- Back to Home »
- Prosa »
- Penghulu Terdahulu
"Teman? Aku tidak punya. Hanya sahabat yang kupunya. Di mana? Entahlah … "
Pernikahan yang sudah lama didamba seakan menguap percuma. Semua
pergi dan mengharap kembali itu sama saja seperti meminta hujan pada
musim kemarau. Kalau-pun kembali, pastinya bukan lagi ke sini, ke
tempat di mana Ia berada tapi, di sana, dipersimpangan hubungan kita.
"Wik, aku dan ibumu sudah sepakat bahwa andai-kata perkawinan itu
nantinya menemui kesulitan, kami tidak akan meyesalimu apabila
perkawinan itu berakhir dengan penceraian. Yang penting bagi kami
adalah kebahagiaanmu!"
Begitu kau beri tanda di buku 'Menyemai Harapan' milikku yang pernah kau pinjam terdahulu.
Aku tidak tahu maksudnya apa? Yang jelas, aku sedang berupaya memahaminya lebih dari kura-kura yang ingin mengalahkan kancil.
Hari-hari berganti seperti karet. Aku paham, pasti maksudnya
sederhana, tetapi gaungnya bertalu-talu dalam relung-relung hatiku.
Waktu sudah mulai acuh tak acuh. Alangkah enaknya memiliki pikiran
yang sederhana. Pastinya kehidupan berjalan tanpa lika-liku, tanpa
beban seberat kenyataan. Tak perlu lagi mengadakan refleksi.
Waktu ingin aku tangkap, lalu menghentikannya sesaat. Supaya aku bisa berpikir sejenak, apa yang mesti aku perbuat?
Pergi bukanlah solusi. Tapi, lari adalah jalan terbaik-- setidaknya
untuk diri sendiri --pindah dari tempat yang gersang, yang membuatku
terus menjadi karang dan dihantam oleh derasnya ombak lautan.
Pernikahan bagiku terlalu sakral. Memiliki pasangan yang mesti
setia sehidup-semati. Kemudan dilingkari cincin yang artinya memuliakan
sebuah cinta di hadapan-NYA.
Surat ini untukmu, Penghulu.
Semoga kau paham kepergianku. Kepergianku ini untuk lari dari
keterikatan cinta yang hanya diisi dengan keterpaksaan. Bukan karena
ingin pergi dari mimpi setiap orang, sebuah pernikahan.
Aku mencintainya karena ingin menyenangi hatinya saja. Selebihnya … tidak ada.
Sampaikan kepada semua, maaf sebelumnya.
Perpustakaan Teras Baca, 21 Juli 2013