The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani December 30, 2012



Aku tahu bagaimana jadi Kamu.
Aku bisa merasakan
apa yang Kamu rasakan.
Boleh ‘kah Aku serahkan ini pada waktu ?

Siluet itu telah menyinari tubuhmu,
tubuh mungilmu.
Di hamparan taman, Kau,
berbicara sungguh meracau.

Aku hanya mendengarkan.
Kamu sangat jelas memaparkan
tentang kisah lampau yang kelam.
Tapi, Aku tidak menganggap itu suatu yang suram.

“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku saat itu.” Katamu.
“Aku naik pitam karena ulahnya.” Sambungmu.
Aku masih mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibirmu.
Mungkin Aku tampak seperti kerbau.
Tapi, Kamu tidak berhenti meracau

Katamu, “Hanya Dia yang mampu menopang segala tangis
dan mengubahnya jadi tawa.” Sungguh tidak jelas,
bisik hatiku, Aku meringis
karena takut Kau benar-benar menangis.

Tolong, jangan menangis !!

Aku takut karena tak mampu mengubahnya jadi tawa.
Aku takut karena Kamu membayangkan diriku adalah dirinya.

Masih saja meracau,
Bagai panas matahari dimusim kemarau.
Bagai cahaya intan yang kemilau
Kamu,
dan suaramu,
terlempar jauh kemasa lampau.


Ingin Aku menasihati, “Biarlah
Ia adalah masa lampau yang kalah.”
Kembali, Aku takut, takut ada yang Patah
dari besarnya ketulusan cintamu yang merah.

Masih di taman…

Dua kelinci melintas. Satu
warnanya putih dan satunya abu.
Memang sedikit tabu
tidak seperti biasanya ada kelinci di situ.

Padahal Kamu sering mengajakku ke taman ini.
Di sini,
Kamu paling suka bermain lompat tali.
Karena hanya itu permainan yang Kamu kuasai.
Dan memang, tidak ada kelinci.

Pikirku, pasti ada orang membawa kelinci ke taman.
Tapi, tidak ada satu orang-pun di taman.
Hanya, Aku dan Kamu.

Kelinci siapakah itu ?

Ahh, Kamu berdiri meninggalkanku
Untuk mengejar kelinci itu.
Aku menunggu.

Kamu tidak  bisa menangkap kelinci,
lalu merenek seperti bayi.
Kamu, meminta tangkapkan.
“Kamu pernah punya kelinci,
pasti bisa tangkapkan untukku.”

Aku diam. Tampangmu seperti pengemis.
Pengemis
yang mengharapkan uang dari para turis.
Kelinci memiliki empat kaki, sedangkan kita dua.
Jelas saja Ia lebih cepat berlari dari pada kita.


Kamu, semakin muram.
tapi, Aku suka.
Setidaknya, Aku bisa melihatmu tidak
memikirkan masa lalumu yang kelam.
Dua kelinci tadi mendekat.
Senyummu mencuat cepat
bagai kilat
di dinding langit gelap.

Sesegera mungkin Kamu ambil coklat
dari dalam tas.
Kamu gemas
dan, kelinci mengeliat keras.

Sudah habis coklat yang Kamu berikan.
Kelinci putih pergi.
Kelinci abu juga pergi.
Air mulai berguguran
baik dari matamu juga langit… kini hujan.

“Aku ingin tetap di sini.” Katamu.
“Biarkan Aku di sini.” Pintamu.
“Apakah Kamu ingin pergi ?” Tanyamu.

“Lebih baik kita pulang,
hujan semakin kencang.
Untuk apa mengejar mereka yang pergi
dengan tenang ?
Semua telah pergi meninggalkan.
Aku tidak ingin diam.
Walau Aku bukan utusan Tuhan
tapi,
Aku ingin mengajakmu pulang.”

Dan Kamu, … diam !!

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -