The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani April 01, 2013

#Chapter2

Entahlah, ada angin muson apa yang membuat Kartika datang ke Café InWin siang ini ? Tidak ada OpenMic, tanpa Silvi yang menemani, dan… tanpa Jaja.

Kartika tampak seperti anak itik kehilangan barisan. Kebingungan. Duduk sendirian dengan Cappucinno dingin yang dibiarkan terpampang di mejanya. Ia masih asyik membolak-balik buku tebal yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan. Mahasiswa mengerjakan tugas sudah biasa, namun bila mengerjakannya di Café sendirian, itu tidak biasa.
Memang tak seramai ada open mic, tapi tatapanku masih tertuju ke Kartika. Mungkin ini kali pertama melihatnya, maklum, Aku bisa mengingat pengunjung yang sering datang ke sini atau tidak. Hanya dari sepatu yang dikenakan, Aku bisa hafal pengunjung Cafe InWin.

Sekilas, Kartika mirip dengan kasir InWin yang telah re-sign. Sepatunya maksudku, sepatu Jerry berwarna hijau muda adalah sepatu andalan Indri kala Ia masih bekerja di sini. Tanpa basa-basi, Aku menghampiri Kartika, "Lagi nunggu temennya, yah ?" ucapku. Kartika yang sedang membaca buku langsung memandangku dengan sedikit heran. Aku menebak saja, mungkin apa yang ada dipikirannya itu, "Apa urusannya sama lu ? Mau gue nunggu temen, mau gue nunggu klien, bodo amat."

"Ouw, engga kok. Emang lagi pengen ke sini aja." Jawabnya ramah. Tidak seperti yang Aku duga sebelumnya.
"Baru pertama kali ke sini, bukan ?" tanyaku, "Oia, boleh Aku duduk ?"
Tangannya mempersilahkan Aku untuk duduk berhadapan dengannya, "Ini kali kedua Aku ke sini. Dua hari yang lalu, Aku datang ke openmic dan tempatnya asyik juga ternyata."
"Aku, Gery, pemilik Cafe ini." Sambil menjulurkan tangan.
"Kartika. Kartika Maharani."
Setelah itu kita berbincang cukup panjang di meja Kartika. Sampai lupa waktu mungkin.

***

Sungguh apes, sudah kerja lembur, motor yang Ia gunakan mogok dan tidak bisa dibawa pulang. Akhirnya, Jaja menitipkan motornya ke security kantor untuk diperbaiki ke bengkel esok hari.

Ia pulang dengan menggunakan transportasi umum. Sedikit susah mencari angkutan umum malam-malam begini. Jarum jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11 malam, saat di mana kelelawar mengepakan sayap lalu berkeluyuran untuk sekedar menyantap.

Lama menunggu di halte, Jaja berjalan kaki sembari berharap ada angkutan umum melintas. Bintik keringat sudah memenuhi sekitaran kawasan jidat tapi, masih tak ada angkutan yang lewat. Malam ini sungguh melarat. Andai tadi Ia menerima voucher taksi yang diberikan, mungkin nasibnya tidak seburuk kancil yang gagal menipu kelinci.

Jaja beristirahat sejenak di tukang gorengan kaki lima. Sambil mengambil sepasang tahu isi dan lontong, Ia kembali menatap kebelakang. Sekedar melihat sudah sejauh mana Ia berjalan. Cukup jauh juga.

"Tidak mungkin Aku kembali ke kantor untuk menginap di sana. Jaraknya hampir sama dengan jarak dari sini ke kostan."

Ia melahap tahu isi dan lontong dengan sekejap. Hanya dengan dua kali gigitan, sepasang gorengan telah menghilang sari genggaman. Lapar dan lelah, kombinasi yang cocok untuk merebahkan badannya di tembok toko yang sudah tutup. Sesekali Jaja melirik ke arah ubi goreng yang masih mengepulkan asap. Asap itu bergoyong sungguh erotis di depan mata Jaja dan saat asap mendekat sampai berani menyentuh-nyentuh hidungnya. Sangat menggoda dan Jaja kalah oleh godaan.

Ketika sedang asyik menyantap ubi goreng yang masih panas, datang seorang pengemis menghampiri. Ia merasa kasihan, masih saja ada yang tak sanggup beli makan di Kota Metropolitan. Jaja meminta si abang membungkuskan beberapa gorengan untuk pengemis itu. Kalau saja tolak ukur Demokrasi tidak hanya terpaku ke arah pemilihan pemimpin secara langsung dan bebes berpendapat, mungkin sudah tidak lagi ditemukan orang yang masih tak sanggup membeli makan. Walau banyak pakar melihat Demokrasi dari proses Demokratisasi-nya tapi, tetap saja, proses tersebut masih sering dipermainkan ke sana - ke mari.

***

Karena motor Jaja telah diperbaiki, kini Ia bisa pulang dengan sedikit santai. Berhubung ada urusan dengan Gery, maka sepulang dari kantor, Jaja mampir dulu ke InWin.

"Ja, kemaren ada yang pengen beli tiket show, tuh." kata Gery sambil menyuguhkan Cappucinno dingin. Salah satu minuman favorit Jaja dan menjadi andalan di sini.
"Siapa ? Baru aja pengen dititip ke sini, Ger." Jawabnya dengan kedua tangan yang sibuk memilah-milah tiket.
"Kartika. Kenal ? itu 'loh temenya Selvi."
"Kartika ? Ouw… yang waktu itu nonton open mic, yah."

Jaja menitipkan 50 tiket show-nya nanti di InWin. Tapi, sama sekali tidak ada bonus tiket gratis untuk pemilik ataupun karyawan InWin sekali-pun. Baginya, teman bukanlah rekan bisnis, melainkan pasar bisnis. Sedikit kapitalis tapi, itulah kenyatannya. There's no such thing as free lunch. Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -