The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani October 06, 2013

"Nah, di sini aja. Ikutin semua penunjuk jalan yang ada. Nanti juga sampe ke Bojong(gede)," kata Bakriyadi. Pikiran saya kosong. Melompong pada titik yang kosong. Hingga saya menoleh ke belakang dan melihanya berlalu, perlahan jalan meninggalkan.

Saya hilang kesadaran sejenak. Entah memikirkan apa, saya sendiri tidak tahu kala itu.

Eum, mungkin sama seperti biasa datang ke daerah yang baru saya datangi, bingung. Di dalam pikiran hanya ada satu kata: Nyasar. Saya tidak tahu daerah mana, karena ini kali pertama. Bakriyadi bilang namanya: Sindang Barang Jero. Yang jelas, daerah ini jauh akan kesibukan kota Bogor pada umumnya.

Saya jalankan motor setelah sadar bahwa Bakriyadi telah pergi. Sepanjang perjalanan, saya memikirkan sesuatu, tapi apa, ya? Lupa.

Aha! Bakriyadi




Tampak Samping

Saya kagum pada Bakriyadi. Di manapun ada gelaran open mic, di sana pasti ada Bakriyadi. Baik itu di kampus, di cafe, sampai open mic rutin Stand-up Indo Bogor .

Tapi saya pikir-pikir, Bakriyadi ini hebat bisa datang selalu ke open mic di Unida yang notabene-nya jauh sekali dari rumah maupun kampusnya di BSI Bogor. Entah berapa ongkos yang mesti ia keluarkan setiap hari rabu. Pastinya Ia bisa seharian tidak makan. Begini, rata-rata ongkos yang dipunya mahasiswa pas-pas-an paling 25ribu. Saya percaya, dengan uang segitu cuma pas untuk ongkos dan beli minum di warung pinggir jalan. Tapi, Bakriyadi, Ia selalu datang untuk latihan di open mic Unida.

Saya jadi ingat ucapan salah satu teman saya yang penah naik Gunung Gede bermodalkan uang 15ribu, katanya: Masa temen gue makan gue gak dikasih, sih.

Apa Bakriyadi juga berpikir sejauh itu? Eum,… siapa pun yang pernah berkomunikasi atau berinteraksi langsung dengan Bakriyadi pasti tahu sendiri jawabannya.

Di dunia Stand-up Comedy, open mic adalah semacam laboratorium, begitu kata Pandji dibuku Merdeka Dalam Bercanda-nya. Tapi bagi saya, open mic itu seperti memakai boxer (daleman celana), memakai celana di dalamnya celana. Yup, open mic itu ada latihan sebelum latihan. Sebelum open mic mesti latihan dulu, supaya nanti ketika diuji di panggung open mic sudah setengah matang.

Terakhir saya bertemu Bakriyadi di open mic Bogor, betapa seriusnya Ia mempersiapkan materinya, penampilannya, dan mengurutkan bit-nya. Datang satu jam sebelum open mic mulai, membuka skrip-nya yang ditulis tangan dan menghapalnya berkali-kali. Setelah Ia hapal, diurutinya satu-persatu bit-nya. Hasilnya, PECAAAAAAH !!


Bakriyadi open mic

Lihat, Bakriyadi, betapa seringnya Ia datang ke laboratorium. Betapa seriusnya Ia ingin jadi seorang Komika. Kata Bakriyadi, Komika idolanya adalah Jui Purwoto. Mungkin, suatu saat nanti Ia akan sesukses Jui.

Saya percaya, Bakriyadi akan jadi komedian hebat. Bukan karena 'sesuatu pada dirinya' semata, tapi karena latihan rutin yang Ia lakukan. Kalau boleh sedikit meminjam ucapan Vrika, "Keberhasilan bermula dari kebosanan-kebosanan yang sering ditemukan. Bosan ini, bosan itu, bosan terhadap yang dilakukan."

Jadi, untuk apa tidak mencoba untuk mencoba open mic? Cobalah. Latihan di sana.


Sedikit tulisan saya ketika pertama kali ketemu Bakriyadi dulu: Tiga Kata, "Gue Gak Nyesel"


Perpustakaan Teras Baca, 6 Oktober 2013, setelah pulang dari rumah Bang Rifky.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -