- Back to Home »
- Prosa »
- Kedai itu Alania
Pertemuan kita sungguh singkat. Di sebuah Kedai di dekat kampus ternama di Bogor saat hujan turun dengan arogan.
Sweater cokelat yang kau kenakan terlihat berat. Mungkin telah
banyak meresap air hujan di badan. Pandanganku-pun terisap oleh caramu
mengibaskan rambut-rambut basah itu. Dari jarak kejauhan tentunya. Di
sinipun aku menggigil oleh angin yang terus berhembus tak karuan.
Menyerang dari depan dan belakang. Aku kedinginan. Apalagi kamu dengan
sweater cokelat basah?
Pandanganku-pun berhenti saat mobil sedan abu-abu berhenti tepat di
depanmu. Keluar seorang ibu-ibu yang umurnya sekitar 40-an memberikanmu
payung kuning bergambar bunga disekelilingnya. Aku pikir itu adalah
ibumu. Kalaupun bukan, itu bukan urusan. Aku terpesona olehmu saat
ini, saat hujan menjebakku di kedai sendiri.
***
Seperti orang-orang dalam cerita fiksi, aku menunggumu di tempat dan
di jam yang sama, masih juga kau tak kunjung datang. Besoknya, lusa,
sampai dua mingggu berikutnya,… tidak ada.
Karena sudah terbiasa menunggumu di sini, di sebuah kedai tempat
mahasiswa membuang-buang waktu, aku jadi kenal beberapa pelayan kedai.
Salah satunya: Triyono., pria jawa yang senang sekali melantunkan guyon
ketika aku memesan secangkir kopi hitam. Ia tahu, kopi hitam adalah
pesananku kedua untuk menunggumu. Kata Triyono, "Kopi aja bisa, tuh,
dari panas ke dingin. Masa perasaan, nggak?" Terus saja Ia meledekku
dengan guyonannya. Padahal garing tapi, karena logat kental jawa yang
sudah campur aduk dengan aksen sunda, jadilah menggelikan. Aku tidak
marah sama sekali, mungkin ada benarnya ucapan Triyono.
Hujan turun ketika aku ingin pulang. Cukup deras, sama seperti pertemuanku dulu dengan wanita ber-sweater cokelat.
Kedai tidak terlalu ramai, padahal aku membawa jas hujan di motor
tapi, hanya enggan saja mengenakan. Karena ada beberapa berkas-berkas
perbaikan skripsiku yang tidak boleh hancur oleh hujan. Cukup harapanku
saja.
Ketika ingin memesan, jatuh dua logam lima ratusan. Cliriiing,
menggelinding lalu meluncur mulus ke selokan. Ahh, sial. Sesaat
menoleh dari jatuhnya uang logam, ada dia, dia, wanita ber-sweater
cokelat yang dulu pernah aku lihat. Kini, Ia tepat ada di sebelahku.
Gugup, tak satu-pun kata yang bisa menyup keluar dari rongga mulut.
"Har, ada uang lima ratus, gak? Lagi kosong receh, nih." Tanya Triyono padaku.
"Hah!! ada kok, ada, tapi tadi udah masuk selokan." Tunjukku ke arah
selokan tapi, sedikit mengenai lengan dia, wanita ber-sweater cokelat.
"Maaf." Kataku.
Dia, wanita ber-sweater cokelat hanya tersenyum. Sungguh cantik.
Sejak saat itu --berkat Triyono tentunya-- aku bisa kenal dengannya
(bahkan lebih dalam). Hampir setiap hari aku menunggunya selesai kerja
di kedai. Aku selalu memesan kopi hitam. Tidak seperti dulu, biasanya
aku memesan secangkir kopi hitam untuk menunggu kedatangannya yang tak
tentu tapi, kini secangkir kopi hitam pesananku adalah temanku ngobrol
dengan Alania. Seorang wanita ber-sweater cokelat itu.
Janjian di kedai, minum-minum santai, lalu membicarakan hal
remeh-temeh seperti orang yang sedang berjemur di pantai. Begitulah
keseharianku dengan Alania, jika sudah waktunya, aku pulang
mengantarnya. Di motor-pun kita masih bisa membicarakan banyak, dia
sungguh orang yang pandai mengamati hal dengan cermat. Sehingga, lampu
merah yang lama saja bisa jadi obrolan kita sepanjang jalan. Bahkan di
akhir pekan, Ia tetap ingin mengajakku untuk bertemu di kedai.
Begitulah suasana kedai, jauh lebih merakyat dibanding ocehan para wakil
rakyat yang katanya merakyat. Ndasmu merakyat.
***
Malam itu tidak berbeda dengan malam lain saat aku menunggunya di
kedai. Kini, Alania datang dengan tampang sedikit serius. Padahal,
sejak tadi siang tidak ada apa-apa. Hanya kabar baik yang datang.
"Hardy, apa yang kamu rasain katika bersama aku?" Alania menanyakan tanpa basa-basi terlebih dulu.
"Aku,… aku merasakan senang. Sebentar, apa ini soal status?"
"Aku tidak berpikir seperti itu."
"Tapi, itu maksud kamu, kan?"
"Hardy, Aku menyayangimu." Mata Alania memerah. Sedikit lagi mungkin akan meletus air mata dan mengguyur pipi mulusnya.
"Begitupun aku. Lantas, kenapa kau menanngis Alania?"
"Mulai minggu depan, aku akan pergi ke luar kota. Selamanya."
Akhirnya, Alania menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya.
Sejak saat itu, aku dan Alania hanya bisa bertukar kabar melalui sms dan
telpon. Sebuah pernikahan yang telah membuat hubungan kita sebatas
teman. Teman yang tumbuh dari rasa sayang.
*** 10 tahun kemudian ***
Aku dan Triyono mendirikan sebuah kedai sendiri. Kedai yang telah
lama kita perbincangkan dulu sejak aku mulai menunggu seorang wanita
ber-sweater coklat. Kedai itu kita berinama: Alania.
Perpustakaan Teras Baca, 6 Juli 2013