- Back to Home »
- Prosa »
- Tamu di Luar Ruang
Menjadi seorang janda di kampung yang jauh akan kehidupan urban--
setidaknya sudah banyak perkampungan modern --adalah sebuah kenistaan.
Pandangan mereka, mempertahankan cinta saja tidak bisa apalagi hidup
bertetangga.
Herlina, namanya, seorang janda yang tinggal sendiri, eh, berdua
dengan pembantunya, tapi akhir-akhir ini Bi Inah lebih sibuk mengurusi
penyakit yang diidapnya lebih dari tiga tahun. Malah yang sering
terlihat adalah majikan mengurusi pembantunya. Herlina sudah menganggap
Bi Inah seperti orangtua sendiri. Dari kecil Ia sudah bersama Bi Inah,
diurusi, kini sebaliknya. Itulah hidup.
***
"Selamat siang." Suara laki-laki dari luar rumah yang tidak asing
lagi untuk Herlina. "Selamat siang … Hai, janda, keluar sekarang!!"
Agustinus Siliwane adalah seorang, Jong Ambon, penagih hutang dari
seorang Juragan Tanah kampung sebelah. Tanpa seizin Herlina, Ia sudah
duduk-duduk di teras rumah.
"Saya tidak punya waktu banyak berlama-lama di sini. cepat keluar kau, Herlina." Siliwane mulai naik pitam.
***
"Siapa yang menyuruhmu masuk? Keluar!!" Herlina tidak ingin kalah
dari seorang tukang palak. Padahal, orang sunda dikenal dengan
keramahan jika ada tamu berkunjung ke kediaman. Mungkin tidak berlaku
untuk manusia satu ini.
"Aku belum memintamu untuk masuk. Di mana tata krama-mu? Tidak tahu aturan." Herlina melanjutkan.
"Aku tidak tahu aturan? Kau yang tidak tahu aturan, hutang saja
belum dibayar. Bayar sekarang." Siliwane bangun dari tempat duduk teras
rumah Herlina.
Sebenarnya Herlina tidak pernah berhutang, itu hanya akal-akalan
Juragan Tanah, Pak Gugun, untuk dapatkan tubuh 'aduhai' Herlina.
"Ini sudah kali ke sembilan kau datang dalam satu bulan. Mesti
dengan apa aku ingatkan? Aku tidak punya hutang." Kata Herlina dengan
ketus.
"Kau memang tak berhutang, tapi suamimu. Setelah hutang malah pergi kabur meninggalkan."
"Tutup mulutmu, pecundang! Suamiku bukan pergi tapi memang sudah mati."
***
Dulu, beberapa minggu sebelum suami Herlina meninggal, usaha beras
cianjur yang telah lama Ia keluti bangkrut. Ini akibat harga pupuk yang
semakin meninggi dan pemerintah malah meng-impor beras dari luar
negeri. Konsumen lebih memilih beras yang murah yang telah disubsidi.
Akhirnya diberikan pinjaman oleh Pak Gugun, sang Juragan Tanah untuk
memulai usaha baru. Tapi, belum lama berjalan, Pak Gugun sudah menagih
modal yang telah Ia suntikan. Usahanya diambil alih dan serangan
jantung menyerang.
Dengan dalih menagih hutang, Pak Gugun mulai mencari-cari alasan
untuk bisa mendekati Herlina, janda yang ditinggal sendiri. Mungkin
ingin dijadikan istri.
***
"Kenapa kau begitu keras kepala? Tinggal kau bayar, maka urusan kelar." Siliwengi mulai bertindak diluar batas. Senonok.
"Menjauh dariku!! Pergi kau setan!!" Herlina membela diri, Ia dorong badan Siliwengi yang dua kali lebih besar darinya.
"Yasudah, kita bicarakan saja baik-baik di dalam. Gak enak dilihat tetangga. Ingat, kau ini janda."
"Rumahku tak 'kan sudi dimasuki lelaki seperti kau yang tidak tau diri."
"Tidak, di ruang tamu saja."
"TIDAAAK!!" Herlina teriak.
Herlina punya prinsip, tidak sembarangan orang bisa duduk di ruang
tamu. Baginya, tamu yang datang-- khususnya laki-laki --adalah mereka
ingin menjalin baik silaturahmi, sebagai contoh Alm. suaminya. Ia
datang dengan penuh ketulusan dan akhirnya dijadikan suami, meski Ia
lebih dulu berada di sisi Tuhan.
***
"Ah, beradu logika dengan wanita memang bisa memutar balikan fakta.
Segala yang mestinya ada bisa tak ada, dan yang tak ada malah bisa ada.
Logika wanita."
Walau sudah lama bicara sana-sini tapi, tidak ada titik temu.
Bahkan tidak diajak masuk ke ruang tamu. Siliwane menyalakan satu
batang rokok kretek yang Ia keluarkan dari saku celana.
"Berani sekali kau nyalakan rokok di sini. Matikan." Siliweni tidak peduli.
Bi Inah yang mendengar keributan itu keluar, "Yaampun, Bi Inah, maaf sudah ganggu istirahatnya."
"Gapapa, Non, Bibi sudah mendingan. Saya buatkan minum ya, Non." Bi Inah masuk diikuti Herlina membuntuti.
***
"Non, di ruang tamu ada kamper bubuk, siapa tahu berguna." Kata Bi Inah yang kemudian masuk kamar.
Herlina sendiri yang membawakan minuman ke depan. Tapi, di ruang
tamu Ia lihat kamper bubuk dibawah meja tempat koran-koran lama. Tanpa
pikir panjang, dicampuri saja kamper bubuk ke dalam cangkir berisi kopi.
Diaduknya rata sekali sampai tak terlihat ada kamper bubuk di dalam
kopi.
"Terima kasih." Kata Siliweni tapi, Herlina diam dan duduk tanpa basa-basi.
Mungkin Herlina tinggal menunggu orang besar itu meminum kopi kemudian mati. Dan, bisa sedikit menenagkan hati.
Mungkin tidak sabaran, Siliweni sudah menyeruput kopi dan
disemburnya karena panas. Secara refleks, rokok kretek yang ditangannya
terbang ke mata Herlina.
"AAAAKKKKKK!!" Herlina jatuh dan tertimpa pot tanah liat yang
tergantung di atasnya. Jatuh tepat di kepala Herlina, Ia meninggal
seketika.
Kopi yang tadi diseruput Siliweni terjatuh dan mengenai kakinya lalu berdarah. Ia mengerang kesakitan sampai kehabisan darah.
Mendengar itu, Bi Inah keluar dari kamar, ketika melihat sudah ada
dua mayat tergeletak di teras rumah. Bi Inah terkena serangan jantung
dan meninggal di pintu tepat masuk ruang tamu.
Tiga mayat tergelatak kaku di luar ruang tamu sampai dua minggu tetangganya mencium bau yang tidak enak.
Perpustakaan Teras Baca, 29 Juli 2013