- Back to Home »
- Lari dan Lari »
- Lari Tanpa Henti [2]
"Mah, lusa aku mau lari." Kataku ke Mamah
"Lho, bukannya hampir tiap hari kamu lari?"
"Lari ke kampus maksudnya. Dari rumah, yah?" Aku selalu meminta
izin terlebih dahulu sebelum melakukan hal-hal yang kadang 'diluar batas
nalar'. Biasanya pasti dapat izin dan dibantu banyak oleh beliau. Aku
mencintainya.
Aku mesti mendapat restu dari seluruh anggota keluarga. Tanpa
mereka, aku bukanlah apa-apa. Eum, siapa yg lebih dulu? Papah atau
Kakakku?
"Pah, lusa aku lari, yah? Boleh?"
"Tumben bilang. Lari mah tinggal lari aja."
"Ini dari rumah ke kampus, Pah."
"Ada-ada aja, sih. Emang kuat? Mending dari kampus ke rumah, ketauan tuh jalannya turunan."
"Gak asyik. Terlalu sore atau malem. Bahaya."
"Hah! Kayak kuat aja lari dari rumah ke kampus. Paling jalan kaki
atau, dijalan naik angkot." Kakakku nyamber gitu aja. Begitulah dia.
"Yaudah, paling 40kilo dari sini (baca: rumah)." Papah seakan gak memperdulikan ucapan kakakku.
"Gak sampe, kok. Paling cuma 30kilo berapa gitu."
***
Keluargaku adalah semangat hidupku. Pemicu segala kegiatan gilaku.
Banyak di dunia ini yang tidak aku percayai, tapi karena merekalah
(baca: keluargaku) kini aku bisa percaya. Mana mungkin seorang karyawan
swasta yang kantornya antah-berantah bisa menyekolahkan anaknya sampai
lulus kuliah? Mana mungkin kini masih juga bisa menguliahkan aku sampai
sekarang? Jika dipikir-pikir aku tidak bisa percaya. Tapi, inilah
keluarga, inilah tempat aku bisa mempercayai semua.
***
Rabu dini hari, pukul dua.
Mataku masih saja terjaga. Entah memikirkan apa? Pokoknya aku hanya
ingin lari dan lari sekuat tenaga-- tentu sekuat apa yang aku bisa--.
Aku paksakan tidur dengan melepas semua pasrah pada yang Kuasa.
***
"Bangun - bangun." Mamah memanggil dengan cukup kencang. "Katanya
mau lari. Ayoo, bangun. Cuci muka dulu sana, sholat. terus mandi kalau
mau."
Katanya, alarm-ku sudah bunyi berkali-kali dan memang aku tidak bisa
bangun oleh alarm. Cuma Mamahlah alarm-ku, pengingatku disaat lupa,
yang bisa membangunkanku untuk membuka kedua mata bahwa ini saatnya
untuk berkarya. Berkarya apapun yang aku bisa.
***
Rasa-rasanya aku ingin mengurungkan niat untuk lari. Tapi, apalah
daya, aku sudah bangun dan dihadapan pintu … berdiri. Saatnya keluar
rumah dan berlari. Aku siap lari hari ini.
Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013