- Back to Home »
- Prosa »
- Jogja Grey
"Bandung memang romantis, tapi Jogja kerap menyuguhkan banyak hal yang
manis." Begitu alasanku ketika kau mulai menanyakan tujuan bulan madu
kita nanti.
Padahal aku hanya ingin membawamu pergi. Jauh dan tidak lagi di
sini. Di sini kau kerap ingat masa silam, masa yang suram, masa yang
membuatmu seakan hitam kelam. Kau kerap bercerita banyak tentang
mantanmu, yang sering memarahimu, memukulmu, memakimu. Dan itu …
kejam-- aku pikir tidak terlalu kasar untuk menyebutnya seperti itu --.
Selama bersama Grey, aku belum pernah melakukan itu, melakukan
seperti apa yang dilakukan mantanmu. Atau belum? Semoga tidak.
Denganmu aku sering tertawa, teman yang asyik untuk bertukar pikiran,
dan paling penting adalah aku tidak pernah malu untuk membawamu bertemu
teman-temanku.
***
Hampir dua tahun kita menjalani hubungan. Umur kita tidak berbeda
jauh, bahkan sama. Sama-sama sering ditagih kapan untuk berkeluarga.
Karier kita sudah mapan. Kini yang ada hanyalah ketakutan untuk bisa
melanjutkan ke sebuah pernikahan.
Pernikahan itu tidak semudan pergi liburan. Tapi, aku pikir rasanya seenak ketika sedang liburan.
"Every holiday make me happy, tapi setiap aku mengingat akan pernikahan seperti ada yang mengganjal dihati." Tulisku di twitter.
Sejak saat itu, ada yang berbeda dengan hubungan kita. Ada yang
kurang setiap kita berjumpa. Candamu mungkin. Tidak lagi aku tertawa
ketika kau sudah bercerita tentang keseharianmu, tentang keresahanmu,
tentang orang-orang sekita kita yang selalu mengingatkan kita untuk
segera menikah. Di mana itu semua?
***
"Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu lebih banyak diam." Tanyaku penasaran. Bagaimana tidak? Sudah tiga kaleng bir Ia habiskan.
Aku tahu, bir adalah caramu untuk bisa menengkan. Katamu,"Rasa bir
itu pahit. Aku suka meminumnya ketika hari-hariku sepahit bir. Semoga
pahit bertemu pahit akan berubah manis."
Logika yang sulit diterima tapi, setiap orang punya cara yang berbeda. Ini hanya soal sugesti yang dikirim untuk diri sendiri.
Aku bingung, sepahit apa yang kini kau rasakan? Dan, kenapa kau tidak ceritakan? Katamu, aku adalah pendengar yang baik.
"Kenapa sih kamu ingin sekali berbulan madu di Jogja?" Kau malah bertanya, padahal pertanyaanku tadi belum dijawab.
"Yaa, karena Jogja itu manis. Dari makanannya, suasananya,
orang-orangnya, sampai istri yang aku bawa." Aku tersenyum. Entah karena
apa? Tapi, baru juga membayangkan, sudah bisa membuatku tersenyum.
"Apa benar ketika nanti sudah menikah, istri mesti nurut apa kata lelaki?"
"Eum … " Pertanyaanmu semakin tak terarahkan. Aku tahu kau peminum
bukan pemabuk tapi, yang aku lihat sekarang adalah pemabuk. "Katanya
sih, iyah. Tapi, selama masih bisa dibicarakan lebih dulu, mungkin
lebih baik. Menurut-pun bukan karena terpaksa."
"Jogja? Aku, …"
Aku baru ingat, Jogja adalah tempat kau dulu menjalin hubungan dengan mantanmu. Mantan yang kejam.
"Sayang … " Aku menggenggam tangannya. Berharap bisa juga
menggenggam kepercayaannya selama ini. "Aku ingin membawamu ke sana, ke
Jogja bersama menjalani awal cinta sehidup-semati, … selamanya."
Kau semakin tertunduk. Entah kenapa? Mungkin kepalamu sudah berat karena alkohol yang kini jadi jahat.
"Untuk bisa bahagia, kita mesti menciptakannya bukan mengenangnya." Aku terus menggengam tangan Grey. Dan Ia erat menggenggam.
Kau menciumku penuh kehangatan walau sudah tiga bir yang kau habiskan. Mulutmu bau.
***
Bulan madu kita tetap ke sana, ke Jogja. Ke tempat kau pernah
terluka oleh orang yang dulu pernah kau cinta. Kini, kau pergi dengan
suami yang benar-benar ingin membuatmu bahagia. Membuat hal yang pahit
menjadi manis, membuat luka menjadi cinta.
Itulah bulan madu kita ke Jogja. Tempat kita berlibur setelah lama
berkerja memikirkan pernikahan. Kini giliranku yang membuatmu tertawa,
menceritakan keresahanmu menjadi sebuah canda. Kita bahagia saat
bersama di liburan ini. Liburan yang sering orang-orang bilang: Bulan
Madu.
Teringat sebuah prosa
Duplikat Kunci
Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2013