The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani April 25, 2014



Membawa hati yang lapang ke suatu resepsi pernikahan itu sedikit terasa ambigu, bukan? Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang uangnya sering habis untuk ke warnet mencari bahan skripsi, mencetak ulang revisi, tampaknya lebih pantas membawa perut yang kosong dan kantong; untuk membungkus makanan dan kesedihan.

Jujur, aku tidak suka datang ke resepsi pernikahan. Sudah berkali-kali itu aku katakan. Karena di sana aku hanya lihat kemunafikan. Ya, aku tidak suka semua hal yang munafik. Termasuk hari ini. Sebuah pernikahan yang kau sendiri tak hendaki. Mungkin itu hanya asumsiku sendiri. Mungkin tidak benar sama sekali. Mungkin aku yang belum siap kehilanganmu mulai detik ini.

Tapi tunggu, hari ini juga hari ulang tahunmu, kan? 25 April. Dihari yang sama, dulu mulai dibangunnya sebuah Terusan. Terusan yang menghubungkan Pelabuhan Said di Laut Tengah dengan Suez di Laut Merah. Menghubungkan. Ah, aku memang paling pandai dalam menghubung-hubungkan semua semua kejadian dan perasaan.

Di hari ini aku bahagia bisa melihatmu bertambah tua. Di hari ini juga aku sedih melihatmu sudah bedua. Sudah tidak bisa digoda seperti masih jadi mahasiswa.

Ini adalah resepsi pernikahan paling sederhana yang pernah kudatangi. Sangat menggambarkan kamu yang begitu sederhana menyikapi kejadian selama ini. Tidak ada dangdut sebagai hiburan. Tidak ada panggung khusus untuk kedua mempelai. Tidak ada makanan aneh yang dihidangkan. Dan, yang paling penting, tidak ada fotografer nikahan yang nanti bisa-bisa memaksaku berfoto dengan kedua mempelai. Aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya kesedihan diabadikan di album foto pernikahan.

"Karni…,"

Ada yang memanggilku dari kejauhan. Sial, aku ketahuan sedang di parkiran.

"Woy, Karni, ayo ke sini,"

Oh, itu temanku, Anggi, teman lama ketika masih kuliah dulu. Eum, mungkin lebih tepatnya, teman kuliah yang lebih dulu lulus daripada aku.

"Iya, ngelipet jaket dulu," kataku.

Aku menghapiri Anggi, seperti biasa, senyum dan ketawanya tidak ada beda. Dan, setiap kali Anggi begitu, aku selalu memukul lengannya. Supaya diam maksudnya. Sungguh, ketawanya itu bisa mengganggu orang-orang di sekelilingnya. Tapi, aku tetap suka. Bisa lepas tertawa di negeri yang setiap harinya berduka adalah mukjizat untuk orang-orang yang dianggap Tuhan istimewa. Apalagi disaat hatiku berkabung seperti hari ini, aku sangat butuh orang seperti dia. Tertawa itu ibarat virus, menular kepada yang didekatnya.

Ketika lama berbincang dengan Anggi. Menertawan semua hal di sini. Saatnya kita datangi kedua mempelai yang dari tadi sibuk cipika-cipiki.

Aku menyalami kedua orang tuamu. Kemudian suamimu. Memberikan selamat semoga selalu bahagia dan Tuhan meyertai kelak hari-harimu. Meski dalam hati luka dan duka menghantuiku. Lalu kamu. Ah, mungkin baru kali ini aku tidak suka melihatmu. Make-up itu menghalangi kesedehanaan yang pernah kulihat di wajahmu dulu. Aku tidak mengenalimu saat itu.

"Itu tadi beneran Zamani?" tanya Anggi

"Iya kali," jawabku singkat sambil menaikan bahu kanan dan kiri.

"Kok gak mirip, ya."

"Coba longok janurnya," kataku sambil menoleh ke arah Zamani, "siapa tahu kita salah alamat ke nikahan orang lain lagi."

Anggi ketawa-ketiwi.

***

Di kedai kopi, tempatku menghabiskan waktu untuk menulis, aku lihat enam wanita berkumpul dengan riuh. Sungguh gaduh. Satu di antara membawa seorang anak kecil. Satunya sedang hamil. Empat lainnya sibuk ngemil.

Aku duduk di meja dekat toilet. Jadi setiap orang yang yang ingin buang air pasti lewat depanku dengan tampang kebelet. Satu wanita yang hamil tadi lewat. Sempintas saja aku lihat. Karena mataku fokus di layar monitor yang butuh ditulisi dengan padat.

Tidak lama, aku ingin buang air kecil. Di dalam, aku bertemu wanita yang hamil. Wanita Itu Zamani. Aku tidak menduganya sama sekali. Di luar toilet yang hanya dipisahkan seorang lelaki berseragam abu-abu, kita saling melemparkan senyum paling tabu. Senyum bahwa kau akan menjadi Ibu. Senyum bahwa aku masih belum mempercayai pernikahanmu itu. Senyum-senyum kecil yang akan mengiri perpisahan kita selamanya. Senyum-senyum yang akan kukenang dari wajahmu yang sederhana. Senyum-senyum kegetiran dari perasaan yang terus terpendam. Selamanya dipendam dalam-dalam.

"Mas. Mbak. Semuanya jadi empat ribu," kata petugas dengan seragam abu-abu.




Perpustakaan Teras Baca, 25 April 2014
gambar: dari sini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -