The Pop's

Archive for December 2012

(Pasca) Pameran Sampah

By : Harry Ramdhani

Untuk kali ketiganya gue dibilang, “Lu tuh unik tapi, uniknya kok ketagihan gitu.” Ahh, entah udah berapa orang yang ngomong miring tentang gue  dan yang jelas kalimat umptan itu kerap muncul saat Pameran Sampah gue lalu.
Hanya gue (setidaknya yang gue tahu), yang berani bikin pameran tunggal di kampus ini. B aru gue (setidaknya yang gue tahu), yang berani berlakuin ticketing untuk bisa masuk ke dalam Pameran. Ahh, hanya unmpatan miring yang terdengar dan tidak ada ucapan bagus yang baru yang bisa gue denger. Semua mencibir karena merasa tersingkir, atau semua diam karena merasa dilangkahi.
Gue, anak baru diantara para dedengkot seniman yang ada di Kampus. Gue, bukan seniman karena bikin Bgaris lurus aja gak bisa tapi, inilah perjuangan gue. Berjuang untuk para seniman yang ada di Kampus agar semua karya yang mereka hasilkan dapat dihargai ‘secara layak’. Bermula dari semua postingan gue di blog dan sedikit tambah tulisan baru gue juga beberapa tulisan baru untuk Pekan Anyaman HUJAN menghiasi dinding secretariat Fisikom.
Pameran Sampah sangat sukses bila indikator sukses sebuah acara adalah ticketnya jebol. Pasti sering dengerkan istilah ‘nunggu jebolan aja biar bisa masuk gratis ke sebuah acara tanpa beli ticket’ ? Nah, itu yang terjadi saat Pameran Sampah. Semua orang bisa leluasa masuk dan keluar Pameran sesuka hati. Belum lagi, ticket yang dijual via ‘calo’ gak adayan g balik. Beuh, pokoknya Pameran Sampah sukses. Sukses untuk pengunjung, sukses untuk calo, dan sukses untuk para pencibir. That’s all about them.
Secara pribadi, gue gagal. Karena itulah gue, melakukan sesuatu pasti gagal dan gak pernah bosen untuk gagal. Namanya juga Pameran Tunggal jadi, ya cuma gue sendiri yang ngerjain. Dari tata letak sampah, tata letak dekorasi, tata letak orang-orang yang datang, dan semua kacau. Indah memang bila ingin berkarya di Negeri (Kampus sendiri) ini. Banyak ‘loh yang ngasih masukkan tapi, namanya juga masukkan via celotehan, ya masuk kuping kiri-berenti sebentar di otak-keluar kuping kanan. Banyak ‘loh yang pengen beli ticket, ya namanya juga pengen mau ini-mau itu-gak ada abisnya (Manusia itu banyak mau-nya).  Banyak ‘loh yang mencibir, ya namanya juga cibiran hina sini-hina situ. Over all, gue bangga sama apa yang telah gue lakuin, gue bangga punya kakak yang ngedukung, gue bangga punya papah yang (selalu) diam saat gue berulah, gue bangga punya mamah yang gak pernah berhenti doain, dan gue bangga punya #peang yang terus nunggu gue pulang ke rumah buat main  bareng.
Kini, Pameran Sampah sudah siap diberesin karena jangka waktu display adalah satu minggu. Tanggal 31 januari semua kembali seperti semula. Back to nature. Alam gersang untuk orang yang berjuang, Alam diam untuk orang yang kelam. Semua kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan anggaplah semua gak pernah ada.

Nb: oia, katanya nanti pertengahan Januari ada Pameran lagi ‘loh di Kampus. Bukan karya gue tapi, karya Eboy. Nama pamerannya, “All About Eboy.” Tunggu aja, pasti seru.

Indonésie ou Endonesa

By : Harry Ramdhani

Aku hanya tidak ingin ini seperti Kotoran Air Besar
Dikeluarkan lalu bisa hilang dengan sekejap.

Kini pikiranku sedang liar.
Lalu terbit ide-ide yang menular.
Menyatu beriringan sampai akar… buah zakar.

            Lihat…
            Ini adalah tanah liat.
            Tanah yang dikuasai oleh Konglomerat.
            Dan rakyat jelata, makin melarat.

Tidak perlu mencari kesalahan dalam kekalahan.
Tidak perlu mencari pembenaran untuk kemenangan.
Tidak perlu memcari peluang demi bertahan.
Tapi disini, Aku berjuang…
           
Benarkan ini Negara GAGAL ?
Asumsi bermunculan.
Persepsi membingungkan.
Delusi menyesatkan.
Komunikasi tidak berjalan.

            Kita telah ditakdirkan untuk berjuang.
            Bukan hanya duduk berpangku tangan dibawah tiang.
            Menyingsingkan baju kedua lengan tangan.
            Mari berjuang, Kawan…

Akan ‘kah kita seperti kambing dengan macan ?
Yang terikat kedua kaki dan tangan.
Gerundang tinggal di kubangan.
Ayo kerjakan sesuai keahlian.

Tengok sejarah sebagai pemantik.
           
Tertawalah kalian sampai menggelitik.
            Kini kebenaran sudah mulai terkuak.
            Melihat gayamu, Aku muak.



Duduk sambil mengeluh karena tidak bertindak.
Bersembunyi sampai tidak nampak.
Aku percaya ada penyelesaian kelak.
Mari bertindak…

            Harapan baru dengan serangkaian pertanayaan.
            Kenapa Aku harus berjuang ?
            Kenapa AKu harus bertindak ?
            Untuk apa ?

Ingatkah kalian dengan lima ayat Kalimasada ?
Siapa ingin kaya, perbanyak berderma.
Siapa ingin pandai, mengajarlah.
Siapa ingin dicinta, mencintailah.
Siapa ingin bahagia, bahagiakanlah sesama.
Siapa ingin mati sempurna, maka sempurnakanlah kematian sahabatmu.

            Perhatikan…
            Dari Sabang samapi Merauke.
            Dari Kupang samoai Ternate.
            Dari Kalimantan sampai NTT.
            Inilah Indonesia… Inilah Tanah Surga…

Debu tak mengeras jadi batu.
Sudah saatnya Indonesia bersatu.
Bersatu tidak harus satu.
Tapi bersatu sudah pasti menyatu.
Langkahkan kaki menuju peradaban baru.
Tengok lagi ke belakang, saatnya Bersatu.

            Mulailah denan mencintai.
            Mulailah dengan hati nurani.
            Mulailah dengan pikiran yang murni.
            Kaena ini semua berawal dari mimpi.

Indonesia merdeka karena terjajah.
Sudah banyak korban yang terpanah.
Tanah-pun berubah merah tertutup darah.
Bagai semut terinjak gajah, rasa pesimis untuk menyerah dan kalah.
           
Berinjak kaki kanan siap melompat seperti tupai.
            Apa yang harus dimulai ?
Pemuda dan anak muda berbeda.
Pemuda ditakdirkan berjuang untuk sesama.
Anak muda ditakdirkan untuk ngengkang sambil foya-foya.
Tidak adanya korelasi diantara keduanya.
Pilihan ada ditangan, wahai Rakyat Indonesia.

            Tidak bisa kita mengesampinkan sejarah.
            Banyak pemuda dan pejuang yang gelah merelakan darah.
            Dengan gagah memegang panah.
            Menari-pun tiada arah.

Ssttt…
Ada yang terlupakan oleh kita.
Rakyat Indonesia ditakdirkan untuk berjuang.
Tapi…
Rakyat Endonesa ditakdirkan untuk ngengkang.

            Coba ingat, apa yang sudah Sampean lakukan ?
            Coba ingat, apa yang sudah Sampean eluhkan ?

Aahhh…
Sudahlah, pegel Aku ngoceh panjang lebar.
Aku tau, kita hidup di tanah yang sama.
Aku juga tau, kita memandang matahari dari arah yang sama.
Tapi Aku tidak tahu, apa kita satu bangsa ?
Aku berdikari diatas semua posisi para politisi.
Karena Aku Oposisi.
Karena Aku rakyat Indonesia bukan Endonesa.

byuuuuuuuur… .

Feuilles Séchées étaient Mouillés

By : Harry Ramdhani


Ini hanyalah daun kering yang basah
karena binarnya mentari tak bisa
menghangatkannya.

Ini hanyalah daun kering yang basah
karena deru angin tak sampai di daun jendela.

Ruang menyempit namun, waktu meluas
kemudian detik mati, dan sepi menggerogoti.

Ini hanyalah daun kering yang basah
karena jutaaan larik cahaya lagi tak berarti.
Beranda asa sudah tertutup menemui empunya.

Ini hanyalah daun kering yang basah
karena kesediahan akan kepergian.

Selimut tebal mendekap erat. Tubuh ini
tampak mungil tak berdaya. Sesak namun,
hangat karena… ini hanyalah daun kering
yang basah.

Ini hanyalah daun kering yang basah
karena kepasrahan terhadap keadaan.
Gagasan-pun tak begitu nampak tapi, terlihat.
Memang samar, memang fana tapi, ada.

Ini hanyalah daun kering yang basah.
Tiang tinggi tebuat dari besi.
Kabel hitam melintang dari satu tiang ke tiang lainnya.
Kadang, ada burung yang melintas di atas
tidak satu tapi, bergerombol.
Hanya melintas tidak hinggap seperti daun
kering yang basah.
Tersingkir karena umur, terpisah karena tak
kuat, dan terinjak karena tak hinggap.

Kembali, ini hanyalah daun kering yang basah.

Pipi merah dengan make-up tipis
terlihat cantik berpadu warna kelabu.
Senyum manis mencuat dari bibir yang tipis
begitu serasi dengan air yang keluar dari mata
tidak hanya tiga tetes namun, bisa
membasahi pipi merah da merubahnya,
memuda seperti daun kering yang basah.

Benar, ini hanyalah daun kering yang basah.
Indonesia adalah negeri maritim.
Dikelilingi air disetiap sudut pulau
karena laut merupakan bagian yang intim
dari Indonesia yang kemilau.
Pejabat tinggi membuat Indonesia (tampak)
kering. Mereka membuat lahan basah di tanah
maritim kemudian (berdampak) kering.
Hanya pejabat yang bisa membuat
daun kering menjadi basah.

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -