The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani October 09, 2012


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang Aku donglot secara gratis, ‘Gila’ itu, “Sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwanya (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal). Terlalu; kurang ajar. Terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, kasih sayang). Tidak masuk akal.”
KBBI Offline Versi 1.3
Freeware 2010-2011 by Ebta Setiawan

                Bumi gonjang ganjing langit kelap kelap
Aku setuju dengan kata pengantar yang ditulis Kak Rosianna Silalahi di buku Ngawur Karena Benar – Sujiwo Tejo, “Normalnya, melihat kengawuran itu menyebalkan. Namun, saat yang disebut normal itu justru merusak akal sehat, lalu kita mau apa ? Di sinilah mengapa seorang Sujiwo Tejo ada. Ia berani ngawur, menabrak batas normal yang sering penuh kepalsuan.” Gayaku sambil mengacungkan jempol kearah muka Rindra.
“Aih, masih aja sih kamu bawa-bawa itu buku. Orang gendeng aja didenger.” Kata Rindra. Aku segera mengambil kertas bergambarkan coretan Rindra ketika tadi di kelas dan memainkannya seperti sedang mendalang, “Hey, yang gendeng itu Sampean, cuuk. IQ-mu melati, cocoke baca majalah porno, majalah yang banyak gambar cewek tak berpakean, tak punya malu, tinggal di encuk, bablast… .”
Mungkin Rindra jengkel karena ulahku dan tanpa aba-aba langsung meningggalkan ruang tunggu. Aku berlari kecil untuk menyusul Rindra, “Tunggu, dong. Bayar dulu tuh kopinya”.
“Sudah kau saja yang bayar, pakai alesan yang ada dibuku ngawur-mu itu, Aku jamin gratis. Semua orang di sini edan kabeeeeeeh.” Kata Rindra. Seketika Aku berhenti di depan mading, melihat pengumuman kalau UTS dilaksanakan 3 hari lagi dan bagi mahasiswa yang belum bayar tidak diperkenankan untuk mengikuti UTS. “Rin, cepat kesini, ada pengumuman.” Teriakku agar terdengar oleh Rindra.
“Jangan teriak-teriak, ini bukan pasar.” Aku kenal suara itu, suara dosen paling killer di Kampus, bisa habis Aku dilahapnya kalau tidak angkat kaki dari sini cepat-cepat. Akhirnya tersusul juga Rindra.
“Kenapa kau, Mblo ?” Kata Rindra.
“Siapa, Mblo ?” Sahutku.
“Ya, Sampean ‘lah. Sampean ‘kan Jomblo dari dulu. Sadar, cuuk” Sambil meniru gayaku tadi ketika masih di atas.
“Wuih, semena-mena Sampean kalau berucap. Aku jomblo ada sebabnya, cuuk.”
“Ahh, Jomblowan itu alesannya ndak ada abisnya kayak anggota DPR yang doyan Korupsi”
“Bah, bahasamu macem pengamat politik saja, sopo ngarane ?”
“Saepul Jamil ?”
“Bukaaaan, ehh, tapi mirip juga sih penyanyi dangdut sama anggota DPR. Sama-sama sok mendayu didepan orang padahal, aslinya, bahagia bukan maen.”
Rindra memandangku dengan heran. Aku pun ikut heran, ngomong opoo coba tadi. Kami berdua melanjutkan perjalanan ke Kantin. Di sana suadah ada Anto, Hilman, dan Hesty, pasangannya. Asyik beraat, tumben-tumbenan minuman mereka tidak joinan. Biasanya satu es teh manis dikelilingi lima orang.
“Wuiih, asyiiiik beraaaaat, airnya megang satu-satu. Malu sama mahasiswa baru yak ?”
“Udah atuuh, Jang. komentar mulu. Loh, kok jadi sunda gini” Kata Rindra.
“Iye, aye tau. Kagak-kagak lagi dah komentar. Aye ‘kan anak twitter. Loh, kok jadi betawi.” Jawabku.
Mereka bertiga bingung, apa yang terjadi dengan kedua temannya ini, Aku dan Rindra. Suasana kantin ketika itu cukup ramai, ramai oleh mahasiswa baru yang keblinger mungkin pengen nongkrong di mana. Mbak gado-gado yang sering Aku godain juga terlihat sibuk ngulek bumbu kacang tapi tetep… goyangannya belum ada yang ngalahin. Aku tidak kebagian tempat duduk. Rindra masih usaha nyari tempat duduk ke sana-ke mari. Mahasiswa baru hilir-mudik pesen makanan. Kantin kali ini seperti Dufan Keliling. Tahu Dufan Keliling ? Itu ‘loh komidi puter yang suka ada di kampung-kampung, kadang satu bulan ada di kampung ini dan bulan berikutnya ke kampung sebelah. Di tempat-ku sih ndak pernah ada Dufan Keliling, maklum, anak komplek.
“Pesan saja, Pri, nanti tak bayari.” Kata Anto. Yup, Aku di kampus dipanggil ‘Pri’, rada aneh sih, soale nama lengkapku, Kunoprianto. Kalau Aku dipanggil, Anto, terlalu kece dan sudah ada nama Anto, temanku. Dipanggil, Kuno, Ahh, tak sudi sama sekali Aku dipanggil, Kuno, memangnya Aku ini baju kusam.
“Okley, cuuk.” Ngomong-ngomong, Anto ini temanku yang lebih mirip mesin ATM berjalan, uangnya tak kenal kemarau. Bersemi terus. Lekas saja pergi untuk memesan minuman tapi Anto sudah teriak, “Bukan, ke Mbak gado, Pri, ke Bu Anyun kalau pesen minum.” Ahh, Anto kurang cekatan ternyata hari ini kan Aku belum godain Mbak gado-gado. “Mbak Yu, hari ini Kamu seperti timun yang berada dipajangan sayuran itu, tampak paling berair di antara semuanya.” Mbak gado-gado menatapku. Aku juga menatapnya. Aku melihat dirku di matanya. Mbak Gado mengambil cabe dan dilemparnya ke arah-ku. Aku lari.
Baru saja minumanku selesai dibuat tapi tersenggol oleh mahasiswa baru dan tumpah. Ingin rasanya Aku marah tapi ndak jadi, badannya terlampau lebih besar dari badanku. Aku pura-pura asyik sambil melempar senyum menandakan tidak terjadi apa-apa. Kini giliran menatap Anto dengan memelas. Anto siul-siul. Aku dekati Anto. Anto masih siul-siul. Aku coba ambil minumannya. Anto memukul tanganku,
“To, katanya Aku ditraktir ?”
“iyah, tak traktir kau minum, Pri.”
“Minumanku tumpah.”

“Terus gue harus cariin lu cewek biar gak jomblo lagi gitu.”
“Duh, itu klise banget, To. Ndak lucu. Haus Aku.” Wajahku makin melas.
Hesty nyamber, “Sek-sek, pesen lagi sana. Aku yang bayari Kamu, Pri”
“Wuiiih, ndak salah Hilman pilih Kamu. Kalau sudah bosen sama Hilman, Aku siap kok nampung Kamu.”
“Heh, Aku batalin nih traktirnya ?”
“Peace Make De Santos, Rukun Agawe Santosa.”
Setibaku di meja, ternyata obrolan sudah ada dilevel hangat, sehangat ulekan Mbak gado-gado. Anto jarang sekali ingin ngomong sampai ke tingkat ‘hangat’, biasanya Ia asyiik mainin gadget hasil uniko (Usaha Nipu Kolot). Hesty tidak ingin kalah, terus saja Ia memasukan argumennya. Rindra masih dalam porsinya, menjadi penjaga api dalam sebuah perbincangan. Hilman, diam.
“Aku sih masih ada yang bisa dijual untuk nutupin bayaran.” Kata Anto. Rindra kehabisan akal. Ouw, yang jadi bahan perbincangan adalah soal bayaran untuk UTS.  Hilman, diam.
“Kamu sudah bayaran, Pri ? ahh, salah nanya Aku. Pasti kau nanti pakai surat pengantar dari TU yah ?” Tanya Anto padaku.
“Gak ah, malu Aku terus-terusan begitu. Masa setiap semester Aku ndak pernah megang kartu ujian.” Jawabku.
“Memang Kau punya uang untuk bayaran ?” Hesty menimpali.
“Ndak punya, ini saja beli minuman dibayari Kamu, Hes.”
“Terus bayaran pakai apa Kamu, Pri ?” Rindra tidak ingin kalah.
“Duh, sudah semester berapa sih Sampean ?” – sambil Aku tunjuk satu-satu orang ber-IQ melati – “Mbok ya kalau punya otak dipakai, jangan cuma buat menuh-menuhin daleman kepala. Kalau mau diisi yak pakean dalem, biar sexy.” Mereka menatapku nanar.
“Denger nih.” Anto sudah menyiapkan tatakan gelas, sepertinya sudah siap melemparku kalau-kalau Aku salah ucap. “Kita ini kuliah di kampus islam, namanya saja UMM, Universitas Muhammadiyah Malang. Inget slogannya ? ‘Islam Agamaku, Muhammadiyah Gerakanku’. Jadi, kita bergerak seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.” Hesty memiringkan kepalanya, seakan ingin menciumku. Aku coba merem dan berharap Hesty beneran cium Aku. ‘Taaaak’. Kepalaku digetok Anto.
“Masih ndak paham juga.” Mataku mengitari orang-orang ber-IQ melati. “Nih, Nabi Muhammad ‘kan terus bersyiar dengan Islam, Ibadahnya juga kuat. Maka dari itu, kita tiru bersama. Kita coba sekali-kali mengajukan diri untuk kasih dakwah setiap siang ba’da Djuhur. Ngomong apa aja, yang penting dikait-kaitin sama Islam. Itu saja ndak cukup, kita juga perlihatkan ibadah kepada Rektor. Kalau Rektor solat, sebisa mungkin sebelah beliau dan jangan lupa, pakai berdo’a yang khusu kalau bisa sampai keluar air mata. Yakin, seyakin-yakinnya kita diperbolehkan ikut Ujian. Misalnya ndak boleh juga, ganti saja nama kampus ini dan ndak usah bawa embel-embel islam untuk menarik minat mahasiswa baru.”

Rindra, Hesty, Anto tepuk tangan, Hilman, diam.
“Ndak salah Aku traktir kau minum siang ini, Pri.” Puji Hesty.
“Ndak salah Aku getok kepalamu tadi, Pri.” Anto ikut memuji.
“Ndak salah kau baca buku Ngawur itu, Pri.” Rindra mungkin hanya ikut-ikutan saja karena malu ndak muji Aku sendirian. Hilman, diam.
Kita berlima pindah haluan ke Sekret (baca: sekertariat. Bagian/tempat organisasi yang menangani pekerjaan dan urusan yan menjadi tugas sekretaris; kepaniteraan) dan Hilman masih saja diam. Beberapa meter mendekati secret, tampak seorang laki-laki sedang duduk di depan pintu. Pandangannya kosong. Laki-laki itu memakai baju coklat, celana panjang hitam, menggunakan sepatu layaknya buruh yang bekerja di perusahaan alat berat, sedikit kumel memang. Hal pertama yang terlintas didalam pikiranku adalah pasti laki-laki ini korban ketidakadilan serikat pekerja buruh, kecewa, lalu ada yang ndak bener dengan pergeseran otaknya.
Rindra yang pertama mendekat tapi hanya dilihat saja. Dasar bodoh, dikira kotoran ayam yang ada dijalan mungkin, dilihat lalu menghindar. Kemudian Aku juga ikut mendekat, Aku sentuh-sentuh badannya dengan telunjuk tapi tidak ada reaksi. Karena penasaran, Aku duduk di sampingnya ikut memandang jauh sama seperti laki-laki itu lakukan. Dan Aku masih tidak menemukan apa-apa.
“Bapak laper ?” Kataku, tidak ada jawaban. “Bapak nunggu siapa ?” Masih saja tidak ada jawaban.
“Bapak habis diperkosa ? Bapak ingin kuliah di sini ? Bapak haus ? Bapak habis ikut demo ? Bapak Virgo ? Bapak suka masak ? Bapak lahir di mana ? Bapak paranormal ? Bapak lagi syuting reality show ?” Beragam pertanyaan yang Aku tanya ‘kan sama sekali tidak membuatnya buka mulut untuk menjawab. Sekali lagi Aku tanya, “Bapak kok kayak SBY, diem aja bisanya ?”
Yasudah, Aku melipir masuk sekret tapi ketika tangan kananku hendak membuka pintu, laki-laki itu bangun dan menendang kaki kiriku sangat kencang dengan sepatu khas buruh pabrik.
“AAAAAAKKKKKK.” Aku teriak kencang, laki-laki itu lari setelah menendang kakiku. “DASAR ORANG GILA!!” Teriakku kearah laki-laki yang langkahnya semakin jauh.
Anto, Hesty, dan Rindra tertawa melihat kakiku ditendang tapi Hilman masih saja diam.
“Man, kok Sampean diam saja dari tadi. Ada apa sih ?” Tanya Anto.
“Dari tadi Aku kosentrasi, naham mules, pengen BAB tapi WC di sini airnya lagi kering.”
Aku, Rindra, Hesty, dan Anto, “????????”

Oleh, Harry Ramdhani
‘Seorang Pria yang sedang menabur bunga di Twitter Hill atas kematian sebuah rasa dari kepercayaan’

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -