The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani July 28, 2015



Apa yang cepat terlintas dalam pikirkanmu ketika pertama kali datang ke satu tempat makan pecel ayam yang barangkali sudah menjadi incaranmu sejak lama, lalu pada suatu malam saat lebaran perutmu sudah tak sanggup menerima ketupat dan sejenis pertemannya itu, dan ketika kamu keluar rumah seperti berada dalam sajak Sitor Situmorang Malam Lebaran –kecuali pecel ayam incaranmu– sedangkan perutmu butuh diisi demi melanjutkan sejarah keberadaban manusia di muka bumi, kemudian kamu pura-pura malu masuk tempat pecel ayam itu, memesannya, setelahnya kamu hanya disuguhkan sepotong ayam bagian dada yang garingnya amat kriuk itu,  seketika juga pas dimakan tak sesuai harapan?

Jika itu terjadi pada saya, maka saya akan mengumpat: “kalau sekedar garing, mending datang ke open mic. Di sana saya bisa dapat hal serupa, bahkan dengan porsi yang jauh lebih banyak.”

Tak ada yang lebih garing dari panggung open mic. Sungguh. Coba saja tanya Komika yang hampir setiap bulannya mencoba open mic barang dua atau tiga kali. Atau penonton setia open mic yang hanya datang demi melihat Komika idolanya menguji materi. Pasti yang kamu dapat akan sama, seperti saat kamu makan di tempat pecel ayam tadi.

Namun, dari semua itu pula, panggung open mic memang pantas dirindukan.
Kamu tidak akan bisa melihat seorang komikatiba-tiba lupa materi saat sedang seriusnya memaparkan set-up. Reaksinya yang tak terkontrol, bahkan ada yang malah tertawa sendiri seperti Dzawin, melongok kanan-kiri mencari petunjuk seperti Bakriyadi.

Hanya di open mic kamu bisa temukan suasana hening ketika tiga sampai empat komika, secara berurutan nge-boom. Penonton yang semula memperhatikan Komika malah alih perhatian ke makanan yang ada di mejanya. Kadang makanan sisanya diambil gambarnya untuk dipamerkan di akun sosial medianya, kadang ada juga yang masih menggali minumannya yang telah habis sampai menimbulkan bunyi gaduh sendiri.

Entah seberapa sering kamu melihat Komika yang selesai open mic dimintai foto bareng, tapi selang berapa lama, yang meminta foto itu malah tidak kenal oleh Komika barusan. Biasanya dalam kasus seperti ini Komika tersebut sangat lucu daripada Komika lainnya, atau Komika tersebut paling ganteng (maksudnya fotogenic).

Open mic memang sering menuntut rindu. Jumlah penontonnya yang tak bisa diperhitungkan di tiap minggunya, Komika mana yang sedang bagus, antrian Komika yang daftar untuk menguji materi di meja admin, dll., dst., dsb.

Barangkali kesalnya menonton open mic adalah puncaknya. Bayangkan saja, ketika kamu sudah mengajak teman atau lawan PDKT-an untuk menonton open mic ternyata yang diajak malah memasang muka bete. Tapi ketika mengantarnya pulanglah saat yang ditunggu: giliran kamu yang menghiburnya sampai temanmu itu ceria seperti biasa. Ini bisa dijadikan siasat caper paling maksimal dengan mengkambing hitamkan open mic demi mendapat hati pujaan juga pujian.
  
Barangkali juga, dengan menonton open mic, kita bisa belajar dari kepunahan dinosaurus yang mungkin karena bosan mengajak pasangannya menonton film di bioskop.


Perpustakaan Teras Baca, 2015 | Keterangan Gambar: Panggung open mic di bullwing [sumber: @StandUpIndo_BGR twitpict] 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -