The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani January 13, 2014

Kekasih, untuk hari ini, kemarin, besok, lusa, dan mungkin seterusnya, aku belum bisa hasilkan uang. Tapi, kekasih, untuk saat ini aku hanya bisa hasilkan beberapa cerita-cerita panjang yang kadang (kalau beruntung) dimuat di media-media cetak setiap akhir pekan.

Sampai kapan kau kuat bertahan, kekasih?





Pagi di awal tahun tidak berbeda dengan pagi-pagi terdahulu. Aku masih saja terjaga, padahal malam sudah atur supaya aku nyenyak tertidur di pelukannya. Gelas kopi yang sisakan ampas dan asbak yang penuh puntung rokok di sebelah laptop usang pemberian orangtua. Aku tengah selesaikan cerpen tentang seorang nenek-nenek yang mampu hidup dari berjualan kayu bakar di tengah-tengah harga minyak tanah dan elpiji melambung tinggi. Namun, sudah sepagi ini belum juga selesai. Aku serasa diteror waktu dan tulisan yang belum terselesaikan.

Sebuah pesan pendek dari editor masuk. Menyanyakan kapan cerpennya dikirim. Karena ini pula, pagi ini aku serasa diteror oleh semua. Kamu. Ya, kamu, yang tak hentinya menyuruhku mandi dari tadi. Untuk apa mandi kalau nantinya aku tidak lagi bisa tidur di kamar ini karena tak sanggup bayar uang kostan? Pagi ini tugasku menyelesaikan cerpen ini dan cepat-cepat aku kirimi.

Writer's block. Kepalaku ingin sekali pecah. Kata-kata di dalam kepala sulit sekali dikeluarkan. Macet. Makin lama mikin menumpuk. Sakit rasanya, seperti anyang-anyangan.

"Satu jam lagi kirim naskahmu. Tak tunggu," Pesan dari editor masuk lagi. Sial, yang tadi saja belum sempat dibalas.

Andai aku bisa seperkasa editor; yang semena-mena menyuruh dan menyunting beberapa kalimat yang sudah aku sulit susun. Mungkin, aku tidak lagi terus berpangku tangan pada media yang hidupnya pun dari iklan-iklan tidak jelas dan membosankan. Tapi, aku butuh uang sekarang. Butuh uang untuk bayar kostan dan menabung untuk biaya pernikahan. Tiba-tiba aku ingin seperti nenek-nenek dalam cerpenku ini.

"Kamu boleh tidak punya uang, tapi bersih itu sebagian dari iman. Ayo mandi dulu, sayang. Mau aku mandiin?" Rayumu. Perempuan memang paling suka laki-laki yang bersih dan wangi, tapi karena perempuan juga banyak laki-laki yang setiap hari mandi bersih.

"Nanti. Naskahnya sudah ditunggu. Kalau kamu mandiin mana cukup se-jam, di dalam kamu selalu nagih dan bisa selesai berjam-jam, sayang," aku cium keningnya supaya tidak langsung marah. Itu pula yang membuat perempuan mudah ditebak sikapnya: langsung marah kalau apa yang diminta malah ditolak.

20 menit menit lagi deadline.

"Pak, pasti saya kirim naskahnya, tapi ini tinggal bikin ending-nya." Aku kirim pesan pendek ke editor.

Pesan yang benar-benar pendek. Dan, aku harap tidak memendekan urusanku dengannya ke depan.

"Lin, kamu mau ke mana?" Lina pergi dengan mengemas barang. Seperti ingin pergi dan tak kenal lagi untuk kembali.

Aku biarkan semua pergi. Nafkah dari naskah yang kubuat. Lina dan tubuhnya yang terus-menerus menggeliat. Saat ini aku hanya fokus menyelesaikan cerpenku. Menulis tidak bisa diburu waktu, karena ada adegan-adegan yang bisa saja aku temukan ditengah cerita. Aku biarkan saja semua berlalu. Cerita ini, yang mungkin terlalu pendek untuk hidup yang masih panjang.

Aku hanya menulis, tapi tak pandai mengemis. Apalagi yang aku punya selain tulisan-tulisan cerita pendek dan kesenangan menyelesaikannya? Namun, untuk sekarang aku bisa tenang. Ditemani tokoh-tokoh yang kubuat. Tidak ada lagi yang mengatur, karena plot sudah mengalur. Seperti daun kelor, air yang tadinya ingin hinggap, aku biarkan mengalir tanpa perlu aku tampung berlama-lama. Cerita, cinta, dan airmata adalah satu kesatuan dari diriku yang tengah kehilangan semua.




Cafe Merah Putih dan Perpustakaan Teras Baca, 11 Januari 2014
gambar: dari sini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -