The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani December 02, 2013


Nurul itu cantik. Banyak laki-laki beranggapan kalau wanita cantik itu tidak baik. Mungkin. Tapi, aku berani bertaruh, asumsi mereka lahir akibat selalu gagal menaklukan wanita cantik. Nurul tidak seperti itu; Ia baik. 

Aku tidak ingin bercerita bagaimana proses sampai bisa menaklukan Nurul, karena pada kenyataannya, aku sama dengan laki-laki pada umumnya: gagal menaklukkan wanita cantik tapi, perlu diingat, aku hanya mengaguminya. Tidak lebih. Bagiku, mengagumi lebih baik daripada mencintai. Apalagi mencintai wanita cantik, itu sama saja berkhayal hidup di surga padahal selama hidup selalu berbuat dosa.







SIANG yang terik di bulan November adalah hujan di gurun sahara. Seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku senang matahari bisa menaklukan arogan awan-awan hitam dimusim penghujan, setidaknya disitu ada harapan yang lahir dari angan-angan. Namun, ada yang berjalan seperti biasa di tengah terik matahari di bulan November: Cafe Dua Warna yang sepi selepas jam makan siang. Di kampus yang semua penghuninya sibuk, waktu selepas makan siang adalah mimpi buruk semalam yang kejadian.

Aku, segelas kopi hitam, dan Enyak, penjual warung kopi adalah penghuni tetap Cafe Dua Warna selepas jam makan siang. Terkadang ada yang sekedar datang, tapi hanya untuk membungkus beberapa gorengan, lalu mereka pergi untuk melanjutkan aktifitasnya lagi. Nurul adalah salah satunya.

Sebagai pegawai TU, Nurul, memang punya pekerjaan setumpuk. Tapi ketika sistem dibuat sesantai mungkin, pekerjaan yang menumpuk bak kapas di kantong belanjaan; tidak terasa apa-apa. Makanya Nurul sering ke Cafe Dua Warna untuk sekedar memesan minum atau membeli gorengan buat dibawa ke atas meja kerjanya.

Tidak ada yang istimewa dari Nurul, biasa saja. Toh, bagi wanita cantik sepertinya, segalanya sudah sempurna. Wanita cantik menggunakan pakaian apa pun, tetap saja terlihat cantik. Sial! Apa lagi tanpa pakaian? Mungkin itu terlihat lebih baik.

Aku yang sedari tadi membuka lembar demi lembar novel karangan Ratih Kumala, Gadis Kretek, mendadak berhenti karena Nurul datang. Melihatnya siang itu adalah kesejukan. Seperti sedang duduk di bawah pohon rindang. Aku ingin terlihat biasa saja, namun apalah daya, aku salah tingkah dibuatnya. Novel yang aku baca jatuh, rokok yang aku hisap hampir saja terbalik; baranya yang menempel di bibirku, dan hanya gelas kopi yang tidak apa-apa, ia tenang di atas meja.

Sedikit kuintip, Nurul tersenyum melihat ulahku -salah tingkahku- barusan. Sejak saat itu, kesan pertama telah menumbuhkan rasa yang tidak tentu arahnya. Aku hanya berharap akan ada kejadian serupa yang kedua, ketiga, sampai seterusnya --paling tidak bisa melihanya senyum padaku.

Nurul pergi begitu saja, dan aku masih salah tingkah dibuatnya.

***

Kesan pertama memang membuat penasaran. Penasaran yang berlebihan biasanya juga akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan.

Pertama-tama pertanyaan itu muncul untukku sendiri, 'apakah ada kejadian seperti tadi keesokan hari?' 'Kenapa tadi aku hanya senyum? padahal di sana ada peluang untuk kita sekedar berbincang.' 'Kenapa aku malu? Apa karena aku suka?'

Penasaranku semakin menjadi dan tanpa sadar aku tanya pada Enyak, "Nurul udah punya pacar, yah, Nyak?" tanyaku sambil melempar senyum pada Enyak. Semoga saja Ia sadar maksud senyumku itu.

"Udah," jawab Enyak singkat. Dan sesingkat itu pula senyumku hilang. Hilang bersama gorengan yang diborong Nurul tadi.

***

Keesokan harinya, tepat selepas jam makan siang, aku kembali duduk di Cafe Dua Warna. Menunggu kejadian seperti kemarin terulang lagi. Menunggu Nurul datang dan melempar senyumnya. Tapi itu semua tidak terjadi. Tidak ada apa-apa, hanya aku, segelas kopi hitam, dan Enyak, yang kini sedang membereskan piring-piring setelah Ia cuci.

Lagi, keesokan harinya pun sama. Begitu seterusnya. Ternyata mengagumi bisa lebih gila dari mencintai.

Dua minggu berlalu, dan aku tidak lagi bertingkah seperti hari-hari terdahulu. Enyak menghampiriku, "Dicariin Nurul, noh." Hah! Sontak aku kaget. Dicariin? Berarti ia mencariku tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, atau itu terlalu berlebihan, mungkin dua kali. Ah, bodo amat, setidaknya lebih dari sekali.

"Nyariin kenapa, Nyak?" tanyaku penasaran.

"Tauk," jawabnya lagi singkat. Mungkin kalau Enyak seumuran denganku sudah aku pites kepalanya.

"Mbokya sekalian tanyain gitu ada perlu sama aku."

"Cari tahu aja sendiri,"

"Iyehh, utang aku udah berapa di sini? Tak lunasi."

"Nah, gitu, dong. Cuma 11ribu."

"Nih," aku serahkan dua lembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. "Ambil aja kembaliannya, itung-itung ongkos nginget utangku sama Enyak."

"Serius?"

"Iyeh, Nyak. Jadi ada apa Nurul nyari aku, Nyak?"

"Dibilang gak tahu. Tanya sendiri aja, sih."

***

"Tadinya aku gak tahu siapa yang suka nulis-nulis di mading ini. Tapi, aku hanya menebaknya itu semua adalah tulisan-tulisanmu. Ternyata benar. Aku suka." Nurul tersenyum. Senyum yang sama seperti kesan pertama semua rasa timbul padanya. Aku pun salah tingkah lagi dibuatnya. Sial! Nurul memang cantik. Dan baik. Baik karena bisa mengembalikan rasa yang sama pada kesan pertama. Kini aku tahu, siapa yang mengambil puisiku di mading.

"Maaf, aku mengambilnya tanpa izin. Aku suka puisimu. Bisa aku minta tanda tangan di puisimu ini?"

Aku tanda tangani puisiku dan Nurul simpan. Dan aku, menyimpan senyum Nurul yang dulu untuk kembali bisa aku rasakan dan kagumi layaknya terik siang di musim penghujan.




Rumah Bang Rifky, 1 Desember 2013
gambar: dari sini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -