The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani March 04, 2014



Dulu, sekitaran tahun 1997/98, kampus lebih tepat di sebut untuk tempat yang menakutkan ketimbang tempat untuk mengayom pendidikan.

Bagaimana tidak, setiap hari hanya diisi dengan diskusi dan demonstrasi mahasiswa menentang kekuasaan Soeharto kala itu. Ya, mengatas-namakan 'aspirasi', halal dan haram tampak abu-abu. Karena yang dipikirkan mahasiswa hanya satu: menjatuhkan singgasana orde baru. Titik.

Hebatnya, saat itu, gerakan terjadi di seluruh Indonesia tanpa lagi mengenal kampus ini dan kampus itu sempat bermusuhan. Kepentingan pribadi dan kelompok disingkirkan. Seluruh mahasiswa saling mengepalkan tangan kiri tanda perlawanan. Bersama-sama turun ke jalan.

Setiap hari. Setiap ada mahasiswa yang diperlakukan tidak adil oleh polisi.

Kumudian, muncullah sekret-sekret yang di sebut Sekret Reformasi di setiap kampus. Di sana, rasanya sekret tempat paling aman; selain kostan, untuk aktivis kampus merencanakan agenda demonstrasi besok pagi. Inilah yang menyebabkan sempat ada slogan, 'Aparat dilarang merapat ke wilayah akademis'. Makanya, dulu, polisi atau pun tentara tidak bisa masuk ke kampus untuk menertibkan.

Kemunculan sekret reformasi ini saya rasa karena memang kostan tidak lagi aman. Dari laporan yang sempat di tulis Anton, Pustakawan Geng Salip, pada majalah Retorika, dulu kawasan kostan Universitas Djuanda (Unida) sempat di swiping oleh polisi untuk mencari DPO (Daftar Pencarian Orang) yang diduga adalah mahasiswa karena telah membunuh aparat. Salah seorang aktivis kampus dari Unida ditangkap di kostan. Barulah terjadi ledakan besar-besaran oleh mahasiswa dan aparat seluruh Indonesia. Dan, baru pada akhirnya terjadi penembakan pada beberapa mahasiswa dari Trisakti, Jakarta.

Sekret Reformasi tersebut sebagai benteng terakhir mahasiswa. Tak ada lagi tempat yang aman untuk mereka.

Karena itu, sebagai bentang terakhir, sekret reformasi tidak pernah sepi. Mahasiswa hanya bisa memanfaatkan keterbatasan supaya (tetap) bisa demo sepanjang hari-selama yang mereka inginkan: menjatukan Soeharto tercapai. Dari sekret reformasi itu pula mahasiswa orasi, mengajak dan terus menentang tiada henti.

Hari itu Soeharto tumbang. Mahasiswa menang. Rakyat bernyanyi dan menari kegirangan.

Reformasi telah terjadi dengan diangkatnya Habibie sebagai Presiden baru. Menggantikan Soeharto, yang telah mengibarkan bendera putih di Istana kala itu.

Satu hari. Satu minggu. Satu bulan. Perlahan sekret reformasi sepi. Merasa yang diperjuangkan telah didapat, mahasiswa pun meninggalkan sekret seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bak kehilangan nyawa, bangunan sekret tak ayal sebuah jasad; yang lambat laun menjadi bangkai.

Sebenarnya, gerakan yang dilakukan oleh aktivis kampus dulu ketika demonstrasi dalam bentuk orasi tak jauh berbeda dengan stand-up comedy. Bedanya hanya stand-up comedy mesti mengemas dengan lucu suatu aspirasi, pendapat/opini.

Perihal tadi, sekret reformasi yang sempat dibuat mahasiswa untuk berlindung, itu pun dilakukan dalam stand-up comedy dengan membaut komunitas. Komunitas stand-up comedy. Ini sama-sama dijadikan wadah atau benteng terakhir untuk mereka supaya tetap bisa mengatas-namakan aspirasi sebagai bentuk perlawanan.
Hampir setiap kampus di Indonesia ada. Ya, hampir, karena kebanyak hanya di-ada-ada-kan saja. Ingin dianggap eksis lebih tepatnya.

Di Universistas Djuanda-pun ada Komunitas Stand-up comedy. Komunitas Stand-up Unida. Tapi, apa ini tergolong yang ingin eksis saja? Saya rasa tidak. Usia komunitas tersebut hampir dua tahun. Banyak event yang digelar. Beberapa Komikanya pernah perform di beberapa event stand-up comedy. Tidak banyak komunitas stand-up comedy kampus yang bisa bertahan selama dan seperti itu. Namun, apa kini bernasib sama dengan sekret reformasi yang sempat dibuat mahasiswa dulu? Saya rasa ini benar.

Lihat nasib sekret reformasi yang perlahan sepi karena tujuannya telah tercapai. Komunitas Stand-up Unida tampak begitu. Entah benar karena tujuan dari komunitas itu tercapai jadi sepi. Dari tujuan untuk bisa mendapat pasangan setelah bergabung. Tujuan bisa bertemu artis-artis stand-up comedy dari televisi. Tujuannya kini bisa membuat orang-orang yang tergabung di dalamnya mampu bicara di depan orang banyak. Atau, tujuan yang lain-lainnya yang saya sendiri tidak bisa memahaminya.

Komunitas stand-up Unida kini sepi. Saya hanya belajar memahaminya kalau memang nantinya akan membenci sebelum ada orang lain yang menyebut, "Dulu pernah ada Komunitas Stand-up Unida di Universitas Djuanda". Membangkai. Menjadi bangkai.

Atau, akan ada gerakan-gerakan baru dari Komunitas Stand-up Unida? Saya tidak tahu. Kita lihat saja nanti. Setidaknya itu yang terlihat saat ini.




Perpustakaan Teras Baca, 28 Februari - 04 Maret 2014
gambar: avatar Komunitas Stand-up Unida

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -