The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani September 18, 2013



Malam minggu hanya soal rindu yang terganggu, melihatnya seperti pecandu shabu di Panti Rehabilitasi-- tersiksa tanpa narkoba --dengan mata yang layu. Berkeliling di pusat kota mencari hiburan; kesenangan di tengah keramaian. Kemudian lirih mendengar mesra pasangan muda-mudi di trotoar jalan. Sedikit tidak tahu malu, ada yang pelukan, ciuman, bahkan bertukar pakaian dalam.

Hingga semua berubah ketika ada penculikan.

***

Tidak ada yang terdengar selain suara radio dan serak-serak suara lelaki tua. Gelap, tak ada satu pun terlihat. Bau asap rokok juga menyengat, dan dada semakin sesak. Seluruh badan tidak ada yang bisa digerakan, mungkin akibat tadi melawan. Rasanya ada yang menindih badan. Berat.

Kurang dari sepuluh menit, aku dengar klakson kendaraan yang sahut menyaut bergantian. Nampaknya aku tahu, ini ada di lampu merah perempatan. Semakin sering aku dengar suara klakson, semakin jelas pula bahwa pengguna jalan banyak yang tidak sabaran. Padahal sudah ditentukan secara bergiliran. Percuma antri kalau ingin saling mendahului.

Tidak ada suara lagi, hanya angin kencang yang masuk ke dalam. Jalanan sepertinya sepi.

"Berapa menit lagi kita sampai?" kata salah seorang dari empat-lima orang yang tadi menculikku.

Suaranya tidak asing, tapi aku belum berani memastikan.

"Setelah lampu merah ini, kita tinggal belok kanan dan sampai tujuan," kecil suaranya namun, jelas, "Orang itu belum siuman?" lanjutnya.

"Sama sekali tidak bergerak, sepertinya belum," kata yang lain.

Tapi memang aku hanya diam; tidak ingin melakukan gerak yang mengundang kecurigaan. Kalau sampai ketahuan, bisa dibuang di pinggir jalan. Aku tidak ingin mati konyol karena penculikan.

Sebenarnya apa yang mereka inginkan?

***

Mobil berhenti cukup lama. Tidak ada suara orang dan radionya dimatikan. Aku masih pura-pura belum siuman. Hingga akhirnya aku tahu, kepalaku ternyata ditutup kain hitam dan kedua tangan juga kaki diikat kencang.

Pintu mobil dibuka. Aku digopong keluar oleh tiga orang. Masing-masing dari mereka memegang kencang; satu di kepala bagian bawah, satunya di pinggul, dan satunya di kaki.

Dibawanya aku duduk di bangku yang terbuat dari kayu. Penutup kepalaku dibuka paksa. Aku (masih pura-pura) pejamkan kedua mata.

"Dani, bangun. Ayoo cepat bangun. Buka matamu sekarang," suara itu, suara temanku, Henry.

"Gak usah pura-pura merem," itu suara, Anto, "kami tahu kau sudah siuman dari tadi. Dari lampu merah perempatan."

"Maaf, kalau kami memperlakukanmu seperti ini, seperti ingin menculikmu. Kami sudah tidak tahu mesti lakukan apa supaya kau percaya," Henry meneruskan.

Aku buka kedua mataku. Gelap. Semua terlihat berbayang. Sangat tidak jelas.

"Tunggu beberapa menit lagi dan kau akan tahu semua," kata Anto sambil merangkul pundakku.

"Ada apa?" tanyaku, "Apa yang terjadi?"

"Kau lihat sendiri saja nanti," kata Anto yang kini berdiri dan membakar sebatang rokok kretek. Dibuatnya bentuk 'O' dari asapnya.

Kami tepat berada di pinggir jalan. Di seberang hotel yang cukup lumayan. Pikiranku tertuju pada Leni, tunanganku, yang akhir-akhir ini memang sibuk dengan pekerjaan.

Apa dia memiliki selingkuhan?

Apa yang Ia lakukan di hotel berbintang?

"Kita akan menghampiri mobil sedan berwarna abu-abu itu," Anto menunjuknya dengan penuh kepastian, seakan Ia tahu jalannya kejadian yang membuatku semakin penasaran.

Kedua kaki dan tanganku masih diikat.

"Yasudah, lepaskan ikatan ini," kataku yang mulai kesakitan karena ikatannya terlalu kencang.

Keluar dua orang dari dalam hotel. Saling merangkul badan antara satu dengan lainnya.

Anto melepas ikatanku.

"Ayo kita ke sana," ajakku.

"Tidak. Lebih baik kita ikuti mereka dari belakang," kata Henry yang melempar-lempar kunci mobil ke udara dan ditangkapnya lagi.

"Sebenarnya ada apa?" Aku semakin penasaran.

"Kita ke rumah Leni sekarang," lalu Henry masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.

***

Sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang bicara. Semua diam. Muka mereka tampak serius. Hingga pada akhirnya kita sampai di ujung jalan rumah Leni.

"Kita ingin kau melihat langsung dengan mata-kepalamu sendiri, Dan," seru Roni yang dari tadi tak bersuara. Dingin.

"Kita ke dekat rumahnya saja sekarang," ajak Anto.

Kami semua keluar dari mobil dan bersembunyi di bawah pohon mangga yang cukup besar.

Mobil abi-abu tadi datang. Tepat berhenti di depan rumah Leni. Salah satu ada yang keluar membukakan pintu sebelahnya. Sungguh perhatian-- mungkin lebih tepatnya berlebihan --dan Leni keluar dari pintu satunya. Kemudian mereka berciuman.

Aku keluar dan berlari sambil berteriak, "Leni…,"

Leni tampak kaget. Kebetulan tidak ada lampu penerang jalan di depan rumah Leni hingga satu orang lagi tidak terlihat.

Aku mulai mendekat. Ternyata satu orang lagi itu, orang yang tadi keluar dari hotel bersama Leni dan ciuman di depan rumahnya adalah perempuan. Aku sendiri tidak percaya. Kata-kata yang tadinya ingin keluar mendadak tersumbat di tenggorokan.

"Sa… yang,…" kata Leni, "Aku. Aku. Aku bisa jelaskan semua."

***

Sudah lama ternyata Leni mengalami 'sedikit' kelainan pada dirinya. Semenjak kedua orangtuanya mendesaknya untuk cepat menikah, Leni mulai kenal dengan orang-orang yang; notabene penyuka sesama jenis. Lesbie.

Leni banyak mendapatkan uang dari sana. Dari hasilnya kenal dengan orang-orang itu. Alasan awalnya: untuk biaya pernikahan. Namun, lama kelamaan, Ia ketagihan. Kecanduan. Dan, benar-benar penyuka sesama jenis sungguhan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Pernikahan yang sederhana (hanya keluarga kita dan orang-orang terdekat kita) dan sedari dulu kita berdua idamkan hancur berantakan bak mainan Uno Stacko yang beserakan di lantai setelah diambil bagian bawahnya dengan sembarangan.

Bisa saja aku ambil, menyusunya, dan mainkan lagi. Tapi, lawan mainku bukan Leni.



Dalam kereta yang gerbongnya sepi tanpa penumpang lainnya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -