- Back to Home »
- Prosa »
- Kasih Sayang dan Uang
Di bawah terang lampu jalan. Glady melangkah dari satu orang ke
orang lainnya. Sendirian. Demi target satu bulan, Ia rela membual yang
kadang tidak masuk akal seperti halnya sebuah guyonan.
Baju ketat mini, sepatu hak tinggi, dan make-up tebal di pipi.
Malam ini Ia cantik seperti model di televisi. Namun, apalah artinya
kecantikan bila hanya sebagai bahan jualan? Sama saja, bak ikan hias
yang ada di Festival tahunan Ikan Nasional. Semakin cantik ikan, maka
akan besar kemungkinan laku dijual. Ia manusia, bukan ikan.
Aku sudah sering mengingatkannya untuk berhenti menjadi SPG, carilah
pekerjaan lain yang pantas untuknya. Bukan berarti merendahkan
pekerjaan seorang sales tapi, image yang telah terbentuk di khalayak,
buruk. Asumsi khalayak adalah SPG merupakan kedok pelacuran yang legal.
Kurang buruk apa?
***
Di teras rumahnya, suasana kaku antara kau dan aku. Membeku. Aku
hanya diam ada yang memecah kebuntuan, menunggu. Alasan semua ini sama
seperti masalah-masalah yang dulu, urusan pekerjaannya menjadi seorang
SPG di perusahaan rokok, Tebu.
Angin berhembus pelan. Tidak ada seorang-pun yang melintas di jalan.
"Kenapa kamu tidak adil?" Tanyaku untuk mencairkan pertemuan yang beku.
"Maksudnya?" Jawabnya heran.
"Kamu banyak bicara ketika sedang berkerja tapi, denganku kau diam seribu bahasa."
"Itu beda."
Hanya adu argumen yang terjadi. Seperti itu sedari dulu. Bukannya
tidak ingin mengalah tapi, kamu selalu membentengi diri: mesti bekerja
apa lagi?
Obrolan ini tidak akan pernah ada akhir, karena Ia masih disibuki
nomor-nomor baru yang daritadi memanggil. Tapi, tak satupun diangkat.
Bajingan supervisor itu, lewatnyalah nomor handphone Glady disebar ke
orang-orang yang (ingin) mencoba mendekatinya. Embel-embelnya: urusan
pekerjaan.
Pekerjaan adalah alasan. Alasanku terus jarang akur dengan
pasanganku dan alasannya terus mempertahankan pekerjaannya. Tidak ada
yang berubah dari dulu kecuali umur kita.
"Glady, maafkan aku bila terlalu mengekangmu karena pekerjaanmu ini.
Jujur, dibalik semua itu, aku menyayangimu." Selalu seperti itu aku
mengakhiri adu argumen kala perdebatan sedang dipuncak-puncaknya.
Malahan, kadang hanya dengan satu ciuman yang bisa membuatnya diam.
'HEH!! PELACUR. SONGONG BANGET TELPON AJA GAK DIJAWAB.'
Sebuah pesan singkat yang masuk ketika Glady enggan mengangkat
telpon dari orang yang Ia sendiri tidak kenal. Sebenarnya sudah biasa
pesan singkat seperti ini masuk tapi, kali ini aku naik pitam. Glady
bukan pelacur.
"Sampai kapan?"
"Aku tidak ingin mengganti nomorku, sayang. Bisa dipecat nanti."
Aku rela mengakhir hubungan, asalkan Ia bisa mendapat laki-laki yang
bisa menjamin hidupnya dan tidak lagi bekerja menjadi seorang SPG.
Wanita cantik memang diberikan sedikit kekurangan: bodoh. Padahal,
Ia bisa mencari laki-laki yang lebih mapan dari sekarang, lebih bisa
menanggung hidupnya di masa depan, lebih bisa membuat hidupnya tenang.
Tapi, lagi-lagi ini hanya soal kasih sayang dan uang.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013