The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani March 08, 2013


Bapak tua beseragam hitam sedang asyik menikmati sebatang rokok di depan Café Bruce Coffee and Barbershop.  Ini kali pertamaku datang ke Open Mic Stand-up Comedy BSI Bogor.  Sebenarnya hanya sebatas basa-basi, karena Aku sudah tahu tempat Open Mic itu di lantai atas Café.  Salah satu cara untuk memulainya dengan sebuah kalimat tanya retoris.  Yup, kalimat tanya retoris adalah kalimat tanya dimana hanya memiliki dua jawaban, ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Bapak tua melirikku sedikit sinis, tampak seperti orang yang datang ingin mengemis.

Demi memecah kebuntuan, Aku bertanya, ‘Pak, tempat OpenMic BSI ada di atas yah ?’.  Ia masih menghisap rokoknya, sekelebat sebuah ucapan meluncur dari mulutnya, “Apa itu OpenMic ?”  Damn, tidak sesuai sekali jawabannya.  Aku kira akan menjawab, “Ya” atau “Tidak”, ternyata Ia malah membalikan pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.  Aku gagal bertanya dengan kalimat retoris.  Dalam hati, Aku membuat dua hepotesis yang Aku sudah tahu jawabannya sendiri.  Pertama, Aku menjelaskan Open Mic kepada Bapak tua kemudian kembali bertanya kembali.  Aku pikir, ini hanya membuang waktu dan tentunya akan ada sesi tanya-jawab saja.  Dan, kedua, Aku mengganti pertanyaan saja tapi, dengan maksud yang sama.  Ahh, mungkin ini opsi ini yang Aku ambil.

‘Maaf, pak, katanya di sini setiap rabu malam ada acara yah ?’ tanyaku sambil melirik ke arah papan yang bertuliskan agenda rutin Open Mic Stand-up BSI Bogor.
“Ouw, iyah.  Tuh, udah ada dua orang yang datang.  Tempatnya di atas.” Jawab Bapak tua sambil menyemburkan asap rokok.
“Iyah.  Mari, pak.” Ucapku sambil berjalan meninggalkan Bapak tua.   Ternyata, bertanya untuk mendapatkan jawaban yang sederhana susahnya minta ampun.  Pantas saja sampai sekarang Aku masih jomblo, untuk dapet jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ itu susah.

Di Bullwings, salah satu tempat Open Mic Stand-up Indo Bogor, tempat Open Mic-nya juga di lantai atas tapi, tangganya tepat di depan pintu jadi bisa langsung ‘ngacir’ ke atas.  Berbeda dengan Café Bruce Coffee and Barbershop, di sini tangganya ada di ujung ruangan jadi, musti melewati Barbershop yang ada di lantai bawah.

Saat itu tidak ada yang potong rambut dan hanya ada beberapa karyawan yang sedang ngobrol di depan cermin besar.  Ketika baru masuk, Aku langsung berpikir dua hal, pertama, tidak ada bencong di sana dna yang kedua, mana ada yang ingin potong rambut malem-malem, itukan pamali.  Yup, di setiap tempat potong rambut yang ber-AC, setidaknya yang Aku tahu, orang yang memotong rambut adalah bencong.  Dan, seingatku waktu kecil, orang yang memotong rambut pada malam hari itu Pamali tapi, Aku lupa akan berakibat apa saat melakukannya.

Tangga yang berada di balik pintu menunjukan bahwa arsitektur Café ini ingin memberikan Shock Teraphy.  Baru dua anak tangga, langsung dibelokkan dengan beberapa anak tangga yang menjulang ke atas, seakan ingin membawa ke lantai atas gedung pencakar langit.  Ketika baru sampai tengah, Aku melihat stand mic berdiri sendirian tak bertuan.  ‘Di sinikah stage-nya ?’ tanyaku dalam hati.  Tanpa memikirkan jawabannya, terus saja Aku mengikuti anak tangga sampai akhir.  Benar, ada dua orang yang sedang ngobrol, satunya berbaju warna kuning dan satunya lagi… entah Ia penonton yang datangnya kepagian atau… sudahlah.
Aku tahu laki-laki yang berbaju kuning ini, legaknya seperti penari striptis yang tobat, Akbar.  Beberapa menit mataku dimanjakan oleh design interior Café Bruce Coffee.  Sungguh ‘Café’ banget, beberapa sofa panjang yang melintang dipojok ruangan dan beberapa meja munder berada di setiap sisi.  Oia, tidak lupa meja bartender yang lebih mirip meja resepsionist tergeletak gagah seakan menggambarkan, ‘di sinilah jantung Café Bruce Coffee’.

Sengaja Aku ingin datang lebih awal karena ingin melihat-lihat dulu tempat yang telah komika-komika Unida ceritakan.  Ternyata memang komika Unida saja yang norak, mereka bercerita seakan membuat perbandingan yang sangat kontras dengan tempat Open Mic Unida.  Tapi, memang ada benarnya juga sih, tempat Open Mic Unida di kampus seakan bisa menggambarkan isi kantong komikanya.

Tetap, disela-sela mataku berkeliaran melihat tempat, masih saja Aku mencuri sedikit pandangan ke arah laki-laki yang tadi tidak sanggup Aku jabarkan.  Ia lantas mengambil selembar kertas yang ada di atas meja dan seakan berlatih seakan seorang stand-up comedian.  Apakah Ia seorang komika ? komunitas stand-up comedy mana yang rela mengasuh orang ini ? Berlebihan memang pertanyaanya namun, begitulah adanya.  Jika, ya, Ia memang seorang komika lalu komunitas mana yang mengasuhnya ? Stand-up Indo Bogor ? Ahh, Aku tidak yakin. Stand-up BSI Bogor ? Eum, yang Aku tahu, komika BSI katanya ada tiga orang tapi, yang Aku tahu hanya dua orang.  Apa ini orang ketiga yang dimaksud ? Mas, biasanya yang ketiga itu setan ‘loh.

Aku sedikit menganalisis.  Jika, orang ini benar dari Stand-up Indo Bogor, maka semakin ramailah Bullwings.  Pengunjung bullwings kini akan datang demi Dia, bukan lagi seorang maestro Jui atau Dede Kendor.  Tapi, bila Dia ‘benar’ dari BSI, maka pecaaaaah ‘lah selalu Open Mic mereka.  Saranku, tolong pasung Dia di Tugu Kujang, supaya para pendemo di sana tidak lagi bakar ban tapi, bakar yang dipasung.  (Masih frustasi saat menulis ini.  Semoga nanti orang yang membaca tidak ikut frustasi) 
nah, ini orang yang Aku maksud.

Ipung Bahhhri datang, salah seorang admin Stand-up Indo Bogor.  Tidak lama Kang Irawan-pun hadir, Cahyadi dan Robi dari Stand-up Indo Bogor, serta Ryan dari Stand-up BSI Bogor.  Wuaaah, ramai juga yah Open Mic BSI.  Waktu menunjukan pukul delapan malam, saatya Open Mic dimulai.

Aku sungguh salut dengan managerial Stand-up BSI Bogor, bahkan suka, karena mereka memulai tepat waktu.  Tidak perlu menunggu berapa banyak komika yang akan menguji materi, tidak perlu menunggu berapa banyak penonton yang siap dihibur komika, jika tertera jam delapan, ya, jam delapan dimulai.  Patut dicontoh.

Akbar, selaku MC membuka Open Mic.  Dengan sedikit berbasa-basi, Ia memanggil Ryan sebagai penampil pembuka, kemudian disambung Robi, lalu ke… Bakri.  Ya, namanya… Bakri, Aku tahu setelah MC menyebutkan namanya. Aku tidak akan menuangkan komentar terhadap penampil, karena itu buka urusanku.  Lanjut saja, Cahyadi, meneruskan napas panjang suara mic yang keluar dari pengeras suara dan ditutup dengan manis oleh, Kang Irawan.  Yup, that’s a wonderfull night.

Ketika sedang evaluasi oleh Ipung Bahhhri, Cahyadi, dan Kang Irawan, beberapa komika datang.  Entah, Aku tidak tahu mereka.  Kemudian, datang juga Jui, Koide, dan satu lagi orang yang Aku tidak tahu.  semakin ramailah orang yang hadir untuk evaluasi.  Aku bukannya tidak memperhatikan evaluasi tapi, Aku tidak ingin menulisnya di sini, karena takut akan melebar isi dari tulisannya.

Cas-cis-cus, mereka sharing saat evaluasi tapi, kembali Aku terpikirkan oleh tempat ini.  nampak, ada yang mengganjal.  Yup, kembali ke tengah, soal main-stage.  Aku bukannya ingin sostoy soal stage Stand-up Comedy tapi, kayaknya sedikit menggangu penampil bila main-stage ada di depan tangga persis.  Karena di sana akses utama orang seliweran ke sana - ke mari.  Bukannya sostoy ngasih saran tapi, alangkah baiknya main-stage ada di dekat jendela, karena stand-up comedy bukan soal semata penampil menghibur penonton tapi, stand-up comedy juga soal tata letak panggung.  Semakin baik main-stage maka akan berpengaruh penonton menaruh perhatian kepada penampil.  Di Unida, sudah hampir satu tahun masih suka menggonta-ganti main-stage.  Tujuannya hanya satu, seperti tadi yang telah dijelaskan.

Overall, Aku suka bisa hadir di Open Mic Stand-up BSI Bogor.  Walau pulang dari sana sempet nyasar karena tidak tahu jalan pulang tapi, tetap tidak bisa menggantikan hebatnya Open Mic malam ini.  mungkin hanya ada tiga kata untuk Stand-up BSI Bogor, “Gue Gak Nyesel.”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -