The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani February 26, 2014



Betapa sulitnya kini saya menulis karena perubahan redaktur. Mendadak saya mesti mengikuti pola pemikiran, tujuan, dan segala macam tetek-bengeknya. Menulis di Kompasiana-pun saya menjadi kagok. Selain ingin menulis dengan apa yang saya ingini, saya juga mesti memikirkan 'bagaimana caranya supaya di-share oleh momod (sebutan untuk admin moderator di akun Kompasiana) di twitter.

Redaktur memiliki kewenangan lebih, karena mereka-merekalah yang tahu pasar ingin apa, pasar mesti diberikan apa, dan lain sebagainya. Sebagai komunikator, saya terpaksa dan nampaknya ingin keluar saja. Daripada seperti makan di Rumah makan padang, tapi yang menjual bukan orang padang. Kurang nendang.

Saya jadi ingat, minggu lalu saya makan di Rumah Makan Padang. Seperti biasa, kalau makan pakai uang sendiri, saya tidak pernah memesan ayam (bakar/goreng) atau rendang, pasti saya lebih memilih menu-menu yang remeh-temeh dan murah seperti telor dadar, jengkol, dan, peyek udang. Toh, makan nasi padang tanpa lauk sebenernya sudah lengkap.

Namun hari itu berbeda, saya makan di Rumah Makan Padang di mana pemiliknya berasal dari jawa. Artinya, dari yang memasak sampai hasil masakannya pasti berasa 'lidah jawa'. Bukannya saya tidak suka, asalkan harganya murah tentu rasa menjadi urutan nomor dua.

Tapi, di lain hal, saya jadi memikirkan betapa inginnya pemilik Rumah Makan Padang tersebut mengikuti keinginan konsumen. Mayoritas orang-orang lebih memilih masakan padang daripada masakan warteg. Padahal, masakan khas daerah Jawa tidak kalah peminat.

Dibidang jurnalistik pun demikian. Saya mengenal banyak jurnalis kampus dengan segala tulisan dan pemikiran yang tajam, mendadak tumpul ketika mereka memasuki dunia kewartawanan yang lebih profesional. Entah. Tidak lagi saya membaca karya tulisnya yang mampu menggerakkan orang yang membacanya.

Tidak mudah ternyata memasuki dunia profesional yang mengatas namakan kepentingan khalayak pasar (konsumen). Padahal, pasar ialah kita yang membentuk, bukan malah menurutinya. Orang-orang ngawur yang jujur perlahan hilang menjadi nurut tapi, munafik.

Perihal ke-ngawuran, ngawur ialah sifat manusia yang jujur. Betapa indahnya melihat kejujuran di tengah masyarakat kini yang munafik. Ini yang kurang dimanfaatkan oleh banyak penguasa modal. Sebagai komunikator, kita punya peluang yang lebih besar mengubah perilaku komunikan, bukan malah menjijili komunikan dengan yang mereka inginkan.

Ingin ngawur tapi, jujur. Atau, nurut tetapi malah jadi munafik? The choice is your.




Perpustakaan Teras Baca, 25 Februari 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -