The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani December 26, 2013



Waktu itu saya pernah cari-cari gambar tentang kopi di google-image untuk posting tulisan. Keyword apa pun saya kombinasikan dengan kopi. Hasilnya, tidak ada yang bagus. Entah apa, mungkin saya yang terlalu berharap tinggi akan menemukan gambar-gambar tentang kopi atau di-upload dari para penikmatanya yang sama fanatiknya dengan pembela agama dan sepak bola.

Awalnya saya pikir, kalau begitu banyak komunitas penikmat kopi dari ujung ke ujung Indonesia pastinya akan beragam gambar-gambar kopi yang tidak lagi standard; secangkir gelas dan orang yang meminumnya. Logikanya, semakin banyak penikmat kopi, maka akan semakin banyak gambar yang dibuat dengan kopi yang dijadikan objeknya. Tapi, semua gambarnya bagus, namun tidak ada yang cocok untuk tulisan saya. Hampir semua gambar hanya menyajikan beragam jenis kopi sampai penyajiannya yang terlalu istimewa. Terlalu berlebihan? Memang. Saat itu saya curiga, apa para penikmat kopi terlalu asyik menikmati kopi sampai tidak bisa melukiskannya dalam bentuk gambar-gambar yang jauh dari biasanya?

Kopi dan Saya

Semua orang suka minum kopi. Dari yang merokok sampai yang tidak. Bahkan, saya pernah mendengar guyon lawas, "Ngerokok gak ngopi, sama aja kayak mandi gak sabunan," Begitulah kopi yang diagungkan berlebihan. Saya pun demikian, jika ingin ngobrol panjang dengan saya, cukup sajikan secangkir kopi, maka kita akan berbincang lama; dari cantiknya Hani sampai buruknya Indonesia ini. Tapi, jika ingin ngobrol sebentar, cukup sebotol bir yang melengkapi obrolan kita.

Sejak kecil saya sudah minum kopi, bahkan lebih memilih kopi daripada susu saat SD kelas tiga. Untuk mencoba ngopi di warung kopi, saya sudah lakukan sejak kelas satu SMP. Bukan untuk ngumpet-ngumpet biar bisa merokok, tapi karena saya suka masakan mie instant-nya. Rasanya berbeda dari buatan rumah pada umumnya. Entah, padahal kata Kang Warkop, biasa saja, tidak ada yang dibeda-bedakan. Dan, baru akhir-akhir ini saja saya coba minum kopi di kedai kopi yang harganya berpuluh kali lipat dari harga kopi di warkop. Cukup menjengkelkan, karena saya tidak menemukan perbedaannya selain harga.

Suasana Ngopi

Jujur, saya lebih suka minum kopi di warkop. Kesederhanaan dari suasana yang dihadirkan tidak berlebihan. Berbeda dengan di kedai-kedai kopi yang mengedepankan aksesoris-aksesoris yang menurut saya tidak ada hubungannya. Lihat saja, hampir setiap kedai atau cafe kopi pasti selalu ada gambar-gambar The Beatles. Apa hubungannya The Beatles dengan kopi? Adanya wi-fi, colokan yang berserakan di setiap sudut ruang, dan obrolan yang berlebihan. Nguping obrolan mereka (di kedai kopi) rasanya ingin muntah.

Tidak hanya itu, ada juga beberapa penikmat kopi yang tadi sempat saya jelaskan di atas (yang sama fanatiknya dengan pembela agama dan sepak bola). Ada saja aturan sampai etika minum kopi, dari cara mengaduknya, cara meminumnya, mencampur gula di dalamnya. Alah, di warkop, Kang Warkop sudah lihai mencampur kopi dan gula; tahu takarannya.

Saat itu juga saya melihat ada pengemis yang masuk kedai kopi. Ia seorang anak kecil. Datang dengan menggopong karung dan menangis. Di sana ia malah diusir, dihina, dan dibiarkan begitu saja menangis (di depan saya) oleh pemilik kedai kopi. Walau pun mungkin kebanyakan orang tahu kalau anak kecil itu sudah ada pengasuhnya, tapi bagi saya tidak etis saja bila yang diserang adalah anak kecil itu. Wajarlah ketika anak itu diberikan makanan malah menolak. Dan, orang-orang di sana malah berpikir kalau anak itu lebih suka dikasih uang daripada makanan. Saya pun akan bertindak demikian, ketika saya sudah diusir, dihina, dan dibiarkan menangis maka tidak akan saya mau menerima apa pun yang diberikan. Saya lebih baik pergi. Ini soal harga diri.

Saya putuskan untuk membayar kopi yang saya pesan dan pulang. Di jalan, saya menyimpulkan, pemilik kedai-kedai kopi hanya baik kepada para pembeli di tempatnya, jika tidak, maka ia akan bisa lebih sadis dari Bawang Merah dan Ibunya seperti dalam dongeng Bawang Merah dan Bawah Putih. Lain cerita di Warkop kaki lima, kesederhanan ngopi sesama orang yang tidak punya apa-apa, bisa membaur dengan mudah. Tidak ada kesenjangan sosial, bila ada orang ada, maka ia yang turun ke bawah, dan orang yang tidak punya, tetaplah menjadi orang tidak punya tanpa pura-pura ada. Mereka datang untuk meminum kopi dan membicarakan hal-hal yang tidak berlebihan. Apa bila ingin mengkritisi negara pun dibuat menurut porsinya. Saya memang orang norak yang mencoba meminum kopi di tempat-tempat yang tidak semestinya.




Perpustakaan Teras Baca, 26 Desember 2013
gambar: dari sini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -