- Back to Home »
- cosmic g-spot »
- Gita Cinta Ramadhan
"Sebenarnya apa yang bisa membuatku bahagia?" Pertanyaan itu muncul kala
aku sedang melamun menikmati senja. Eum, … aku pikir bukan harta,
tahta, bahkan seorang wanita, tapi bulan ramadhan yang telah tiba.
***
Layaknya musim panas di Amerika. Bulan Ramdhan adalah bulan yang
sering ditunggu kita. Apapun agama yang dianut, semua bisa merasakan
bahwa ramdhan mengajarkan untuk lebih toleran. Terhadap sesama maupun
mereka yang berbeda.
Mana mungkin aku bisa murung ketika Ramadhan tiba? Di sana, aku bisa
melihat banyak yang tertawa, bebas dalam bercanda, namun tetap saling
menjaga batas mereka. Sebabnya hanya satu: bulan ramadhan adalah bulan
penuh ampunan. Bahkan Tuhan-pun kadang ikut tertawa.
Banyak yang bilang, "Bulan puasa ini berasa sama, gak ada beda."
Mungkin Ia lupa, pasti ada indikator datangnya bulan puasa, menurutku
yaitu ketika sholat subuh di hari pertama puasa. Di sana benar-benar
terasa bulan puasa. Di Masjid banyak anak-anak yang datang, para
perempuan berjalan beriringan, dan para laki-laki berdandan untuk
menarik perhatian. Gita Cinta Kala Ramadhan.
Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan anak-anak kecil ketika
sedang sembayang. Pasti di sana kita sadar, sadar bahwa ada orang
jarang sembayang subuh. Ketika do'a qunut, anak-anak malah sujud.
Tapi, melihat para bapak-bapak mengangkat tangan, mereka (anak-anak
kecil) kembali bangun. Ada saja yang malah lepas tertawa.
Begitulah bulan ramadhan ketika tiba. Segala pernik Ramadhan
seperti itu membuatku ingin kembali ke masa kecil. Menjadi mereka bisa
lepas tertawa.
Namun, ada saja yang membuatku tidak suka ketika Ramadhan, yaitu
petasan. Mendengar ledakannya, jatungku langsung berdebar. Mencium
baunya, mual yang dirasa.
Asal kalian tahu, aku lahir saat bulan ramadhan. Saat semua orang
sedang menahan lapar, dari rahim ibuku, aku keluar. Saat teriknya
siang, ibuku berteriak dan ayahku berubah jadi burung merak. Alah, apa
sih. Tapi, ketika ayahku menceritakan prosesi lahirku, sungguh
menyedihkan. Jadi gini, Uang yang ada didompet ayahku hanya seratus
ribu. Biaya persalinanku --yang bukan di rumah sakit ataupun bidan--
juga seratus ribu. Mana mungkin, nanti buka puasa dengan apa? Nanti
untuk mengurus administrasi di desa dengan apa? Nanti untuk mengurus
yang lain bagaimana? Uangnya mana? Yang jelas hanya segitu-gitunya.
Dengan sedikit lobi ke … Mak Nyak --begitu ayahku memanggilnya--
akhirnya ayahku mebayarnya secara mencicil. Bayaran pertama 80ribu,
sisanya nanti. Dan, ayahku langsung mengurus segala administrasi untuk
Akte Kelahiran. Sisa uang tinggal 20ribu, dipakai ongkos dan tinggal
15ribu. Ternyata, biaya membuat Akte Kelahiran adalah 20ribu --Hingga
akhirnya aku tahu, ternyata memiliki Akte Kelahiran adalah Hak setiap
Anak di Indonesia. Jadi bebas biaya, tapi di sini malah dipungut biaya.
Dasar sumbu kompor minyak, nyedot mulu kerjanya--. Lagi, dengan lobi,
ayahku mencicil Akte Kelahiranku. Katanya, "Bayar 10ribu dulu, sisanya
nanti ketika selesai." Dengan uang lima ribu, Ayahku pulang dan hanya
berbuka puasa pakai air putih. Ayahku melakukan itu ketika bulan puasa,
semoga yang Ia lakukan atas se-izin Tuhan. Aku lahir dengan penuh
tunggakan. Aku lahir dari seorang ayah yang rela berkorban demi
kelahiran anaknya ini. Anaknya yang kemudian diberi nama: Harry
Ramdhani.
***
Begitulah ramadhan dengan segala perniknya. Aku bahagia bila ramadhan tiba.
Perpustakaan Teras Baca, 15 Juli 2013