The Pop's

Archive for June 2018

Cerita tentang Anak Kecil di Warung Makan yang Tetap Buka Saat Puasa

By : Harry Ramdhani
Bocil nyang lagi tidur itu. Pules beut!

Anak itu tertidur pulas. Sesekali matanya terjaga, lalu terpejam kembali. Sayangnya bukan di tempat tidur dan bantal yang empuk untuknya, anak itu tidur di meja warteg. Kau pasti tahu seberapa luas meja itu. Sekadar cukup untuk satu piring dan satu gelas --meski ukurannya panjang. Mainan yang tadi dipegangnya sampai terjatuh ke lantai. Ibunya sedang sibuk mencatat utang pelanggannya. Satu dari karyawan kantor, satu lagi oleh satpam. Buku tulis yang semestinya digunakan mencatatan pelajaran, namun kini di perlakukan sebagai pengingat tunggakan. "Tidak boleh kalah sama yang gajinya bulanan," katanya, tidak ditujukan kepada siapa-siapa yang ada di sekelilingnya.


***

Aku pindahkan gelas dan bungkus rokok dari sebelah anak itu. Takut tersenggol dan pecah ketika jatuh. Sebelum anak itu tertidur, ia manaiki meja, menghampiri tv yang diletakan di atas etalase warung. Ia coba berkali-kali tidak bisa. Mungkin aku sendiri sedikit risih dengan apa yang dilakukannya. "Belum dicolokin kali kabelnya," kataku. Anak itu menoleh dan lalu (seperti) tidak peduli. Barangkali anak itu semakin penasaran, ketika kaki kanannya sudah terangkat, aku langsung menjulurkan tangan untuk melarang. Ayahnya di dapur keluar. "Mau apa, dek?" Nonton tv, jawabnya. Anak itu diturunkan dari meja, didudukan di sebelahku. "Colokannya dipake buat kipas. Nanti saja ya." Anak itu paham. Meski tidak mengangguk dan diam, aku tahu begitulah reaksi anak-anak jika habis dinasehati. Mainan lego, sepertinya itu namanya, berbentuk pesawat terbang yang ada di tangannya ditaruh di atas etalase. Anak itu duduk lagi. Tidak lama anak itu berdiri untuk tidak duduk lagi. Anak itu berdiri sembari melafalkan beberapa surat dan ayat. Surat Al Kausar yang aku tahu dan ingat. Kemudian menyelonjorkan badan di meja warung, masih melafalkan itu, dan tertidur.

***

Seketika aku ingat tayangan di MNC TV "Semesta Bertilawah". Setiap sahur sekeluarga aku menonton itu. Gomah senang ada anak kecil yang bisa hafal Quran. Aku sendiri senang ayat-ayat Quran disenandungkan. Aku kira Peang dan Gopah juga suka, meski aku tidak tahu suka karena apa.Namanya program tv selalu mengedepankan drama-drama, apapun didramatisir. Pernah satu episode di mana Seorang anak yang dititipkan di Pesantren oleh ibunya sewaktu kecil ditanya-tanya oleh Arie Untung dan entah siapa host perempuannya. Anak itu masih kecil, umurnya sekira 8-10 tahunan, ditanya kabar ibunya saat ini, bagaimana ia mencari ibunya lewat facebook yang dibantu oleh pihak pesantren dan lain-lain. Pedahal sudah jelas: anak itu dititipkan ketika masih (sangat) kecil. Barangkali ingat wajahnya saja tidak. Sudah tentu anak itu menangis. Ia diminta mengingat atas apa yang ia tidak tahu. Betapa bodoh! Hanya pagi itu sahur jadi tidak terasa mengenakan. Aku sendiri hanya memakan beberapa suap nasi dan keluar; merokok.

***

Sewaktu kecil, setiap kali aku membaca Quran di rumah, jika ada satu bagian yang aku baca keliru, entah dari dapur atau mana, Gomah selalu memperbaiki dengan sedikit berteriak. Atau, ketika aku kesulitan membaca, mungkin karena tidak tahu tajwidnya, jadi terdengar aneh, pasti Gomah akan membetulkan. Aku sendiri tidak tahu apakah Gomah (sudah) hafal Quran atau Quran memang gampang diingat, jadi mudah terdengar aneh ketika ada keliru saat membacakannya. Membaca Quran selalu menyenangkan. Apalagi membaca terjemahannya. Ini adalah fase di mana aku mulai mencintai puisi. Selepas terawih atau sholat subuh, aku pergi ke perpus Teras Baca. Membaca Quran dan terjemahannya. Tidak lama, paling 3 jam sahaja. Bahkan, entah mengapa, ketika selesai membaca, aku merasa tenang. Terlebih senang karena arti ayat yang aku baca tersusun sangat baik --laiknya puisi. Buku puisi terbaik yang pernah aku baca, barangkali, adalah Quran. Anehnya lagi, setiap kali selesai membaca Quran, aku tidak bisa berdiri. Kedua kaki tidak bisa digerakkan. Kaku. Malah aku pernah dibangunkan Gomah yang membangunkan aku di Perpus dalam keadaan tertidur dengan kaki menyila sambil memeluk Quran. Sudah pagi dan mau dipakai tadarusan.

***

Ibu warung tadi langsung bercerita tentang anaknya. Katanya, anak itu semestinya sudah kelas dua, tapi mesti berhenti sekolah karena ikut ke Jakarta dengan ayah-ibunya. Maklum, keluarga itu datang untun bergantian dengan kakaknya yang kebetulan aku kenal, mesti balik kampung. "Dulu sih bilangnya cuman 3 bulan, lah ini udah hampir setahun. Ya gitu jadinya, dia gak sekolah. Diajak pun ia nolak, cuma mau main dan ngaji saja," kata Ibu warung. Umur anak itu kira-kira hanya berbeda satu tahun dari Peang. Jadi aku tahu betul pada umur-umur segitu apa yang ingin dan tidak inginkan dari anak-anak. Ibu warung bilang, anak itu memang tidak tidur semalaman. Dari siang malahan. Kadang main dan baca Quran saja. Sampai tadi dia bilang, kata Ibu warung, "mama gak saur, mama gak masak buat dagang?" Warung itu memang tidak tutup ketika bulan puasa. Tetap buka, tapi aku sama sekali tidak ingin menanyakan alasannya. Buat apa juga. Masih ada orang-orang yang tidak berpuasa dan lapar. Aku pikir wajar saja kalau buka. Kami berbincang sangat pelan takut-takut anak itu bangun. Namun, dalam obrolan kami itu, ada yang terus pikirkan, seperti: bagaimana orangtua itu memberi tahu kepada anaknya kalau puasa di bulan Ramadan itu wajib bagi umat muslim? Sedangkan sampai saat ini saja warungnya tetap buka.

***

Mainan yang tejatuh di lantai itu aku ambil dan letakkan di sela jari tangannya yang tertidur. Semula tidak ia genggam mainan, tapi saat jariku menyentuh jarinya, ia langsung mengambil tanganku. Ibu warung tersenyum. Aku lepaskan perlahan dan membayar makananku. Sambil keluar warung, spotify tengah memainkan lagu "Breakfast at Tifanny's" dari Deep Blue Something.
Tag : ,

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -