The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani June 06, 2013

Maaf tidak datang melayat, mungkin karena takut hanya membawa hati yang tersayat.

Tulisan ini untuk seorang guru matematika yang mangajarkan saya bahwa "Matematika adalah perkara merangkai angka yang tiba-tiba bisa menghasilkan jawaban yang tidak tahu dari mana asalnya." Meski kini telah meninggalkan semua namun, pemikirannya tetap hadir dalam ingatan.

Pesulap Amatir Matematika


Saat itu saya masih duduk dibangku kelas lima. Terlihat dungu ketika maju ke depan kelas tanpa bisa menyelesaikan soal matematika. Dengan sebatang kapur tulis di genggaman telah membuat jemari tangan kananku putih sebagian. Masih menatap papan tulis dengan serangkai soal yang masih belum saya temukan jawaban. Mendadak, rumus-rumus untuk aku tulis di depan hilang ditelan rasa takut yang mencekam. Takut karena menjawab asal-asalan.

Walau sudah di rumah, masih saja kejadian tadi pagi di sekolah enggan hilang. Menempel di setiap dinding otak kanan. Papah mendekat dengan secangkir teh manis yang aku buat.

"Ada apa?"

"Pah, tadi Dede --panggilanku di rumah, karena memang anak bontot-- gak bisa ngerjain soal matematika. Aku malu seharian di kelas."

Saya memang tidak begitu pandai di kelas, mendapat ranking-pun hanya dari kelas satu sampai kelas tiga. Itupun hanya seputaran sepuluh besar. Tapi, jika urusan matematika, saya jagonya. Berbeda dengan hari ini, saya mati kutu oleh sebuah soal matematika.

"Coba nanti papah tawarin ke salah satu jama'at di Mushola untuk buka les di sana. Tau pak Karim?"

Dulu, Papah memang aktif di Mushola sebagai pengurus. Setiap minggu pagi kami sering datang ke Mushola sekedar bersih-bersih dan yang lain ada juga keliling komplek untuk mengambil infaq sadakoh.

"Itu 'lho, yang orangnya putih-tinggi-suka pake kaca mata" Lanjut Papah sembari duduk di teras rumah.

"Aku gak tau, pah. Tapi, apa dia bisa?"

"Pastinya, Pak Karim itu guru matematika di SMUN 3 Jakarta."

Mulai minggu depan, saya sudah ikut les dengan beliau. Sungguh asyik bermain-main angka dengannya (Baca: Pak Karim). Setiap rumus bisa dijadikan sebuah guyonan, setiap yang tidak bisa dituntun dari awal sampai bisa menyelesaikan, dan setiap yang bisa menjawab dapat sebuah pujian. Senang bukan kepalang.

Tidak hanya saya sendiri yang belajar matematika, tapi ada juga kedua teman saya. Maklum, namanya juga kalau ada yang satu ikut pasti yang lainnya akan ikut. Bukan tidak berpendirian tapi, inilah nikmatnya memiliki kawan.

Kita belajar dari jam delapan sampai jam sebelas siang. Benar-benar tidak terasa, karena Pak Karim membuat matematika sungguh sederhana.

"Tidak perlu menghafal rumus." Katanya, "Biarkan saja angka-angka itu kalian susun dan jawaban akan datang dengan sendiri."

Kini setiap ada pelajaran matematika di sekolah, saya tidak lagi merasa takut. Walau jadi sering dipanggil ke depan kelas untuk menyelesaikan soal-soal matematika dan hasilnya selalu gak pernah bener tapi, inilah matemetika. Matematika bukan soal hasil tapi, matematika adalah soal merangkai angka-angka.


***

Sudah duduk dibangku kelas enam, saya tidak lagi belajar dengan Pak Karim. Karena satu dan lain hal, saya malah meninggalkan. Bajingan memang, baru kelas enam saja saya sudah jadi bajingan. Setelah mendapat banyak wawasan malah ada yang dilupakan. Tapi, Pak Karim dan segala ajarannya sama sekali tidak pernah terlupakan. Terus membekas diingatan sampai saya menutup sebuah buku besar hitung-hitungan ketika masuk kuliah.

Sebelum itu, ketika di SMP kelas tiga, wali kelasku adalah seorang guru matematika. Saya mengingat beliau ketika sedang mengajarkan. Meski tidak mirip tapi, caranya menghadapi siswa-siswi yang notabene benci matematika sungguh mirip.

Sempat ada ulangan matematika dan hanya saya yang tidak ikut remedial. Sisanya, mereka di dalam kelas mengejakan ulang ulangan matematika. Ketika duduk di luar sendirian, wali kelasku menghampiri.

"Sejak kapan kamu suka matematika?"

"Eum… waktu saya tidak bisa mengerjakannya di depan kelas." Jawabku singkat.

Wali kelasku bukannya mengawasi, malah asyik ngobrol dengan saya di depan kelas. Kita berbincang banyak hal soal matematika.

Sarannya, "Nanti setelah kamu lulus di sini ada SMU baru, SMUN 3 Cibinong. Khusus untuk siswa SMPN 2 Cibinong bisa langsung masuk tanpa ikut tes tapi, lebih baik kamu masuk ke Sekolah Teknik. Di sana, kamu bisa belajar banyak tentang matematik."

Hanya manggut-manggut mendengar saran dari wali kelas. Jika dipikir-pikir, benar juga, kalau masuk SMU nanti cuma dapet hitungan yang begitu-begitu saja. Kalau ingin lebih luas lagi mesti melihat banyak jenis hitung-hitungan yang lebih menantang.

Akhirnya masuk ke salah satu Sekolah teknik ternama di Bogor, SMKN 2 Bogor. Dari serentetan jurusan yang ditawarkan, hanya jurusan listrik yang lebih dekat dengan hitung-hitungan. Di sana, kembali mendapat wali kelas yang notabene (juga) adalah guru fisika. Semakin cocok. Semakin menjadi memainkan angka-angka.

***

Menutup semua hal hitung-hitungan ketika mkuliah adalah keputusan besarku. Keputusan yang menuntut belajar hal baru dari awal. Yang saya tahu dari banyak orang adalah kalau kuliah nanti, ambil jurusan yang sesuai kesenangan, biar gak lama-lama lulusnya.

Lewat itu, saya mencoba untuk menantang orang-orang yang beranggapan demikian. Tapi memang benar, bahkan sampai sekarang belum juga lulus.

Fakultas Komunikasi adalah pilihan dan jurnalistik adalah jurusan. Di sana saya belajar merangkai kata bukan angka. Namun, bagaimana-pun juga, cara berpikir matematika yang pernah ditanamkan sudah men-default di otak kanan. Ya… karena saat belajar menghitung, otak yang saya gunakan adalah otak kanan bukan kiri seperti kebanyakan orang.

***

Saya telah lama meninggalkannya tapi, Beliau (baca: Pak Karim) tidak sendirian, Ia ditemani kanker otak yang lekat. Mungkin, karena sebuah kesederhanaannya dalam memahami matematika, penyakitpun tidak ingin hengkang dari kepalanya. Dan, Ia meninggalkan saya dengan setumpuk hitung-hitungan kata yang masih saja pelajari sampai sekarang. Tepat di hari jum'at, 31 Mei 2013, Ia telah dibawa oleh Tuhan. Entah alasannya apa? Lagi, ini urusan Tuhan. Saya hanya menduga, Tuhan buth jasanya untuk ikut menghitung jumlah umatnya yang masih setia sujud untuk-Nya.


FYI: Blog ini merupakan hasil design putra pertama Alm. Pak Karim, seorang Pesulap Amatir Matematika


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -