The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani May 09, 2014


Sudah saatnya saya simpan di loker semua harapan-harapan. Menjadi apa yang diharap tak semudah mengupas kulit rambutan. Tapi, jika berani merealisasikannya tanpa keluh-kesah, mungkin satu persatu tercapai. Seperti menjadi penulis. Bagi saya pribadi, mentasbihkan diri menjadi penulis tak ayal seorang perantau; di mana satu kaki kanan adalah kuburan dan kaki kiri adalah rumah sakit. Tidak ada yang mengasyikkan, bukan?

Namun beginilah caraku berani untuk merealisasikannya. Menulis apa pun yang ingin saya tulis. Dan, kali ini saya belajar menulis dari lima gambar yang sempat di twitpic oleh Pandaikata. Masih sama, saya menulis beberapa cerita yang berjumlah 100 kata. Semoga ini ialah langkah jemari saya menuju beberapa harapan yang sempat saya simpan di loker.  Selamat membaca, wahai Kaum Medioker.

Menara Mimpimu


INGIN aku gantungkan mimpi di pucuk menara itu. Menara paling romantis, katamu.

"Ajak aku ke sana,"

"Kalau ini ciuman terakhir, aku ingin menciummu di bawah menara paling romantis di dunia,"

Dan, masih banyak lagi pintamu pada menara itu. Itu baru yang aku ingat, belum yang aku catat.

***

Pagi turun perlahan, bersama angin dan dingin menulang.* Aku terbangun dari mimpi yang basah. Keringatku sebesar biji jagung.

Sudah banyak semut kerumuni kopiku. Semalam aku tertidur dengan setumpuk pekerjaan dan kenangan. Satu persatu aku ingat, sebuah ciuman di bawah menara dengan tegangan listrik yang tinggi bawa nyawamu pergi.

Ciuman yang basah dari mimpi yang basah di bawah menara mimpimu.




Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Irwan Bajang, Antologi Pertanyaan

Kalkulasi Sebuah Airmata


Kupandangi langit lembut itu seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia yang lebih ajaib dari surga.*

***

DITANGIS ketiga hari ini, matamu memerah seperti habis dipukuli. Memang, tak ada tangis yang abadi, tapi airmatamu ialah aliran sungai yang menghidupi pepohonan Khuldi. Yang haram namun, nikmatnya tak tertandingi.

"Menangislah pada Tuhan," katamu, "jika tidak bisa, maka berpura-puralah. Niscaya Tuhan membayar setiap tetes airmata yang kau keluarkan."

Airmata adalah doa, katamu lagi. Seperti yang kulakukan berulang-ulang ini.

Biarlah aku tidak di surga, bila nanti di neraka aku masih bisa lihat airmata yang terbuang percuma. Sebuah dunia dengan orang-orang yang berdoa.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Agus Noor, Perempuan di Tepi Fajar yang Mekar yang Gemetar

 Istana Tanpa Mahkota


ISTANA ini terlalu megah untukmu yang tinggal sendiri. Seorang anak manja yang sama sekali tak bisa mandiri. Aku pernah usulkan untuk pindah saja, tapi kau malah balik mencaci.

Pernah satu waktu, di ruang tamu, aku temukan bunga mawar yang kau letakkan di guci kecil. Tidak ada air. Tak lama, mawar itu mati. Ah, anak manja sepertimu mestinya tinggal di rumah sakit; agar selalu ada yang melayani.

Hanya ada kau, aku, dan kelopak bunga di kamar. Tapi kau yakin: ada yang sedang diam-diam menatap kita dengan pandangan berkaca-kaca.*

***

Di balik lemarimu, ada beberapa laki-laki beku. Kaku. Semua mantan kekasihmu yang tak kau kebumikan.




Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajak Agus Noor, Kelopak Bunga dalam Delapan Kwartin

 Di Tanah Lapang Tak Ada Bulan


"Bawa aku ke tanah lapang. Melihat bintang dan segala rasinya yang luas terbentang."

"Tanpa bulan?"

"Ya, tanpa bulan. Bulan selalu datangimu setiap bulan."

***

KOTA ini terlampau terang. Lampu jalan. Lampu taman. Lampu-lampu pembias langit; tempat cerita cinta kita kandas di tengah jalan.

Di sini, keberadaan bintang sebatas dijadikan ramalan. Dan, bulan, seperti biasa, hanya sebagai alasan perempuan yang kesal setiap akhir pekan.

Tidak ada lagi keindahan meski bulan dan bintang bersebelahan.

***

Di tanah lapang.

"Lihat, Bulan, tidak ada bulan, kan?"

"Ya, di mana bulannya?"

"Bulan bersemayam di hatiku yang dalam."

Kau tersenyum lalu menciumku perlahan. Itulah pertemuanku dengan Bulan yang terakhir di akhir pekan. Dan, selamanya.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014

Langkah Kaki Ibukota


DARI JENDELA kantor, sering kutangkap langkahmu di ujung jalan sana. Di trotoar, tempat hilir-mudik orang dengan sibuk yang sesak.

Ketika jam dinding mulai terdengar berdetak menepikan sepi, dingin, gerimis, dan angin-angin malamku.* Tiba-tiba masih kutemukan langkahmu di situ. Di tempat yang sama itu. Langkahmu tak tenggelam ditelan waktu. Dan, bayangmu, kadang hilang dibalik kelopak mataku.

***

"Masih menunggu Ia lewat?"

"Tidak, langkah dan bayangnya tetap lalu-lalang di pikiranku,"

***

Kadang sering kutanyakan, ke mana langkahmu berlabuh? Karena semua hal tentangmu merindangkan bumiku. Meneduhkan terik yang sangat.

***

Di trotoar, tempat hilir-mudik orang dengan sibuk yang sesak mendadak ramai. Seorang wanita tanpa kaki ditemukan mati. Kakinya dimutilasi.



Perpustakaan Teras Baca, 08 Mei 2014
*) dari sajang Irwan Bajang, Impresi

NB: semua gambar ini saya dapat dari twitpic pandaikata

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -