- Back to Home »
- #NyeratNgariung »
- Surat Cinta yang Tak Selesai Dibaca
Posted by : Harry Ramdhani
March 22, 2014
Beberapa hari lalu (sampai tulisan ini di pajang), saya sempat tweet
'kan kehebatan @pandaikata dalam meracik aksara menjadi kata akan sarat
makna. Saya sendiri mengaguminya.
Ia hebat dalam me-metafora-kan rasa lebih dari apa pun yang tak
terduga. Mungkin hasil dari buku-buku yang sempat Ia pamerkan pada saya
seperti Albert Camus dll dsb dst. Saya sendiri tidak tahu-menahu, yang
jelas, lewat anggita ini, dengan @pandaikata saya banyak belajar
memaknai situasi menjadi beragam rasa.
Inilah anggitan versi saya dengan seorang… Penyair, Rapper, dan Stand-up Comedian; @pandaikata:
Surat Cinta yang Tak Selesai Dibaca
Kita mulai dari mana?
Dari malam tanpa suara?
Kau adalah nadi dari segala puisiku. Gadis Kelabu yang bermata buram.
Bogor usai hujan, kekasih.
Dari radio kesayangan kita, aku tunggu
surat cintaku dibacakan.
Senyummu
adalah salah satu frekuensi kesukaanku. Suaramu
adalah kepalsuan yang menenangkanku. Kamu suka hujan malam ini?
Entahlah, yang jelas,
tengah malam ini aku ingin
kau tahu semua perasaanku tentangmu. Walau itu dari seorang penyiar.
Mungkin surat ini sarat dengan kepalsuan.
Ya, aku bohong
jika selama ini tak menyimpan rasa. Lebih
dari itu, kau kusimpan dalam doa.
Sudah mendekat pukul satu. Lagu
ini, biasanya penyiar mulai membacakan
surat cinta yang masuk. Salah satunya
punyaku.
Sekarang jarum-jarum jam dinding bergerak 10kali lebih lambat.
Mereka menertawak kita
yang saling menebar rindu lewat pengeras suara.
Sudah surat kedelapan
yang dibacakan. Suratku belum juga dapat giliran.
Aku harap kau masih terjaga
melawan kantuk dan nyamuk.
Besok tanggal 21. Besok hari aku terlahir.
Mungkin umurku tak akan lama lagi,
rindu ini terus menggerogoti.
Aku terjaga, menunggu suratmu.
Ya, aku ingat kata-katamu itu. Aku ingat
ketika kau ucapkan di Rumah kupu-kupu. Kau inginkan sesuatu (yang baru)
di hari lahirmu.
Aku hanya ingin kebahagiaan. Tapi
aku tak mau merusak kebahagiaanmu.
Rahimku sudah rusak. Dulu
pernah ada bedil tua bersemayam di sini.
Tapi dengar, itu suratku dibacakan.
Apa kau dengar? "Teruntuk Gadis Kelabu
yang bermata buram, " kata penyiar
terdengar heran.
Ah, aksaramu bagai lulabi penutup mataku, penutup malamku. Kini,
kau sempurnakan aku dengan segenap rasa
yang sesak dan kuat merasuk kepala.
Tertinggal cerita kita.
Masa kecil yang selalu bahagia
dan dikerumuni tawa setiap harinya.
Dan kau,
masa lalu
untuk masa depanku.
Hasratmu membuat batinku dikekinian.
Radio usang terdengar riuh
bersuara cempreng. Aku butuh pelukmu sekarang juga.
Tak lama suara penyiar mulai serak.
Seakan menahan airmata seperti dahak. Intonasinya semakin tak jelas
dan membuyarkan imajinasi.
Karena penyiar, bukan penyair. Pagi ini
kembar-kembar rinduku rontok dan pudar di
terjang badai kenyataan. Dulu pernah ada
bedil bersamanya di sini.
Di sini, di tempat cinta
membenamkan rasa, meninggalkan asa, bahwa nanti bersamamu kelak
bukanlah sebatas mimpi belaka.
Ah, baiklah. Aku tunggu kau
ajak Gadis Kelabu ini menjejaki batas suci, sambil merapal masa depan
dengan seikat janji abadi. Sekian.
Perpustakaan Teras Baca, 20-21 Maret 2014
Saya dan @pandaikata yang menulis entah di mana.
gambar: dari sini