra memang tidak akan ada habisnya. Biarkan saja perbedaan tidak dijadikan alasan lahirnya perselisihan. Berdamailah dengan oranglain yang berbeda pandangan.

Saya juga tahu, perokok tidak ada niat untuk 'mengkotori' udara. Saya ingat ucapan Guru Bimbingan Konseling ketika masih kelas satu SMP, "Sebenarnya dengan merokok dapat menghilangkan pikiran-pikiran yang menggumpal di otak. Lewat asap rokoknya, mereka buang pikiran yang memberatkan di dalam otak."

Saya juga tidak suka perokok yang merokok di sembarang tempat. Dulu, di angkot saya hampir berantem dengan penumpang lain yang merokok di dalam angkutan umum. Tapi namanya hampir, ya, tidak jadi. Badannya lebih besar daripada saya. Jadi, lebih baik diurungkan niat untuk berantem.

Saya juga belum pernah lihat pasien-pasien di rumah sakit yang tergelatak karena terlalu banyak merokok. Pun sakit mereka diperparah karena merokok. Bukan karena rokoknya.

Pastinya tahu catatan kesehatan yang ada di bungkus rokok, "MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN" Pernah ada penelitian tentang catatan ini, hasilnya: Font yang digunakan terlalu kecil, jadi tidak terbaca oleh perokok-perokok pemula. Brengseknya dosen saya yang perokok malah bilangnnya, "Saya itu buka rokok dari depan bungkusnya. Jadi, ya, benar, tidak terbaca. Catatannya di belakang bungkus," bener juga, sih.

Tapi, menurut logika asal saya adalah Merokok dapat menyebabkan kaknker dan lain-lain, ya, karena rokoknya boleh 'dapat', coba beli sendiri rokoknya, pasti tidak terkena penyakit menyeramkan itu.

Merokok saja asal kuat. Asal hidup para petani tembakau di Indonesia sejahtera. Toh, memberikan yang kita sayang (baca: uang) untuk menghidupi oranglain lebih bermanfaat daripada mencuri uang negara.


Perpustakaan Teras Baca, 13 Oktober 2013, ketika asbak tumpah di karpet.

Terselimut Rindu di Pelataran Toko Tua

By : Harry Ramdhani


Ingatkah kau, kekasih, kala
merangkul rinduku di rindangnya
pelataran toko-toko tua?

Kekasih,
Kau buat rinduku seperti telur ayam;
yang hanya diterangi pijar remang
di sela-sela cahaya rembulan.

Lihat, kekasih, dedaunan
di pelataran toko-toko tua berterbangan,
angin cuma sanggup hembus itu;
tidak rinduku

Ada saja sampah bertebaran
di dekat Tong, kekasih,
bungkus dan puntung rokok,
plastik ciki dan gelas,
juga rinduku; yang tak kunjung datang.

Pepohonan saling berbisik,
beberapa dahan berpegangan, kekasih,
dan Tuhan tiupkan nyawa
supaya mereka bisa saling tertawa.

Aku tahu, menertawakanku, kekasih,
yang masih lamunkan rindu
dan makin tak menentu.

Ini adalah kisah kekerasan
paling kejam terhadap pelacur jalan,
membiarkannya menunggu; rindu,
yang didamba berupa cinta.


Kedai Alania, 11 Oktober 2013
Tag : ,

Baru Ngidam, Tapi Udah Banyak Permintaan

By : Harry Ramdhani
Aku malu untuk cerita. Istriku ngidam suami muda," kata seorang Tentara yang murung dan duduk di warkop sendirian.





***

Ngidam? Eum, sesuatu yang sudah umum di telinga tapi sekarang sudah jarang saya lihat langsung (orang yang ngidam). Entah apa mungkin orang-orang yang memilih nikah muda tidak lagi merasakan ngidam? Yup, ngidam banyak terjadi dikalangan orangtua kita.

Banyak artikel tentang 'ngidam', bertaburan di google. Setidaknya saya bisa membuat benang merah sendiri, bahwa ngidam hanya mitos belaka. Belum ada kajian ilmiah tentang ngidam, paling beberapa paper tentang ngidam. Ada yang beranggapan bahwa ngidam itu karena aktifnya hormon-hormon selama kehamilan, antara lain meningkatnya kadar progesteron. Naiknya hormon ini berpengaruh pada fungsi dan metabolisme tubuh, salah satunya pada organ pencernaan dan produksi air liur.

Tidak cuma itu, pula, ada yang beranggapan, kalau seorang wanita hamil muda dan mengidam yang manis-manis seperti cokelat dan lain-lain, maka Ia akan melahirkan anak perempuan. Berbeda jika mengidam yang asin atau asam, maka Ia akan melahirkan anak laki-laki.

Tidak ada yang tahu. Lagi, ini cuma mitos dan kebanyakan benar. Belum ada kajian ilmiahnya.

Banyak juga yang beranggapan jika ngidam tidak dituruti, anaknya akan rusak fisik nanti. Entahlah, tapi apa yang terjadi jika ngidamnya aneh-aneh? Seperti ngidam mangga muda dengan batang-batangnya, ngidam suami baru, dan lain-lain.

***

Eum,…
baru juga ngidam, tapi sudah banyak permintaan.



Perpustakaan Teras Baca, 11 Oktober 2013.

Kisah Hawa Mandosa Pada Adam

By : Harry Ramdhani

Mentari kian memeluk erat
rerumputan di ladang savana, kekasih,
embunnya meng-uap
pada rasa yang tersirat.

Kau ini seperti piyama, kekasih,
yang hanya kukenakan semalam.
Begitu rasaku.

Dan, aku ini seperti selimut, kekasih,
yang hanya mampu
menutupi seluruh tubuhmu
tapi tidak untuk rasamu.

Kekasih,
di bawah ranjangmu
ada binatang yang mengerat,
mendengar desahmu,
tubuh mereka menggeliat.

Sepertiga malam Kau sibuk
melantunkan sajak-sajak, kekasih,
dari Kamasutra-mu itu,
aku coba menahan nafsu
yang makin mengecambuk.

Kekasih,
Kau adalah jutaan gairah,
titik klimaks endorfine
menuai nikmat tanpa arah.

Biarkan pagi menggantungkan asa, kekasih, bahwa kisah semalam
adalah kisah Hawa
mendosa pada Adam.


Perpustakaan Teras Baca, 9 Oktober 2013
gambar: avatar @_HarRam
Tag : ,

Celana Di Dalam Celana

By : Harry Ramdhani
"Nah, di sini aja. Ikutin semua penunjuk jalan yang ada. Nanti juga sampe ke Bojong(gede)," kata Bakriyadi. Pikiran saya kosong. Melompong pada titik yang kosong. Hingga saya menoleh ke belakang dan melihanya berlalu, perlahan jalan meninggalkan.

Saya hilang kesadaran sejenak. Entah memikirkan apa, saya sendiri tidak tahu kala itu.

Eum, mungkin sama seperti biasa datang ke daerah yang baru saya datangi, bingung. Di dalam pikiran hanya ada satu kata: Nyasar. Saya tidak tahu daerah mana, karena ini kali pertama. Bakriyadi bilang namanya: Sindang Barang Jero. Yang jelas, daerah ini jauh akan kesibukan kota Bogor pada umumnya.

Saya jalankan motor setelah sadar bahwa Bakriyadi telah pergi. Sepanjang perjalanan, saya memikirkan sesuatu, tapi apa, ya? Lupa.

Aha! Bakriyadi




Tampak Samping

Saya kagum pada Bakriyadi. Di manapun ada gelaran open mic, di sana pasti ada Bakriyadi. Baik itu di kampus, di cafe, sampai open mic rutin Stand-up Indo Bogor .

Tapi saya pikir-pikir, Bakriyadi ini hebat bisa datang selalu ke open mic di Unida yang notabene-nya jauh sekali dari rumah maupun kampusnya di BSI Bogor. Entah berapa ongkos yang mesti ia keluarkan setiap hari rabu. Pastinya Ia bisa seharian tidak makan. Begini, rata-rata ongkos yang dipunya mahasiswa pas-pas-an paling 25ribu. Saya percaya, dengan uang segitu cuma pas untuk ongkos dan beli minum di warung pinggir jalan. Tapi, Bakriyadi, Ia selalu datang untuk latihan di open mic Unida.

Saya jadi ingat ucapan salah satu teman saya yang penah naik Gunung Gede bermodalkan uang 15ribu, katanya: Masa temen gue makan gue gak dikasih, sih.

Apa Bakriyadi juga berpikir sejauh itu? Eum,… siapa pun yang pernah berkomunikasi atau berinteraksi langsung dengan Bakriyadi pasti tahu sendiri jawabannya.

Di dunia Stand-up Comedy, open mic adalah semacam laboratorium, begitu kata Pandji dibuku Merdeka Dalam Bercanda-nya. Tapi bagi saya, open mic itu seperti memakai boxer (daleman celana), memakai celana di dalamnya celana. Yup, open mic itu ada latihan sebelum latihan. Sebelum open mic mesti latihan dulu, supaya nanti ketika diuji di panggung open mic sudah setengah matang.

Terakhir saya bertemu Bakriyadi di open mic Bogor, betapa seriusnya Ia mempersiapkan materinya, penampilannya, dan mengurutkan bit-nya. Datang satu jam sebelum open mic mulai, membuka skrip-nya yang ditulis tangan dan menghapalnya berkali-kali. Setelah Ia hapal, diurutinya satu-persatu bit-nya. Hasilnya, PECAAAAAAH !!


Bakriyadi open mic

Lihat, Bakriyadi, betapa seringnya Ia datang ke laboratorium. Betapa seriusnya Ia ingin jadi seorang Komika. Kata Bakriyadi, Komika idolanya adalah Jui Purwoto. Mungkin, suatu saat nanti Ia akan sesukses Jui.

Saya percaya, Bakriyadi akan jadi komedian hebat. Bukan karena 'sesuatu pada dirinya' semata, tapi karena latihan rutin yang Ia lakukan. Kalau boleh sedikit meminjam ucapan Vrika, "Keberhasilan bermula dari kebosanan-kebosanan yang sering ditemukan. Bosan ini, bosan itu, bosan terhadap yang dilakukan."

Jadi, untuk apa tidak mencoba untuk mencoba open mic? Cobalah. Latihan di sana.


Sedikit tulisan saya ketika pertama kali ketemu Bakriyadi dulu: Tiga Kata, "Gue Gak Nyesel"


Perpustakaan Teras Baca, 6 Oktober 2013, setelah pulang dari rumah Bang Rifky.

Bidadari Tanpa Hujan

By : Harry Ramdhani


Malam ini aku lihat Bidadari menangis di teras rumahmu; di pojokan, kekasih, menunggu hujan yang tidak lagi datang.

Sungguh sedih melihatnya di sana, kekasih, tanpa hujan mana mungkin Ia bisa kembali pulang ke kayangan.

"Menapa Ia kejam, Tuan?" begitu kata Bidadari padaku, kekasih, "malam ini tak ada hujan. Sekejam itukah, Tuhan, Tuan?" lanjutnya pilu.

Aku diam.

Beberapa saat kemudian, kau datang, kekasih, membawa senyum untuk teduhkan sedih Bidadari yang menunggu hujan.

"Bidadari diciptakan Tuhan untuk temanimu yang kesepian," jawabmu. Tapi untuk apa bila aku milikimu, kekasih?




Perpustakaan Teras Baca, 1 Oktober 2013

photo: Payung
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -