- Back to Home »
- komunikasi »
- Revolusi Menjadi Konglomerasi
Saya, sebagai mahasiswa komunikasi (tingkat akhir yang akhir-akhir
ini belon mikirin skripsi) geram. Geram akibat ngejawab soal uang
empat halaman folio dengan tulis tangan. Entah, saya menulis apa di
sana. Yang jelas adalah membicarakan media. Mari kita buka mata, bahwa
revolusi media telah menjadi konglomerasi media.
Revolusi media lahir sejalan dengan revolusi yang terjadi di negeri
itu sendiri, tepatnya: Indonesia. Berkat runtuhnya rezim Soeharto dan
segala antek-anteknya, media sudah tidak lagi dibawah naungan Departemen
Penerangan. Departemen Penerangan bukanlah PLN karena itu beda. PLN
itu soal listrik dan bukan soal penerangan. Banyak yang terang tapi,
tidak berasal dari PLN, contohnya: Kamu.
Dulu, setiap media mesti melawati jalur Departemen Penerangan untuk
bisa mempublikasikan karya jurnalistiknya. Apaun itu bentuknya.
Akibatnya adalah media menjadi corong pemerintahan. Bagi media yang
ingin coba-coba nakal maka akan di bredel. Bisa dilihat, Majalah Detik
di bredel, Majalah Tempo juga demikian. Mereka (media) tidak bisa
berbuat banyak selain menjilat pemerintah untuk bisa bertahan. Di
perpustakaan Teras Baca, banyak media tahun 80-an, kalian tahu isinya?
Saya saja enggan membacanya. Bukan berarti 'bad news is a good news'
tapi, ini adalah soal independensi suatu media.
Soeharto turun, Habibie naik. Departemen Penerangan dihapus, banyak
media baru bermunculan. Oia, salah satu tugas Departemen Penerang kala
itu selain mensortir isi pemberitaan, juga memegang wewenang untuk
mengeluarkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kini, sudah ada
lagi SIUPP dan siapapun berhak membuat media sendiri. Sebenarnya ada
Undang-Undang yang mengatur untuk mendirikan media sendiri tapi, ini
Indonesia. Aturan hanya sebatas slogan.
Buanyak sekali media bermunculan. Kontennya-pun beragam, dari
politik sampai tumbuh-tumbuhan. Apa saja yang sekiranya menjual dan
menguntungkan, tinggal buat. Ini dia kalimat yang menjembataninya,
apapun yang menjual dan menguntungkan tinggal dibuat.
Saya sendiri pernah dengar ucapan orang bule, "Bagi siapapun yang
ingin berkuasa di Dunia Ketiga, maka mesti bisa menaklukan media."
Media dibawah orang-orang yang ingin berkuasa. Orang yang ingin
berkuasa mesti memiliki modal. Bagi siapapun yang punya modal, ingin
berkuasa, taklukan media. Jadilah seperti sekarang, satu orang, bisa
mengendalikan banyak media. Baik cetak, elektronik, sampai media baru
(internet dll, dst, dsb).
Ini menjatuhkan itu. Itu menjatuhkan balik ini. Ini menjatuhkan
orang dalam untuk meraih simpati. Itu membanggakan diri agar orang lain
tahu. Persetan.
Mungkin banyak yang tidak tahu, media memiliki dua kekuatan: Agenda
Setting dan Jarum Hipodermik. Agenda Setting adalah di mana media
mengikuti permintaan pasar, kemudian dikemas serapih mungkin. Nanti,
ketika pasar sudah nurut, media bisa mempermainkannnya. Dan, Jarum
Hipodermik adalah di mana media menyerang langsung pasar dan membuatnya
tidak berdaya. Ingat, di Indonesia masih banyak orang mudah percaya
dari apa yang dilihat dari media. Ketika pasar sudah dibuat tidak
berdaya, ada konspirasi di sana.
Itulah Revolusi yang terjadi di sini. Konglomerasi media adalah alatnya. Persetan.
Persetan. Asal kalian tahu, saya menulis ini tidak sampai 30menit.
Sedangkan kemarin, saya mesti menulis empat halaman dengan menulis
tangan dan mengabiskan waktu lebih dari dua jam. Persetan, kenapa saya
baru secerdas ini bukan kemarin?
Begitulah kalian jika ingin menulis. Tulis apa saja yang kalian tahu dan menjadi keresahan. Tidak sulit. Makanya belajar.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013