The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani July 06, 2013

Pertemuan kita sungguh singkat. Di sebuah Kedai di dekat kampus ternama di Bogor saat hujan turun dengan arogan.

Sweater cokelat yang kau kenakan terlihat berat. Mungkin telah banyak meresap air hujan di badan. Pandanganku-pun terisap oleh caramu mengibaskan rambut-rambut basah itu. Dari jarak kejauhan tentunya. Di sinipun aku menggigil oleh angin yang terus berhembus tak karuan. Menyerang dari depan dan belakang. Aku kedinginan. Apalagi kamu dengan sweater cokelat basah?

Pandanganku-pun berhenti saat mobil sedan abu-abu berhenti tepat di depanmu. Keluar seorang ibu-ibu yang umurnya sekitar 40-an memberikanmu payung kuning bergambar bunga disekelilingnya. Aku pikir itu adalah ibumu. Kalaupun bukan, itu bukan urusan. Aku terpesona olehmu saat ini, saat hujan menjebakku di kedai sendiri.


***

Seperti orang-orang dalam cerita fiksi, aku menunggumu di tempat dan di jam yang sama, masih juga kau tak kunjung datang. Besoknya, lusa, sampai dua mingggu berikutnya,… tidak ada.

Karena sudah terbiasa menunggumu di sini, di sebuah kedai tempat mahasiswa membuang-buang waktu, aku jadi kenal beberapa pelayan kedai. Salah satunya: Triyono., pria jawa yang senang sekali melantunkan guyon ketika aku memesan secangkir kopi hitam. Ia tahu, kopi hitam adalah pesananku kedua untuk menunggumu. Kata Triyono, "Kopi aja bisa, tuh, dari panas ke dingin. Masa perasaan, nggak?" Terus saja Ia meledekku dengan guyonannya. Padahal garing tapi, karena logat kental jawa yang sudah campur aduk dengan aksen sunda, jadilah menggelikan. Aku tidak marah sama sekali, mungkin ada benarnya ucapan Triyono.

Hujan turun ketika aku ingin pulang. Cukup deras, sama seperti pertemuanku dulu dengan wanita ber-sweater cokelat.

Kedai tidak terlalu ramai, padahal aku membawa jas hujan di motor tapi, hanya enggan saja mengenakan. Karena ada beberapa berkas-berkas perbaikan skripsiku yang tidak boleh hancur oleh hujan. Cukup harapanku saja.

Ketika ingin memesan, jatuh dua logam lima ratusan. Cliriiing, menggelinding lalu meluncur mulus ke selokan. Ahh, sial. Sesaat menoleh dari jatuhnya uang logam, ada dia, dia, wanita ber-sweater cokelat yang dulu pernah aku lihat. Kini, Ia tepat ada di sebelahku. Gugup, tak satu-pun kata yang bisa menyup keluar dari rongga mulut.

"Har, ada uang lima ratus, gak? Lagi kosong receh, nih." Tanya Triyono padaku.

"Hah!! ada kok, ada, tapi tadi udah masuk selokan." Tunjukku ke arah selokan tapi, sedikit mengenai lengan dia, wanita ber-sweater cokelat. "Maaf." Kataku.

Dia, wanita ber-sweater cokelat hanya tersenyum. Sungguh cantik.

Sejak saat itu --berkat Triyono tentunya-- aku bisa kenal dengannya (bahkan lebih dalam). Hampir setiap hari aku menunggunya selesai kerja di kedai. Aku selalu memesan kopi hitam. Tidak seperti dulu, biasanya aku memesan secangkir kopi hitam untuk menunggu kedatangannya yang tak tentu tapi, kini secangkir kopi hitam pesananku adalah temanku ngobrol dengan Alania. Seorang wanita ber-sweater cokelat itu.

Janjian di kedai, minum-minum santai, lalu membicarakan hal remeh-temeh seperti orang yang sedang berjemur di pantai. Begitulah keseharianku dengan Alania, jika sudah waktunya, aku pulang mengantarnya. Di motor-pun kita masih bisa membicarakan banyak, dia sungguh orang yang pandai mengamati hal dengan cermat. Sehingga, lampu merah yang lama saja bisa jadi obrolan kita sepanjang jalan. Bahkan di akhir pekan, Ia tetap ingin mengajakku untuk bertemu di kedai. Begitulah suasana kedai, jauh lebih merakyat dibanding ocehan para wakil rakyat yang katanya merakyat. Ndasmu merakyat.


***

Malam itu tidak berbeda dengan malam lain saat aku menunggunya di kedai. Kini, Alania datang dengan tampang sedikit serius. Padahal, sejak tadi siang tidak ada apa-apa. Hanya kabar baik yang datang.

"Hardy, apa yang kamu rasain katika bersama aku?" Alania menanyakan tanpa basa-basi terlebih dulu.

"Aku,… aku merasakan senang. Sebentar, apa ini soal status?"

"Aku tidak berpikir seperti itu."

"Tapi, itu maksud kamu, kan?"

"Hardy, Aku menyayangimu." Mata Alania memerah. Sedikit lagi mungkin akan meletus air mata dan mengguyur pipi mulusnya.

"Begitupun aku. Lantas, kenapa kau menanngis Alania?"

"Mulai minggu depan, aku akan pergi ke luar kota. Selamanya."

Akhirnya, Alania menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya. Sejak saat itu, aku dan Alania hanya bisa bertukar kabar melalui sms dan telpon. Sebuah pernikahan yang telah membuat hubungan kita sebatas teman. Teman yang tumbuh dari rasa sayang.

*** 10 tahun kemudian ***

Aku dan Triyono mendirikan sebuah kedai sendiri. Kedai yang telah lama kita perbincangkan dulu sejak aku mulai menunggu seorang wanita ber-sweater coklat. Kedai itu kita berinama: Alania.

Perpustakaan Teras Baca, 6 Juli 2013

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -