The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani April 14, 2014

Saya terus ingin mencoba cara menulis dari berbagai orang yang rela berbagi wawasannya tentang tulis-menulis. Dari Rusell Peters sampai Irwan Bajang. Dari penempatan titik dan koma, sampai pengembangan kata jadi sebuah tema.

Siang itu, Irwan Bajang berbagi tentang permasalah penulis dalam menuangkan isi kepalanya, tapi sulit sekali dituangkan (lengkapnya di sini). Saya mencoba dan akhirnya malah saya yang terperangkap di sana. Sial. Tapi, bermodalkan itu, akhirnya saya mencoba untuk setia terhadap apa yang saya tulis. Sepuluh kata yang saya pilih, lalu saya buat menjadi satu cerita. Menyenangkan. Ini sepuluh kata yang saya pilih:

Mesin jahit: Mesin jahit, Ibu, meja, kontrakan, benang, jarum, kebaya, berisik, lampu, berdarah. 

Mesin Jahit dan Kenangan Pahit 



Sudah lama mesin jahit tua itu ingin Ibu jual. Di rumah kontrakan yang lebih pantas disebut kamar petak, mesin jahit itu hanya penyempit. Meja mesin jahitnya pun sudah rapuh dimakan rayap. Di kaki bagian kanan ada lipatan karton dan di kaki kirinya diganjal bungkus rokok.

Umur Ibu sudah berkepala enam, namun semangatnya menjahit tak pernah padam. Seperti ada lampu penyemangat yang membuatnya terus dan terus menjahit. Setiap malam. Setiap akhir pekan. Ia terus menjahit seperti orang kesetanan. Lantas, apalagi yang mesti Ia kerjakan? Kedua kakinya sudah tak kuat untuk berjalan walau sekedar keliling dagang makanan. Namun, apalah daya, tanpa mesin jahit itu, Ibu tidak akan bisa menyambung hidup kita.

Sebagai janda seorang perwira tentara, Ibu bukan perempuan manja. Rumah dinas yang semestinya kita bisa tempati, malah kita tinggali. Kata Ibu, "Ayah sudah tiada. Sudah tidak lagi bekerja. Jadi, lebih baik kita pergi saja."

Kini Ibu hanya menerima order jahit dan vermak saja. Hasilnya cukup lumayan, masih bisa menutupi biaya berobat Ibu yang sekali-kali kambuh dan untuk makan sehari-hari.

***

Umurku waktu itu baru enam tahun. Ayah ditugaskan untuk menjadi salah satu yang dikirim ke daerah konflik. Di timur Indonesia sana. Ketika Ayah ingin pergi, paniknya itu tidak seperti biasanya. Berkali-kali Ayah dinasihati agar tidak jadi pergi, namun perintah atasan lebih wajib ketimbang perintah Tuhan. Ayah berangkat.

"Ayo, kita doakan Ayah supaya baik-baik saja di sana, Nak," kata Ibu sambil mengusap-usap kepalaku. Kulihat matanya berkaca-kaca, seperti menunggu penampungan airmata jebol dan membanjiri pipinya.

Aku dan Ibu mengambil air wudhu. Kita sembahyang berjamaah. Sajadah Ibu basah. Nampaknya ketika sujud airmatanya tumpah. Terlalu kecil untukku ketika itu untuk bisa fokus sembahyang. Aku tiduran --di depan Ibu yang sedang sembahyang-- memperhatikan sajadah yang basah. Bingung darimana basah itu berasal.

Selesai sembahyang, Ibu memelukku.Mengangakat kedua tanganku. Kita berdua berdoa bersama-sama. Suara Ibu sesegukan. Aku ketiduran.

***

Sebagai anak yang memegang title sarjana, aku tampak tak berdaya. Serasa berdosa. Ibu sudah capek-capek menyekolahiku tinggi, tapi sampai sekarang aku masih jadi pengangguran. Masih saja bergantung dari hasil Ibu menjahit order-an.

Pernah satu waktu aku belajar menjahit. Ibu senang. Tapi, akhirnya kutahu, menjahit bukanlah perkara mudah. Memasukan benang ke dalam lubang jarum sungguh susah. Aku lumut sedikit ujung benang supaya basah. Tetap saja, di depan lubang jarum, benangnya tak mau masuk. Seperti ejakulasi dini, di hadapan lubang jarum, benang terlihat payah.

Ibu membantuku memasukan benang. Aku mulai menjahit dengan mesin. Ajaib, kain yang kujahit tidak berubah apa-apa. Hanya bolong-bolong oleh jarum. Semenjak saat itulah, aku mentasbihkan diri untuk tidak menjadi penjahit.

***

Ketika Ibu menjahit kebaya pesanan Bu Karim, langganan jahitnya, terdengar ada yang mengetuk pintu. Aku buru-buru membukanya. Ternyata seorang tentara datang. Bukan Ayah. Aku mempersilakannya masuk dan Ia memilih duduk di bangku dekat pintu. Ibu menghampiri kami. Dengan baju kebaya setengah jadi, Ibu menanyakan maksud kedatangan Tentara yang datang.

"Jadi, apa maksud kedatangan Bapak ke sini?" tanya Ibu.

"Saya membawa kabar kalau suami Ibu… "

"Akan pulang dalam waktu dekat ini?" Ibu memotong.

"Eum,…" lama tentara itu diam. Mungkin sedang berpikir, kalimat apa yang cocok untuk diucapkan. "Suami Ibu, Jendral Sudirno, tak akan lagi bisa pulang. Beliau tewas di medan perang. Sebuah peluru mendarat tepat di bagian jantung. Dan…,"

Ibu pingsan. Kebaya setengah jadi yang dipegangnya tadi, menutupi setengah tubuhnya yang terkapar di kursi. Aku berusaha semampuku menyadarkan Ibu. Namun, apalah yang bisa dilakukan anak berumur sepuluh tahun ketika itu?

***

Suara mesin jahit dengan merk kupu-kupu itu, terdengar lebih berisik dari ingatan-ingatanku dulu. Ingatan yang membuat Ibu jatuh-bangun membiayai hidupku. Hidup keluarga kami. Bahkan, sampai pernah kulihat tangan Ibu berdarah tertusuk jarum dan kenangan.




Kediaman Bang Rifky-TehNit dan Perpustakaan Teras Baca, 06 - 13 April 2014
gambar: dari sini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -