- Back to Home »
- Prosa »
- Menjaga Malam
Masih terlihat murung seperti putri malu yg menguncup setelah
dikecup. Lampu jalan terus menerang, kemudian mengerang beberapa tikus got saat
lajunya terlihat Junarto Wijaya.
Ini kali keempat Aku melintas di depan rumah mewah tingkat dua.
Hanya lampu remang yg menyala di teras rumah dan balkon atas. Tapi,
tidak seperti biasa, satu lampu menyala di salah satu sudut ruangan
lantai atas. Yup, itu kamar Gisele, seorang mahasiswi tingkat akhir
Universitas ternama Jakarta. Mungkin Ia sedang mengejakan skripsi,
pikirku.
Kembali, Aku berjalan mengelilingi teritorialku untuk sekedar
memastikan bahwa semoga terkendali dan baik-baik saja. Sesekali Aku
mengingat saat pertama jumpa dengan Gisele di perempatan jalan dekat
rumahnya. Ia sungguh menawan dengan t-shirt putih dengan
dipadu-padankan jeans biru gelap sebagai bawahan, rambutnya dikuncir
satu kebelakang dan menyisakan ratuasan helai dibagian depannya menjadi
poni yg disisir rapih ke kiri. Kala itu, Ia mendekap dua buku besar dan
ketika berpapasan, satu senyum lebar yg mampu menghidupkan bunga mati
kembali mekar.
Gisele tidaklah seperti wanita lainnya yg sombong karena kekayaan
orang tuanya. Gisele tidaklah manja seperti wanita lainnya karena 'anak
bontot'. Ia lebih sering menggunakan kendaraan umum ketimbang
menggunakan mobil pribadi hadiah ulang tahun ke-20 dari kakaknya. Ya,
Gisele hanya dua bersaudara, kini kakaknya telah menikah dan tinggal di
Luar Negeri karena urusan pekerjaan. Bisa dihitung dengan jari satu
tangan bila kakaknya pulang ke Indonesia dalam satu tahun.
Di setiap sudut perumahan serasa menakutkan dengan segala kegelapan
yg disajikan. Bukan, bukan karena makhluk halus tapi, tapak-tapak yg
tertinggal di sana. Tapak kaki itu nampak hidup kembali dengan segala
kesibukan pemiliknya. Aku mendengarkan setiap langkah yg hilir-mudik
tak karuan.
Terlihat seseorang berdiri di bawah lampu jalan. Siluetnya
menggambarkan orang yg kebingungan. Menoleh ke kanan dan kiri seperti
mencari sesuatu atau sedang memperhatikan sekitar. Aku berlari
mendekat. Ternyata Gisele, orang yg tadi Aku pikir adalah maling.
"Hey, dari mana aja kamu ?" kata Gisele memulai perbincangan.
Aku masih mengatur napas karena habis berlari. Sebenarnya, napas yg
tak teratur keluarnya karena nervous melihat Gisele lebih dekat dan
ditambah sedikit rasa tak percaya.
"Eum, Aku habis keliling." jawabku, "Ada apa keluar malam-malam gini ?"
"Ouw, tadi Aku masak nasi goreng. Maklum, lagi ngejain skripsi
malem-malem eh, perut sirik minta dikerjain juga." Aku memperhatikan
setiap kata yg keluar dari bibir tipisnya. Sangat cantik. "Kamu mau
nyobain 'kan ? Tadi Aku masaknya kebanyakan." Tanpa menunggu jawaban
dariku, Ia langsung masuk ke dalam rumah dan keluar membawa dua piring
nasi goreng.
***
Perbincangan kami tak terarahkan. Dimulai dari skripsi yg tengah
dikerjakan Gisele sampai hal-hal remeh seperti membicarakan tukang sayur
yg sering lewat tiap pagi dan menggoda Gisele dengan gombal-gombal
kelas teri. Laki-laki manapun pasti iri denganku sekarang dan malam ini
mimpi buruk sedang berkunjung ke ruang imajinasi mereka. Gisele adalah
idaman setiap laki-laki.
Benar, dunia malam sungguh tidak bisa ditebak. Semua poros berputar
terbalik. Tiga jam lagi tugasku selesai, Gisele-pun sudah terlelap di
kamarnya. Kini, Aku kembali kesepian. Satu senter yg tergeletak Aku
ambil dan kembali berkeliling. Cukup sudah melihat bungkus rokok,
dedaunan kering, juga batu kerikil yg enggan menemaniku. Malam ini,
akan seperti malam-malam biasanya. Bila terjadi hal seperti tadi,
mungkin Aku sedang mengigau.
Diadopsi dari puisi, "Kesepian dalam Kesunyian" karya Harry Ramdhani.
Dan terinspirasi dari lagu Bruno Mars - Just The Way You Are