The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani August 31, 2015



1/
Ini bukan soal perasaan, Sayang. Ini perihal saya yang sering sekali kamu bohongi, sambil seperti memasang tampang keledai, anehnya saya pun sedikit demi sedikit jadi menikmati. Ibarat racun, kamu bisa meraciknya dengan dosis yang tepat.

2/
Tapi ini tentu tidak bisa dijadikan barometer. Sebab saya hanya mengkalkulasikannya dari apa yang saya lihat di sekitar saja. Dan ini fakta!

Ketika perempuan tidak bisa lagi diumpan cinta, maka laki-laki, entah dengan cara yang seperti apa, mereka bersekutu: jika tidak lagi kenyang oleh cinta, beri saja perempuan janji. Janji itu bisa dibuat semanis madu, atau sepahit jamu.

3/
Di sebuah kitab usang yang baru-baru ini saya baca, Sayang, di sana tertulis: racun tak mati oleh racun* –juga oleh madu. Tak perlu kamu tanya di mana saya temukan kitab itu, kamu pun saya pikir sudah tahu, ketika saya sedang membereskan buku-buku yang menumpuk di perpustakaan, kitab itu terselip di antaranya. Sampulnya kuning dan kertasnya pun telah menguning. Kitab yang cukup berumur. Saya pisahkan dan debu-debu yang menempel saya bersihkan.

Racun baik membuat cinta menjadi rindu. Racun jahat membuat cinta tak ubahnya nafsu. Lebih kurang, begitu kata kitab itu. 

4/
Entah sudah berapa purnama kita tidak bertemu? Tapi sepertinya, seingat saya belum sekalipun. Apa benar, Sayang? Sayang, rindu memang mempercepat jalan menuju kamu, tapi nampaknya saya mesti mampir ke Rumah Sakit Jiwa dulu. Bila itu perlu, tak apa. Akan saya tempuh demi kamu.

5/
Masuk tengah malam, jam di ruang tamu mulai bernyanyi. Dalam sepuluh menit, akan berbunyi tiap dua menit sekali. Seperti biasa, selang lima menit setelahnya nyanyian di ruang tamu itu akan ada tukang pijit tuna netra keliling, lalu disusul hansip yang mengikutinya dari belakang. Maklum, akhir-akhir ini banyak rumah kemalingan. Dan hansip menduga tukang pijit itu pura-pura buta, ia merangkap maling juga.

Saya pejamkan mata –dalam keadaan sadar tentunya– sambil sesekali mengintip sekitar kamar. Dingin. Tiba-tiba dingin seketika seluruh kamar saya. Saya bangkit dari ranjang, lalu terkejut: seluruh benda di kamar mengeluarkan air. Saya cicip, asin rasanya. Itu air mata!

6/
Tak adakah yang kamu takutkan dari malam? Gelap. Sunyi. Sepi. Juga lain-lain yang kini sudah kamu anggap teman.

Rindu bisa pelan-pelan menggerogoti isi kepala saya meski aslinya memang tak ada apa-apa. Rindu juga bisa pelan-pelan menghantui saya kalau suatu malam saya melihat orang-orang berciuman. Seperti dulu, Sayang. Terakhir, rindu akan pelan-pelan membuat tutul air mata di pipi saya.

7/
Sayang, apa cinta bisa dihapus? Meski sekedar nama, tentunya. Bukankah yang-lalu-sekalipun, dari cinta ialah kenangan? Dan kenangan, setahu saya, muskil hilang.

8/
Embun terbuat dari air mata, "yang dingin itu keluar dari pemilik air mata yang sedang senang hidupnya, tapi tidak pernah lupa bersyukur. Air mata bahagia,

Masih ada embun-embun yang lain, yang tidak mungkin diceritakan satu persatu. Kau tak akan bisa ingat nama dan dari mana asalnya, karena saking banyaknya. Namun jika kau ingin tahu sekilas, dekatkan saja kupingmu ke cawan-cawan yang digunakan untuk menimbun embun. Lalu dengarkan kisahnya tentang bagaimana embun itu tercipta,”

9/
Semula kita hanya hujan yang tak saling kenal. Tanah yang kering dan retak itu, Sayang, adalah tempat yang barangkali tak mungkin kita lupakan dan sesalkan. Kamu hujan yang malu-malu, seda saya hujan yang pendiam. Kamu ingat, di tanah itu, kita hanya saling tatap-tatapan, tapi yang membuat saya tiba-tiba terpikat adalah matamu yang rasa-rasanya selalu ingin saya susuri dalamnya. Entah seberapa lama, entah sesabar apa saya.

Kita adalah sepasang hujan yang berjauhan tapi, masih sering mengabarkan. Saya menyurati kamu, kamu mengabari rindu. Saya mengabari rindu, kamu menyurati masa lalu. Rindu menyurati masa lalu, masa lalu mengabari kamu.

10/
Hari-hari saya kini hanya diisi menulis puisi. Sebab tak ada cara terbaik merawat ingatan dan menunggalkan kamu seorang dalam kenangan; selain itu –tentu sambil minum kopi. Puisi-puisi itu tidak saya kirim ke media cetak atau saya unggah ke media daring supaya dibaca banyak orang. Tidak! Saya sebatas membuatnya dan menempelkannya di kamar. Selama masih ada tempat kosong, di situ saya buka pintu rindu lebar-lebar.

Kamu janji akan kembali pada musim hujan tahun depan. Namun ini sudah lewat banyak, Sayang. Menunggu adalah salah satu bentuk tawadhu’. Akan saya lakukan selama itu masih di jalan kebaikan.

Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundak. Adalah Joko Pinurbo yang berdiri, “pintar-pintarlah membuat luka, darah penyair itu anyir.”

11/
Kita bertemu. Rindu cemburu. Tak ada lagi surat untuknya, dari saya, juga kamu.

Perpustakaan Teras Baca, 31-08-2015 | ilustrasi

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -