The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani January 22, 2015



Ada seorang laki-laki menghampiri saya, di stasiun Tanah Abang. Badannya tinggi tegap. Memakai kaos polos hitam dan celana jeans panjang. Ia memberikan saya sebuah amplop, seperi sebuah surat, “ini buat kau, Boy,” katanya. “Dari perempuan yang biasa bareng denganmu satu kereta.” Ia pun pergi begitu saja. Saya hanya menerima itu dengan heran. Ini pagi yang membingungkan, setelah kereta yang saya tunggu, untuk kedua kalinya, terlambat datang.
Surat itu tak langsung say abaca, karena tak lama dari itu kereta saya tiba. Dengan sedikit bergegas, saya ikut berdesakan dengan penumpang lainnya. Saya tidak ingin terlambat sampai rumah. Adik saya sudah menunggu untuk diantar ke sekolah.
Tentang perempuan itu, nanti akan saya ceritakan. Saat ini saya ingin membaca surat itu terlebih dulu karena terlampau penasaran. Saya buka amplop itu dan sedikit terkejut. Surat itu ditulis tangan. Sudah lama saya tidak menerima surat seperti ini. Selain kuku jari tangan, perempuan itu terlihat cantik dari tulisan tangannya.
Dan, begini isi suratnya:
Untuk,

Laki-laki tak bernama. 


Maaf, sudah dua hari kita tak lagi satu kereta. Jujur saja aku merindukan itu. Kau ingat kali terakhir kita bertemu dan bersama satu kereta? Itu perjalanan paling lucu menurutku. Kau berdiri dekat pintu, dan aku duduk di sisi luar tempat duduk prioritas. Saat itu ada bapak-bapak yang menghalangi kita, tapi kamu, aku tahu, matamu selalu mencari-cari celah untuk sekedar melihatku. Mata laki-laki memang lebih liar dari tangannya. Aku sadar. Dan aku biarkan. Sebab seperti itulah cara kita saling bertegur-sapa. Setibanya di stasiun Karet, entah di luar sana ada apa, tiba-tiba kepalamu keluar –melewati pintu– seperti mencari sesuatu, atau melihat perempuan lain yang lebih cantik dari aku. Dan tak lama pintu kereta menutup, kepalamu hampir terjepit waktu itu. Kau tahu, di balik masker aku tertawa terbahak-bahak. Pertama. Karena kepalamu hampir terjepit tadi. Kedua. Kerena teriakkan sakitmu itu. Ketiga. Tingkahmu yang seakan baru saja tidak terjadi apa-apa. aku tahu sakitnya tak seberapa, tapi malunya melebihi itu, kan? Di stasiun Sudirman banyak penumpang yang turun. Banyak juga yang naik. Di stasiun ini, kita memang sering dapati banyak anak muda yang pintar, yang punya wawasan luas, seperti anak muda yang diidamkan para pahlawan untuk menlanjutkan kemerdekaan ini. Namun anak-anak muda itu rela delapan jam lebih dari hidupnya diambil hanya untuk bekerja. Tapi aku percaya, di antara mereka pasti ada yang berkarya; melakukan sesuatu karena passion-nya. Seperti aku. Seperti juga kamu, mungkin.

Ketika menulis surat ini aku masih saja tertawa mengingat kejadian itu. Maaf, ya. Maaf…. 

Kemudian seorang petugas Walka menghampirimu, mempersilakanmu duduk tepat di seberangku, tapi kamu menolak. “Terimakasih, untuk yang lain saja,” katamu. Aneh. “Nanti saya duduk bekas perempuan itu,” kamu menunjuk aku, “dia turun di stasiun Manggarai, kok.” Lalu orang-orang di sekitar pun sontak mengarahkan pandangannya padaku.


KAMU, LAKI-LAKI TAK BERNAMA, SAAT ITU AKU MALU BANGET TAHU. TAPI BERCAMPUR GE-ER, SIH.


Aku tidak akan melupakan kejadian itu. Meski aku hilang ingatan sekalipun.


Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan, tumben akhir-akhir ini kamu suka bawa buku. Setiap hari satu buku. Untuk apa? Kalau buku itu punya kamu, sebenarnya ada satu buku yang mau aku pinjam. Buku kumpulan cerita “Chicken Soup for the Bride’s Soul” dari serial buku “Chicken Soup”. Hanya buku itu yang belum aku baca. Sempat aku baca sinopsisnya, bagus. Kumpulan cerita tentang lamaran, pernikahan dan lain-lain, kan? Rasa-rasanya aku mau dilamar seromantis itu. Entah dengan siapa? Sama kamu pun tak apa. sungguh. Dan aku ingat, di buku itu juga ada kutipan seperti ini: Prestasiku yang paling cemerlang adalah berhasil membujuk calon istriku untuk menikah denganku.


Aku menunggu itu….


Kau mungkin masih ingat, ketika kereta menuju stasiun Depok yang hampir berangkat dan kamu masih di tangga. Kereta yang kau naiki telat. Di depanmu ada nenek-nenek yang pelan sekali jalannya. Turun satu anak tangga, seperti melompati bara api. Sangat berhati-hati. Tapi aku melihatmu malah melompat-lompat di belakangnya. Seperti orang geregetan. Tapi kamu tidak mendahului nenek-nenek itu sampai anak tangga paling bawah, sampai kereta itu akhirnya berangkat. Nafasmu terengah. Matamu mengikuti laju kereta dengan tatapan lelah.


Tadinya aku tidak mau menunjukkan diri, tapi melihatmu seperti itu aku jadi tidak tega. Lalu aku berdiri  dari tempat duduk dekat jam yang digantungkan dan mengarahkan badan ke arahmu. Senyummu, senyum saat melihatku, senyum paling bahagia yang pernah aku lihat. Sengaja aku tidak naik kereta itu hanya untuk menunggumu.


Dan besoknya, aku benci segala hal yang berhubungan dengan keterlambatan. Tukang ojek yang biasa mengantarku datang terlambat. Jadwal kereta terlambat. Lalu kamu, ikut-ikutan terlambat. Hari itu aku membenci semua, termasuk kamu, tahu!!


Barangkali Tuhan mendengar keluhku, dan hari itu kita tak bertemu. Pagi itu aku merasa seperti ada yang kurang. Mulai hari itu pun aku berjanji tidak ingin membencimu. Kapan pun kita naik kereta bersama, dan kebetulan kereta kosong, aku ingin duduk di sebelahmu.


Ada yang membuatku selalu suka dari caramu berpura-pura. Saat kita duduk berdua di tempat duduk prioritas. Matamu tak seperti biasanya bisa dengan bebas melirikku –begitu juga aku. Tapi aku menikmati saat lengan kita bersentuhan. Menikmati saat kamu pura-pura menyenderkan badan saat kereta berhenti mendadak karena gangguan. Aku pun menikmati saat kaki kita diam-diam tengah berpelukan. Bahagia itu sederhana, bukan?


Laki-laki tak bernama, aku ingin merasakan semua itu lagi. Semua. Walau setiap hari, setiap pagi, kita hanya satu kereta dari stasiun Tanah Abang sampai stasiun Manggarai.


Terakhir, Laki-laki tak bernama. Ah, aku tidak mau yang terakhir. Aku tidak mau semua ini berakhir. Aku ingin terus bersama, aku ingin kita terus satu kereta. Aku ingin kebahagiaanku ini abadi, meski satu-satunya yang abadi di dunia ini, adalah ketidakabadian itu sendiri.


Mungkin saat kamu memegang dan membaca surat ini, aku sedang tertidur pulang di kamar mayat. Atau, terkubur di pekuburan.


Hati-hati di jalan, ya, Laki-laki tak bernama. Awas kepalamu terjepit lagi. Aku akan setia mencintai perjalanan ini, seperti halnya aku setia mencintai kebersamaan kita dulu.



Saya lipat surat dari perempuan tak bernama itu. Saya selipkan di halaman 29 buku “Cerita buat Para Kekasih”. Saya ingin menyimpan surat itu di sana, sebab tak ada tempat yang layak untuk surat itu selain buku. Dan, saya pikir, tak perlu lagi saya ceritakan tentang perempuan tak bernama itu. Kalian biasa tahu ketika membaca buku itu. Yang jelas dia cantik. Ada dua hal yang tidak dibutuhkan oleh perempuan cantik: pakaian dan namanya.


Perpustakaan Teras Baca, 21 Januari 2015

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -