The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani April 30, 2014

 ilustrasi: dari sini

IA pulang membawa dendam.

Semenjak kecil, dendam itu telah dipupuk setiap kejadian-kejadian kembali terbayang. Saat melintas begitu saja di kepala. Melihat orang-orang di jalan dengan kejadian serupa. Apapun itu asalkan sama. Asal ada sangkut-pautnya tentang DIA.

DIA adalah teman sekolahnya. Sangat dekat. Tiap kali ada pekerjaan rumah, mereka kerjakan bersama. Tiap kali bedug adzan baru ditabuh, mereka ke masjid bersama pula. Kebersamaan mereka adalah simbol kesetiaan. Seperti burung merpati di pohon natal.

***

11 Mei 1996, Pinggir lapangan, Kampung Longok

Sore itu menenggelamkan segala letihnya. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding tidur-tiduran di pinggir lapangan sepakbola. IA dan DIA tidur bersebelahan. Menatap matahari dengan bersahaja tenggelam. Perlahan. Setiap gerak kecil matahari terlihat jelas lewat mata.

DIA membuka obrolan.

"Tadi, aku baru saja bertemu adikmu," kata DIA, "dengan seorang lelaki bertubuh tambun. Rambutnya ikal. Kau kenal?"

"Tidak." Jawab IA.

"Yasudah."

Entah lelah atau apa, yang jelas IA sedang tidak ingin banyak bicara. Dan, DIA tahu sifat temannya itu tanpa perlu mengatakan terlebih dulu.

***

12 Mei 1997, Rumah IA

"Adik mana?" Tanya IA.

Seluruh keluarga diam. Tidak ada yang tahu. Dari semalam adiknya tidak pulang. IA coba datangi DIA. Tidak tidak ada.

IA, adalah seorang anak laki-laki paling tua. Ayahnya telah meninggal sejak IA kelas lima. IA tidak melanjutkan ke kelas enam karena tidak ada biaya. Setelah itu, IA kerja serabutan. Apa saja asal menghasilkan uang. DIA sempat menawari pekerjaan, tapi dengan segera IA lancarkan penolakan. Biarpun IA serba kekutangan, namun soal halal-haram, tetap dijadikan pedoman.

Ayahnya DIA seorang perangkat Desa. Sudah jadi perkerjaan seumur hidup mungkin. Tidak ada yang menggantikan. Sebuah sistem yang dibuat agar tidak ada yang bisa menjatuhkannya dari jabatan. Untuk ukuran kampung yang warga hidup dari sana, tapi masih saja serba kekurangan terlihat aneh, bukan? Apalagi kalau bukan karena karupsi. Apalagi kalau bukan karena sistem yang ditetapkan dari Kelurahan itu membuat para warga kesusahan sendiri. Tapi, para Perangkat Desa malah yang menikmati.

Sebagai keturunan Tiong-Hoa, hidup dijaman pergeseran era politik masa itu memang serba kesusahan. Mereka dianggap lintah penghisap darah. Darah pribumi. Padahal, tidak seperti itu sebetulnya.

***

13 Mei 1998, Rumah DIA

"BAJINGAN," teriak IA.

Terjadi baku hantam di rumah DIA. IA memukuli Ayah DIA. Adiknya diperkosa dan kini adiknya telah tutup usia. DIA lebih dulu dihabisi karena tidak memberitahu keberadaan adiknya selama setahun belakangan ini.

Ayah DIA tidak bisa apa-apa. Maklum, dengan perutnya yang tambun, bergerak saja susah, apalagi melawan. IA memukuli seperti orang kesetanan. Seluruh perabotan dijadikan senjata.

Polisi datang. IA dipenjara akibat kasus berlapis. Pembunuhan dan penganiayaan.

Ayah DIA dilarikan ke Rumah Sakit. Namun nyawanya tak terselamatkan. Di perjalanan, malaikat terlebih dulu menjemput.

***

Di emperan toko, selepas keluar dari lapas, IA sambangi penjual koran. IA kesal karena pemberitaan hanya seputar pembunuhan, penganiayaan, dan berita korupsi terpampang di halaman depan.




Perpustakaan Teras Baca, Rapat Karang Taruna RW, 29 - 30 April 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -